Semparu-Lombok Tengah

Belian

Bubus di kepala anak Saiq Atun
Avatar
Written by Perdana Putri
Peta Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. (diakses dari Peta Google, 6 Februari, 2014).

Peta Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. (diakses dari Peta Google, 6 Februari, 2014).

Januari, 2014, saya dan beberapa teman berkesempatan mengadakan penelitian di Desa Semparu, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Di sana, kami dibagi menjadi beberapa kelompok penelitian kecil dengan satu tema besar, yakni Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sebabnya, Lombok Tengah merupakan daerah penghasil TKI yang cukup besar – urutan keempat dari lima besar (BNP2TKI, 2012). Besarnya jumlah TKI ini menghasilkan permasalahan penelitian yang cukup kaya. Kelompok saya sendiri mengobservasi peran kontrol sosial pada fenomena Jamal (Janda Malaysia)[1] di desa tersebut. Meskipun kami meneliti tentang fenomena itu, banyak hal lain yang juga menjadi pelajaran tambahan selama dua minggu kami menetap di desa Semparu.

Saiq Lia dan anaknya, Tarmidzi

Saiq Lia dan anaknya, Tarmidzi

Suatu hari, ketika jam menunjukkan pukul 16.30 WITA, saya dan tim peneliti bergegas ke rumah Saiq (Bibi) Lia untuk melakukan wawancara. Saiq Lia adalah seorang warga desa Semparu yang tinggal di belakang rumah tempat kami menginap. Ia, layaknya mayoritas perempuan desa Semparu, tidak bekerja dan menjadi ibu rumah tangga, terlebih karena suaminya sedang merantau. Ketika sampai di depan rumahnya, ia tidak segera muncul dan membukakan pintu. Kemudian, Saiq Atun, tetangga Saiq Lia yang juga seorang jamal muncul, bersama seorang bibi lain yang juga bernama Atun.

“Lia sedang mencuci,” ujar Saiq Atun yang petama.

Saiq Atun kedua juga menghampiri sambil menggendong bayi yang kepalanya dipenuhi semacam bubuk kuning. Rasa penasaran mendatangi saya dan Mia, salah seorang tim peneliti.

“Itu apa ya, Saiq?”

“Bubus itu namanya.

“Apa? Du—” istilah itu terdengar asing, sehingga saya meminta ia mengulangnya lagi.

“Bubus, bubus,” ulang Saiq Atun.

Kami mengangguk-angguk. “Itu dari apa ya, Saiq? Buat apa ditabur gitu?”

“Oh, ini (anak saya) sudah sakit panas dari kemarin, dikasih sehabis mandi, dari beras, dikasih apa itu, kunyit, iya kunyit,” Ia menepuk-nepuk punggung si bayi yang katanya sedang sakit.

“Bikin sendiri itu, Saiq?” Saya terheran-heran. “Pas sakit dikasih begitukah?”

Bubus di kepala anak Saiq Atun

Bubus di kepala anak Saiq Atun

Saiq Atun kemudian menjelaskan bahwa bubus itu tidak dibuat olehnya, tapi dibuat oleh seorang belian, atau dukun dalam bahasa Sasak. Baru saja saya ingin bertanya lebih lanjut, Saiq Lia, si informan, sudah terlanjur membuka pintu dan mempersilakan kami masuk.

Kami mewawancarai Saiq Lia sebagai perempuan yang menyandang status Jamal. Wawancara kami dengan Saiq Lia ditambah dengan informasi yang kami dapat dari ibunya, Saiq Nur, yang baru tiba di rumah. Untuk mencairkan suasana wawancara yang cukup kaku ­dan sensitif masalahnya, Mia, salah seorang tim peneliti, bertanya, “Saiq, itu apa, ya yang kuning-kuning di kepala, katanya buat sakit?”

“Oh, iya, itu namanya Bubus,” ujar Saiq Nur. Ia mengatakan itu adalah dedak hasil tumbukan beras yang dicampur dengan sengkur (sejenis kunyit), lalu dijampi-jampi (dibacakan) dengan ayat-ayat Al-quran dan mantra dalam bahasa Sasak. Bubus dipercaya warga sebagai obat mujarab. Kata Saiq Nur lagi, hanya belian yang bisa memberikan jampi-jampi. Saya jadi penasaran, akhirnya saya bertanya dimana belian ini tinggal. Saiq Lia memutar bola mata sambil menunjuk ibunya tersebut. Ternyata, Saiq Nur adalah belian.

