Bernas Pariwisata Bangsal Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Aliran Listrik, Aliran Kehidupan

Avatar
Written by Muhammad Sibawaihi
Suatu malam di Dusun Karang Subagan, tepatnya di RT. 6, ada sebuah kejadian unik yang cukup mencekam. Kala itu, baru saja aku melaksanakan shalat magrib. Dari bawah, terdengar suara bapak, ibu, serta kakakku yang masih berdzikir. Tiba-tiba, lampu-lampu di rumahku berkedip-kedip. Cahayanya sebentar buram, sebentar terang. Kutengok sekeliling kamar. “Kejadian horor apa ini?” pikirku dalam hati. Aku keluar kamar, sebab beberapa kali aku mengalami kejadian mistis di kamar. Lampu di ruangan luar pun mengalami hal serupa. Aku jadi panik. Apalagi setelah melihat lampu tetangga tidak mengalami hal serupa. Aku kemudian turun. Lampu di lantai bawah juga mengalami kejadian serupa. Dari jauh, kulihat lampu tetangga di sebelah sana juga persis seperti lampu diskotik.

“Ada apa ini?” kakakku, Nurhayati, menghentikan dzikirnya lalu keluar dan bertanya padaku.

“Saya tidak tahu,” jawabku sambil heran.

Nyala lampu semakin tidak stabil. Padamnya lebih lama dari nyalanya. Suara aliran listrik terdengar semakin keras. Zzzzzzzt…zzzzzt…zzzzt… Kami panik. Ibu meminta kami untuk memeriksa, mungkin ada korsleting. Beberapa tetanggaku keluar.

Ketika kami sedang sibuk memeriksa apa yang terjadi, terdengar teriakan yang cukup keras. Aku mengenali suara itu. Juki, salah seorang tetanggaku, berlari sambil berteriak.

“Matikan kilometeeerrr!!! Matikan kilometerrr…!!!” teriaknya, berlari dari belakang rumah, menuju teras depan rumahnya untuk mematikan aliran di meteran listrik.

Kami panik… “Ada apa ini, Man Juki?” tanyaku sambil mendekatinya. Instruksinya masih kuabaikan karena bingung.

“Matikan kilometer…!!! Kabel listrik terbakar! Cepat! Matikan segera…!!!”

“Kebakaraaaannn….!!! Matikan kilometer…! Cepat!” aku ikut berteriak pula!

Kakakku yang sedari tadi berdiri di dekat pintu langsung saja mematikan meteran listrik yang berada persis di belakang tempat ibuku sholat.

Suasana jadi gelap. Tetangga mulai keluar berhamburan. Yang punya anak kecil, keluar sambil menggendong anaknya, diiringi suara tangis. Wahid, tetangga di sebelah rumahku pun, keluar tanpa baju. Suasana semakin tegang, ketika api dari rumah salah seorang tetanggaku, Musir, semakin besar. Bunyi tegangan listrik yang terbakar membisukan kami. Zzzzzzzztttttt… zzttttztztztzt…zttztztzzzzzzzzt…

“Keluar!!! Keluar!!! Bawa ibu keluar!!!” Juki berteriak lagi.

“Ayo kita lihat ke sana!” Kami berbondong-bondong ke rumah Musir.

Setibanya kami di sana, kami lihat Musir sudah ada di atas genteng rumahnya. Ia berusaha memadamkan api yang semakin besar.

“Air…!!! Mana air?!!!” teriak Musir.

“Jangan pakai air!!! Kilometer, matikan!!! Itu…, rumahnya Saprud masih menyala …,” Wahid menginstruksikan agar aliran listrik dipadamkan. Tidak mungkin memadamkan api dari percikan listrik dengan air. Bisa-bisa malah celaka.

Kemudian, api tiba-tiba padam setelah semua meteran dimatikan. Untung saja tidak terjadi musibah besar. Hanya atap rumah Musir yang sedikit hangus karena api. Api yang ditimbulkan oleh aliran listrik itu, sebenarnya, cukup indah. Warnanya ada biru, hijau, kuning, merah…

Kini gelap menyelimuti kami. Hanya diterangi lilin dan lampu minyak. Ibu-ibu masih berkumpul di rumah. Juki datang memberitahukan masalah yang sebenarnya terjadi. Sore sebelum kejadian itu, entah apa yang mendorongnya, Musir naik ke atap rumahnya dan mulai memperbaiki aliran listrik. Musir beralasan bahwa ada gangguan. Kami tidak meragukan keahlian Musir; sudah cukup lama kami tahu dia sering memperbaiki instalasi listrik. Namun, untuk aliran yang memiliki tegangan besar seperti yang sore itu ia lakukan, kami ragu. Makanya, kejadian itu sontak membuat tetangga memarahi Musir. Ibu-ibu yang mendengar cerita Juki pun menjadi kesal.

