Tulisan ini adalah esai yang dimuat di dalam katalog pameran tunggal Hafiz Rancajale, Social Organism (tanggal May 26 — Jun 09, 2018 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta; Kurator: Mahardika Yudha). Dimuat kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.
Sungguh rumit bagi saya untuk menuliskan bagaimana dia berproses dalam membuat karya seni, karena saya adalah istrinya. Menilai secara obyektif maupun secara subyektif, jatuhnya akan sama saja. Bersamanya selama sembilan belas tahun, mungkin menjadikan saya sebagai orang yang paling mengenal dia, dalam artian juga mengenal dengan baik pemikiran dan proses perkembangan berkaryanya. Rumit, karena nantinya bakal bertebaran segala macam pemikiran yang kami pelajari bersama dalam kurun nyaris dua dekade ini, bercampur baur dengan segala kekaguman dan kejengkelan-kejengkelan, penilaian-penilaian yang sepaham dan yang tidak sepaham, serta berbagai karakter yang saya sukai dan tidak dari dirinya. Situasi saling memengaruhi, kemudian merumuskannya sebagai bentuk bingkaian rumahtangga, juga sambil bekerja sejak tahun 2003 membangun komunitas kami, Forum Lenteng (satu tahun setelah kami menikah), membuat saya seperti membicarakan diri sendiri.Tentu saja selama dia berproses membuat semua karya-karya baru yang keseluruhannya adalah karya drawing di atas kertas ini, saya selalu ada di situ menemaninya. Pun seluruh video yang akan dihadirkan dalam pameran tunggalnya ini adalah karya-karya kronologis, yang dibuatnya dalam kurun tahun 2003-2015, di mana saya juga selalu ada sebagai saksi, teman diskusi, dan kritikus.
Kali ini, saya hanya sesekali mengintip pada proses kerjanya beberapa bulan belakangan. Menunggu sampai saat semua terkumpul dan dibentangkan untuk saya lihat secara menyeluruh. Sepanjang menemaninya bekerja, percakapan yang terjadi hanyalah percakapan sehari-hari, tentang sekolah anak kami, makan di mana malam nanti, film-film yang kami tonton, musik yang kami dengarkan —yang kesemuanya nyaris selalu bersama— dan tentunya juga tentang bagaimana perkembangan pekerjaan-pekerjaan yang menggairahkan kami selama lima belas tahun belakangan ini.
Ketika tiba saatnya karya drawing itu dijajarkan bersandar pada dinding dan dia bercerita dengan penuh semangat tentang segala macam prosesnya, saya menyadari beberapa hal, bahwa itu semua tak beda dengan kehidupan kami selama ini. Drawing-drawing ini merepresentasikan kehidupan yang kami pilih selama ini, lengkap dengan karakter keseharian kami dalam berrumahtangga dan bekerja. Saya menemukan garis-garis belianya, yang saya kenal sejak sembilan belas tahun yang lalu, yang selalu ditariknya tidak hanya di atas kertas kertas gambar, tapi juga di permukaan medium apa saja yang akrab di sekeliiling obrolan kita: permukaan bungkus rokok, kertas tatakan bir, bahkan di atas kertas tisu yang halus sekalipun.
Kemudian garis-garis tersebut bergerak organik, memunculkan bentuk–bentuk yang biomorfis. Pada perjalanannya, garis-garis tersebut kemudian bertemu dengan konstruksi-konstruksi yang geometris. Tiba-tiba saja gerak garis-garis organik tersebut menjadi terasa politis. Garis-garis yang mengalir luwes seperti dibatasi dengan aturan ketat komposisi tarikan geometris, di mana aturan yang dibuatnya itu tetap berusaha untuk mempertahankan sifat organik garis-garisnya yang terus menjalar, mengalir dan membentuk bidang yang semakin besar.
Di titik ini saya memahami dia sedang menguji visual garis-garis biomorfis miliknya, yang telah dia selami sejak lama. Garis-garis tak berarti yang dulunya adalah aksi bermain-main itu diaktifkan menjadi peluang-peluang bentuk yang terbebas dari nilai-nilai dan definisi. Didorong untuk menjadi peluang garis yang ramah dengan bentuk baru. Garis-garisnya saling bersilaturahmi dan bergaul.