Dari obrolan tentang bubus tersebut, saya mendapatkan informasi bahwa masih banyak warga Semparu yang pergi ke belian alih-alih ke dokter atau mendatangi puskesmas. Warga Semparu lebih percaya kepada belian ketimbang dokter. Selain itu, mereka takut akan tarif yang dikenakan pada jasa medis terpercaya seperti dokter dan puskesmas. Ketika saya tanya alasannya, sekali lagi untuk meyakinkan jawaban mereka, Saiq Nur menjawab tegas, “Uang itu sudah[2].

Saiq Nur sedang menganyam

Saiq Nur sedang menganyam

Saya pun masih penasaran, jadi saya coba gali terus perihal belian ini.

“Bukannya ada askes (Asuransi Kesehatan) ya, Saiq?”

Saiq Lia dan Nur menggeleng-geleng. Mereka bilang bahwa banyak warga yang tidak punya askes. Mereka mengaku bahwa mengurusnya sulit dan makan biaya. Padahal kenyataannya, pemerintah sudah mengatakan bahwa untuk membuat askes, tidak perlu membayar apa pun, cukup membawa persyaratan berupa surat-surat penting yang dibutuhkan. Ketika saya mengatakan hal tersebut, mereka mendengus bosan dan bilang bahwa di desa mereka untuk surat-surat banyak yang bayar, bahkan untuk urus akta kelahiran.

“Kemarin Saiq mau bikin akte kelahiran ini (sambil mengedik ke arah anak bayinya), mau sampai sejuta[3]! Tiap pegawai minta uang inilah, ketiklah, jalanlah!” keluh Saiq Lia.

“Memangnya, kalau ke belian lebih murah ya, Saiq?” Saya kembali meluruskan percakapan soal belian ini.

“Yah, kalau demam, panas, atau batuk sedikit, ya, lima (atau) sepuluh ribu lah, sama bawa telur ayam, berasnya, sayuran. Kalau penyakit dalam macam, apa, yang tak kelihatan lah pokoknya, ginjal misalnya, itu baru mahal, enam ratus ribu.”

Saiq Lia memaparkan, sebenarnya ongkos ke belian ini terhitung cukup mahal juga pada akhirnya. Mengingat untuk membuat bubus, bahan dasar seperti beras, sengkur, dan telur ayam dipersiapkan oleh si sakit sendiri. Namun, ia percaya yang datang ke belian ini sudah tersugesti. Dengan kata lain, warga memiliki anggapan yang kuat bahwa penyakit akan lebih cepat sembuh jika pergi ke belian.

Anggapan Saiq Lia tersebut semakin terbukti ketika teman peneliti saya menanyakan apakah pelayanan di puskesmas tidak baik sehingga mereka tidak mau datang kesana.

“Tidak, mereka baik,” jawab Saiq Lia mantap. Dan menariknya, jika belian tidak berhasil menyembuhkan, pada akhirnya warga akan kembali ke dokter dan/atau puskesmas untuk berobat. “Kalau masih sakit juga, baru kita bawa ke dokter,” imbuhnya lagi.

Saya mengangguk-angguk heran saja. Maklum, mendengar warga Semparu masih datang ke dukun cukup mengherankan. Pertama, dari hasil wawancara bersama orangtua asuh saya selama tinggal di Semparu, Bapak Sahlan, agama Islam sangat berpengaruh. Tokoh alim ulama yang bergelar Tuan Guru sangat dihormati di sini. Tokoh alim tersebut dianggap mumpuni dan ahli dalam memahami ajaran agama dan sudah pernah ke Mekkah (naik haji). Dari pola yang saya lihat pada hasil olahan data penelitian kelompok , Tuan Guru menduduki stratifikasi sosial paling tinggi dalam masyarakat Semparu. Tuan Guru sering memberikan nasihat-nasihat tentang bagaimana caranya beribadah yang baik dan benar. Setahu saya, bukankah mendatangi dukun merupakan pelanggaran yang cukup berat dalam Islam?

