Jurnal Kecamatan: Tanah Abang Kota: Jakarta Pusat Provinsi: DKI Jakarta

Catatan Seorang Bukan Demonstran

UI action mass, when arrived at the location. The one holding the megaphone was Affin, the Chairman of BEM FISIP UI.
Avatar
Written by Manshur Zikri

Saya adalah seorang mahasiswa yang memang sedang melawan, tetapi saya bukan seorang ‘demonstran’. Saya adalah seorang warga yang mencair dalam massa, tetapi saya bukan ‘gerilyawan’ jalanan yang seringkali memunculkan kerusuhan.

***

Lebih dari dua minggu yang lalu, saya membaca satu artikel berita di sebuah koran lokal Depok. Penulis berita tersebut menyebutkan bahwa berdasarkan keterangan dari Kepala Bidang Perencanaan Perekonomian dan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Depok, sekitar enam puluh ribu warga Depok akan jatuh miskin jika harga BBM dinaikkan oleh Pemerintah.

Lebih-kurang satu minggu setelahnya, saya mengikuti sebuah diskusi publik yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia (UI). Diskusi itu masih membahas tentang data-data valid yang bisa menjadi landasan argumen untuk menentang kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM. Hampir sebagian besar mahasiswa yang mengikuti diskusi itu tidak setuju jika harga BBM naik, sejalan dengan analisa dari sosiolog UI, Thamrin Tomagola, yang ketika itu hadir sebagai pembicara: alasan Pemerintah menaikkan BBM tidak kuat. Menurutnya, ada tiga hal yang perlu dikaji ulang.

Thamrin Tomagola saat memaparkan analisanya di Diskusi Publik yang diadakan oleh BEM FISIP UI. Gambar diakses dari http://fisipers.tumblr.com/

Pertama, alasan kenaikan harga BBM karena untuk mengatasi APBN yang jeblok tidak masuk akal, dan rencana kebijakan itu merupakan satu langkah yang ‘kacamata kuda’. Padahal, masalah korupsi merupakan hal yang lebih tepat untuk dijadikan alasan kejeblokan anggaran negara tersebut. Kedua, kebijakan untuk menaikkan harga BBM itu dilakukan pada waktu yang tidak tepat, mengingat kesengsaraan masyarakat semakin menjadi-jadi karena kesalahan demi kesalahan yang dilakukan oleh Negara. Ketiga, yang menurut saya sangat penting, wacana kebijakan menaikkan harga BBM yang sudah digembor-gemborkan jauh sebelum keputusan itu ditetapkan, memunculkan berbagai spekulasi dan disinformasi di media-media sehingga memunculkan efek ‘panik pra kenaikan BBM’ di tingkat warga. Menjadi wajar kemudian, mengapa harga sembako sudah mahal duluan sebelum harga BBM resmi dinaikkan.

Melanjutkan wacana dalam diskusi itu, beberapa hari kemudian BEM FISIP UI menyelenggarakan pernyataan sikap untuk menolak kenaikan harga BBM dengan alasan-alasan yang telah mereka kaji sendiri, salah satunya dengan melakukan survei terhadap masyarakat tingkat bawah tentang kenaikan harga BBM. Hal yang paling utama mereka kedepankan adalah kenaikan harga BBM memiliki dampak sosiologis yang merugikan masyarakat. Alasan yang diberikan oleh Humas Pemerintah bahwa subsidi BBM umumnya hanya dinikmati oleh orang kaya yang memiliki kendaraan pribadi, seketika dipatahkan oleh fakta bahwa orang miskin pun, sekarang ini, dapat memiliki kendaraan pribadi dengan cara Kredit. Naiknya harga BBM bisa jadi malah merugikan warga masyarakat tingkat bawah yang menggantungkan usahanya pada penggunaan BBM sebagai sumber daya.

Keesokan harinya, saya mendengar kabar dari seorang teman di kampus, bahwa pada hari pelaksanaan rapat paripurna di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), massa aksi dari BEM se-UI akan turun ke jalan: menolak kenaikan harga BBM dan mengawal berjalannya rapat para pejabat.

Massa aksi Universitas Indonesia bersiap-siap berangkat demonstrasi

Hari Kamis, 29 Maret 2012, malam hari, saya menyaksikan perkembangan berita di salah satu stasiun televisi swasta, TVOne. Berita tersebut mengabarkan bahwa aksi demonstrasi mahasiswa di kota-kota lain berlangsung secara brutal, sedangkan partai-partai politik yang menolak kenaikan harga BBM semakin banyak. Hanya tinggal 3 fraksi yang mendukung kenaikan harga BBM, yakni Partai Demokrat, PAN dan PKB. Saya masih ingat jelas bahwa di televisi itu terdapat tulisan yang mengatakan bahwa Aburizal Bakrie tidak setuju jika harga BBM dinaikkan. Hal ini kemudian memunculkan beragam dugaan dari saya sendiri dan juga teman-teman mahasiswa yang lain. Jelas, seperti yang sering dikeluhkan orang-orang di situs jejaring sosial, kisruh BBM telah menjadi celah politisasi dari para pelaku politik.

Dalam perjalanan pulang menuju Lenteng Agung, saya terlibat perbincangan dengan Drajat, teman saya, satu program studi Kriminologi Jurnalistik, di Departemen Kriminologi, FISIP UI. Kami menduga-duga kemungkinan yang bakal terjadi setelah melihat berita itu, yakni harga BBM tidak akan jadi naik. “Itu sudah pasti, suara SBY kalah, kan?!” ujar saya kepada Drajat.

“Ya, susah juga, lihat perkembangan aja!” kata Drajat. “Lu ikut turun, gak besok?”

“Turun yuk, gue mau lihat aksi demonya!”

***

Seorang teman saya, Jodi Afila Ryandra, mengirimkan sebuah pesan singkat melalui telepon seluler:

29-Mar-2012 09:59 pm

Lo turun zik? Proposalnya gimana tuh?

Jodi menanyakan mengapa saya turun. Umumnya teman-teman mengenal saya sebagai mahasiswa yang tidak cukup peduli dengan demonstrasi, dan lebih mementingkan tugas kuliah. Adalah wajar, jika dia menduga saya akan lebih mendahulukan mengurus proposal magang ketimbang berpanas-panas menuju gedung DPR. Akan tetapi, saya membalas pesannya seperti ini:

29-Mar-2012 10:41 pm

Y gue nitip. Kan dikumpulin doang kan?

Turun lah.. Ad bnyk yg perlu d bongkar.. bkn sdangkal mslh bbm aj, perilaku media jg.

Apa yang berkecamuk di kepala saya adalah ulah para pelaku media, yang sudah tidak lagi bebas dari pengaruh politik dan kepemilikan atau konglomerasi. Sejak awal, ketika saya membaca berita-berita di koran lokal Depok, saya sudah menduga bahwa pengaruh pemberitaan media memunculkan ketidakharmonisan di masyarakat terkait dengan isu teranyar, BBM.

Ketika saya dan seorang teman mahasiswi, Tyas Wardhani, memutuskan untuk mendatangi gedung DPR dengan maksud ingin melihat-lihat bagaimana berlangsungnya demonstrasi, saya membawa empat statement (kalau tidak tepat disebut sebagai kebenaran) di dalam kepala, yaitu (1) bagaimana pun alasan atau kilah pembenarannya, kenaikan harga BBM ternyata masih merugikan masyarakat tingkat bawah sebagaimana hasil kajian yang dilakukan oleh BEM FISIP UI; (2) suara fraksi di DPR lebih banyak yang menolak BBM (termasuk Golkar yang menjadi perhatian utama saya), tetapi justru memunculkan kecurigaan akan langkah-langkah yang bersifat politis; (3) mahasiswa yang baik tidak akan melakukan aksi brutal (dan saya ingin membuktikan hal itu); dan (4) media arus utama yang ‘dimiliki’ juga bertanggung jawab atas carut-marut BBM ini.

Entah mengapa, saya merasa empat hal itu baru bisa saya verifikasi jika ikut serta bergabung dengan para mahasiswa dan buruh yang melakukan aksi, bukan sekedar duduk di depan layar televisi menikmati sajian media yang sedikit diragukan, atau menyimak lini masa di jejaring sosial semacam twitter seraya menikmati mi rebus siap saji. Oleh sebab itu, saya yang bukan seorang demonstran, memutuskan untuk turun ke jalan.

***

Massa aksi UI ketika tiba di lokasi. Yang memegang toa adalah Affin, Ketua BEM FISIP UI.

Saat tiba di dekat gedung DPR, ketika saya dan Tyas menyiapkan kamera untuk mengambil gambar suasana demonstrasi, saya didatangi oleh seseorang yang mengaku wartawan dari media yang saya tak ingat namanya.

“Mas, koordinator lapangannya, ya?” Tanya wartawan itu.

“Oh, bukan!” saya segera menjawab. “Saya gak masuk rombongan.”

“Oh, pers juga, ya, Mas?”

“Ya, dari akumassa.”

“Oh, jumlah mahasiswa dari UI yang turun berapa, ya, Mas?” si wartawan bertanya kembali.

Saat mendengar pertanyaan itu, saya jadi berpikir, mengapa dia malah bertanya dengan sesama pers? Bukan kah lebih baik dia mencari koordinator lapangan tersebut dan menanyakannya langsung. Karena kesal, saya menjawab asal, “Ng… 500 orang mungkin, Bang!” Dan si wartawan itu mencatatnya di dalam buku saku yang dia bawa, kemudian berlalu.

Wartawan (kanan) yang bertanya kepada saya.

Saya, yang merasa sedikit bersalah, kemudian memverifikasi jawaban saya sendiri kepada Mizan, mahasiswa FISIP UI yang menjadi salah satu koordinator lapangan massa aksi UI. “Dari UI, yang turun 250 orang!” katanya. Ingin rasanya saya memberitahukan kepada si wartawan tersebut, tetapi batang hidungnya tak kelihatan lagi sejak mencatat jawaban dari saya. Apakah dia sudah melakukan verifikasi informasi dari saya? Saya pun tak tahu.

***

Di sekitaran gedung DPR, ada banyak elemen masyarakat. Mulai dari aktivis buruh dan mahasiswa hingga para pedagang dan pemulung jalanan; mulai dari pejabat, yang dengan mobil mewahnya, sibuk mondar-mandir di pintu gerbang bagian belakang hingga para warga yang hanya menonton, dan tentunya juga para wartawan.

Salah satu media yang sedang meliput.

Saya, Tyas dan rombongan gelombang kedua mahasiswa dari UI menaiki bus Kopaja dari Depok menuju gedung DPR, dan tiba di sana sekitar 45 menit setelah sholat Jum’at. Sementara mahasiswa UI membentuk barisan dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan mahasiswa dengan semangat, saya dan Tyas justru segera bergerak cepat menuju gerbang tempat para buruh yang berorasi sedari tadi. Kami mengabadikan semua yang terlihat menggunakan kamera yang dibawa. Saya menaruh perhatian pada para wartawan yang meliput, sedangkan Tyas menaruh perhatian pada peristiwa di lapangan yang menurut pendapatnya adalah unik, seperti pedagang gorengan yang banjir pembeli di tengah-tengah domonstrasi, para buruh yang bersantai sambil bercanda tawa di bawah terik matahari seraya mendengarkan orasi, hingga aksi-aksi brutal dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang mulai membakar ban dan melemparkannya ke halaman gedung DPR melalui pagar besi.

Ketika di tengah-tengah massa itu, saya melihat bahwa pagar-pagar pembatas jalan sudah banyak yang dirobohkan massa. Beberapa orang pemulung memungut sampah besi, mungkin akan dikilokan oleh mereka. Yang menarik, beberapa orator berseru, “Silakan ambil besi-besi itu! Itu uang kita. Itu hadian dari kami, para massa aksi, untuk rakyat yang sengsara!”

Para demonstran merusak pagar pembatas jalan.

Kira-kira sudah berlalu 30 menit, ketika Tyas terlibat percakapan dengan beberapa orang yang sibuk mengoleskan semacam adonan berwarna putih-putih di muka mereka, tepatnya di bawah mata.

“Odol?” saya mendengar Tyas bertanya. “Buat apa?”

“Iya, supaya gak perih kalau kena gas air mata,” terang salah satu dari mereka.

Saya dan Tyas tertawa mendapatkan informasi baru yang menarik ini, lantas kembali memotret setiap kejadian yang tertangkap oleh mata.

Tyas ketika sedang mengambil gambar di tengah-tengah demonstrasi.

Orasi dari para orator yang memimpin rombongan terdengar sahut menyahut. Di gerbang bagian kiri, para buruh berteriak-teriak menyalahkan Pemerintah yang tidak peduli dengan kesejahteraan rakyat. Sesekali lagu-lagu yang bernuansa rakyat diputar dan para buruh menari-nari sembari mengibarkan bendera dan umbul-umbul pengenal organisasi atau serikat buruh mereka. Sementara itu, di gerbang bagian kanan, rombongan mahasiswa berorasi dengan cara mereka sendiri: menggunakan toa, membentuk barisan dengan pagar orang berbadan besar-besar, sesekali menyanyikan lagu totalitas perjuangan untuk menambah romantisasi para demonstran.

Akan tetapi ada yang mengganjal di dalam kepala saya: mengapa para demonstran mulai bersiap-siap melindungi wajah mereka dengan odol? Apakah akan rusuh lagi seperti demonstrasi yang berlangsung pada Hari Selasa, 27 Maret 2012?

Jam di ponsel saya menunjukkan pukul setengah empat sore, massa aksi semakin banyak, suasana semakin memanas. Sudah mulai terdengar provokasi-provokasi dari beberapa orang, menyerukan untuk merobohkan pagar gedung. Sepertinya, nyanyian dengan lirik “Hati-hati… hati-hati… hati-hati, provokasi!” tidak berefek sama sekali. Semakin kuat lagu itu dinyanyikan oleh rombongan demonstran, semakin kuat pula pagar-pagar besi itu dipukul oleh para demonstran dengan batu yang dipungut dari jalanan.

***

Aksi para demonstran semakin brutal. Pukul empat sore, niat untuk merobohkan pagar-pagar besi yang menjulang tinggi itu bukan sekedar provokasi belaka. Para demonstran, tak tahu apakah mereka buruh atau mahasiswa, atau justru orang-orang bayaran, mulai melepas spanduk-spanduk yang tadinya dipasang di pagar gedung. Spanduk itu dipilin, kemudian disangkutkan ke pagar besi. Sekelabat kemudian, sepasukan massa bergerak cepat memegang spanduk itu, dan mulai menarik-narik supaya pagar dapat dirobohkan.

Beberapa orang breuaha merobohkan pagar gedung DPR RI.

Saya dan Tyas mengalihkan perhatian ke aksi tersebut. Kamera saya merekam detik demi detik aksi para demonstran yang sudah panas. Tiba-tiba, salah seorang dari mereka menegur saya, bukan melarang saya merekam, melainkan mengingatkan kartu identitas. “Hati-hati, Mas, nanti kalau polisinya maju, bisa dikirain provokator. Kartu identitasnya mana?”

Saya dan Tyas mengerti hal ini. Dengan cepat, kami mengenakan jaket almamater (saya juga mengalungkan kartu pers akumassa). Demi menghindari kerusuhan, kami memilih untuk menjauh. Kami sempat terjebak di tengah-tengah kerumunan. Untung saja ada rombongan mahasiswa yang menarik kami masuk ke dalam barisan. Secara perlahan, saya dan Tyas mundur dan memilih untuk mengambil gambar pada posisi yang cukup berjarak dari para demonstran.

