DKI Jakarta

Invasi Baliho Dalam Pesta Demokrasi

Avatar
Written by Perdana Putri

Jumat (29/07) pagi saya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan Freedom Institute yang terletak di jalan Proklamasi No. 41 kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Bukan karena sok rajin atau hal lain, tapi lebih karena alasan akademis yang menuntut saya mencari referensi di sana. Jam setengah sebelas lebih, saya tiba di Stasiun Cikini dan bergegas menuju perpustakaan dengan memakai jasa bajaj. Sebenarnya, saya ingin pulang sebelum jam padat kereta, dengan kata lain, seharusnya sebelum pukul 14.30, saya sudah berada di dalam kereta menuju Depok, atau pukul 14.00 saya sudah meninggalkan perpustakaan.

Namun, jalanan yang dilewati tukang bajaj saat kita menuju Freedom Institute membuat saya tertarik untuk membatalkan rencana pulang cepat itu. Biasanya, bajaj yang saya tumpangi melewati area kanan Stasiun Cikini, dengan kata lain tidak memutar di depan Bioskop XXI Metropole. Kali ini, tukang bajaj tersebut melewati Bioskop XXI Metropole dan berbelok ke arah perumahan di pinggiran Menteng, antara lain Jalan Borobudur dan Jalan Mendut.

Hal pertama yang saya tangkap adalah begitu banyaknya spanduk-spanduk sebagai imbas pesta demokrasi warga Jakarta yang akan digelar Juli ini. Tidak ada yang aneh dengan kampanye, tapi heran juga melihat spanduk dengan berbagai macam kata-kata, warna, dan ukuran menghiasi berbagai sudut jalanan, sampai-sampai sulit rasanya menemukan ruang yang kosong di jalanan untuk menempel hal-hal lain yang juga sebenarnya diselebrasikan hari itu. Seperti halnya ketika saya melewati stasiun Tebet yang memasang spanduk untuk memperingati Hari Keluarga Nasional, spanduk peringatan itu digantung di peron nomor dua stasiun.

Keputusan menunda pulang itu saya gunakan untuk mendokumentasikan banjir baliho, spanduk, dan tempelan di sepanjang jalan, yang saya rasa ada gunanya nanti. Maka, setelah keluar dari perpustakaan, saya berjalan kaki menelusuri Jalan Mendut, Jalan Borobudur, dan Jalan Pangeran Diponegoro. Sepanjang saya menelusuri jalanan itu, saya cukup heran melihat ternyata tetap ada spanduk di kawasan yang sepi sekalipun, ada juga spanduk yang digantung di depan rumah kosong.

Bagaimanapun juga, kawasan Cikini, terlebih di jalan Pangeran Diponegoro dan sekitarnya, memang pusat kesekretariatan para calon cagub-cawagub. Jadi maklum saja kawasan sepi sekalipun, asal masih terhitung kawasan yang dekat dengan Cikini, tidak luput dari pemasangan atribut fisik kampanye seperti spanduk, baliho, stiker, dan bendera.

Jalan Borobudur dan Jalan Mendut memang kawasan yang relatif sepi, tapi sepertinya itu tidak melunturkan semangat cagub-cawagub DKI Jakarta untuk memasang iklan kampanye masing-masing. Pemasangan spanduk kampanye di kawasan yang sepi itu disebabkan adanya kantor sekretariat salah seorang calon yang berlokasi di daerah tersebut (Jalan Borobudur), sehingga mereka pastilah akan menggelar berbagai macam janji dalam bentuk visual di daerah sekitarnya. Di kawasan yang sepi dari kontak masyarakat, ruang sepertinya benar-benar berharga, dapat dibuktikan dengan spanduk yang ada di depan rumah kosong tadi.

Sekeluarnya dari kawasan Jalan Borobudur dan Jalan Mendut, saya tiba di Jalan Pangeran Diponegoro. Saya langsung dihadapkan dengan pemandangan spanduk-spanduk ukuran raksasa yang ditempelkan seorang calon di depan markas partai Sutiyoso (PKP Indonesia), yang memang mendukung salah seorang calon sehubungan dengan fakta bahwa calon tersebut merupakan mantan Wakil Gubernur di era kepemimpinannya saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Markas PKP di Jalan Pangeran Diponegoro penuh dengan baliho salah satu pasangan cagub-cawagub yang didukung partai tersebut

Begitu pula di gedung sebelahnya, sepanjang area menuju Stasiun Cikini, yang terlihat hanyalah lautan spanduk, baliho, dan bendera kampanye. Sebagian besar dari lautan baliho dan spanduk-spanduk ini didominasi oleh salah seorang cagub-cawagub yang kebetulan memiliki banyak pendukung, bermarkas di sepanjang Jalan Pangeran Diponegoro. Yang tambah menarik perhatian saya adalah, fakta bahwa di depan seluruh spanduk-spanduk yang menjamur itu berdiri Kedutaan Besar Srilanka. Saya jadi penasaran apa yang dipikirkan para staf dan tentunya Duta Besar Srilanka melihat hal tersebut di depan tempat kerjanya nyaris setiap hari, mungkin hingga habis masa pilkada DKI Jakarta.

Kantor staf Kedutaan Besar Sri Lanka berada di Jalan Pangeran Diponegoro

Pemandangan berikutnya sudah tidak perlu dijelaskan lagi, spanduk-spanduk, bendera, baliho, stiker-stiker saling tumpek-blek menghiasi sudut-sudut jalanan. Setiap sudut yang belum diwarnai tanda-tanda pesta demokrasi sepertinya berharga, semacam kesempatan emas yang harus digunakan sebaik-baiknya dalam menjajakan janji dan visi masing-masing calon pemimpin DKI Jakarta.