Mengenai biaya pun, beberapa hari lalu, saya pernah mengunjungi Kantor Desa Semparu. Kantor Desa yang baru dibangun di tahun 2011 ini memiliki papan informasi di depannya. Disana banyak terpampang berita mengenai Semparu. Berita-berita tersebut pun didominasi oleh foto Kepala Desa Semparu, seperti ketika pilkades (pemilihan kepala desa), pertemuan dinas di Semparu, hingga pelaksaanaan upacara. Lain halnya, di papan informasi ini juga ditempel pengumuman harga-harga yang dikenakan untuk jasa pembuatan askes, akte kelahiran, surat keterangan, dan sejenisnya. Harganya berkisar dari yang paling murah Rp 5.000, hingga paling mahal Rp 10.000 – biaya yang sebenarnya tidak mahal-mahal amat— bahkan membuat akte kelahiran tertulis “GRATIS” di kolom “Biaya Administrasi”. Jadi, jika memang benar masyarakat dimintai uang secara berlebihan oleh petugas, mereka bisa protes melalui selebaran yang ditempel sendiri oleh pegawainya.

Papan informasi di Kantor Desa Semparu

Namun, saya bingung juga dengan ‘biaya administrasi’. Hal ini membuat saya jadi tidak terlalu paham konsep gratis yang digalakkan pemerintah. Melalui situs-situs dan portal berita daerah yang saya baca, pembuatan askes dan akte kelahiran harusnya memang tidak perlu membayar apapun. Saya tidak tahu apa maksud biaya administrasi untuk membuat surat-surat penting tersebut. Pada akhirnya saya berusaha berpikir positif karena mungkin ini di desa, bukannya di kantor pusat.

Ada banyak pertanyaan di kepala saya mengenai praktek belian ini. Soal biaya? Administrasi askes harusnya tidak membayar, sekalipun membayar, biayanya tergolong tidak terlalu mahal, dan mereka sebenarnya bisa protes mengenai ketimpangan birokrasi ini. Pelayanan yang buruk? Mereka sendiri mengakui bahwa puskesmas dan/atau dokter memberikan pelayanan yang baik. Toh pada akhirnya dari penuturan Saiq Lia dan Saiq Nur – yang bahkan seorang belian – adalah sugesti yang membuat orang-orang desa kembali ke dukun. Saya jadi ingin tahu apa yang akan dikatakan Tuan Guru soal ini.

Pertayaan itu tetap tak terjawab. Pembelaan dari saya adalah jadwal penelitian dan pengolahan data, serta rangkaian acara di Semparu yang cukup sibuk membuat saya tidak jadi bertemu dengan Saiq Nur untuk bertanya lagi. Ketika mendatangi anak Tuan Guru, Lalu Bochri, saya malah lupa menanyakan pendapatnya karena terlalu fokus dengan penelitian. Akhirnya saya hanya bisa mengingat-ingat kata-kata Saiq Nur yang hangat ketika mengantarkan tim peneliti pulang ke rumah.

“Sebenarnya ada yang kurang ini pertanyaannya,” ujarnya tersenyum

“Apa itu, Saiq?”

“Tadi mau diajarkan buat bubus itu, sama yang buat keputihan,” balasnya ramah. Kami mengangguk bersemangat dan berharap bisa membuatnya. Sayang sekali.



[1] Jamal adalah singkatan dari janda Malaysia, status non-permanen disandang oleh perempuan yang suaminya pergi menjadi TKI di Malaysia.

[2]  Maksudnya, uang adalah penyebab utama mengapa banyak warga yang pergi ke dukun. Warga Sasak sering meletakkan kata ‘sudah’ di akhir kalimat sebagai penegas ide mereka.

[3] Saya tidak yakin Saiq Lia benar-benar menghabiskan satu juta rupiah. Dalam asumsi saya, itu bentuk ekspresi betapa banyaknya uang ‘pelicin’ yang dikeluarkan warga untuk membuat akte kelahiran.

About the author

Avatar

Perdana Putri

Lahir 4 September 1994. Sedang menempuh Program Studi Rusia di Universitas Indonesia (UI). Saat ini juga sedang belajar Bahasa Prancis di Institute Francais Indonesia.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.