Massa demonstran mulai berbuat rusuh

Di depan kami, rombongan massa semakin kuat memukul-mukul pagar. Asap-asap hitam mengepul ke langit, umpatan-umpatan mereka menyalahkan pemerintah dan anggota DPR terdengar jelas. “Dari pagi di sini, mereka rapatnya malah ntar malem! DPR apaan tuh, pemalas!?” ujar salah seorang buruh yang duduk di sebelah saya.

Kekecewaan saya muncul seketika saat mendengar salah seorang orator, yang awalnya menyalahkan Presiden SBY karena kebijakannya yang tidak bijak, lantas menyatakan bahwa Prabowo lebih tepat menjadi pemimpin negeri ini. Saya melihat ke sekeliling, massa dengan umbul-umbul partai mulai memenuhi lapangan. Mobil-mobil dengan gambar wajah Megawati bertebaran, bendera dengan wajah Prabowo dikibar-kibarkan.

Pukul setengah lima, satu pagar besi gedung DPR jebol. Massa berhamburan ke dalam pekarangan gedung. Barisan polisi dengan tameng dan pakaian lengkap anti huru-hara berdiri membatasi gerak massa. Anehnya, saya melihat ada banyak orang duduk dengan santai di halaman rumput. Tidak ada yang bergerak lebih maju melewati barisan polisi, yang sebenarnya dengan mudah untuk dilalui. Sementara itu, massa di depan gerbang utama semakin keras memukul pagar memancing-mancing kemarahan aparat.

Suasana pasca robohnya pagar gedung DPR RI

Saya dan Tyas kemudian mencoba masuk ke wilayah pekarangan. Jepretan demi jepretan kami lakukan untuk mengabadikan situasi pasca robohnya pagar pertama. Sesaat kemudian, seseorang yang mengaku pernah kuliah di UI, tingkat S2, menghampiri kami.

“Hati-hati, jangan kira kalian sudah aman,” ujarnya. “Yang duduk-duduk santai di sini bisa jadi intel. Kalau kalian jalan lebih jauh mendekati gedung, bisa-bisa kalian ditangkap!” jelasnya.

Memang benar, saya sendiri menyadari bahwa jaket kuning yang kami kenakan sangat mencolok. Demi menghindari hal yang tak diinginkan, dan mengingat Tyas tidak memiliki kartu identitas pers, kami berdua memutuskan untuk keluar dari pekarangan melalui pagar yang roboh.

Suasana pekarangan gedung DPR RI

Akhirnya saya memutuskan untuk merekam aksi massa yang mulai merobohkan pagar ke dua. Namun, baru beberapa detik saya menekan tombol play, tiba-tiba sejumlah kerumunan berhamburan ke luar pekarangan melalui pagar yang sudah jebol, mungkin menghindari kejaran dari polisi. Tyas yang berada di samping saya tidak bergerak. Dengan cepat saya menariknya menjauh dari pagar, dan kami mencari posisi yang aman.

“Tenang! Tenang! Jangan ketipu, polisi tidak akan berani! Maju terus, maju! Jangan ada yang keluar! Terus masuk, robohkan lagi pagarnya!” seru salah satu orator yang lain.

Ketika massa bergerak maju lagi, kami duduk di daerah yang sedikit lengang dari kerumunan. Tyas, yang tadi sempat panik, mulai tenang dan bebas dari rasa gugup. Entah mengapa, sebuah orasi dari seorang ibu-ibu yang mengaku pernah menjadi aktivis di tahun 74, menjadi hiburan yang sedikit menenangkan. “Semuanya jangan dilawan dengan kekerasan, jangan dilawan dengan pisau! Kita korban dari Pemerintah yang tidak peduli rakyat, tetapi kita harus melawan dengan hati!” serunya. Orasinya itu lebih terkesan seperti acara talkshow di televisi karena ada orator lain yang mengajaknya berbincang dengan pengeras suara. Dari orasi-orasi mereka, kami mengetahuai bahwa ibu itu lebih senang dipanggil Oma, dan mengaku sangat mengagumi Akbar Tandjung. “Hidup rakyat Indonesia! I love you full!” serunya.

“Lho, kok orasinya begitu?” saya berkata heran, sedangkan Tyas tak mampu menahan tawa.

***

Di tengah-tengah massa yang mulai rusuh itu, tepat waktu proses perobohan pagar pertama, saya sempat berbincang dengan seorang pemulung yang mengaku bernama Jupri. Dari mulutnya, saya mendengar pujian demi pujian tentang mahasiswa. “Saya senang sama abang-abang mahasiswa, sering berteman dengan teman-teman pemulung lainnya. Apalagi kalau hari udah mau deket lebaran, sering ngasih sembako!” katanya. “Abang dari Depok?”

“Iya, Pak, saya mahasiswa UI!” jawab saya.

“Saya sering lihat mahasiswa ikutan ngamen, riset, ngobrol ama mahasiswa juga, saya! Abang dari ekonomi?”

“Bukan, Pak, saya dari ilmu sosial.”

“Oh, riset juga, ya, Bang?”

“Iya, kadang-kadang ada penelitian juga kitanya, Pak!”

“Saya juga pernah ngobrol lama sama mahasiswa, di foto-foto juga,” ceritanya. “sekarang alat udah canggih, ya… semuanya satu, bisa foto, langsung ada suara. Kalau dulu, suara ya suara, foto ya foto!” dia tertawa.

“Iya, Pak, biar lebih cepat dan mudah bawanya,” kata saya.

“Ditolong, Bang ya, mudah-mudahan gak jadi naik minyaknya. Susah, kita!”

“Ya, doakan aja, Pak. Ini kita lagi usaha!” kata saya, kemudian pamit untuk kembali melanjutkan aktivitas potret memotret.

Pak Jupri

Selain Pak Jupri, saya juga sempat ditanyai oleh seorang ibu-ibu yang berpenampilan seperti warga biasa. “Udah masuk, Nak?” tanyanya ketika pagar yang ke dua roboh.

Nggak, Bu, kami di sini aja, ngambil gambar!” jawab saya.

“Masuk saja! Suruh mereka itu turunkan harga minyaknya! Tidak tahu orang susah!” gerutunya. “Sudah dibuka pintunya?”

“Belum, Bu, tapi udah ada pagar yang roboh. Tapi orang-orang belum pada masuk.”

“Kenapa gak masuk! Lawan saja polisi itu!”

Saya justru bingung ingin berkata apa. Sepintas saya teringat kata salah seorang orator (bukan mahasiswa), dan mengatakannya kembali kepada ibu itu, “Ya, rencananya mau robohin pagar lagi, Bu, jadi biar lebih leluasa keluar masuknya!”

“Nah, bagus itu! Hancurkan saja, mereka bikinnya pakai uang kita!” katanya dengan nada kesal. Saya kemudian terpisah dengan ibu itu ketika massa semakin ramai mendekati pagar yang roboh.

Ibu yang berbincang dengan saya.

Pukul enam sore, saya memperhatian daerah itu. Keadaan semakin memanas. Akan tetapi rombongan mahasiswa UI (yang saya maksudkan di sini adalah mahasiswa dari barisan BEM UI) tidak terlihat sama sekali. Beberapa wartawan membawa kamera, meliput peristiwa. Berkali-kali helikopter melintas di atas kerumunan massa. Dari posisi saya, terlihat bahwa helikopter itu mengarahkan sebuah kamera ke bawah. Saya menebak, mungkin itu adalah media yang sedang meliput, tetapi bisa jadi juga aparat yang sedang melakukan pengawasan. Pokoknya, setiap kali helikopter melintas, para demonstran bersorak-sorak dan memaki-maki, bahkan ada yang mengacungkan tangan melecehkan si helikopter.

Salah seorang demonstran memaki helikopter yang melintas.

Merasa sudah cukup dengan foto-foto yang didapat, saya dan Tyas akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan rombongan BEM UI yang masih bertahan di bagian belakang gedung DPR.

Di sana, saya bertemu Affin, Ketua BEM FISIP UI. Saya menceritakan apa yang saya saksikan di kerumunan massa yang ada di area depan gedung.

“Coba lu bayangin, pagar tuh udah roboh dua, dan gerbang juga udah dibuka. Tapi orang-orang masih mukulin pagar dengan batu, dan gak ada yang masuk!” saya bercerita dengan semangat.

“Yah, itu mah jelas banget provokasi!” Affin menanggapi. “Mereka mancing mau ricuh, nunggu polisi maju duluan!”

“Oh, iya, barisan UI kenapa pindah ke belakang, sih? Padahal di tengah-tengah kosong, lho, Fin?!”

“Anak-anak, Sob, takut kenapa-napa,” terang Affin. “Kita ke sini bukan buat rusuh, kan?! Intinya cuma negosiasi dengan pejabat.”

“Tapi, kan kehadiran UI di tengah-tengah bisa jadi poros biar gak ricuh, Bro!”

“Ya, kalo yang udah pengalaman kayak elu atau gue, sih gak masalah, Zik!” katanya tertawa. “Ini sebagian besar yang turun mahasiswa baru semua.”

***

Pukul tujuh malam, massa aksi UI yang perempuan diwajibkan pulang oleh BEM, mengingat situasi semakin rawan karena ternyata kericuhan di area depan semakin menjadi-jadi. Tyas tidak ikut rombongan tersebut, dan lebih memilih bertahan di lokasi. “Gue, kan bukan pendemo, gue cuma moto-moto doang!” ujarnya kepada Affin.

Bentrok aparat dengan para demonstran. Gambar diakses dari http://www.hariansumutpos.com/2012/03/30127/bbm-batal-naik-1-april.htm

Ratusan massa dipukul mundur oleh aparat dengan gas air mata. Para demonstran, sebagian ada yang bergerak menuju area belakang gedung, dan bahkan ada juga yang tehalau sampai ke daerah Slipi (menurut keterangan Beringin, salah satu jurnalis mahasiswa di FISIP yang saya kenal).

Ketika melepas lelah di salah satu warung sate, saya, Tyas dan beberapa mahasiswa lain menyaksikan liputan berita di televisi yang ada di warung, terkait situasi huru-hara di area depan. Saya pun bingung, mengapa lagi-lagi stasiun televisi yang begitu semangat memberitakan adalah TVOne. Selain itu, saya sedikit menangkap bahwa berita itu sedikit dilebih-lebihkan. Bukan hanya saya yang berpendapat demikian, teman-teman mahasiswa lain juga. Reporter TV itu tidak ada menyebutkan kemungkinan dari para provokator bayaran, lantas menggeneralisasikan bahwa pelaku kerusuhan adalah mahasiswa dan buruh.

“Ah, sial banget, nih!” ujar saya kesal. “Bayaran, tuh yang rusuh!”

Lu gak tau, kan, tadi tuh di sini ada massa bayaran,” ujar salah satu dari mahasiswa yang ada di warung. “Ditawarin baju kaos ditambah goceng perorang untuk bikin rusuh. Parah banget!” katanya geleng-geleng kepala.

Saya, secara pribadi, yakin bahwa mahasiswa yang baik, tentunya, tidak akan melakukan tindakan brutal. Buktinya, di warung itu, para mahasiswa menonton berita bersama-sama dengan para polisi yang melepas lelah di sela-sela tugas mengawasi berjalannya aksi demonstrasi. Justru saya melihat keakraban di antara dua elemen masyarakat ini.

“Keputusannya udah keluar, Fin?”

“Belum, rapatnya aja ntar jam sepuluh! Perwakilan dari kita udah masuk 20 orang!”

Sekitar pukul sembilan malam, saya mendengar kabar lagi dari teman-teman yang terus menyimak berita, bahwa massa aksi yang rusuh di area depan sudah bubar. Bisa dibilang, hanya massa aksi dari BEM UI yang masih bertahan di belakang dengan cara damai.

Massa aksi BEM UI terus menunggu, menantikan kabar dari perwakilan yang masuk ke ruang rapat paripurna. “Kita akan terus kawal hingga keluar keputusan!” ujar Affin.

***

“Mengapa rusuh, ya?” Tyas bertanya di sela-sela kami melepas lelah di antara mahasiswa UI yang juga melepas lelah di depan pagar area belakang. “Mengapa rapatnya malem-malem?”

“Ya, gimana dong? Pejabatnya pengen rapat kalo misalnya demo udah kelar,” saya berkomentar. “Sementara pendemo bakalan marah kalo rapatnya gak mulai-mulai. Nah, batu ketemu batu, kalau diadu, ya, jadinya pecah, sama dengan rusuh!”

Tuh, makanya, seperti kata Oma, semuanya harus dilawan dengan hati!” kata Tyas tertawa.

Menjelang pukul sepuluh, massa BEM UI yang tadinya melepas lelah, berdiri kembali membentuk barisan. Mereka berorasi lagi meskipun hari sudah malam. Mereka kemudian merapat ke pagar, dan sang orator berkeluh kesah tentang kekecewaannya terhadap ketidakonsistenan para anggota fraksi di DPR RI. Saya mendengar suara pagar dipukul lagi. Semakin lama, semakin keras dan berkali-kali.

“Kenapa, Fin?”

“Fraksi yang awalnya menolak, sekarang pada walk out! Gak jelas banget!” jelas Affin.

Ha?! Apaan?!” saya mengepalkan tangan saking kesalnya, dan saya juga merasa maklum ketika beberapa orang anggota massa aksi BEM UI juga emosi. Bagaimana tidak? Walk out sama saja dengan lepas tangan, menolak tetapi tidak memberi tekanan. “Jadi mereka membiarkan kalau Pemerintah tetap menaikkan BBM, tapi gak tanggung jawab kalau terjadi apa-apa!” jelas Affin. “Itu sama saja dengan setuju, kan?”

Massa aksi dari BEM UI yang mulai emosi ini memancing para polisi untuk bersiaga secara lebih ketat. Saya melihat Affin dan para pemimpin massa lainnya berbincang dengan para polisi. Saya juga melihat bahwa ada beberapa orang muda-muda mengenakan baju bebas sudah mulai mengitari massa aksi BEM UI. Kecurigaan saya kemudian muncul, jangan-jangan mereka penyusup yang ingin mencari celah untuk memancing kerusuhan.

Akhirnya, berdasarkan pertimbangan untuk ketertiban dan keamanan, massa aksi BEM UI memutuskan untuk bergerak menjauhi gedung DPR, menuju pintu Barat Senayan, menunggu bus Kopaja untuk pulang. Sekitar pukul sebelas, semua massa aksi BEM UI, termasuk saya dan Tyas, pulang ke Depok, sedangkan Affin dan beberapa aktivis mahasiswa lainnya tetap di lokasi mengawal persidangan.

***

Kericuhan di dalam ruang rapat DPR RI. Gambar diakses dari http://foto.detik.com/

Di kampus UI, Depok, beberapa saat setelah turun dari bus Kopaja, saya mendengar kabar lanjutan bahwa perwakilan mahasiswa UI yang masuk ke dalam ruangan rapat melakukan tindakan ricuh lagi. Mereka terlibat keributan dengan aparat Pamdal DPR RI. Saya tidak bisa meng-update berita. Akan tetapi berdasarkan keterangan dari teman-teman yang menonton televisi, emosi mahasiswa itu terpancing karena persoalan ayat sisipan yang ditambahkan pada pasal 7 dalam UU Nomor 22 Tahun 2011. Sebagaimana diberitakan oleh antaranews.com keesokan harinya, sejumlah partai dalam rapat Badan Anggaran mengusulkan adanya ayat baru, yakni pada Pasal 7 ayat 6 (a) yang memberikan diskresi kepada pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM jika rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) selama enam bulan mengalami kenaikan atau penurunan sebesar lebih dari lima belas persen.

Lha, itu sama aja dengan meng-iya-kan kenaikan BBM!” ujar saya setelah mendengar cerita dari Ian, yang terus menyimak berita di TV.