Tak jarang, di antara spanduk kampanye salah seorang calon, terselip stiker-stiker calon lain di tiang tempat spanduk diikatkan. Boleh jadi stiker itu merepresentasikan si calon tidak kebagian tempat untuk spanduk di sana atau di kawasan yang sering terkena kontak masyarakat untuk memperluas pengaruhnya. Saya mengerti Cikini memang kawasan yang padat, tapi bagaimana sebenarnya peraturan dalam kampanye pilkada? Apakah ke-jor-joran seperti itu dapat dipertanggungjawabkan? Ironis juga membawa-bawa tagline ‘bersih’ untuk Jakarta tapi pada prosesnya mereka menuai sampah. Saya makin bingung akan dibawa kemana semua spanduk-spanduk ini nantinya ketika nuansa pilkada selesai.

Layaknya pemilihan umum di mana pun ia diselenggarakan, selalu terjadi berbagai kisruh dalam berbagai macam bentuk kampanye, entah itu perang kampanye maupun black campaigne untuk menyindir salah satu cagub-cawagub, meskipun mereka berkelit tidak berniat seperti itu. Untuk perang kampanye pada pilkada DKI Jakarta kali ini, terlihat dari stiker dan spanduk para cagub-cawagub yang saling berdampingan satu sama lain, sehingga terlihat saling menawarkan janji kepada pemilih. Misalnya dalam jarak empat meter saja, terdapat tiga pasangan cagub-cawagub yang stiker dan spanduknya saling berimpitan. Ada yang menempel di tiang dalam bentuk stiker yang saling menutupi stiker calon lain, atau spanduk dan bendera yang berada di atas dan bawah satu sama lain.

Baliho, striker dan atribut lain untuk meramaikan kampanye Pemilukada di Jakarta saling bertumpuk di ruang kota

Sementara itu, kasus black campaign yang terjadi adalah dengan munculnya tagline salah seorang pasangan calon cagub-cawagub yang dinilai menyindir calon pasangan lain. Pasangan cagub-cawagub Hendardji-Ahmad terpaksa harus berurusan dengan tim advokasi Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli perihal tagline ‘Jakarta Jangan Lagi Berkumis’ yang menuai keberatan dari Fauzi Bowo. Keberatan itu timbul karena simbol ‘kumis’ yang sudah disematkan pada sosoknya. Akhirnya permasalahan tagline itu selesai ketika Panwaslu meluluskan tagline tersebut dengan menghilangkan kata ‘Lagi’, sehingga berubah menjadi ‘Jakarta Jangan Berkumis’.

Selain ‘Jakarta Jangan Berkumis’, tagline lain yang muncul di spanduk itu bermacam-macam. Misalnya ‘Jakarta Maju Terus’, ‘Berdaya Bareng-Bareng’, ‘Harapan Baru untuk Jakarta Baru’, dan ‘Rumah Kerja 3 Tahun Bisa’, atau beberapa stiker ditempel dan tiap stiker berisikan janji-janji para cagub-cawagub bila mereka terpilih. Yang menarik, ada hal-hal paradoksal yang bisa ditangkap seiring membanjirnya atribut fisik kampanye mereka tersebut. Katakanlah ‘Harapan Baru untuk Jakarta Baru’ di mana sebenarnya tidak ada yang baru dari banjir spanduk dan pameran janji-janji jika sudah mendekati pemilu. Sama halnya dengan ‘Jakarta Jangan Berkumis’, ‘Berkumis’ di sini adalah anagram dari ‘Berantakan, Kumuh, dan Miskin’ sesuatu hal yang sepertinya sangat ditunjukkan dengan pemasangan spanduk yang tidak rapi dan asal tumpang tindih di berbagai sudut. Hal menarik lain yang terjadi adalah, kemungkinan salah seorang pasangan cagub-cawagub yang tidak mau dikritik atas kontradiksi kata ‘bersih’ dalam kampanye, sehingga ia tidak mencatumkan kata ‘bersih’ baik dalam janji maupun kalimat di spanduk dukungannya.

Pemdangan jalan-jalan di Jakarta penuh dengan atribut kampanye para cagub dan cawagub yang maju di Pilkada DKI Jakarta 2012

Heran melihat berbagai bentuk spanduk, baliho, bendera, dan stiker ini. Dalam hal ini, posisi Panwaslu mulai dipertanyakan. Memang Panwaslu bertindak sebagai pengawal dalam berjalannya sebuah pemilihan pemimpin, dan kerja mereka soal kampanye money politics itu cukup baik. Hanya saja, sepertinya Panwaslu melupakan aspek substansial dalam kampanye calon. Bukankah kisruh tagline ‘Jakarta Jangan Berkumis’ harusnya sama kedudukannya dengan Jakarta yang ‘Bersih’ tapi dipenuhi sampah baliho, stiker, bendera, dan spanduk? Kesamaan itu terletak pada permasalahan substansi yang tersangkut di dalam tagline, tentang arah rujukan dari makna tagline itu sendiri. Kalau seorang calon ada yang memprotes dan mempertanyakan makna tagline, baiknya ada juga yang memprotes konsistensi kata ‘bersih’ dalam spanduk yang mengotori jalanan dan membuat pemandangan yang tidak mengenakkan.

Pada akhirnya, di ujung pengamatan saya hanya bisa berharap semoga saja lautan baliho, spanduk, stike, dan bendera ini hanya sementara dan janji cagub untuk membersihkan Jakarta tidak dicerminkan melalui cara kampanye mereka.

About the author

Avatar

Perdana Putri

Lahir 4 September 1994. Sedang menempuh Program Studi Rusia di Universitas Indonesia (UI). Saat ini juga sedang belajar Bahasa Prancis di Institute Francais Indonesia.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.