Sebagaimana Jakarta, tuntutan untuk menjadi kota yang mengglobal masih tersendat oleh persoalan infrastruktur dan kepentingan kelompok. Beberapa sumber di internet yang menyatakan betapa Bangalore telah menjadi sebuah wilayah yang canggih dengan fasilitas teknologi di sana-sini, bertolak belakang dengan pengalaman nyata saya—meskipun memang, pengalaman ini masih sangat kurang untuk diklaim representatif. Dengan nama yang telah menginternasional itu, Bangalore masih perlu mengatasi persoalan di sektor transportasi yang masih jauh dari kata baik, dan butuh bernegosiasi dengan masalah sentimen kesukuan yang kental di kehidupan warganya.∎
Bangalore dari Kacamata Saya, Orang Jakarta
Seperti yang saya sebutkan di awal tulisan, saya tidak banyak mengalami peristiwa-peristiwa menarik di Bangalore. Namun, berdasarkan pengalaman ketubuhan yang saya dapatkan ketika menaiki taksi setiap hari di Bangalore—setidaknya, saya dengan sadar merasakan buruknya kondisi jalan dan sesaknya kota Bangalore yang macetnya sebelas-duabelas dengan Jakarta—dan pengalaman diskursus pada penayangan dan diskusi filem-filem di Experimenta—terutama, diskusi yang demikian sensitif pada acara penayangan Court—saya berani menarik satu kesimpulan tentang Bangalore. Bahwa, terlepas dari prestise yang dimiliki warganya, kota ini seolah-olah sedang berada di ambang keyakinan akan statusnya sebagai kota kosmopolitan.