***

Lantas, apa yang dapat saya simpulkan dari cerita ini? Setidaknya, beberapa asumsi saya di awal itu sedikit mengandung ketepatan. Berdasarkan percakapan saya dengan Pak Jupri dan seorang ibu-ibu di tengah-tengah demonstrasi, ternyata kenaikan harga BBM memang masih belum dapat diterima oleh warga masyarakat. PR untuk Pemerintah ialah mencari jalan lain yang lebih bijak ketimbang mengorbankan hal penting bagi rakyat. Seperti yang berkali-kali dilontarkan oleh para orator saat berdemonstrasi, “Uang sejumlah 150 ribu bukanlah solusi! Itu solusi asal jadi!”

Langkah para anggota Fraksi yang menolak BBM, jika saya cermati lagi, ternyata hanya lah langkah politis. Apakah mungkin untuk menarik simpati rakyat? Toh ternyata, seperti yang dimuat dalam investor.co.id pada tanggal 30 Maret 2012, pukul 19:13, enam fraksi di DPR (Golkar, PAN, PKS, PPP, PKB dan Partai Demokrat) mendukung penambahan ayat 6 (a) ke dalam Pasal 7 UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Seperti yang disampaikan Burhanudin Muhtadi, peneliti dari Lembaga Survei Indonesia, yang kemudian dikutip oleh situs yang sama, dukungan ini memberi ruang bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM dengan penambahan ayat dalam RUU APBNP 2012. “Dengan opsi itu maka kenaikan tinggal tunggu waktu saja. Mereka sadar isu BBM tidak populer. Mereka seolah-olah menolak tapi memberi tiket institusional kepada pemerintah untuk menaikan harga BBM. Jadi ini untuk kepentingan elektoral dan pencitraan saja,” pungkas Burhanuddin, yang juga dimuat dalam Suara Pembaruan (lihat di http://www.investor.co.id/national/6-fraksi-dukung-kenaikan-bbm/33072).

Kemudian, tentang demonstrasi yang berujung kerusuhan? Hal ini tidak bisa dilihat secara subjektif atau sepihak. Pada kenyataannya, saya menyaksikan sendiri bahwa kerusuhan pada demo tanggal 30 Maret 2012 itu dipicu oleh orang-orang yang ditunggangi. Kalau pun memang ada dari kalangan mahasiswa, ini menjadi bahasan yang lebih menarik. Akan tetapi saya tergelitik untuk berpikir kembali ketika membaca sebuah komentar pada foto demonstrasi yang diunggah oleh sebuah akun di facebook. Komentar yang ditulis oleh akun bernama Pramilla Deva Ellesandra, itu berbunyi seperti ini:

“…Simpel buat saya, ketika ada histeria massa dan orang-orang turun ke jalan, semuanya sudah tidak bisa dikendalikan dan diprediksi. Serba spontan. Orang yang menolak kebijakan itu sama kayak orang yang menerima kebijakan. Masing-masing punya aksi sendiri. Minta pendemo supaya nggak merusak, itu sama aja kok sama minta pemerintah untuk nggak menaikkan BBM. Cuma bisa berharap, tapi aksinya tetep nggak bisa dikontrol penuh. Bedanya mungkin kalau: pendemo bisa saja dipukul mundur barikade polisi dengan gas air mata atau peluru karet, sedangkan pemerintah tetep punya kuasa absolut untuk menaikkan atau membatalkan kenaikan BBM apapun yang terjadi (alias tidak tersentuh).

Metode “pemaksaan”nya mungkin berbeda di: pendemo ‘mendesak’ pemerintah menganulir kebijakan dengan membuat momentum berupa kerusuhan atau keributan yang berdampak fatal, dan pemerintah mendesak rakyat untuk menerima saja BBM dinaikkan dengan cara…apa saja, berbagai cara. Kan mereka berkuasa 😀

Btw, ada yg bisa jelasin “demo dengan cara yg mulia” itu gimana ya?

Gue bingung, deh,” keluh salah seorang mahasiswi, yang saya tak tahu namanya, di malam hari sesaat setelah demonstrasi. “Kenapa TV cuma memberitakan yang rusuh-rusuhnya aja? Terus, tuh partai-partai juga gak jelas, plin-plan banget?!”

Entah mendapat ilham dari mana, saya lantas menanggapi, “Kan, kita bisa membaca dari situ. Massa aksi sudah berorasi sejak pagi, dan itu memang sudah ‘panas’ dari awal. Tapi gue liat sendiri kok, yang mulai rusuh-rusuh itu baru datang sekitar jam empat, baru mulai bakar-bakar. Wartawan TV juga mulai rame jam-jam segitu. Saatnya sajian primetime. Kerusuhan dimulai, terus diliput, deh secara live. Lu pada nonton berita di mana? Kita semua tahu, stasiun TV yang kita tonton itu milik siapa?!”

Kami semua diam, diam dengan arti menyadari memang begitulah carut-marut yang sedang terjadi di negeri ini. Bahkan Pemerintah dan para petinggi di DPR RI pun seolah-olah bisa bertingkah dengan menghadirkan ‘April Mop’ untuk rakyatnya sendiri. Setelah senang mengumbar-umbar wacana kenaikan harga BBM, kemudian memberi sepercik harapan dengan pernyataan-pernyataan menolak, kemudian malah memberi kebingungan dengan penambahan aturan dalam UU. Bulan April, mungkin, memang tidak akan menjadi bulan naiknya harga BBM, tetapi siapa bisa menduga sekitar enam bulan lagi?

Harapan saya, semoga saja media arus utama dapat sadar diri untuk tidak memberikan keresahan yang berlebihan kepada warga masyarakat. Kalau tidak, jangan salahkan yang muda-muda membuat kerusuhan.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

84 Comments

  • Mantap…
    Satu sisi di “kubak”… Sosial ekonomi politis…
    Lebih mendalam lah…
    Dr sisi politis internasional, interfensi asing, dampak jangka panjang, kebijakan energi, kemampuan teknologi dan sdm, dll…

    I am not demonstran… I am an Engineer… Yang mengusahakan kebaikan dengan cara yang lain :p

  • salut buat penulis dan rekan perempuannya. seorang demonstran yang juga bisa menjadi seorang wartawan. bagaimana berita yang diambil dari sudut demonstran, bukan seperti media massa sekarang yang lebih mengkambing hitamkan mahasiswa dan juga kaum buruh

  • ini artikel terlengkap tentang demo menolak kenaikan BBM, karena tidak ‘ditunggangi’ oleh ‘kepentingan’ manapun, kecuali massa. thanks to zikri, ai lop yu. salam buat tyas yaa! *main alis

  • mantap banget bang zik!
    hal yang seharusnya diperhatikan sama awak media, yaitu sikap netral.
    bukan malah menjadi ‘senjata’ politisasi

  • yak zik.. saya share aja cerita di dalam sidang paripurnanya, karena alhamdulillah gua bisa masuk sebagai perwakilan UKM KSM UI… saat kita ada di dalam kurang lebih sebanyak 20 mahasiswa UI melihat bahwa will dari beberapa fraksi pemerintah tidak ada untuk menolak bbm naik.. saat sidang paripurna dimulai pada pukul 14.30 (harusnya jam 13.30), pimpinan sidang menurut gua terkesan memiliki agenda setting untuk menggolkan hal tersebut (menaikkan harga BBM).. agenda pertamanya ya membaca laporan dari badan anggaran dpr ri… dari laporan banggar, khususnya untuk partai koalisi masih belum ada kesepakatan terkait dengan ICP (Indonesian Crude Price)… demokrat ingin 5%, PKS 20%, PPP 10%, PAN 15%, Golkar ingin 17,5%… sedangkan PDIP, gerindra, hanura tegas menolak pasal 7 ayat 6A tidak ada….

    jujur, gw denger dari kepala sendiri kalo sebelum pembacaan laporan dari banggar, ketua DPR RI menyatakan kalau setelah laporan banggar, akan ada tanggapan dari anggota dewan.. namun faktanya setelah pembacaan, marzuki langsung berpendapat kurang lebih “karena saya melihat belum adanya kesepakatan secara bersama dimana masih banyak sekali opsi-opsi hal tersebut, maka rapat diskors untuk lobby”… pernyataan dia tersebut kontan memicu perselisihan beberapa anggota partai oposisi… namun nasi jadi bubur… lobby sudah dilakukan tanpa diikuti oposisi..

    habis diskors, gw dan rekan-rekan bingung menunggu di dalam.. gw sendiri maunya keluar bergabung dengan massa aksi UI, tapi gabisa keluar sama PAMDAL DPR.. katanya kalau sudah keluar, udah gabisa masuk lagi… yaudah kita ga ada yg keluar dan melihat sikon dari teman-teman wartawan di samping kita…

    waktu berlalu, ternyata hingga abis maghrib rapat masih belum dimulai.. gw memutuskan dengan rekan-rekan untuk mencari makanan mengingat banyak rekan yg belum sarapan… di kantin kita lihat demo berjalan sangat vandalistis sekali… makanya sebelum maghrib, rekan-rekan kita meminta agar anak UI ditaro belakang aja.. sedikit lebih safe daripada di depan… soalnya banyak massa aksi yang ga jelas klo di depan…

    abis maghrib, gw jalan-jalan sisir gedung rapat paripurna.. lihat rapat lobby sangat tertutup sekali untuk media dan orang lain.. tiba-tiba gw denger omongan dari wartawan kalau koalisi disepakati untuk memilih 10% untuk ICP.. tapi Golkar sama PKS belum setuju.. PKS minta 20% atau ancam koalisi.. sedangkan Golkar masih minta 17,5%….

    sesaat kita berpikir.. oke PKS udah cenderung untuk tolak… tinggal Golkar yg belum.. kata wartawan yg kita temui dan beberapa staf ahli yg juga alumni UI bilang.. “rekan-rekan, kuncinya tinggal di Golkar”… tiba-tiba rekan kita mendengar informasi kalau Golkar menolak…

    sesaat kami pun mengucap alhamdulilllah akan hal itu.. maka kami lsg ke ruang sidang lg.. sidang pun dibuka pada jam 22.30…. marzuki ali memulai dengan memberitahukan hasil lobby, namun ditolak oleh kubu gerindra karena fraksi PDIP dan Hanura sebelumnya memilih untuk boikot sidang karena ketidakjelasan waktu untuk memulai kembali.. rapat diskors sebentar… dan dimulai lagi… hasil lobby memperlihatkan bahwa Demokrat, PPP, PAN, dan Golkar sepakat 10%… PKS masih tetap pada opsinya yaitu 20%… tiba-tiba arah dinamika politik berjalan cepat..

    rapat diwarnai oleh berbagai macam interupsi dari fraksi oposisi yg berusaha menjelaskan inkonstitusionalitas dari pasal 7 ayat 6A RUU APBN P 2012… interupsi ini berjalan hingga pukul 00.00.. akhirnya marzuki ali memutuskan untuk memvoting karena ada interupsi dari PDIP yg bilang, “pimpinan, kita sudah melewati waktu sidang.. kami meminta untuk ditunda kembali”.. sesaat rekan-rekan mahasiswa mulai emosi… kami mulai meneriakkan, “bapak-bapak, kasihan rakyat diluar..”.. akhirnya voting dilakukan dan dihasilkan untuk terus dilanjutkan..

    setelah itu, interupsi terus berjatuhan dari semua anggota dewan.,.. mereka meminta untuk berpendapat satu persatu.. namun menurut pimpinan dihiraukan karena waktu yg sudah sempit… sesaat perwakilan PKS berpendapat untuk mengajukan opsi yg sama dengan fraksi oposisi lain.. hal ini disambut dengan tepukan tangan dari audiens.. namun Golkar tiba-tiba berpendapat untuk memutuskan 15% untuk ICP.. hebatnya ini diikuti oleh semua koalisi termasuk Demokrat… melihat gelagat ini, beberapa rekan mahasiswa UI mulai berteriak.. “kalian pengkhianat”.. “marzuki ali pengkhianat”… dll…

    setelah pendapat tersebut maka pimpinan langsung mengajukan opsi untuk voting.. opsinya dua.. satu menolak pasal 7 ayat 6A opsi 2 setuju dengan pasal 7 ayat 6A dengan ICP 15%… PDIP lsg interupsi bahwa hal tersebut inkonstitusional karena isi ayat 6A bertentangan dengan ayat 6.. namun tidak dihiraukan.. akhirnya hanura dan PDIP memilih walk out dengan sebelumnya menyatakan minta maaf bila harga BBM naik..

    suasana di balkon semakin panas… mahasiswa mulai berbicara tegas… “bapak wakil rakyat, mohon liat kondisi rakyat”.. lalu voting dimulai dan memperlihatkan bahwa opsi dua mayoritas dipilih… hal tersebut memicu kami untuk berteriak bersama audiens yg ada di balokn utk bilang, “bapak ibu, ayo berdiri… tolak BBM naik”… namun tidak berarti.. kemudian tiba-tiba rekan belakang saya yg juga mahasiswa UI terjatuh dari belaknag dan mengenai saya.. kontan situasi lsg berubah cepat… pamdal lsg mengamankan dan mengeluarkan kita dari balkon.. mererka memukuli kami.. mendorong kami… menendang kami… hal tersebut menyebabkan rekan UNSRI mengalami keseleo di kakinya..

    lalu kami meminta tanggung jawab dari pamdal sebab sebelumnya pimpinan pamdal yg juga duduk bersama kami menenangkan rekan-rekan pamdalnya.. kemudian pimpinan pamdal pun meminta maaf seraya menyebutkan bahwa hal tersebut (pengusiran) terpaksa dilakukan demi tugas.. saat kami meminta tanggung jawab pamdal, rekan kami juga mengucap, “mohon pak, kami tidak anarkistis.. kami damai kok.. kami cuma meminta wakil rakyat untuk berdiri… dukung gak naik.. saya yakin ada provokator”.. dilanjutkan kembali,” saya tau kok pak provokatornya, yg pake topi hitam ngaku wartawan.. tuh dia diatas pak.. tangkap orangnya”.. sesaat orang yg diduga provokator tersebut lari namun dari kabar yg kami dengar adalah pamdal menahannya.. setelah itu, kami tidak tau lagi kabarnya..

    itulah kondisi di dalam sidang dan di luar paripurna… tidak lebih tidak kurang….

    • Terimakasih, Jod.. atas berbagi ceritanya.. kita yang di lapangan juga yakin bahwa ada ‘sesuatu’ yang janggal terjadi di dalam. Harapannya, dari rekan-rekan mahasiswa tidak hanya berhenti di sini untuk ‘membongkar’ sesuatu itu. Persoalannya, bukan masalah benar atau salah (dan lagipula tidak ada konteks haram dan halal pada masalah ini). Yang kita utamakan adalah: kita berada di pihak siapa, dan membela kepentingan siapa.?? Gue yakin rekan-rekan mahasiswa se-Indonesia yang sadar tahu persis jawabannya. Tetap semangat!

        • Terima kasih Jodi telah memberikan penjelasan, banyak sekali masyarakat yang tidak begitu tahu hiruk-pikuk pengambilan keputusan pada sidang paripurna itu.

          Ada yang memang konsisten dari awal menolak kenaikan, ada juga yang kutu loncat plintat-plintut.

          Saya tidak tahu apakah mereka (anggota dewan) punya kajian saintifik akan angka-angka persentase itu, atau justru sekedar dengan keyakinan-keyakinan intuitif.

          Jika memang mereka memilih opsi penambahan ayat 6a dan mereka menyadari tanggung jawabnya, maka harusnya mereka memaparkan persentase rata-rata kenaikan harga itu dalam 6 bulan terakhir, karena itu merupakan hak masyarakat untuk tahu.