Seperti anak kecil yang beranjak dewasa, aksi doodling yang dilakukannya mengalami kesadaran. Itu terlihat dari tindakannya menguji garis biomorfis dengan bangunan geometris. Fase ini merupakan tahapan yang menurut saya penting, karena pengulangan garis yang dilakukan semata hanya berupa kesadaran untuk mengulang, sebagai tindakan konstruktif menuju pernyataan sikap dewasa.
Lalu dia mulai mengorganisir garis organiknya seperti sedang membuat teks. Garis-garis tersebut seperti menjadi sebuah pernyataan tentang pertemuan antara bentuk biomorfis yang semula memiliki karakternya sendiri-sendiri, dengan bangunan geometris. Ini adalah sebuah pernyataan tentang bentuk yang baru, yang lebih baru, dan lebih baru lagi, seperti alur terbentuknya organisme. Fase ini terasa begitu cepat. Belum lagi saya merasa teks itu telah selesai, tiba-tiba saya dikejutkan dengan sebuah interior, yang langsung memilah organisme-organisme menjadi populasi-populasi jenis. Saya merasa teks-teks tersebut seperti kekurangan referensi, kekurangan intensitas. Saya menjadi haus akan detail. Dalam kehidupan sehari-hari ke-garisbesar-an dia itu selalu bentrok dengan ke-detail-an saya.
Begitu cepatnya sebuah pernyataan dibuat. Fase ini saya rasakan seperti sebuah proses pembentukan mitos tentang interior yang telah menyeleksi organisme-organisme yang meruang dan berdimensi. Untuk pertama kali saya menemukan sebuah citraan yang bisa dikenali karena bernama. Ada konsensus yang menamainya. Itulah mitos. Walau saya juga memahami mitos terjadi karena sebuah proses logika, atau tepatnya proses persejajaran logika dengan hal-hal yang tidak logis.
Yang menarik dari temuan saya berikutnya adalah, ternyata ruang-ruang yang sedari tadi saya masuki di dalam karyanya tersebut, adalah sebuah lanskap eksterior. Pada lanskap ini ada aksi penyeleksian. Saya mengenalinya sebagai sebuah praktek medium dan seleksi yang disarati dengan mental dan sikap grafis, juga mental audio dan visual, yang pastinya bersifat durasional. Sungguh menarik aksinya menyeleksi prosesnya sendiri. Sebuah spekulasi yang bisa menghasilkan banyak kemungkinan.
Saya merasa perlu mencari bingkaian spesifik, untuk melacak muasal proses tersebut. Saya lalu jadi berpikir dan mengingat-ingat, harus memulai dari mana?
Garis-garis Belia
Mungkin saya harus memulainya dari pertemuan pertama kami, Mei 1999. Tepat satu tahun setelah Reformasi, atau kalau saya melihat kalender hari ini, pertemuan itu terjadi tepat sembilan belas tahun yang lalu.Saya mengenalnya pada suatu malam di Lenteng Agung. Saat itu dia baru selesai berpameran duo bersama kawan sekampusnya, Oky Arfie. Pameran yang berjudul TUBUH, di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki Jakarta itu memamerkan karya-karya grafis cukilan kayu dan lukisan mereka berdua. Kami selalu melakukan pertemuan-pertemuan malam di Lenteng Agung yang sudah menjadi tempat tinggal saya sejak 1992, karena saya berkuliah dan ngekos di sana. Sejak itu kami mulai berbagi malam-malam bersama.
Mungkin karena dia baru saja kelar berpameran, suasana dan semangat melukisnya masih tersisa. Hampir tiap malam saya menemaninya melukis di rumah kontrakannya sambil berbincang. Berlembar-lembar kertas sketsa dihasilkan dalam obrolan-obrolan malam kami. Doodling garis selalu tercipta di kertas-kertas tersebut. Garis-garis yang terus berlanjut untuk hadir di tahun-tahun berikutnya.
Di antara obrolan tentang ‘aku’, ‘kamu’, dan ‘kita’, dia banyak bercerita tentang persoalan tubuh. Tubuh yang personal, tubuh yang politis, dan tubuh yang menolak tubuh. Dari sketsa-sketsa yang dibuatnya, saya banyak menemukan figur-figur tubuh, yang hadir menyelinap di antara permainan garisnya. Figur tubuh yang juga selalu ada dari tahun ke tahun.
