Jurnal Kota: Bangalore Negara Bagian: Karnataka Republik India

Bangalore dari Kacamata Saya, Orang Jakarta

Pertanyaan si warga yang menghampiri saya di dekat pedagang teh, nyatanya, mempengaruhi saya untuk juga menganggap, bahwa hiruk-pikuk di pinggir jalan depan Goethe Institut tampaknya memang tak biasa. Seolah-olah ada sesuatu yang telah lama ditunggu-tunggu orang. Dari beberapa kawan sesama tamu festival, saya kemudian mendengar bahwa Experimenta 2015 menjadi sangat menarik perhatian karena salah satu programnya menayangkan filem Chaitanya Tamhane, berjudul Court (2014), tiga kali berturut-turut sejak hari pertama festival.

Bangalore dari kacamata saya (12)

Cuplikan adegan di filem Chaitanya Tamhane, “Court” (2014).

Filem tersebut telah tayang pertama kali di Venice International Film Festival tahun 2014 dan memenangkan penghargaan Luigi De Laurentiis (Lion Of The Future). Pada 2015, filem itu juga mendapat penghargaan Golden Lotus dari National Film Awards. Saya menonton dan mengikuti diskusi yang dihadiri oleh sutradaranya pada hari pertama.

Cuplikan adegan di filem Chaitanya Tamhane, “Court” (2014).

Cuplikan adegan di filem Chaitanya Tamhane, “Court” (2014).

Seorang kakek tua membacakan syair di atas panggung. Acara itu kemudian dihentikan oleh polisi dan si penyair tiba-tiba dijebloskan ke penjara. Dia kemudian menjalani persidangan atas dakwaan bahwa syairnya memicu peristiwa bunuh diri seorang warga. Akan tetapi, cerita dalam Court justru tidak berfokus pada kisah hidup si kakek, melainkan pengalaman hidup si pengacara, jaksa dan hakim yang menjalankan persidangan. Masing-masing mereka memiliki kualitas hidup yang berbeda: si pengacara yang masih lajang, menghabiskan waktu-waktu senggangnya dengan mendatangi berbagai pubs di kotanya, berpacaran. Lingkungan pergaulannya menunjukkan dirinya berasal dari kelas elite. Si ibu jaksa, yang juga merupakan ibu rumah tangga, harus menghadapi kebiasaan suaminya yang suka mabuk-mabukan, bersama keluarga menghabiskan waktu libur ke restoran rakyat, menunjukkan dirinya termasuk ke dalam kategori masyarakat kelas bawah. Namun, profesi mereka justru bertolak belakang: si pengacara berjuang menolong kaum tertindas, sedangkan si jaksa berusaha mendakwa sesuai hukum formal yang berlaku di India. Sementara itu, si hakim, yang tampak bijak di meja persidangan, nyatanya memiliki keseharian sebagai seorang kakek yang cepat naik darah, bahkan dengan gampangnya memukul sang cucu yang mencoba mengganggunya sewaktu tidur.

Cuplikan adegan di filem Chaitanya Tamhane, “Court” (2014).

Cuplikan adegan di filem Chaitanya Tamhane, “Court” (2014).

Cerita filem juga dibumbui dengan adegan-adegan menggelitik, terkadang sangat lucu, terutama di adegan persidangan. Review dari Rotten Tomatoes menyebutkan, bahwa si sutradara tampak dengan sengaja memadukan komedi dengan tragedi sebagai sebuah pendekatan naturalis dalam membangun karakter tokoh-tokoh yang merepresentasikan masyarakat India secara keseluruhan, yang kaya dengan kompleksitas dan kontradiksi.[1]Rotten Tomatoes, “Court”, Tanpa Tanggal. Dipetik pada 15 Desember, 2015. Sedangkan Chaitanya Tamhane sendiri mengaku bahwa inspirasinya dalam membuat filem itu adalah kebodohan birokrasi dan sikap apatis si kaya terhadap kehidupan si miskin. Filem itu dibuatnya dengan mengambil latar di Mumbai.

Cuplikan adegan di filem Chaitanya Tamhane, “Court” (2014).

Cuplikan adegan di filem Chaitanya Tamhane, “Court” (2014).