  • dikupas perlahan-lahan…. namun sayatannya tipissss sekali. Jelas terasa, pembaca dituntun hingga larut ke dalam suasana terdalam. prediksi yang cerdas opini yang lugas. SUNGGUH TULISAN YANG ELEGAN…. HEBAT…SALUT…………… SEMOGA SUKSES DIK… FUUHHHH……. (tulisannya mencerdaskan, lebih hebat dari wartawan senior di M###### dan T####)

  • “EVOLUTION THROUGH REVOLUTION”

    “IF YOU WANNA PEACE PREPARE FOR WAR”

    KEMBALIKAN KEDAULATAN UUD ’45 DAN PANCASILA SEBAGAI FALSAFAH BANGSA INI!

    PARLEMEN DAN PEMERINTAHAN SAAT INI ADALAH ANJING KAPITALIS!

    HUKUMNYA HALAL MELAWAN DENGAN BAMBU RUNCING!

  • Merinding bacanya, kaya yg ikut nyebur.. seperti tengah menyantap nasi goreng gila super spesial, dengan nasi sebagai ‘tokoh sentral’nya dan macam2 toping sebagai pelengkapnya.. pengennya sih, ni dibikin sub-nya karena sangat ekonomi-sosial-politik banget dan bahkan ketiganya sekaligus. Ketika membaca, gue seperti ‘berteleport mata’, berpindah-pindah alter ego. #asyek

    Seperti kata rektor gue, ‘tidak ada alasan lain yg dapat diterima masyarakat mengenai naiknya bbm selain ‘upaya menyengsarakan rakyat’.
    Gimana ngga, APBN yg gue tau melalui ‘kesotoyan’ riset gue, 70%-nya digunakan untuk belanja rutin pegawai, dan cuma sebesar 30% anggaran dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur serta bantuan lainnya. BLT sebagai kamuflase oase pun ngga ada seperempatnya dari prosentasi itu. Anggaran awal APBN cuma wacana gosong yg kenyataannya meleset dan dipelesetin. Terang aja masyarakat merasa ngga tersentuh secara berarti dari belanja negara itu dan menolak kenaikan Bbm. Jadi, sasaran mana yg dimaksud untuk ‘menyehatkan APBN’?
    #asyek

    Maklumlah, pemerintahan Selow BoY kalo kata Popo.

    Terakhir, salut deh buat ‘ZIKRI SI TUKANG NASI GORENG HANDAL’. 😀

  • langsung dari lapangan nih mantab..
    banyak sisi negatif yang selalu dihadirkan oleh media…
    kala itu, saya yang tidak berada dilokasi, miris melihat kejadian di lapangan,
    banyak dari teman yang menganggap bahwa semua salah mahasiswa, banyak yang tak bisa menilai dari kemungkinan lain apa yang meicu kerusuhan…

    dengan informasi ini, harusnya teman” yang lain jadi tahu bahwa ini lah keadaan sebenarnya,
    yang mana mau media arus utama memuatnya…

    sedih men…

    makasih untuk dua pejuang informasi kita..

    bangga..

  • Saya suka sekali cara dan gaya Anda menulis! Bagus!
    Tapi sayangnya isi tulisan ini sudah bukan hal baru lagi. Buat kita yang di masa kuliahnya aktif di organisasi kemahasiswaan dan pernah berdemo, semua itu bukan hal baru.
    Major Media itu punya satu fungsi, senjata. Menariknya, senjata ini bisa ke dua arah, satu saat dia bisa pro, satu saat dia bisa kontra. Siapa atau apa yang didukung atau ditentangya, tergantung pada siapa yang menggerakkan media itu.
    Dalam demonstrasi selalu ada pihak lain yang menunggangi dengan menyempilkan agenda mereka sendiri. Agenda itu bisa dengan memprovokasi supaya jadi rusuh, atau orasi-orasi yang bersifat “promosi”. Seperti ditulisan Anda tadi, tentang si oma dan kejadian dimana ditengah-tengah orasi tiba-tiba dia men-support prabowo, kemudian datang spanduk-spanduk prabowo dan mega.
    Anda perlu juga cerita bagaimana politik kampus itu sendiri. Tidak jauh beda. Di kampus, dari organisasi terkecil dalam lingkup jurusan, mereka bermain politiknya juga sudah seperti mereka-mereka yang sudah benar-benar jadi politikus. Apalagi mereka yang sudah dijajaran BEM atau kepresidenan mahasiswa.. sama aja.
    Waktu Anda cerita tentang percakapan Anda dengan Affin, dimana Affin menjawab “Ya, kalo yang udah pengalaman kayak elu atau gue, sih gak masalah, Zik!” katanya tertawa. “Ini sebagian besar yang turun mahasiswa baru semua.”
    Langsung saja kata pengalaman ini mencair keberbagai arah. Pengalaman demo, pengalaman negosiasi, pengalaman bagaimana menanggapi penyusup, dll. Mereka yang sudah di posisi tinggi di BEM atau Kepresma itu hampir sama lihai nya dengan politisi. Mereka sudah berpengalaman.
    Mengenai kenaikan BBM, Saya setuju. Bukan berarti saya tidak sedih denger cerita tukang sampah dan ibu-ibu tadi. Tentu saja sedih dan nelangsa. Tapi harga BBM itu harus naik. Dari Minyak mentah itu, hanya 13% yang bisa jadi bensin dan biaya produksinya itu tinggi sekali. Minyak sekarang sedang dalam harga yang tinggi sekali, berarti subsidi pemerintah jadi melambung tinggi. Benar, kenaikan ini pasti bikin efek domino, karena ongkos transportasi akani naik, dan semua komoditi yang ditransportasi pastinya ikutan naik.
    Bagaimana supaya rakyat kecil tetap bisa makan?
    Kita harus bikin program yang menjamin mereka bisa makan. contoh: Dapur umum, untuk kesehatan : puskesmas.
    Rakyat golongan rendah sebagian besar adalah keluarga besar, yang artinya punya banyak anak. Banyak Anak, banyak mulut yang perlu dikasih makan, banyak otak yang perlu disekolahkan, banyak badan yang perlu dijaga kesehatannya. Oleh sebab itu kontrol populasi itu penting. Penyuluhan dan support untuk keluarga berencana itu penting sekali. Dan tidak hanya penyuluhannya saja, tapi juga pembagian alat kontrasepsinya secara gratis.
    Lalu menanggapi tulisan Anda:
    Pertama, alasan kenaikan harga BBM karena untuk mengatasi APBN yang jeblok tidak masuk akal, dan rencana kebijakan itu merupakan satu langkah yang ‘kacamata kuda’. Padahal, masalah korupsi merupakan hal yang lebih tepat untuk dijadikan alasan kejeblokan anggaran negara tersebut.
    Korupsi di Indonesia memang sangat perlu dibantas dan diberi ganjaran seberat mungkin!
    Tetapi bukan berarti BBM jadi tidak naik. Tidak ada korelasi positif harga minyak dengan korupsi.

    • Terimakasih, A.P, atas tanggapannya… masing-masing kita memiliki pendapatnya sendiri…
      sekedar menanggapi komentarnya, saya rasa masalah media sebagai corong pihak berkepentingan memang bukan hal baru, tetapi sebarapa tinggi intensitas dari kita mengangkat wacana ini? Oleh karena itu saya merasa perlu untuk menulisnya.

      Kemudian, tentang politik kampus itu, Anda memang benar… sudah ada banyak mahasiswa yang benar-benar pengalaman dalam ranah politik. Toh bukannya menjadi kewajiban kita sesama mahasiswa untuk mengingatkan bahwa berdayakan pengalaman itu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat, dan melindungi hal-hal yang perlu dilindungi. Melulu berpikir curiga atau bersikap pesimis kepada mahasiswa yang turun ke jalan dan aktif di BEM, saya rasa juga bukan sikap yang bijak.

      Persoalan tentang harga BBM naik atau tidak, hal itu memang dilematis. Di satu sisi, Negara sedang galau dengan harga minyak dunia, di sisi lain masyarkat tidak dapat menerima jika semua harga kebutuhan naik. Akan tetapi, saya justru melihat kebutuhan mana yang paling penting dan urgen, dan harus didahulukan. PR bagi pemerintah untuk mencari cara alternatif memang jadi keharusan. Maksudnya yang lebih bersifat jangka panjang, bukan situasional dengan menghadirkan BLT atau hal-hal gratis lainnya… karena bagaimana pun, satu saat anggaran juga akan menipis. Apalagi mendukung keluarga berencana (KB), yang dari pendapat saya sebagia mahasiswa kriminologi, itu tidak baik. Karena melalui KB, ada banyak dampak kerugian yang dimunculkan dari sana, terutama bagi perempuan. Mungkin langkah untuk memberikan sex education adalah istilah yang lebih tepat.

      Kemudian, antara korupsi dengan kenaikan harga minyak.. justru saya melihat dengan gamblang korelasinya. Jelas, ini masalah politis. Saya masih ingat sebuah ilustrasi dari Andrinof Chaniago, “Kalau BBM naik, otomatis harga kebutuhan juga naik. Nah, logikanya harga-harga kebutuhan Pemerintah untuk APBN juga naik, berarti APBN juga akan meningkat. Itu sama saja dengan gali lobang tutup lobang.” Dari sini saja bisa kita lihat ltak benang merahnya. Tidak menutup kemungkinan, dihilangkannya subsidi BBM memancing bentuk-bentuk penyimpangan lainnya… peluang itu jelas ada. Toh pada dasarnya, setiap aktivitas di pemerintahan dan sistem sebuah negara, yang namanya KKN itu memiliki korelasi dengan segala hal yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat, karena ini masalah moral dan etika yang sulit untuk dikontrol.

      Ya, bagaimana pun, ini pendapat saya. Masing-masing dari kita punya keyakinan sendiri.

      Terimakasih atas komentarnya, Bung A.P.
      Salam.
      Tooftolenk

      • tulisan yg keren bos Zikri.

        saya cm mau menganggapi komen anda di atas. seperti yg anda blg, “Melulu berpikir curiga atau bersikap pesimis bukan sikap yang bijak”. kalau saya menelaah betul2 pernyataan itu, saya akan berpikir bahwa penyimpangan2 karena dihilangkannya subsidi BBM yg anda sebutkan td belum tentu akan terjadi.

        menurut saya, sebagai warga negara dan penanggungjawabnya, pemerintah hanya menjalankan tugasnya utk menstabilkan perekonomian. dilema memang, jika tugasnya itu akan berdampak negatif kepada org2 yg diwakilkannya.

        • ya, memang benar, tidak baik kalau melulu curiga, ada kalanya kita harus percaya kepada Pemerintah.. Kalau misalnya penyimpangan itu tidak terjadi, ya bagus, bukan kah itu yg kita harapkan dilakukan oleh pemerintah. Ya, semoga harapan-harapan kita bersama menjadi kenyataan.

          Terimakasih atas tanggapannya, Mas Lobotomy
          salam,
          Tooftolenk

          • Terimakasih atas tanggapan baliknya. Saya setuju, semua memang punya pendapat masing-masing, tergantung dari sisi mana kita melihat permasalahan.
            Saya akan mengutip bagian dari tanggapan Anda,
            “Apalagi mendukung keluarga berencana (KB), yang dari pendapat saya sebagia mahasiswa kriminologi, itu tidak baik. Karena melalui KB, ada banyak dampak kerugian yang dimunculkan dari sana, terutama bagi perempuan. Mungkin langkah untuk memberikan sex education adalah istilah yang lebih tepat.”
            Ini menarik sekali untuk saya sebagai seorang perempuan. Kerugian apa yang akan dimunculkan terutama untuk perempuan dari sudut pandang Anda sebagai mahasiswa Kriminologi?
            Saya tertarik bertukar pikiran dengan Anda. Mungkin tukar pendapat kita bisa dilanjutkan via email.
            Terimakasih.
            Salam
            A.P

            • Ya, dalam disiplin ilmu pengetahuan kriminologi yang saya pelajari di kampus, KB memang menjadi persoalan yang menarik para kriminolog, terutama kriminolog feminis. Jika kita sedikit melihat ke belakang, adanya KB itu salah satu bentuk represi pemerintah ORBA kepada rakyatnya, selain juga bentuk legitimasi dominasi laki-laki terhadap perempuan. Selain itu, ada banyak dari segi medis, alat kontrasepsi pada KB itu memberikan efek yang buruk bagi kesehatan reproduksi perempuan. Dari segi realitas sosial pun, penggunaan alat kontrasepesi itu kenyataannya justru memeruncing perlakukan tidak adil dari laki-laki terhadap perempuan. Bahasannya panjang.. telah banyak lembaga riset independen yang mengkaji hal ini, Jurnal Perempuan dan Kalyanashira di antaranya. Kalau tertarik untuk diskusi lebih lanjut via email, saya akan senang sekali. Silakan hubungi ke email saya manshurzikri@yahoo.com

  • Lobi mahasiswa pada partai kecil kemungkinan berhasil. Otak mereka sudah politis sejak awal. Karena itu, aku cenderung membenarkan langkah kawan-kawan di depan gedung, meruska pagar. Bahkan aku sempat berharap mereka bisa masuk menduduki gedung.

  • Dalam buku Nurudin yang berjudul Jurnalisme Masa Kini dikatakan, tugas wartawan adalah menjadi mata dan telinga bagi pembaca/penonton/pendengar. Pada peristiwa kemarin, di saat saya menyadari bahwa berita dari media mainstream adalah corong bagi pemangku kepentingan, justru saya melihat sebuah pelapoaran dari sang penulis yang telah menjadi mata dan telinga untuk saya. Saya juga sepakat dengan pendapat Mas AP, namun kenapa tidak Mas AP melakukan riset empiris tentang ketidakadaan kolerasi antara BBM Naik dan Korupsi untuk saling berbagi cerita kepada masyarakat? Itu pasti bermanfaat.

  • mantep tulisanx…..:) terbahas tuntas….gk perlu liat media massa yang lainnya….saluuttt……..

  • moga2 yg baca artikel ini jadi sadar dan jadi lebih kritis dalam menerima info dari media, baik itu media massa maupun media sosial, karena seringkali fakta di lapangan jauh berbeda dengan info yang sudah berisi subjektifitas dari pihak yang memberitakannya, terbukti disini, mulai dari pemberitaan tv swasta maupun pemberitaan dari sebuah ‘akun jejaring sosial sebuah lembaga mahasiswa’ ternyata berbeda dari pengakuan orang yang berada di lapangan,

    saran gua, mahasiswa, terutama dari FISIP, lebih terutama lagi, kriminologi, dan tentu saja yang sering melakukan aksi turun ke jalan, jika katanya tidak ingin citra mereka sendiri sebagai mahasiswa rusak karena pemberitaan media, ada baiknya juga mulai membiasakan pemantauan atas media mulai sekarang, kalo ga mau aksi ‘membela rakyat’ mereka berikutnya malah mendapat tanggapan negatif, karena pemberitaan dari media, #GETDRILLED

  • Malari (1971) dan NKK 1978/79 memang berbeda waktunya. Namun sasarannya hampir sama : mendorong jati diri dan kesejahteraan bangsa ke depan agar bisa diposisikan sesuai dengan hati nurani sesungguhnya dari para aparat negara.

    Kenaikan harga BBM memang bisa saja dijadikan instrumen politik untuk menguras dana rakayat dan meningkatkan kesejahteraan rakayat, tetapi lupa bahwa kebijakan fiskal Indonesia telah menempatkan sumber dana APBN 70% dari pajak. Berarti sisanya 30% dari minyak dan sumber-sumber yang lain. Kenapa justru dijadikan sumber upama ? Karena dianggap pemerintah lebih gampang dan lebih likuid. Habis rakyat sudah terlalu terbiasa dikibuli sehingga lupa berontak.