Di tengah keributan, aku berinisiatif untuk menelpon Imran, sepupuku. Imran adalah salah seorang pekerja PLN yang ditugaskan di Gili Meno. Karena sudah terbiasa mendapat keluhan jaringan listrik, Imran pun tanggap dengan kejadian yang aku laporkan, dan langsung menelpon petugas PLN di Kecamatan Tanjung. Imran menelpon balik, dan memastikan bahwa sebentar lagi petugas PLN dari Tanjung akan segera datang untuk memperbaiki.

Tentu kejadian malam itu menjadi pengalaman yang sangat berharga. Bahwa, jika memang kita tidak memiliki keahlian untuk mengerjakan sesuatu, boleh dicoba, asalkan dipikirkan dahulu dampaknya untuk banyak orang.

Ngomong-ngomong soal Imran, aku jadi tertarik untuk bercerita tentangnya lebih jauh. Apalagi, sejak tahun 2006, dia sudah bekerja di Tiga Gili. Semoga saja kisah hidupnya melayani masyarakat di Tiga Gili bisa menjadi pengetahuan juga buat kita.

Imran dan Listrik

Imran adalah sepupuku. Orang tua kami bersaudara. Sejak kecil, Imran dan aku selalu bersama. Bermain, berkelahi, bercanda, menangis bersama. Kami berpisah saat ia lulus SMP. Ia harus meninggalkan Lombok Utara menuju Lombok Barat. Saat itu, demi melanjutkan pendidikan, ia ikut bersama ibunya yang tinggal di Kediri, Lombok Barat.

Selama ia tinggal di Kediri, jarang sekali kami bertemu. Pernah suatu ketika aku melihatnya di Kediri. Waktu itu, aku sedang mengikuti perlombaan dalam rangka ulang tahun salah satu pondok pesantren besar di Lombok. Sore itu, setelah melihat berbagai jenis pertandingan, aku duduk di teras lantai dua gedung tempat kami menginap. Priit…priit…priiit…! Bunyi peluit terdengar dari kejauhan. Ternyata ada lomba gerak jalan. Satu per satu regu gerak jalan lewat di depan gedung. Tiba-tiba dari kejauhan, tampak sebuah regu gerak jalan yang berbeda. Semua pesertanya tinggi jangkung, rapi, dengan gaya rambut yang hampir sama. “Kita sambut regu gerak jalan dari Tim Paskibra SMKN Kuripan…!” panitia menyambut kedatangan regu yang membuatku terkagum itu. Kulihat satu per satu anggota regu itu. Satu orang tampak sangat akrab. Seperti kenal, namun ragu-ragu. Semakin dekat, wajahnya semakin jelas.

“Imraaaaan…! Woeeee…, Imraaaaaan…..!!!!” aku berlari turun. Girang, senang dan bahagia terpancar dari wajahku. Kalau kata pepatah, wajahku kala itu seperti bulan purnama, kurang-lebih.

“Imraaaan….!!!” aku terus saja memanggilnya. Namun, memang dia sedang dalam barisan, jadi dia tidak melihatku sama sekali. Aku tetap mengikuti regu itu sampai mereka bubar. Setelah bubar barisan, aku menghampiri Imran dan melepas rindu.

Imran memang dikenal kreatif di sekolahnya. Ia salah satu pendiri Teater di SMKN Kuripan. Pernah suatu ketika, ia memintaku dan Gozali untuk mengunjungi mereka, sekaligus ia ingin berkonsultasi tentang teater bersama Gozali. Dia sering menceritakan kegiatan-kegiatan ekstra yang ia lakukan bersama kawan-kawannya di SMKN Kuripan, Lombok Barat. Imran sendiri mengambil jurusan Tekhnik Mesin atau Otomotif. Bekal pengalamanya di sekolah itulah yang nantinya membawa Imran menuju dunianya yang sekarang.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMKN Kuripan, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halaman, Pemenang. Ia mengawali karirnya sebagai pegawai Dangar Motor, sebuah bengkel yang berlokasi di pinggir Jalan Raya Pemenang Barat. Ia bekerja di Dangar Motor sekitar empat bulan.

Ketekunan membuat Imran sangat dibutuhkan oleh masyarakat Gili Air. Tanpa pamrih ia sering membantu pemasangan instalasi listrik untuk masyarakat, meski kadang cemoohan dan kata-kata kasar dari pelanggan sering kali ia dengar.

Ibu Imran berasal dari Gili Air. Imran memiliki banyak keluarga di Gili Air. Selama bekerja di Dangar Motor, paman-paman Imran sering mempromosikannya ke perusahaan-perusahaan di Gili Air. Sampai suatu ketika, ada lowongan kerja yang dibuka oleh PLN Cabang Tanjung untuk pekerja kontrak yang akan ditempatkan di Tiga Gili. Oleh pamannya, Imran segera diminta untuk membuat surat lamaran kerja. Keesokan harinya, Imran langsung meluncur ke PLN Cabang Tanjung dengan membawa surat lamaran yang sudah ia siapkan. Berkat promosi dari paman-pamannya, Imran dengan mudah diterima bekerja di sana. Hal penting yang menjadi nilai plusnya saat itu adalah, dari enam orang yang melamar, Imran satu-satunya yang memiliki sertifikat resmi dari institusi pendidikan tentang keahlian mesinnya. Maka, pagi itu, Imran langsung menandatangani kontrak, dan sore harinya ia langsung berangkat ke Gili Air.