Tubuh yang agaknya merupakan representasi diri itu hadir sebagai tubuhnya yang sangat personal. Terkadang dia juga hadir sebagai tubuh yang merepresentasikan pernyataan budaya dan politik.
Yang pasti, tubuh bagi dia adalah representasi pencarian identitas seorang seniman berusia 28 tahun yang sedang bergulat dengan persoalan ideologi di masa pasca Reformasi, di antara pilihan berkesenian dan persoalan perut. Dan merupakan tubuh yang hadir di tengah keos situasi sosial dan politik Indonesia.
Proses pencarian ini mengingatkan saya pada isi diskusi-diskusi yang banyak dilakukan para pelukis-pelukis di Indonesia era-era sebelum kemerdekaan, setelah kemerdekaan, hingga tahun 70-an, tentang pencarian identitas seni rupa Indonesia. Layaknya manusia belia, pencarian identitas adalah proses yang niscaya dilalui. Bahkan manusia pasti terus mencari bentuk baru, atau tepatnya terus mengalami proses-proses perubahan dalam hidupnya. Pencarian identitas yang didorong oleh semangat nasionalisme sebagai bangsa baru, dirumuskan dari era ke era melalui proses-proses produksi, berbagai perdebatan, penciptaan manifesto-manifesto, sebagai obsesi membebaskan diri dari trauma kolonialisme yang jelas menjinjing juga modernisme dalam diktat-diktat pengajarannya. Nampaknya perdebatan itu tidak pernah selesai. Diskusi sepertinya selalu berkutat di ranah pencarian makna identitas diri berbangsa lewat seni rupa. Namun bentuk-bentuk baru dari moda produksi, karya-karya dan pemikiran-pemikiran baru terus saja terjadi, bukan?
Maka, garis-garis biomorfis yang saya temui selama sembilan belas tahun itu tidak juga pernah selesai. Terus mengalir mencari identitasnya.
Dan tubuh-tubuh personalnya yang mengumandangkan pernyataan kultural secara politis itu juga selalu hadir. Tubuh-tubuh itu menggeliat berusaha mengeluarkan diri dari kolonisasi modernisme yang telah mewariskan banyak karakter yang terus terbawa dalam kehidupan yang tak bisa ditolak.
Dia adalah seorang anak daerah di jaman yang sangat “Jakarta sentris”, merantau ke Jakarta untuk memulai fase baru dalam hidupnya, menemukan banyak kultur baru yang tampak lebih ’modern’ dan berusaha keras untuk mengadaptasinya, untuk menjadi lebih utuh sebagai anak zaman. Pertentangan nilai-nilai ke-Islam-an, ke-Melayua-an dan ke-Mingakabau-an, dengan nilai-nilai kebebasan, ke-Baratan, serta ke-metropolitan-an, membuatnya berpaling sedikit demi sedikit hingga akhirnya membentuk karakter baru dirinya. Penyesuaian menyebabkan satu persatu nilai ditumbangkan oleh nilai-nilai baru. Sementara ada beberapa nilai yang bisa digabungkan dengan cara saling berkompromi. Tentunya nilai-nilai tradisional lebih banyak tumbang. Demikianlah modernisme menggerus dunia, hingga tiba saatnya mesin modern kehilangan satu sekrup dan membuat macet kerja sistematis secara masif, seseorang akan kembali melirik dan mengingat nilai tradisional yang pernah dimilikinya dan pernah diyakininya, dan bisa dijadikan sekrup baru untuk menambal.
Identitas seni rupa Indonesia mengalami transformasi bentuk dari seni tradisional, lalu kolonialisme membawa modernisasi, dan mengikuti perkembangan zaman hingga sekarang. Seni rupa Indonesia tidak pernah mengalami proses terbentuknya modernisme yang mempengaruhi perkembangan genre-genre seni rupa di Barat. Dia datang begitu saja dan kita mendapatkannya begitu saja kemudian mengaplikasikannya dalam proses kultural.
Garis-garis pengalaman hidup dan berkeseniannya ini menggeliat, berusaha keluar dari ketradisionalan yang dialaminya sejak lahir hingga beranjak dewasa, sampai akhirnya membebaskan diri dari pertarungan tentang mana identitas yang memang benar-benar dirinya.