    Bayangkan hasil minyak bumi 70% (236,615 juta barer) adalah milik rakyat lalu diposisikan sebagai subsidi oleh pemerintah. Aneeeehhh banran. Kenapa bukan dana korupsi yang segera dicairkan ? Karena melilit banyap petinggi negara ??? Aneh, aneh benar-benar kebijakan SBY ini. Dia doktor ekonomi kerakyatan tetapi sama sekali tidak merakyat. Jangan-jangan disertasinya adalaha disertasi buatan hantu.

    Seharusnya kekurangan sebesar 59,877 juta barer yang dicarikan solusinya (konsumsi kurang hak 70% di atas). Bukankah jumlah yang harusnya disubsi pemerintah/Pertamina dengan mencari solusinya ?

    Saya mendukung demo demi kepentingan rakyat banyak di seluruh kulit bumi Indonesia. Maju terus dan turunkan SBY-Moediono.

    terima kasih mahasiswa, jagalah identitas anda sebagai pejuang kesejahteraan rakyat,
    Salam kami :

    frans b

  • saya pgn jawab pertanyaannya Mbak Pramilla Deva Ellesandra yg Bang Zikri taro di tulisannya. “demo dengan cara yg mulia” itu yg bagaimana. bagaimana kalo saya jawab begini, demo yg menghormati hak org lain? kalau anda berdalih, “rusuh2 jg buat rakyat”, maaf mbak, rakyat mana yg anda bicarakan? rakyat yg ikut demo? coba anda tanya semua rakyat yg ikut demo, pasti ada yg tidak setuju.

    saya prihatin, menurut saya, pola pikir masyarakat kebanyakan sudah sangat salah dgn mewajarkan kekerasan. saya mengerti, kita ini bukan malaikat, tp tetap saja mbak, kita tidak boleh memaklumkan anarkisme yg dilakukan oleh para pendemo yg tidak bertanggungjawab.

    • saya setuju dengan komentar arsetyo. Bagaimana pun, kekerasan harus dihilangkan, tidak boleh ada kekerasan, terutama untuk aksi turun ke jalan. Menurut saya, hal teknis yang harus menjadi perhatian rekan-rekan yang turun aksi ke jalan adalah bagaimana melakukan demonstrasi dengan ramah, tertata, terkonsep, teroganisir, dan menghindari kericuhan.,, fokus pada tujuan yaitu menyampaikan aspirasi. Ketika aspirasi kita tidak didengar, bukan berarti harus dilampiaskan dengan merusak properti atau menyerang orang lain. Masih ada banyak cara, aksi kekerasan, brutalisme, vandal dan sebagainya bukan cara yang tepat, dan bukan satu-satunya cara.

      Terimakasih atas komentarnya..
      Salam,
      Tooftolenk

  • Maaf nimbrung… Pertama, cukup menarik ketika anda menggunakan judul “Catatan Seorang Bukan Demonstran” walaupun akhirnya anda pun ikut turun ke jalan. Kedua, dari yang perhatikan bahwa “ribut-ribut” soal para demonstran ini menjadi lebih heboh & ramai daripada soal kenaikan BBM itu sendiri, termasuk dalam tulisan anda ini 🙂 Ketiga, menanggapi soal tindakan para demonstran, sepertinya kita harus banyak mengulik lagi soal penggunaan istilah “anarkis”, sebab belum tentu istilah yang lazim diucapkan itu benar pemaknaannya ( http://sekitarkita.com/2009/03/anarkisme-anarchism-eng/ ).

  • saya tidak setuju jika harga BBM naik, karena tidak ada alasan dan keadaan yg menyebabkan harga BBM harus naik, karena ketika harga minyak mentah dunia naik, maka penerimaan pemerintah dari migas jga naik. Bahkan penerimaan dari batubara jga ikut naik, sebab biasanya jika harga minyak naik maka harga batubara jga ikut naik.
    Penerimaan migas sebenarnya cukup besar. Dalam APBN 2012 tercantum pendapatan minyak bumi Rp 113,68 triliun, gas alam Rp 45,79 triliun, minyak mentah (DMO – Domestic Market Obligation) Rp 10,72 triliun dan PPh migas sebesar Rp 60,9 triliun. Totalnya Rp 231,09 triliun. Jika harga minyak naik, maka jumlah pemasukan migas dipastikan juga naik. Dalam RAPBN-P 2012 pemasukan itu mencapai Rp 270 triliun. Artinya ada kenaikan pemasukan sekitar Rp 40 triliun. Dengan dana sebesar ini sesungguhnya cukup untuk menambal kebutuhan subsidi Rp 46 Triliun, yang dalam APBN-P, kalau harga BBM tidak dinaikkan, subsidi BBM akan naik dari Rp 123 triliun menjadi Rp 170 triliun. Hanya kurang sekitar 6 triliun. Kekurangan sebesar itu bisa dengan mudah ditutup, misalnya dari anggaran kunjungan di APBN 2012 yang nilainya sekitar Rp 21 triliun. Jadi, pernyataan Pemerintah bila BBM tidak dinaikkan APBN akan jebol adalah kebohongan besar.
    sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2012/03/23/hti-tolak-kenaikan-harga-bbm-kebijakan-khianat-dan-dzalim/

    ingin mengomentari komentar di atas jga mengenai KB, dalam islam Allah tidak melarang pasangan suami istri untuk memiliki banyak anak, karna setiap orang memiliki rezekinya masing2. jadi tidak ada orang yg kekurangan rizki.

    Dan yg saya pahami masalah2 yg ada dinegara ini merupakan akibat dari sistem yg bobrok, sistem demokrasi, yg buatannya manusia, dan berpedoman ” dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”. dari pedoman seperti itu, jelas sistem demokrasi ini sekuler, karna tidak mengaitkan manusia dengan tuhannya yaitu Allah SWT, oleh karena itu saya berpesan bagi anda yg muslim, sebelum memperdalam ilmu2 yg ga pasti atau buatan manusia seperti memperdlam sistem demokrasi ini yg merupakan buatan manusia, seharusnya anda memperdalam ilmu agama Islam dimana segala permasalahan yg ada ini ada solusinya di dalam islam, karena islam adalah solusinya. dan hukum islam adalah buatan dari Allah SWT yg tidak mungkin salah, bukan buatan manusia yg sangat besar peluangnnya untuk salah. seorang profesor atau orang yg sangat pintar aja bisa salah, jdi kenapa kita harus mempelajari pemikiran orang yg belum pasti kebenarannya, sementara yg benar (semua hal ttg islam) tidak dipelajari..

  • ga ngerti lagi sama penulisnya, seperti apa isi dalam pikirannya. awalnya aku kurang peduli dengan maslah kenaikan bbm ini, tapi setelah aku baca artikel aku dalam benak aku langsung bekata “Oh iya yah bener juga” trus aku juga baru sadar ternyata dari satu konflik terdapat banyak konflik lagi yang ada di dalamnya. hahahaha, pokoknyya gitu deeeh intinya. KEREN buat ka Zikri dan rekannya ka Tyas :)) #kapanguebisakritiskayabangzikri??

  • Sebaiknya kaum muda mulai menggali dan menggali tentang detail dan mekanisme paasaran harga minyak dunia, mekanisme usaha Migas, UU Migas, apa artinya “subsidi”, apa artinya BBM, apa bedanya BBM dengan Minyak Mentah yang diributkan harganya melambung2, apa itu ICP, apa itu Perusahaan minyak asing?Nasional, apakah Industri MNigas tertutup unutk nasional, apakah betul SDA termasuk minyak dikuasai asing, apakah ada Reservoir Minyak atau Gas dikuasai Asing, apakah Industri Migas menghasilkan Untung atau tidak (kaitannya dengan pendapatan sektor Migas di APBN), apakah artingnya net oil importer, perhitungan bagi hasil Perusahaan Minyak asing, berapa modal yang diperluka untuk membuka Perusahaan minyak taraf Eksplorasi di Darat dan Di laut, berapa modal yang diperlukan kalau misalnya sebuah perusahaan nasional mau mengakuisi Perusahaan Minyak Asing yang habis kontrak dan berapa biaya operasinya pertahun, bagaimana membuata RAPBN, struktrur pajak Migas, Domestic Obligation, Cost Recovery, apa yang bisa dihasilkan dari 1 barel Minyak mentah (rata2), mengapa harga crude selalu refer ke WTi, apa itu ICP, berapa harga minyak mentah tiap2 lapangan di Indonesia, dan masih banyak lagi. sesudah ini dimengerti dan dicerna barulah memeulai berkomentar atau membahas Issue BBM dan Subsidi. Insya Allh tulisannya akan lebih bermutu dan tepat sasaran. Tidak Gombal. semua info ada di mang Google kok. Wasslam , hidup kaum CENDEKIAWAN MUDA.

    • Terimakasih, Bang Countryman atas saran-saran dan rentetan ajuan permasalahannya. Saya rasa itu bisa menjadi pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk melakukan kajian lebih jauh tentang isu BBM. Doakan saja, semoga saya dan teman-teman di akumassa bisa melakukannya dan menghasilkan tulisan yang lebih baik lagi.

      Terimakasih atas tanggapannya,
      Salam,
      Tooftolenk.

  • salut. catatan yang menarik untuk pencerahan. tulisan ini sekaligus menjadi potret yang bunyi” bahwa memang negeri ini bgt rapuh baik secara politik, ekonomi dan budaya. luar biasa…

  • Bung, memang iya mungkin ini web open source dimana orang orang berhak untuk menulis dan mengemukakan pendapatnya, cuman kalau menilik secara estetis alias etis atau nggak etis, menurut saya kok kurang bijaksana ya bung memasang foto seorang ibu yang bung katakan mengucapkan kalimat frontal seperti itu dalam sebuah web open source seperti ini. Bukannya apa apa bung, cuman kasihan saja seandainya “ada apa apa” dengan ibu itu karena penupload-an fotonya melalui web ini.
    Ah ya, tapi itu hak bung kan? Saya cuman memberi pendapat saya saja. Semoga bung lebih bijaksana.

    • Terimakasih, atas kritiknya Bung Ellias..

      akan tetapi saya mencoba menanggapi komentarnya… ada beberapa alasan yang harus saya jelaskan. Pertama, saya berusaha berbicara secara cover both side, di mana saya ingin menceritakan isu ini secara netral dari perspektif massa yang ada di sana. Bahwa saya tidak mengada-ada, dan orang yang berbicara itu memang riil ada sehingga saya mencantumkan fotonya. Di sini, apa yang saya tekankan adalah objektivitas dalam bercerita atau melaporkan satu peristiwa. Kedua, saya rasa itu bukan persoalan kalimat forntal. Justru saya melihatnya sebagai suara dari warga masyarakat kita yang menjadi korban ketidakadilan Pemerintah. Umpatan kekesalan yang keluar dari ibu itu, ada baiknya tidak kita artikan secara harafiah… dan saya percaya tidak mungkin ibu itu nantinya yang akan membakar gedung DPR RI. Ini adalah suara dari masyarakat bawah, suara warga, yang memang ada. Ketiga, soal pencantuman foto itu, saya merasa tidak melanggar etika jurnalistik yang ada. Karena situasi di lapangan ada situasi rusuh, dan sudah masuk dalam ranah publik. Lagipula, saya mengidentifikasi bahwa ibu itu tahu bahwa saya adalah mahasiswa, saya juga pers dari kalangan mahasiswa (karena saya mengalungkan kartu identitas pers saat berbincang dengannya). Dan yang paling penting, saya rasa ibu itu sadar ketika saya foto, saya mengambil gambarnya tepat di depan dia.
      Kalau misalnya terjadi apa-apa dengan ibu itu, saya secara berani akan membelanya, karena ini menyangkut persoalan warga.
      Namun demikian, saya sebagai penulis, tetap mohon maaf bila ada kekhilafan dan hal-hal yang tak berkenan di hati Bung sebagai pembaca.
      Terimakasih atas komentarnya,
      Salam,
      Tooftolenk

  • Terima kasih atas jawabannya Mas Manhur Zikri. Okelah karena memang maksud mas Manshur sudah berada di ranah obyektifitas maka memang agak sulit ntuk menjadikan ini sebagai topik diskusi.
    Bolehkah saya bertanya mas Manshur? Anda tadi mengatakan bahwa anda percaya bahwa MUNGKIN sang Ibu itu kelak akan membakar gedung DPR RI. Pertanyaan saya : Anda setuju dengan KEMUNGKINAN tindakan yang akan dilakukan oleh ibu itu? Dengan praduga kemungkinan motivasi apapun yang seperti anda perkirakan di tanggapan atas komen saya?
    Kalau mungkin mas Manshur tidak berkenan menjawab juga tidak apa apa mas. Sekali lagi terima kasih atas tangapannya.

    • saya rasa Bung keliru menangkap kalimat saya… Pada komentar sebelumnya., saya menulis: “dan saya percaya tidak mungkin ibu itu nantinya yang akan membakar gedung DPR RI. Ini adalah suara dari masyarakat bawah, suara warga, yang memang ada. ”
      Artinya, saya yakin ibu itu tidak akan melakukan tindakan brutal.. itu hanya emosi warga masyarkaat saja. Dari kalimat itu, saya rasa Bung sudah tahu jawabannya, bahwa saya tidak setuju tindakan kekerasan dan pengrusakan. Saya percaya lagi, bahwa ibu itu tidak akan melakukannya. Ini masalah keyakinan. #amin #asyek

  • Kebebasan yang dulu dikekang untuk melindungi kekuasaan. pers bebas kita miliki ternyata ia tidak hanya mengontrol kekuasaan, tapi juga otak kita yang dikontrolnya. Bravo dan penghargaan setinggi – tingginya kepeada mahasiswa semacam Risqi yang dengan cerdas melawan kesewenang2an mass media utama.