Meskipun berlatar kota yang berbeda, nyatanya Court memiliki aspek yang menjadikannya penting untuk Bangalore, yakni persoalan bahasa dan konflik wilayah. Sengketa perbatasan antara negara bagian Karnataka (tempat Bangalore berada, yang berbahasa resmi Kannada) dengan negara bagian Maharashtra, dalam memperebutkan klaim wilayah Belgaum, melatarbelakangi bagaimana bentuk tanggapan warga Bangalore terhadap Court. Oleh negara bagian Maharashtra yang berbahasa resmi Marathi, Belgaum dianggap sebagai tanah yang mayoritas penduduknya juga berbahasa Marathi sehingga muncul tuntutan untuk memasukkan Belgaum menjadi wilayah resmi Maharashtra. Ini memicu konflik antara penduduk berbahasa Kannada dan penduduk berbahasa Marathi hingga kini.[2]Ravi Sharma (3-16 Desember, 2005 ), “A Dispute Revived”, Frontline, Vol. 22, No. 25. Dipetik  pada 15 Desember, 2015. Filem Court dianggap akan memperkeruh konflik tersebut jika ditayangkan di Bangalore, karena di dalamnya terdapat dialog-dialog dalam bahasa Marathi, dan bahkan dituduh sebagai “filem Marathi” (tuduhan ini tentu diprotes oleh si sutradara).[3]Subhash K. Jha (4 Mei, 2015), “No Marathi in Bangalore: Court screening stopped”, Bollywood Hungama. Dipetik pada 15 Desember, 2015. Court sempat akan ditayangkan pada Bulan Mei lalu di Bangalore, tapi batal karena kendala tersebut. Oleh karenanya, keberhasilan Experimenta menghadirkan Court ke kota Bangalore menjadi salah satu faktor yang membuat festivalnya menjadi sangat ramai.

Suasana diskusi pasca penayangan filem "Court".

Suasana diskusi pasca penayangan filem “Court”.

Filem itu mendapat penghormatan oleh Experimenta sebagai filem pembuka festival, di samping menjadi bagian dari program spesial dan tayang lebih dari sekali. Karena posisinya itu, barangkali dia semacam mewakili pernyataan yang hendak diwacanakan oleh Experimenta: bahwa struktur naratif dan bentuk visual sebuah filem mencerminkan aspek sosial-politik filem itu sendiri. Dengan ambilan gambar yang dominan statis, kemasan cerita yang menghindari dramatisasi—baik kisah si pengacara, ibu jaksa, maupun bapak hakim di dalam Court, percayalah, tidak heroik sama sekali, tetapi menjadi unik ketika kita menyimak bagaimana kisah-kisah mereka, yang terpisah satu sama lain itu, berputar mengelilingi poros peristiwa pengadilan yang mereka lakukan. Filem ini pada dasarnya mengangkat persoalan konflik horizontal yang ada di tingkat warga, kemiskinan struktural, dan pertarungan kelas ke hadapan relativitas hukum elite. Tapi, juga sarat memunculkan ambivalensi atas masalah pluralitas masyarakat yang beriringan dengan arah pembangunan India dalam mencapai statusnya sebagai negara ekonomi superpower yang, satu di antara banyak agenda, diusahakan melalui pengembangan “smart city”, di mana Bangalore menjadi salah satu yang diharapkan.[4]moneycontrol, “Bangalore realty gets startup boost with smart city option”, 20 November, 2015. Dipetik pada 15 Desember, 2015. Meskipun, Bangalore memiliki masalah pada populasi penduduk dan kualitas fasilitas publik, seperti minimnya jumlah toilet umum bersih,[5]The Times of India, “Why Bengaluru didn’t make it to the smart cities list”, Tanpa Tanggal. Dipetik pada 15 Desember, 2015. menyebabkan kota itu sebenarnya menjadi tidak masuk dalam daftar kota yang akan di-“smart city”-kan[6]Bangalore Mirror, Bengaluru, Mumbai Not On Smart City List“, 27 Agustus, 2015. Dipetik pada 15 Desember, 2015. oleh pemerintahnya. Hal itu juga dialami oleh Mumbay.

Footnote   [ + ]

1. Rotten Tomatoes, “Court”, Tanpa Tanggal. Dipetik pada 15 Desember, 2015.
2. Ravi Sharma (3-16 Desember, 2005 ), “A Dispute Revived”, Frontline, Vol. 22, No. 25. Dipetik  pada 15 Desember, 2015.
3. Subhash K. Jha (4 Mei, 2015), “No Marathi in Bangalore: Court screening stopped”, Bollywood Hungama. Dipetik pada 15 Desember, 2015.
4. moneycontrol, “Bangalore realty gets startup boost with smart city option”, 20 November, 2015. Dipetik pada 15 Desember, 2015.
5. The Times of India, “Why Bengaluru didn’t make it to the smart cities list”, Tanpa Tanggal. Dipetik pada 15 Desember, 2015.
6. Bangalore Mirror, Bengaluru, Mumbai Not On Smart City List“, 27 Agustus, 2015. Dipetik pada 15 Desember, 2015.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.