Bertahun-tahun dia menerima pemikiran Barat, yang memang sudah lebih dulu didapat dari bapaknya yang seorang imam masjid sekaligus juga pelukis modern dengan medium cat minyak di atas kanvas. Lalu dia terus menerapkan sistem tersebut sesuai dengan pakemnya.
Menguji Teks
Dalam perkembangannya bekerja di bidang seni selama sembilan belas tahun saya mengenalnya, dia bukanlah seseorang yang aktif menulis. Saya diberitahu beberapa arsip tulisan yang pernah dibuatnya sebelum kami saling kenal, dan tentunya kemudian saya mengenal tulisan-tulisan yang dibuatnya pada periode setelah hidup bersama saya. Di antara tulisan yang terbit di media massa adalah beberapa artikel di Majalah Ekonomi-Politik, Indikator, dan beberapa artikel di majalah seni rupa Visual Art. Selebihnya dia menulis lebih untuk keperluan katalog pameran atau festival yang dikuratorinya.Ada yang menarik tentang tulisan-tulisan dia di majalah Indikator. Pada awal perkenalan kami di tahun 1999 itu dia masih bekerja di majalah tersebut sebagai perancang grafis. Namun saya yang berkuliah di jurusan jurnalistik, dan telah memutuskan tidak suka bekerja pada kantor media massa, cukup terkesan dengan cerita dia tentang majalah tempatnya bekerja itu. Dia bercerita tentang suasana intelektual dalam redaksi majalah tersebut. Dia sangat mengagumi sang pimpinan redaksi dengan keterbukaan berpikir dan semangat aktivismenya. Dia banyak belajar tentang prinsip-prinsip jurnalistik dari orang-orang yang ada di sana (terutama pemrednya). Bahkan dia yang bukan seorang penulis pun bisa memiliki peluang untuk menuangkan isi kepalanya bukan hanya dalam bentuk tata grafis majalah, melainkan juga dalam bentuk esai, artikel ataupun resensi buku yang sedang dibacanya, yang terkait dengan rapat redaksi mingguan mereka. Salah satu contohnya adalah resensi buku Walter Lippmann, Opini Umum: Antara Rekayasa dan Realita (terbitan Yayasan Obor Indonesia, tahun 1994). Menjelang pergantian abad menuju abad milenium, majalah ini menerbitkan satu edisi khusus tentnag tokoh-tokoh penting abad 20. Dia mendapatkan kesempatan untuk menulis tentang Chairil Anwar, penyair Indonesia, dan Jose Rizal, penulis dan tokoh nasional Filipina. Bukan sebagaimana seorang jurnalis, tulisan-tulisan tersebut dibuatnya atas usulan yang dia ajukan ke redaksi, sesuai dengan minat yang dia miliki. Saya pikir, di sinilah pilihan bergerak di wilayah aktivismenya dipertajam. Dia memang sudah menjadi mahasiswa yang sangat aktif berorganisasi semasa duduk di bangku kuliah, juga terlibat dalam diskusi-diskusi mahasiswa menjelang tumbangnya rezim militer. Namun pola pengorganisasian yang sebenarnya adalah lingkungan kerja redaksi yang setiap minggunya membahas dengan ketat peta sosial-politik-ekonomi nasional-global, sambil juga terus bertemu narasumber-narasumber ahli dan profesor-profesor yang didatangkan rutin oleh sang pemred ke kantor mereka untuk berdiskusi.
Yang sebenarnya ingin saya kedepankan dari sini adalah, dia telah menjadi seseorang yang memiliki kesadaran tekstual. Menganggap bahwa menulis adalah sebuah aktivitas kultural untuk memproduksi pengetahuan. Bahkan dia pernah berpendapat (saat saya mewawancarainya untuk tulisan saya yang terbit pada 14 Mei 2010, tanggal yang sama dengan saat saya menuliskan catatan ini, di jurnal www.akumassa.org tentang 12 tahun Reformasi), bahwa Reformasi belum bisa dianggap berhasil mengubah demokrasi Indonesia, dikarenakan pencatatan yang tidak komprehensif. Tidak banyak aktivis saat itu yang menulis. Maka yang berubah hanyalah bentuk dari demokrasi saja, tetapi bukan paradigmanya. Dan perubahan itu pun tidak dilakukan secara kultural: yaitu dengan langkah menulis.