  • Salam,
    Mungkin perlu dijelaskan komentar saya lebih panjang lagi ya. Saya sendiri tidak mengamini pengertian kekerasan secara general, seperti misalnya saya setuju dengan adanya geng motor yang begitu saja memukuli orang tak dikenal yang sendirian malam-malam atau pemerkosaan perempuan di dalam angkot. Tidak seperti itu. Tapi kebanyakan dari kita memang lebih gampang mengenali kekerasan fisik yang kasat mata (misal melibatkan kontak tubuh atau merusak sesuatu) ketimbang represi dan kekerasan mental yang sifatnya tidak kasat mata, nggak keliatan, tapi dampaknya sangat terasa dalam kehidupan kita.
    Bagi saya kemiskinan itu kekerasan yang paling nyata, mas.
    Fakta bahwa buruh sepatu harus mengorbankan kesehatannya karena bergelut dengan zat kimia berbahaya setiap hari demi upah yg sangat murah (sudah bukan rahasia kalau tenaga kerja Indonesia adalah salah satu tenaga kerja termurah) semata untuk menyambung hidup. Hidup mereka habis tidak lagi untuk hidup itu sendiri, tapi sekedar bertahan hidup. Dan siapa yg jalan-jalan ke Eropa setengah tahun sekali? Direkturnya.
    Para pekerja kantoran mesti menjual tenaga dan pikirannya kepada bos mereka yg berpenghasilan 100x gaji bulanan mereka, dari jam 7 pagi sampai 5 sore, kadang lembur, pulang dalam keadaan kelelahan, mudah stress, waktu untuk kebahagiaan personal dan keluarga jauh berkurang demi persoalan yg sama, bertahan hidup. Saya tidak sedang mengarang cerita. Itu yang terjadi pada ayah dan ibu saya, middle class worker, yg saya lihat sepanjang 25 tahun hidup saya.
    Seseorang yang hidup dalam suatu negara dan sampai bisa-bisanya tidak mendapatkan makan serta tempat tinggal yg layak, itu sudah merupakan kekerasan yg paling nyata buat saya. Tidak bisa diganggu gugat, apapun alasannya.
    Dan siapa yg menciptakan sistem seperti ini? Siapa pula yg mensahkan ‘kekerasan’ macam ini dalam berbagai bentuk lembaga bikinannya? Siapapun yang melakukannya, bagi saya itulah pelaku kekerasan yg sesungguhnya. Maling duit gedenya, bukan maling ayam. Karena maling ayam harus maling akibat nasinya dimaling.
    Tapi itu semua dimentahkan dan didiamkan saja, bahkan dilegalkan oleh berbagai produk bikinan manusia sendiri (hukum, pemerintah, sistem ekonomi, termasuk konstruksi sosial dan pola pikir masyarakat pada umumnya, atau common sense, dll). Coba sebutkan satu saja perusahaan atau korporat besar yang tidak punya izin berusaha (dengan dasar pasar bebas/free market) dari pemerintah atau hukum yang berlaku. Tidak ada. Semuanya sah. Mestinya kita sudah sadar bahwa di Indonesia, perbudakan dan penindasan telah dilegalkan. Dan apakah kita yang membiarkan semua itu termasuk pelaku kekerasan? Tentu saja. Tapi kita pun nggak punya pilihan karena kita harus mengurusi hidup kita yg nggak serba melimpah ini sebelum mengurusi hidup orang lain. Perut sendiri dulu yg mesti diisi. Kita sudah berada di lingkaran setan itu. Kita sudah menjadi bagian dari sistem itu.

    Kekerasan mental seperti yang sudah saya contohkan tadi itu menurut saya yang secara otomatis sudah mengantarkan kita pada kefrustasian. Tertekan. Depresi. Dan jangan salah lho mas, sebagian besar dari orang depresi tidak sadar kalo dirinya sedang depresi (silahkan tanya temen Psikologi anda yg paling pinter). Yang bisa kita sadari pada akhirnya hanyalah manifestasi depresi itu sendiri.
    Jadi saya cuma bisa bilang kalau saya bisa paham dengan konteks kekerasan yang spontan dalam demonstrasi seperti itu, bukan berarti saya menyetujuinya. Bagaimanapun, saya sendiri termasuk dalam kategori orang yang nggak bisa melakukan kekerasan fisik ke orang lain. Tapi saya merasa bisa paham apa yang melandasi manusia untuk melakukan kekerasan fisik. Dan kalo anda mempermasalahkan soal kekerasan, kenapa anda tidak mengamati lebih jauh apa yang membuat manusia bertendensi untuk melakukan kekerasan dan menarik kesimpulan dari situ? Karena menurut saya itu yg lebih penting dan jadi akar masalah sesungguhnya. Kekerasan itu dampak, akarnya ada di dalam sana. Kekerasan bukan hanya terjadi karena aspirasi yang nggak didengar Mas Manshur, tolong jangan berpikir sedangkal itu. Kekerasan berakar dari represi dan ketidakadilan yang terakumulasi. Dan orang-orang yang terabaikan, lapar, hidup susah dan kemudian marah akan mencoba mengambil kontrol dari otoritas yang sudah melanggengkan ketidakadilan terhadap hidup mereka selama ini. Sekumpulan orang dengan tipe kemarahan seperti ini justru jadi mudah sekali ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Itu yang saya maksud dengan histeria massa dalam komen saya. Itu yang terjadi pada Revolusi Perancis atau nggak usah jauh-jauh, tertulis dalam sejarah negeri kita sendiri, pembantaian simpatisan PKI di jawa timur (coba silahkan baca buku Palu Arit di Ladang Tebu yg merupakan riset dari Hermawan Sulistyo).
    Saya tetap pada kerangka pikiran bahwa kebijakan dan berbagai manuver yg dilakukan pemerintah, parpol dan sederet perusahaan korporat multinational di Indonesia jauh membuat saya lebih-lebih-lebih risih dan terganggu.
    Mungkin cukup segini aja komen saya. Maaf kalo jadi kepanjangan dan kemana-mana.
    Btw, terima kasih buat tanggapannya 🙂

    • Wah, terimakasih sekali Mbak Milla karena sudah menjelaskan secara detail… dan terimakasih juga atas komentarnya itu karena sudah menginspirasi dan memancing saya untuk berpikir ulang tentang aksi-aksi yang dilakukan oleh kolektif (massa)…sehingga tidak berhenti pada titik kacamata kuda dalam memandang persoalan.
      ya, saya sepakat dengan pemikirannya… memang kekerasan tidak bisa serta merta muncul jika aspirasi tidak di dengar… tentunya ada alasan-alasan lain yang bersifat lebih mendasar dan asasi yang mendorong individu atau kelompok melakukan aksi protes. Merupakan kewajiban kita semua untuk menelaah dan memahami akar permasalahan tersebut. Saya menulis artikel di atas, harapannya, (setidaknya untuk saat ini), dapat memberikan gambaran umum tentang realita demonstrasi itu sendiri (yang umumnya sering disalahmaknai oleh masyarakat, terutama karena ulah media arus utama). Paling tidak, sama halnya dengan komentar yang saya kutip itu, dengan gambaran ini, masyarakat pembaca mau untuk berpikir ulang (seperti yang saya dan teman-teman di akumassa lakukan): apakah sebenarnya sebuah aksi itu? apakah sebenarnya aksi massa itu? dan apa seharusnya yang kita lakukan dalam demonstrasi jika kita ingin berdemonstrasi? Dan bagaimana supaya kita bisa kembali membangkiktan kesadaran masyarakat agar tidak terlena oleh konstruksi media yang seringkali menipu dan membutakan..?!
      Kami dari akumassa juga percaya, dibutuhkan usaha yang lebih untuk mencoba membaca persoalan ini, terutama dalam konteksnya dengan kedinaimisan kehidupan warga, kemudian menganalisa dan mengolahnya menjadi sajian informasi yang objektif murni untuk misi dan visi pendidikan kepada masyarakat.
      Kita semua berharap, semoga langkah untuk memberi penerangan kepada masyarakat tidak berhenti di sini. saya sendiri percaya, ada banyak teman-teman yang lain di seluruh pelosok di Indonesia yang melakukan hal yang sama..
      Sekali lagi terimakasih atas tanggapannya,,
      salam,
      Tooftolenk

  • Oh oke, jadi memang saya yang salah menangkap kata “tidak mungkin” dengan kata “mungkin”. Itu memang mengakibatkan penekanan level keyakinan yang berbeda mas, walaupun tetap saja masih ada celah kemungkinan disitu.
    Saya tanya lagi mas, kalau menurut bung Manshur sendiri BENAR atau SALAH kah pernyataan sang ibu itu dalam kacamata pandangan mas Manshur sendiri sebagai pribadi?

    • Menurut pendapat saya pribadi, saya melihat bahwa sebetulnya kita tidak harus selalu mempersoalkan mana yang benar, dan mana yang salah. Karena pada kenyataannya, benar dan salah itu tidak mutlak…terkadang menjadi bias dan sifatnya sangat relatif. Saya lebih tertarik bahwa dalam melihat persoalan isu BBM ini, kita lebih konsern untuk bertanya pada diri sendiri, kita berada di pihak siapa dan mendukung kepentingan siapa? Dengan pertanyaan itu, akan terbuka peluang untuk memahami persoalan ini secara lebih luas dan dengan berbagai sudut pandang. #asyek

      • Oh oke mas Manshur, ok deh kita konsern ke permasalahan isu BBM saja ya.. daripada mengarah ke penganalisaan chaotic action dalam sebuah demonstrasi yang saya pikir merupakan pokok bahasan tulisan anda.
        Pertanyaan terakhir mas Manshur, kenaikan harga BBM apapun dan bagaimanapun alasannya benar atau salah kah dalam kacamata pandangan mas Manshur sebagai pribadi?

        • Jika KKN bisa hilang di bumi pertiwi, dan sistem alokasi dana dapat berjalan dengan baik dan optimal, tidak ada salahnya BBM berada pada harga yang semestinya (dinaikkan). Akan tetapi bagaimana dengan kenyataan yang kita hadapi sekarang? Kalau dalam pandangan saya, alasan APBN yang jeblok itu tidak tepat. Bukankah negara memiliki kewajiban untuk mensejahterakan rakyatnya tanpa terkecuali. Jika satu kebijakan yang diambil masih merugikan rakyat, menurut saya, di situ negara atau pemerintah bisa dibilang gagal dalam menjalankan tugasnya. Merupakan kewajiban pemerintah untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mencari cara alternatif untuk mengatasi masalah kejeblokan APBN itu, tanpa mengurangi kesejahteraan rakyat… Tuntutan-tuntutan seperti ini lah yang kemudian menjadikan negara atau pemerintah untuk lebih hati-hati dan bijak dalam mengambil keputusannya. Kembali ke isu BBM ini, pertanyaannya adalah: apakah jika pemerintah tetap menaikkan harga BBM, rakyat dirugikan? Saya pribadi belum melakukan penelitian yang lebih jauh dan lebih dalam (yang represetnatif) terkait hal ini. Akan tetapi, berdasarkan hasil kajian dari Divisi Kastrat BEM FISIP UI, hasil yang diperlihatkan adalah kenaikan harga BBM pada konteks waktu sekarang akan memberikan dampak sosiologis yang merugikan kepada masyarakat (seperti yang saya kutip dalam tulisan). Nah, saya lebih memilih untuk berada pada posisi yang tidak merugikan masyarakat…
          Mungkin, berusaha untuk mencoba lepas dari ketergantungan pada BBM, menurut saya, adalah solusi yang bisa kita lakukan sebagai warga masyarakat ketika negara abai pada kewajibannya… tinggal bagaimana pemahaman seperti ini disebarkan ke masyarakat luas (yang sebagian besar susah lepas dari ketergantungannya pada BBM itu). Itu tugas kita-kita yang memiliki kesadaran tersebut untuk melakukannya, melalui cara pendidikan dan produksi informasi tanpa ada unsur kepentingan tertentu. Ya, kembali lagi ke pertanyaan Bung, jawaban ini murni hanya pendapat saya.

  • oii bang zikri, masih ingat juga kau yak.
    awak komen masalah kenaikan bbm aja ya

    kalo menurut aku, kalo ditinjau dari efek jangka pendek sih, kenaikan bbm akan sangat merugikan masyarakat pada umumnya. akan ada dampak langsung yang sangat cepat terjadi jika bbm naik diberbagai sektor, terutama ekonomi masyarakat.

    Perlu ditinjau juga masalah jangka panjangnya. kenaikan harga minyak dunia tentu saja akan memberikan efek kepada kenaikan anggaran subsidi pemerintah. Dilihat dari kecenderungan bahwa harga minyak dunia naik terus, efek ini akan mengakibatkan anggaran untuk subsidi meningkat terus. bisa dibayangkan jika anggaran untuk subsidi bbm terus meningkat, dan anggaran untuk sektor lain yg sangat penting seperti pendidikan dan kesehatan akan dikesampingkan. tentu saja hal ini tidak baik, mungkin bro manshur setuju juga dengan hal ini. Terlepas dari masalah teknis ketransparanan biaya (KKN), ini akan memberikan masalah besar masyarakat juga di kemudian harinya. hal ini dianalogikan bagai menunggu bom waktu yang siap meledak.

    Pernah saya baca, ada 2 sistem subsidi. pertama dengan pemberian bantuan dana langsung untuk migas, sehingga harga dari premium bisa turun. Kedua dengan mengalihkan dana tersebut ke sektor lain, yg ditujukan untuk kepentingan masyarakat juga. yang kedua ini memang memberikan efek yang tidak langsung. Namun yang pertama ini, ditulis tidak akan memberikan efek yang tidak baik sepenuhnya. Hal ini akan menimbulkan efek konsumtif, boros dan manja akan permintaan bbm bersubsidi. terlihat faktanya juga, bahwa subsidi yg pertama yang juga diterapkan skrg ini banyak yang salah sasaran.

    Kalo menurut awak, kajian pemerintah terhadap kenaikan bbm ini sudah dilakukan sejak lama, dan pengambilan keputusan untuk kenaikan bbm ini sudah ada sebelumnya, namun diundur dengan berbagai macam pertimbangan. Sebenarnya kenaikan untuk menaikkan harga bbm ini adalah kebijakan yang tidak disukai oleh pemerintah itu sendiri. namun apa daya, mungkin kenaikan untuk harga bbm skrg ini adalah saat yang tepat setelah mempertimbangkan berbagai macam faktor. Terakhir yang aku tau, kenaikan bbm ini diundur, dengan mempertimbangkan jika kenaikan harga minyak dunia telah melibihi standar yg ditetapkan pemerintah (awak lupa kemaren standarnya, berapa % dari harga pasar minyak skrg gitu).

    terus, kalo yang aku tangkap dari salah satu dosen awak, yg sekarang menjabar wamen esdm. Kita juga perlu memperhatikan berbagai macam sumber energi lainya yang ada skrg. mungkin tidak kita sadari bahwa kita memiliki sumber energi alternatif lainnya yang cukup besar, namun agak dikesampingkan karena anggarannya lebih terpusat untuk subsidi bbm. Ini juga salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan kita kepada minyak (energi hidraokarbon/fosil). Ini akan mengurangi dampak kepada kita jika harga minyak dan pasar minyak dunia semakin tidak terkontrol nantinya. memang agak susah dan ribet kalo dilihat skrg, namun perubahan itu memang tidak mudah.

    Kita juga perlu memikirkan kesejahteraan kedepannya, masalah jangka panjang, kalo tidak dipertimbangkan akan memnberikan efek dan masalah yang sangat besar nantinya. Bagaimana tanggapannya bang Manshur ini, kawan awak….

  • Akhirnya baru kesampaian juga gw baca artikel ini zik.. Sayang sekali gw lagi gak di depok waktu itu dan gw cuma lihat dari media sambil makan mie rebus seperti lw bilang..hahahha..
    Sejauh gw lihat isu BBM ini memang digunakan untuk kepentingan masing-masing partai politik dalam melakukan pencitraan. Selain itu kalo menurut gw ada isu yang lebih besar di selipkan di dalamnya yaitu isu untuk menurunkan SBY. Ini yang gw simpulkan dari tayangan-tayangan TV zik.. Entah siapa yang bertanggung jawab atas isu itu.
    Tulisan yang lw bikin keren banget zik.. dengan status mahasiswa kita dan masih tertanamnya idealisme di otak dan hati kita itulah yang menjadikan segalanya lebih objektif memandang sesuatu. Tidak beradasarkan kepentingan sekelompok orang saja. Tidak seperti media-media Indonesia yang akhir-akhir ini tidak bisa memberikan tayangan yang berimbang bagi masyarakat. Media-media berlomba-lomba untuk memberikan pemberitaan yang menarik bagi pasar dan melebih-lebihkan. Bahkan nama UI juga menjadi daya tarik tersendiri mungkin bagi mereka. Semakin seru beritanya, semakin panas, semakin rusuh, maka itu semakin menarik bagi mereka.
    Melihat isu BBM sebenarnya dia tidak berdiri tunggal. Jelas peran politik tidak bisa ditinggalkan, kekuasaan, dan keuntungan bagi sekelompok golongan. Tapi secara personal gw lebih melihat peran media yang seharusnya dapat memberikan pemberitaan yang objektif. Gw sampai harus mengirimkan pesan pada seorang teman untuk menanyakan apa yang terjadi sebenarnya dengan massa BEM UIl. Ini karena gw udah gak percaya lagi sama berita yang ada. Miris memang tapi ya sudahlah..
    Berbagi pengalaman gw selama gw di Jember sendiri memang juga terjadi aksi-aksi oleh mahasiswa untuk menolak BBM. Namun sayangnya ketika gw dekatin kumpulan mahasiswa itu ternyata mereka membawa bendera-bendera organisasi yang kita tahu bersama bahwa organisasi-organisasi tersebut merupakan anak organisasi dari partai politik. Kalau kata seorang temen gw ‘Gak ada tuh yang bawa bendera Rakyat atau Mahasiswa’
    ya itu kenyataan yang terjadi di kampung gw.
    Tugas kita sebagai mahasiswa memang menjadi kritis bagi pemerintah agar bisa lebih baik dan lebih baik lagi. Gw tidak menyalahkan aksi dan demonstrasi, tapi gw gak setuju dengan aksi yang anarkis dan terkesan bego. Gw gak suka. Pada orde sebelumnya kita membenci militerisme karena identik dengan kekerasan dan pikiran ini berlangsung hingga saat ini. Namun ketika mahasiswa mulai anarkis, merusak, dan merugikan maka tak ada bedanya dengan militerisme bukan.. tetep semangat, tetep kritis, dan tetap pakai otak 🙂

  • ckckckck,
    ternyata hanya segini kualitas intelektual mahasiswa UI, gak bisa dibayangkan gimana jadinya negara ini 20 tahun ke depan. Setelah cadangan kita sudah habis dan mahasiswa2 itu jadi pejabat.

  • ternyata hanya segini kualitas intelektual mahasiswa UI, gak bisa dibayangkan gimana jadinya negara ini 20 tahun ke depan. Setelah cadangan minyak kita sudah habis dan mahasiswa2 itu jadi pejabat.

    • Wah, komentar ini keren banget. Saya berpendapat untuk penulis jangan tersinggung dengan apresiasi pembaca yang bernada negatif seperti ini. Karena anda telah bersusah payah mengikuti segenap test dan ujian untuk bisa kuliah di UI, jangan sampai usaha anda untuk menjadi manusia l intelektual menjadi runtuh karena tersinggung.

      Justru saya melihat, apresiasi yang seperti ini dapat membantu melatih diri anda menjadi lebih bijaksana dalam menerima pendapat orang lain. Berterima kasihlah kepada Rudi, yang mungkin bermaksud melatih anda agar tidak mudah terbuai dalam pujian.

      Keep writing dude!!! 🙂

    • bung yg satu ini sotoy sekali..menyampaikan argumen tanpa landasan pula..termakan propaganda humasnya pemerintah..sudah banyak bung ulasan terkait kebijakan energi khususnya harga bbm ini. maaf saya balas komen anda tanpa landasan yg kuat jg, krn menurut saya balasan komen yg seperti ini saja lah yg pantas anda terima. (tanpa) terima kasih.

  • Mengapa harga BBM harus dinaikkan?

    Sederhana, karena minyak mentah kita sudah mau habis! Proven reserve minyak kita tinggal 10-15 tahun lagi. Kalau sudah habis, trus kita mau pakai apa? Kita terpaksa 100% impor minyak, dan harganya akan jauhhhh lebih mahal.

    Kenaikan harga BBM akan mendorong penghematan minyak kita yang masih tersisa, dan yang lebih penting lagi, mendorong berkembangnya energi alternatif. Entah gas, tenaga surya, panas bumi, arus laut. Kalau harga BBM terus ditekan murah, energi alternatif gak akan bisa berkembang. Kita harus mengurangi ketergantungan energi kita pada minyak. Dan itu harus dimulai sekarang.

    Soal penghematan anggaran negara, ya itu memang benar. Tapi itu keuntungan jangka pendek. Duit yang terpakai buat subsidi BBM lebih baik untuk dipakai membangun infrastruktur. Jalan raya misalnya.

    Kalian mahasiswa UI yang katanya kaum intelektual harus melihat “the big picture” permasalahan energi kita. Ya dalam jangka pendek mungkin akan terjadi inflasi, sebagian rakyat akan susah, tapi dalam jangka panjang benefit akan terasa.

    • Terimakasih atas komentarnya, Bung Andi. P

      Kalau boleh saya menanggapi, memang benar pernyataan Anda bahwa persediaan BBM kita semakin menipis. Ada datanya di BPH Migas, bahwa dalam beberapa tahun ke depan, kemungkinan besar kita akan 100% mengimpor minyak dari luar karena persedian sumber daya tersebut habis.

      Jika kita berbicara dalam konteks ideal, saya pribadi mendukung jika subsidi BBM dihapuskan, dengan kata lain mendukung kenaikan harga BBM. Bahkan, dalam ‘hitung-hitungan’ dan pertimbangan dari sisi akademis pun, penghapusan subsidi BBM akan memberikan keuntungan jangka panjang bagi masyarakat kita. Ada semacam keharusan dari kita semua untuk meninggalkan ketergantungan pada BBM ini. Akan tetapi, perlu diingat, itu jika kita berbicara dalam konteks yang idealnya.
      Yang menjadi permasalahan sekarang adalah apakah sarana pra sarana; supra/infra-struktur yang dimiliki oleh negara kita sudah siap? Selain itu, bagaimana dengan kemungkinan penyimpangan dari para pelaku kebijakan dan celah politisasi dari pihak-pihak berkepentingan? Partai Politik, misalnya? Saya rasa, aspek-aspek ini perlu kita pertimbangkan pula agar tdak melihat persoalan ini dengan ‘kacamata kuda’.
      Apa yang sedang saya coba kemukakan dalam tulisan ini ialah tentang rivalitas suatu keadaan yang benar-benar riil terjadi di lingkungan masyarakat kita. Bahwa, di dalam masyarakat itu sendiri, masing-masing kelas memiliki layer-layer-nya tersendiri yang juga memiliki konflik ‘internal’ dan dapat menerima imbas dari kebijakan pemerintah yang tidak bijak. Kita perlu untuk melihat secara lebih luas dalam konteks realitas yang ada, bahwa ‘melemparkan’ sesuatu yang ideal itu begitu saja, sejatinya, akan berbenturan dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Saya rasa, dan saya yakin, ini lah sudut pandang yang Anda maksudkan sebagai “the big picture” tersebut. Dan satu hal yang paling saya yakini, sebagai mahasiswa, sudah merupakan kewajiban Negara dan Pemerintah untuk mengeluarkan sebuah kebijakan tanpa mengurangi sedikit pun ‘kesenangan’ yang sudah dipunyai oleh masyarakat. Bagaimana caranya? Ya, itu PR mereka untuk mengkaji lagi.
      Ini memang dilema, ketika kita semua memimpikan sebuah keadaan yang ideal, toh ternyata hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan karena ada faktor realita tersebut. Sekali lagi, apa yang saya gagas dalam tulisan ini adalah tentang rivalitas itu.

      Terimakasih atas tanggapannya,
      Salam,
      Tooftolenk

  • “Alasan yang diberikan oleh Humas Pemerintah bahwa subsidi BBM umumnya hanya dinikmati oleh orang kaya yang memiliki kendaraan pribadi, seketika dipatahkan oleh fakta bahwa orang miskin pun, sekarang ini, dapat memiliki kendaraan pribadi dengan cara Kredit”

    “Kenaikan harga burger macD akan menyusahkan orang miskin karena sekarang orang miskin pun banyak yang bisa beli burger macD”
    Uh uh, ini beneran mahasiswa UI? Gak salah? Dulu masuknya nyogok ya?

    • Terimakasih atas komentarnya, Bung Khrisna…

      Sekedar menanggapi, kalimat dalam tulisan saya yang Anda kutip itu merupakan hasil kajian dari mahasiswa FISIP UI, dan juga merupakan hasil diskusi para mahasiswa dengan pakar sosiologi (sebagaimana saya ceritakan dalam tulisan). Lantas, analogi yang Anda berikan tersebut, menurut saya, justru keluar dari konteks masalah yang sesungguhnya. Bagaimana pun, fungsi dan nilai dari BBM jauh berbeda dengan burger McD tersebut. BBM lebih bersifat pokok, ketimbang burger McD yang lebih bersifat penlengkap atau tersier. Mungkin ada baiknya kita sama-sama mencerna lagi tentang fakta bahwa, pada kenyataannya, masyarakat kelas bawah memang memiliki kendaraan pribadi dan menggantungkan usahanya pada BBM. Menumbuhkan rasa simpati dan empati kepada masyarakat merupakan hal yang lebih baik daripada sekedar mengamini kebijakan-kebijakan yang disikapi tanpa sikap resistensi.

      Dan untuk pertanyaanya di kalimat terakhir, Ya, saya adalah mahasiswa FISIP UI, Jurusan Kriminologi, dan saya masuk ke kampus itu dengan kemampuan sendiri melalui jalur SNMPTN.

      Terimakasih atas tanggapannya.
      Salam,
      Tooftolenk.

      • Kembali menanggapi, alasan kenapa aku meragukan kalian mahasiswa UI adalah karena logic kalian flawed. Pertama, orang yang mampu beli kendaraan pribadi apakah bisa dikategorikan sebagai rakyat miskin? Kalau beli kendaraan pribadi, ya harus siap dengan konsekuensinya, harus siap membayar biaya BBM. Kalaupun gak sanggup beli BBM, masih ada substitusinya. Naik angkot! Jadi analogi BBM dengan MacD dalam konteks ini saya rasa masih tepat. Kedua, itu pun tetap tidak mengubah fakta bahwa sebagian besar BBM subsidi dinikmati oleh orang kaya yang pengguna mobil pribadi, mobil jauh jauh lebih boros bensin daripada sepeda motor. Kalau sanggup beli mobil, tentu sudah bukan kategori miskin lagi, paling tidak ya kelas menengah lah.

        • Mari kita berpikir ulang, pada bagian mana logika yang Anda maksudkan sebagai flawed itu.

          Saya menangkap, Anda berpendapat bahwa orang yang memiliki kendaraan pribadi bukan lah termasuk dalam kategori rakyat miskin. Tidak masalah kalau ini memang menjadi opini Anda.

          Namun demikian, saya menyatakan hal itu bukan berdasarkan logika berpikir semata (commonsense), melainkan berdasarkan hasil penelitian dan kajian yang telah dilakukan oleh mahasiswa FISIP UI, dan pendapat pakar yang sudah berkutat bertahun-tahun di bidangnya. Dan begitu pula berbagai sumber literatur dan hasil kajian yang dilakukan oleh berbagai lembaga lain. Pada kenyataannya, kategori miskin tidak bisa serta merta kita lihat dari apa yang mereka punya dan apa yang sanggup mereka beli. Menurut saya, kita tidak bisa segampang itu menilainya. Ada aspek-aspek lain yang harus dipertimbangkan. Kemampuan seseorang membeli suatu barang belum tentu memberikan kestabilan dalam alur anggaran kebutuhan rumah tangga. Bagaimana pun, memiliki mobil pribadi (dan lagipula mobil sekarang ini tidak bisa lagi secara utuh disebut barang mewah) bukanlah sebuah tanda seseorang memiliki hidup yang berkelebihan (mewah atau kaya), bisa saja pas-pasan, karena bisa jadi pula mobil itu (yang menggunakan BBM) adalah hidup mati mereka untuk menjalankan usaha.

          Selain itu, saya rasa Anda menelan mentah-mentah makna suratan dari kalimat saya yang Anda kutip. Coba lihat hal yang tersirat di belakangnya: kepemilikian kendaraan pribadi bukan berarti harus dibeli dari uang atau kantong sendiri (yang melekat pada orang kaya), tetapi juga bisa berupa pegadaian modal untuk usaha, seperti supir angkot atau tukang ojek misalnya. Menurut saya, BBM bagi mereka menjadi satu kebutuhan pokok.

          Saya justru menjadi ragu, jangan-jangan Anda terjebak oleh konstruksi sosial di masyarakat kita yang melihat mobil sebagai simbol identifikasi dari status sosial seorang individu (mobil hanya milik orang kaya). Padahal, pemikiran seperti itu tidak bisa lagi kiga gunakan di jaman sekarang.

          Sebagaimana Anda bertahan pada pendapat Anda itu, saya juga bertahan pada pendapat saya bahwa analogi burger McD tidak dapat disamakan dengan konteks BBM yang sedang kita bahas.

          Terimakasih.
          Tooftolenk

          • Ok, menurut anda orang yang bisa beli jam tangan rolex masih layak dianggap orang miskin? Ganti jam tangan rolex dengan mobil atau motor. Apa bedanya? Sama saja, motor dan mobil adalah kebutuhan TERSIER. Bukan primer. Orang miskin itu orang yang kesulitan memenuhi kebutuhan primer nya. Apa itu kebutuhan primer? Kalau anda masih ingat pelajaran di sekolah: sandang, pangan, papan. Apa itu orang miskin? Orang yang beli makan buat lauk pauk sehari2 aja sudah susah. Orang yang beli baju buat anaknya saja sudah susah. Orang yang terpaksa tinggal di gubuk di pinggir kali. Itu orang miskin. Orang yang sudah mampu memenuhi semua itu, orang yang mampu beli kendaraan pribadi, orang yang punya tempat tinggal yang layak untuk mengamankan kendaraan pribadinya dari maling, apa masih dianggap orang miskin? Ok, kalau anda membantah dengan mengutip kata “pakar” atau hasil studi FISIP (yg sudah pasti benar ya). Ok kalau gitu, coba saya kutip pendapat pakar beneran ya. Coba baca : http://www.un.org/esa/socdev/unyin/documents/ydiDavidGordon_poverty.pdf mengenai definisi miskin

            • Ya, tidak masalah kalau Bung Khrisna berpendapat demikian. Saya juga tidak menekankan bahwa pemaparan dalam tulisan yang saya buat ini mutlak benar. Kalau Bung berkenan, mungkin ada baiknya membuat tulisan juga (kalau bersedia, dimuat juga di website akumassa ini), kemudian paparkan pendapat dan analisa Bung menggunakan sumber literatur yang Bung percaya. Menurut saya itu langkah yang lebih bijak. Dan mungkin itu bisa menjadi informasi baru dengan perspektif yang berbeda dalam melihat persoalan isu BBM, dan berguna juga bagi masyarakat pembaca.
              Terimakasih atas tanggapannya.
              Tooftolenk

              • Yang saya heran, mahasiwa UI kemarin capek2 demo itu sebenarnya membela rakyat miskin atau membela orang2 yg punya kendaraan pribadi? Susah dikatakan membela rakyat miskin, kalau, seperti kata anda, hasil diskusi dan kajian kalian saja sudah salah kaprah mengenai definisi “miskin”

                • Saya rasa tidak ada yang salah terkait dengan definisi miskin yang telah dilakukan dalam berbagai penelitian (karena ada keterkaitan konteks, ruang dan waktu, termasuk yang dilakukan oleh mahasiswa FISIP UI), apalagi tentang salah kaprah. Justru, menurut saya, berpaku pada satu definisi saja tentang sebuah istilah atau terminologi merupakan sebuah pikiran yang sempit. Mungkin ada baiknya kita melihatnya secara lebih luas, lantas memahami rivalitas yang memang ada dam terjadi di dalam masyarakat.
                  Terimakasih, Bung Khrisna. Hehe.