Saya mengkritisi dia yang tidak banyak menulis, sementara dia memiliki pendapat sebagaimana tertulis di atas tadi. Yah, dia memang bukan seorang penulis. Tapi dia menulis. Dan dalam gerakan kami membentuk Forum Lenteng, sebuah organisasi kajian seni, budaya dan media dalam lima belas tahun ini, adalah mendorong keras kegiatan menulis menjadi pokok utama dari semua program yang ada di kolektif kami. Itu adalah penggabungan dua desain berpikir dia dan saya, yang memang memilih jalur untuk jadi penulis sejak SMA. Dia pun kerap melakukan wawancara dengan para sutradara Indonesia dan memuatnya di jurnal film kami, sebagai pengisi lubang melompong dalam ranah kritisisme, pencatatan dan pengarsipan dunia sinema Indonesia.
Jika saya tilik kembali perjalanan garis-garis miliknya, sampailah saya pada satu periode di mana semua garis-garis tersebut memasuki tahapannya menjadi tekstual. Membentuk sebuah pernyataan. Bukan pertanyaan-pertanyaan kecil yang banyak, melainkan pernyataan yang besar.
Nah, sesegera proses pengujian tekstual itu menjadi pernyataanlah yang kerap saya kritisi. Namun kemampuannya mengorganisir, membuat saya bisa bersetuju dengan aksinya, karena hidupnya sebuah organisme adalah bagaimana jaringan-jaringan sel bekerjasama menggerakkan organ. Itulah yang dia lakukan selama ini. Menguji semua tarikan garis tersebut sebagai statement, mempertemukan garis-garis biomorfis yang semula adalah molekul-molekul tak bernama menjadi sel-sel dengan karakternya masing-masing, kemudian menjadi satu organisme yang berpopulasi dan membentuk komunitas.
Kritik dari saya akan cepatnya proses pengujian garis menjadi “pernyataan”, tak lain adalah kekuatiran saya pada situasi kekurangan detail, kekurangan referensi, dan kekurangan intensitas dalam berproses. Namun, setelah benar-benar menilik kembali pada apa yang kami jalani selama ini, tampaknya saya tak perlu tarlalu kuatir. Bukankah memang begitu jika dua kepala bersepakat menjadi satu? Seperti dua individu yang bersepakat untuk hidup bersama? Untuk saling mengisi, bukan?
Dalam terminologi seni miliknya, yang dia lakukan adalah mengaktivasi garis-garisnya. Mengaktivasi kehadiran tubuh-tubuh representasi diri, untuk menjadi tubuh-tubuh yang secara organik kemudian menentukan (bukan menemukan) identitasnya yang paling sublim.
Mungkin diskusi-diskusi panjang tentang pencarian identitas seni rupa yang paling “Indonesia” sudah menyurut saat ini. Namun aksi kesadaran akan sublimasi identitas itu tersusupkan dengan sendirinya tanpa bisa ditolak sebagaimana penyusupan modernisme melalui kolonialisasi negara Barat, tradisonalisme, ide nasionalisme negara yang merdeka, kemajuan teknologi dan juga kehidupan global yang sudah tak dibatasi oleh batas wilayah geografis lagi.
Membuat Ruang
Saya adalah seorang perempuan yang tidak mudah percaya dan mengamini sesuatu. Saya selalu menolak saat dia coba meyakini saya akan selera musiknya. Jelas kami sangat berbeda dalam hal ini. Katakanlah, bagi saya selera dia terdengar lebih melodius, sementara saya, merasa selera saya lebih ritmis. Namun terkadang ada hal yang tidak perlu saya percayai atau tidak percayai, melainkan langsung menikmatinya saja. Pada malam-malam yang panjang sebelum memejamkan mata saya sering meminta dia mengulang berdongeng tentang satu adegan film di mana seorang laki-laki harus berjalan di tengah kolam besar yang hampir kering, melintasinya dari ujung sebelah sini hingga ujung sebelah sana, di tengah hembusan angin, sambil membawa lilin yang menyala. Si lelaki entah bagaimana harus menjaga nyala apinya. Jika api tersebut padam, maka lelaki itu harus kembali menyalakan lilinnya, dan mengulang perjalanannya melintasi kolam tersebut. Dada saya ikut mengembang dan berbunga saat di akhir dongengnya, si lelaki berhasil melakukan perjalanannya menjaga nyala api hingga di ujung kolam sebelah sana.Tak perlu mempercayai atau tidak, nyatanya kami bisa berbagi visual yang sama lewat dongengnya. Bahkan saat kami telah memiliki sendiri film Nostalghia yang dibuat Andrei Tarkovsky pada tahun 1983 tersebut pun, saya menunda untuk menonton langsung untuk beberapa saat, adegan perjalanan melintasi kolam dalam film itu. Saya masih ingin menikmati dongeng sebelum tidur dari bibirnya. Saya menunda pengalaman yang ternyata benar-benar membuat hati saya membuncah menyaksikan adegan yang membenturkan kenyataan film dengan persoalan performativitas “aktor” dalam kekuasaan authorship avangardis sang sutradara tersebut. Itu adalah imajinasi sinema. Sebuah medium yang kompleks. Sinema adalah muara dari semua persoalan garis, bidang, ruang, cahaya, gerak, suara, durasi, yang harus bertarung dengan persoalan di luar itu semua. Persoalan manusia. Sinema adalah dasar kami membentuk Forum Lenteng yang menggabungkan minat seni rupa dia dan minat jurnalime dan media saya. Diskusi kami bertemu saat kami sama-sama mengimajinasikan kenyataan sinematis sebuah persoalan.
Dia telah lama menjadi pencinta sinema. Hingga suatu ketika di awal 2000-an, saya menyaksikan dia jatuh hati pada sebuah medium lain, video. Tentu didukung oleh situasi makin mudah dan makin murahnya alat tersebut. Karya-karya video pun mulai banyak diproduksi olehnya. Video bahkan dia anggap bisa mengobrak abrik imajinasi sinema yang agung, karena video begitu handy, bahkan sekarang kita bisa bilang dia adalah jari kita yang sudah utama menjadi perpanjangan pikiran kita.
Kembali pada drawing-drawing nya yang sedang saya bongkar, maka saya menemukan sebuah periode di mana mana garis-garis miliknya bukan lagi makin menyublim, tetapi bahkan meruang. Saya menemukan interior-interior yang merujuk pada titik temu bahasa sosial.
Pengalamannya menguji garis-garis miliknya secara otomatis melakukan aksi seleksi, seperti kerja alam bawah sadar manusia. Otomatisasi itu terjadi karena dia belajar dari tindakan pengulangan yang belangsung terus menerus. Perjalanan ini seperti sebuah proses pembentukan mitos, yang sudah mengalami banyak aksi membangun informasi dengan cara yang konstrutif dan logis.
Seni miliknya mungkin mengalami bentuk baru lagi, seperti manusia yang terus menerus mengalami pendewasaaan. Bentuk baru tadi berupa kesadaran mengaktivasi diri dalam komunitas, yang merupakan kontur dari biosfer yang lebih besar lagi. Melalui proses membuat karya audio visual (video) nya, tampak bagaimana konstruksi film masih mendominasi melalui penggabungan elemen-elemen audio dan visual yang dimontasekan dalam struktur yang naratif. Hingga pada karya-karya serial percakapan para pelaku seni rupa Indonesia di tahun 70an tentang identitas seni lukis Indonesia, saya dapat melihat jelas dia hanya menggunakan elemen dasar dari medium yang terlahir dari kultur sinema tersebut: audio, dan visual. Bahkan visual yang dihadirkan pun hanya berupa unsur paling dasar dari seni rupa itu sendiri: garis. Tentu saja pengalaman bermetamorfosa ke bentuk baru mengajarkannya tentang hal lain: gerak, durasi dan performativitas.
Eksterior Hari Ini, di Sini
Persahabatan kami berdua sungguh mempercayai progresivitas. Tidak ada definisi yang sepasti ilmu pasti. Ilmu pasti hanya dipakai untuk mengukur perkembangan zaman di sini dan di hari ini. Setelah menelusuri dimensi ruang yang saya temukan dari prosesnya, akhirnya saya berada pada sebuah eksterior. Bukannya secara tiba-tiba. Memahami proses penyeleksian yang terjadi selama sembilan belas tahun inilah yang membuat saya bisa merasakan gradasi perubahan interior menjadi eksterior tersebut.Tubuh-tubuh representasi diri menghilang. Dia menjelma menjadi mitos yang diwariskan dari pengalaman kultur tak langsung kolonialisme, modernisme, lalu diturunkan kembali sebagai kultur baru.