                    • anyway, harga2 kebutuhan pokok sudah terlanjur naik semua padahal BBM gak jadi naik. Rakyat miskin tambah sengsara beneran, sedangkan pengguna kendaraan pribadi tertawa gembira. Ntar kalau BBM naik beneran (yang mana tinggal nunggu waktu saja), harga2 kebutuhan pokok juga naik lagi. Good job, lanjutkan perjuangan kalian membela rakyat “miskin”

                • hmm, menarik nih. Kalau menurutku sih sebagai orang awam, seharusnya rakyat miskin yang perlu dibela. Tapi entahlah kalau hasil kajian BEM FISIP UI yang didukung oleh opini para pakar yang sudah bertahun-tahun berpengalaman di bidangnya berpendapat bahwa pengguna mobil pribadi yang seharusnya dibela.

    • Kalau boleh saya menanggapi Bung Khrisna yang merasa pintar dan mungkin juga Anda masuk ke sekolah tanpa menyogok…dapat saya katakan, tulisa Zikri sudah berusaha dengan sangat objektif melihat persoalan yang Anda maksud, dengan semua kejadian yang sebenarnya. Jika Anda merasa benar, silakan tulis di media ini untuk menanggapi dengan jauh lebih objektif tentang prespektif Anda itu. Kita akan lihat siapa yang sebenarnya yang bisa dilihat ‘menyogok’ yang Anda maksud. Saya masih bingung dengan menghujat personal dengan ‘ketidaktahuan’ siapa yang Anda hujat. Begitulah orang-orang yang membabibuta menghujat ‘apapun’ yang mereka anggap tahu. Jadi, untuk melengkapi tulisan ini, jika Anda merasa punya kebenaran sendiri silakan tulis di akumassa.org. Itu akan lebih fair dan tidak menyerang hal-hal yang pribadi.

      Salam
      Hafiz

      Ketua Forum Lenteng
      http://www.forumlenteng.org

  • wah wah… bingung nih mau bahas diskusi ke mana… sekarang ya RUU yang udah jadi UU nya udah mau diuji materi di MK… udah ada tiga katanya… versi TV One…

  • tulisan ini.. dari judulnya sudah mengguah karena hampir sama dengan judul buku harian salah seoarang mahasiswa UI yang telah melegenda karena pemikiran2nya.. bener kata miramere tulisan ini sangat obyektif tanpa ditunggangi siapapun kecuali massa. tidak seperti media massa yang banyak beredar di negara ini karena cenderung sebagai kerbau ternak pemiliknya dalam memberikan informasi kepada masyarakat.
    salut dengan mahasiswa yang dapat menahan emosi dengan adanya provokasi di tengah-tengah suasana yang “panas”.
    salam saya yang paling tidak hormat kepada kalian yang duduk di kursi empuk DPR yang hanya pandai bersilat lidah dan hanya mementingkan kepentingan politik golongan.
    maaf kalau ada salah kata.

  • Terimaksih,anda telah membuat tulisan yg begitu bagus,maju terus.
    Disini anda juga telah memberikan jawaban,dimana citra mahasiswa di pandang jelek di beberapa kalangan,yang sebenarnya tidak seperti apa yg mereka banyangkan.
    Mahasiswa adalah baik.

  • article yg sangat menarik.. article ini membuka point of view yg baru untuk saya, and it’s just sad, frankly sad.. saya bersekolah d luar negri dan I’m very sad to hear about demo2 dan rusuh2 yg disebabkan oleh BBM issues.. this article shows how immature the demo-ers are..

    I wonder why, kalau mmg para mahasiswa tahu ada orang2 dan oknum2 tertentu yg memanfaatkan keadaan untuk provocation, kenapa kalian tidak mencari cara lain untuk menyampaikan pendapat?

    I don’t know from your point of view, but from Indonesian student outside, and like the other people in Indonesia who thinks that the whole demonstration thing has given the chances for particular person/party/group to create the ruckus must NOT be continued..
    Democracy indeed need our effort as the intellectual of the nation to voice out our thoughts, but have you ever think that this is not the right way??

    Kenaikan BBM mmg akan berdampak d kehidupan rakyat kecil, but there’s always the other side of the coin, instead of rejecting the whole system, isn’t it better to start a new idea to solve this thing? Tujuan utama dr kenaikan harga BBM adl untuk mengurangi alokasi dana untuk subsidi BBM. There’s another idea u can propose to the leaders, instead of just having a pointless demonstration. what’s the result of the demo anyway? what’s the result of those damages resulted from the anarchy action? kenaikan BBM ditunda?? toh akhirnya ttp naik juga, face it!! the price of oil is increasing globally, do u really think that our nation will be able to increase subsidize to maintain the price of BBM in Indonesia??

    think smart if u really are bringing the voice of Indonesia, u can propose to distribute the subsidy proportionally, the richer will need to pay more and the poor will be able to afford it at lower price, this way, the subsidy will hit the right target..
    I’m pretty sure that the rich people in Indonesia won’t bother to pay more, it doesn’t really affect them anyway..

    if u want Indonesia to move forward, then by all means, avoid physical violence, use your intelligence more..

    Sincerely,
    All Indonesian Diasporas

    • Semua orang sudah tahu kok kalau mahasiswa UI itu gampang dihasut dan dibodohi oleh politikus-politikus yang bermaksud curi start kampanye dan para “pakar” yang kalau tidak goblok ya ingin cari sensasi.
      Sekarang ini ya, siapa pun partai yang memenangkan pemilu 2014 nanti pasti akan menaikkan harga BBM. Entah itu PDI-P, Gerindra, PKS, dan entah partai apapun yang sekarang kampanye pro rakyat. Waktu jamannya Megawati jadi prsiden dan Kwik jadi mentri, harga BBM naik 2x dalam setahun.
      Kalau misalnya minyak kita sudah habis, masih berharap pemerintah kuat subsidi? Mestinya BBM dinaikkan dulu sekarang, uangnya kemudian digunakan untuk membangun infrastruktur. Anda tahu kenapa kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap inflasi? Karena infrastruktur kita payah. Kalau anda pernah pergi ke daerah, jalan raya lintas propinsi saja kondisinya kayak kubang kerbau. Dengan kondisi seperti itu, otomatis biaya distribusi barang pasti membengkak gila. Penyebab inflasi bukan naiknya BBM, tapi karena infrastruktur itu tadi.
      Anda tahu kenapa susah mengentas kemiskinan? Karena infrastruktur kita payah. Kenapa infrastruktur kita payah? Karena uangnya dihabiskan buat membayari subsidi orang2 kaya di jakarta yang naik mobil. Apa itu adil? Silahkan direnungkan sendiri
      Trus bagaimana dengan korupsi? Ya, korupsi memang menjadi masalah. Terus gimana? Apa kita tidak boleh membangun infrastruktur selama korupsi belum diberantas habis, gitu? Absurd!

      • Terimakasih sudah memberikan komentarnya, Bung Leo.
        Sekedar menanggapi, apa tolak ukur Bung untuk mengatakan “semua orang sudah tahu kok kalau mahasiswa UI itu gampang dihasut dan dibodohi oleh politikus-politikus…” Saya kurang setuju dengan sebuah pernyataan yang men-generalisasi seperti itu. Tidak semua mahasiswa memiliki pribadi yang buruk, masih ada banyak yang memiliki hati nurani baik. Saya percaya itu.
        Jelas sekali bahwa penyebab inflasi bukan karena kenaikan harga BBM…
        Menurut saya, kemiskinan susah diberantas bukan hanya disebabkan oleh infrastruktur yang payah, tetapi juga karena ketersempitan cara pandang masyarakat kita dalam melihat persoalan: bahwa rivalitas di dalam masyarakat kita jelas ada, tetapi jarang disadari. Apa yang saya tulis ini merupakan salah satu usaha untuk membuka perspektif-perspektif lain yang bisa saja kita gunakan untuk membongkar masalah ini. Saya setuju, infrastruktur di bangsa dan negara kita ini harus sesegera mungkin diperbaiki, tetapi bukan berarti harus mengorbankan sesuatu. Tentunya peluang kerugian bisa diminimalisir oleh negara, dan negara harus bekerja lebih ekstra untuk mencari cara itu.. tidak serta merta mengabaikan rivalitas yang saya sebutkan tadi. Masalah uang negara habis karena membayar subsidi untuk orang-orang kaya di jakarta yang naik mobil, kalau memang kita harus merenungkannya kembali, saya justru bertanya-tanya sejauh mana proporsinya? Menurut saya, uang negara tidak habis hanya di subsidi BBM saja, masih ada banyak aspek yang lain,.. dan kata ‘adil’ pun menjadi bias maknanya pada titik itu.
        Saya secara pribadi juga memimpikan tatanan ideal: subsidi BBM tidak perlu ada, masyarakat kita tidak perlu bergantung pada BBM. Akan tetapi, toh hal yang ideal tidak bisa serta merta kita benturkan pada kenyataan yang ada di masyarakat. Negara dan Pemerintah perlu mencari cara yang lebih ‘sopan’ dalam melayani rakyatnya, harus memperhatikan kepentingan semua kelas, dan harus memberikan ‘kesenangang’ di jangka pendek maupun jangka panjang.
        Dan saya setuju juga dengan pendapat Bung, selama korupsi belum diberantas bukan berarti infrastruktur tidak boleh dibangun. Oleh karena itu, marilah kita sama-sama memikirkannya agar masyarkaat kita tidak lagi menjadi korban dari pemerintahan yang berjalan tidak optimal.
        Sekali lagi terimakasih atas tanggapannya.
        Salam,
        Tooftolenk.

        • Secara sederhana, karena rakyat kita terlalu goblok untuk memahami mengapa harga BBM sudah seharusnya dinaikkan, trus mahasiswa UI harus demo anarkis untuk mendukung dan melestarikan kegoblokan itu?
          Apa tidak ada cara lain yang lebih baik?

          • It’s a fact bahwa persediaan minyak bumi indonesia makin lama makin menipis. Diperkirakan hanya bertahan 15 tahun lagi. Ini opini para pakar beneran yang sudah berpengalaman bertahun2 di bidangnya lho. Karena semakin menipis, maka produksi minyak kita semakin menurun. Sedangkan konsumsi semakin meningkat. Akibatnya impor minyak semakin meningkat pula. Akibatnya subsidi BBM semakin membengkak.
            Apa yang dilakukan mahasiswa UI terhadap fakta diatas? Hmm, apa ya? O ya, demo anarkis menolak kenaikan harga BBM.
            Eh, itu kan realitas yang ada di masyarakat? Ya memang. Juga realitas kok kalau masyarakat pasti jauh lebih suka kalau BBM digratiskan saja. Tapi apa itu mungkin? Ya gak lah, mau negara bangkrut?
            Realita masyarakat kita saat ini: mereka terlalu bodoh untuk melihat logika kenapa harga BBM sudah saatnya dinaikkan. Tapi apa yang dilakukan mahasiswa UI? Melestarikan kebodohan itu…Dan kalian menganggap diri kalian kaum intelektual? Intelektual dari hongkong!

  • Kepada Bung Leo dan Krhisna, secara pribadi respect saya berkurang kepada Anda berdua. Apa dasar kalian untuk mengatakan bahwa masyarakat kita goblok? lagi-lagi kalian men-generalisasi. Menurut saya, cara berpikir itu jelas keliru. Selain itu, apa pula buktinya kalian mengatakan bahwa mahasiswa melakukan demo anarkis? (tidak melihat sedikitpun kemungkinan kehadiran para provokator?). Lagi-lagi saya melihat ada proses justifikasi dalam komentar-komentar kalian. Melihatnya dari televisi atau koran? Menelan pemberitaan media arus utama secara mentah-mentah? Kalau begitu, benar asumsi saya dalam tulisan di atas bahwa media ternyata juga berpengaruh dalam hal ini… bahwa publik juga menjadi korban.
    Lagipula, kalaupun tulisan ini bertentangan dengan perspektif Bung berdua, itu pun tidak salah. Ada banyak perspektif yang bisa kita gunakan untuk melihat sebuah persoalan. Dan memilih salah satu perspektif bukanlah tindakan yang melestarikan kebodohan. Tolong berpikir lebih jernih lagi.
    Yang terakhir, kalaupun Bung berdua tidak setuju dan memiliki argumentasi lain, silakan suarakan ketidaksetujuan itu (mungkin melalui tulisan), dan kalau perlu (jika kalian berkenan), muat di website ini, agar lebih objektif dan etik, agar pembaca yang lain bisa melihat perspektif yang Bung berdua percaya dan yakini. Hal itu lebih bijak dari pada menyalah-nyalahkan pihak mahasiswa dan masyarakat yang menolak kenaikan BBM secara sepihak dan kacamata kuda tanpa melakukan attitude verstehen sama sekali.
    Sekian terimakasih.
    Salam,
    Tooftolenk.

    • mas bro,ijin nambahin yak… saya bingung, andaikata yg anarkis bukan mahasiswa, terus siapa yak? masyarakatkah? preman kah? atau oknum politik lain?…
      nah.. dari sini harusnya mahasiswa tau, kalau bukan rombongan yg anarkis terus kog dilapangan terjadi kerusuhan. harusnya ada antisipasi dari mahasiswa…

  • Anarkisme atau dieja anarkhisme yaitu suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihilangkan/dihancurkan.

    http://id.wikipedia.org/wiki/Anarkis

    keyword: saya anarkis, tapi saya benci kekerasan

  • salut ama mahasiswa yang berpikir jernih dari 2 sisi..
    inti kesalahan bukan berada pada kedua belah pihak.
    pengalamanmu sungguh tidak dapat dibeli..
    Lanjut ajja Lahh Liputannya..
    penasaran baca yang Lain jugak..
    terimakasih buat teman mahasiswa UI yang bisa bekerjasama disana sbgai perwakilan dari seluruh mahasiswa di Indonesia..

    i’m not a demonstran.. i’m an engineer..
    🙂
    good Job

  • telepas dari apa pentingnya sebuah kata…apakah ingatan atau kenangan soal saya itu sama dengan soal kenangan AKU..??

  • aku bukan demonstran… aku berjuang dg cara yg lain. belajar, belajar… berkarya dan berguna bagi sekitar. Ingin mengubah wajah indonesia haruslah dimulai dari yg kecil. dimulai dari diri kita.. dimulai dari guru2nya… mahasiswanya, ulama nya, media dan pemikirnya. wajah indonesia(budaya dan adat entah KKN, politik.. dll) yg sekarang tidaklah dibangun hanya sekejap mata.
    Mulailah dari diri kita.. yg mahasiswa belajar yg bener dulu.. biar nanti jd pemimpin bs jd pemimpin yg adil bagi rakyat dan negara. jangan jd mahasiswa yg sekarang ini nolak A pas jadi pemimpin malah dukung A. belajar berfikir dari segala sudut pandang…. bapak2 yg ada di sonoh itu naikin BBM ato nurunin BBM pasti udah ada itung2 annya. dikaji dulu sebelum demo. lebih banyak manfaatnya atau sebaliknya.
    saya sih BBM murah enak2 aja, tp kita ini satu negara satu bangsa.. artinya satu komitmen. kalau pemerintah memberikan putusan untuk kebaikan ya… yakinlah itu untuk kebaikan negara.
    mending daripada demo, ayo semua mahasiswa bareng2 cari solusi… bgmana BBM naik tp masyarakat dapat diringankan.
    contohlah pak habibie… beliau engineer ya berkarya pada pesawat… agar pulau2 indonesia mudah dijangkau. artinya kalaupun BBM harganya setinggi langit, tapi transportasinya mudah dan murah… ya barang2 kebutuhan jg pastinya murah.
    kejadian ’98 reformasi mahasiswa adalah produk gagal dari egoisme, sehingga mudahlah ditumpangi politik. dr jaman jepang… kelemahan indonesia adalah di adu domba dg bangsa sendiri. harusnya mahasiswa tahu itu.

Tinggalkan Balasan ke Pinem X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.