Saya tidak ingat kapan tepatnya tubuh-tubuh representasi diri itu mulai menghilang. Mungkin sejak menguatnya keputusan menyeleksi garis, juga sejak menguatnya penyeleksian medium, yang terjadi pada dalam proses berkeseniannya. Tapi yang saya ingat, dia selalu mengatakan bahwa seni itu bermain di ranah spekulasi. Kali ini saya berpendapat, spekulasi memang bisa menghasilkan banyak. Salah satunya: kegagalan. Hal lainnya adalah kekurangmatangan. Namun bisa juga berhasil dengan brilian. Sedangkan brilian akibat spekulasi itu disebabkan oleh beberapa faktor. Kalau bukan karena keberuntungan, juga karena faktor bawah sadar. Saya mempercayai kerja alam bawah sadar itu bukan sesuatu yang irasional, melainkan hasil proses pengulangan pengalaman, yang sama artinya intensitas. Dia telah mendapatkan hasil dari proses bawah sadar garis-garisnya yang bermain, yang dilakukannya selama ini. Proses bawah sadar itu sendiri terjadi karena keyakinan akan elemen-elemen spekulasinya, dan afirmasi yang didapat dari luar dirinya.
Maka saya melihat spekulasi yang dia lakukan lebih menyerupai eksperimentasi. Dia melakukan seleksi terhadap prosesnya sendiri. Bukan jenis eksperimentasi seperti seorang profesor linglung di tengah laboratoriumnya sendirian menguji coba obyek-obyeknya. Eksperimentasi yang dia lakukan adalah mengaktivasi ranah sosial, menggerakkan individu-individu di dalamnya secara kultural, sambil mempercayai proses yang panjang.
Kalau spekulasi, selain berhasil, juga bisa menciptakan kebanalan, eksperimentasi yang saya maksud di sini adalah proses yang terukur dan bisa menghasilkan “bentuk lain”.
Saat saya menuliskan tulisan panjang ini, di salah satu stasiun televisi di dekat saya sedang menayangkan rekaman berita tentang seorang pencuri kotak amal masjid yang tertangkap kamera cctv. Si pencuri mengenakan sesuatu, entah sarung, atau sajadah, yang menutupi kepalanya supaya dia tidak terkenali. Setelah menggasak kotak amal tersebut dia lalu berjoget menggoyang-goyangkan pinggulnya, dengan sengaja menghadap ke arah kamera cctv. Dia yakin benar kalau dia tidak bisa dikenali. Dalam hal ini, kesadaran yang dimiliki si pencuri kotak amal adalah kesadaran tentang tubuh dan medium teknologi (video, media). Saya yakin besok lusa tayangan itu sudah akan menyebar di internet, dan memicu diskusi banal lintas disiplin. Bisa penting, bisa kacangan.
Itu adalah sebuah konstruksi medan seni saat ini. Kalau tubuh–tubuh representasi diri miliknya kemudian menghilang dalam karya-karya kawan saya satu ini, mungkin proses tersebut bisa saya sejajarkan dengan “spekulasi” saya sendiri tentang ide dasar pameran tunggalnya kali ini: bahwa pencarian identitas seni Indonesia makin surut disebabkan karena identitas tersebut memang menghilang. Atau bahkan malah seninya yang menghilang? Tanpa tubuh. Menolak tubuh. Tanpa seni, menolak seni. Maksudnya sama sekali bukan spekulasi yang negatif, melainkan semacam pernyataan tentang tidak lagi penting bentuk formal dalam seni, karena dalam prosesnya kemudian, otonomi tubuh menghilang. Terminologi seni membaur dengan perlintasan disiplin yang lain. Seni adalah praktek-praktek sosial yang mengaktivasi ranah sosial. Saya namakan itu sebagai: ON PROGRESS ART.
Yogyakarta, 14 Mei 2018
Catatan Redaktur: Gambar-gambar pada tulisan ini merupakan karya drawing yang diambil dari arsip seniman Hafiz Rancajale, yang telah dipindai menjadi arsip digital oleh tim artistik pameran.