Imran.

Tidak butuh waktu lama untuk belajar. Hanya butuh tiga jam ia berguru kepada seniornya di PLN Unit Gili Air. Imran mengaku bahwa seniornya juga tidak begitu pandai berteori. Imran hanya diajarkan bagaimana cara menyambung instalasi listrik. Permasalahan mesin dan lain sebagainya, akan diketahui seiring berjalannya waktu.

Imran sangat beruntung. Baru enam hari kerja, ia sudah mendapatkan insentif untuk bulan itu. Sebab, ia masuk persis di awal bulan sebelum tanggal gajian. Gaji awalnya sebesar Rp. 600.000, Imran langsung membeli handphone polyphonic keluaran terbaru di masa itu dengan harga Rp. 350.000,-. Membeli handphone baru bukan keinginan Imran, sebenarnya, tapi karena diinstruksikan oleh seniornya. Sebab, bagaimanapun, komunkasi antara masing-masing unit yang ada di Tiga Gili sangat penting bagi PLN Cabang Tanjung. Pelaporan daya setiap jam, kondisi mesin setiap waktu, dan berbagai macam masalah teknis dan nonteknis, hanya bisa dikomunikasikan lewat handphone, mengingat jarak tempuh yang jauh dan sulit, yang tidak memungkinkan terjadinya konsultasi tatap muka.

Kondisi perekonomian keluarganya membuat Imran menjadi pekerja yang tekun. Ada motivasi yang terpendam dalam dirinya yang sering ia ceritakan kepadaku. Perceraian orang tuanya membuat kehidupan masa kecil Imran tidak seperti orang lain yang mendapat kasih sayang orang tua. Imran, ketika memulai kerja di Gili Air, merasa sangat penting untuk ikut terlibat dalam pendidikan dua orang adik tirinya. Meskipun bapaknya masih hidup, namun tidak seberapa upah yang didapat dari menjadi buruh lepas. Ibunya, juga memiliki tanggungjawab lain, yakni anak-anak yang dikaruniai oleh Tuhan, hasil pernikahannya dengan bapak tiri Imran yang berasal dari Kediri.

Ketekunan membuat Imran sangat dibutuhkan oleh masyarakat Gili Air. Tanpa pamrih ia sering membantu pemasangan instalasi listrik untuk masyarakat, meski kadang cemoohan dan kata-kata kasar dari pelanggan sering kali ia dengar. Keluhan pelanggan listrik Gili Air tentang seringnya terjadi gangguan, mati lampu, dan mahalnya tarif listrik, menjadi sarapannya tiap hari. Tidak hanya di Gili Air, tapi juga di Gili Trawangan dan Gili Meno.

Selama bekerja di Gili Air, Imran sering mendapat tugas untuk membantu dua unit lain yang ada di Gili Trawangan dan Gili Meno, terutama terkait masalah perbaikan mesin. Pengalaman-pengalaman itu membuat Imran dapat menyimpulkan bagaimana karakter masyarakat di Tiga Gili. Meski berbeda tempat, tapi secara keseluruhan karakter masyarakat di Tiga Gili sangat mirip. Satu alasan yang sangat masuk akal adalah, keterdesakan pariwisata, membuat karakter masyarakat berubah. Tidak sama dengan masyarakat yang ada di daerah lain di Lombok Utara.

Setelah empat tahun bekerja di Gili Air, pada tahun 2010 Imran di-reshuffle ke Gili Meno. Di Gili Meno inilah Imran menjadi lebih matang oleh berbagai macam persolan. Suka duka, susah-senang, asmara dan peroblematika kehidupannya, meski tidak seperti kisah kepahlawanan atau kisah tokoh-tokoh besar, cukup menarik untuk kita telusuri.

Sejak itu, Imran pun menetap di Gili Meno, menjadi gardu-gardu, melaporkan tegangan dan daya setiap jam, bersepeda keliling kampung, menyusuri tepian pantai berpasir putih, menikah, berkeluarga, dan di hari-hari kemudian, sembari tetap berkeliling kampung ia menggendong Lily, putrinya yang cantik seperti bunga lili yang sedang mekar.

Curahan Hati dan Konflik Kelistrikan

Ketika baru bekerja di Gili Air, Imran berpendapat bahwa kondisi industri pariwisata di Gili Air masih kondusif, tidak begitu pesat seperti sekarang ini. Saat itu, masih banyak masyarakat Gili Air yang masih berprofesi sebagai nelayan. Hanya beberapa orang saja yang membangun restoran atau bungalow. Untuk kebutuhan listrik saja, saat itu tidak semua masyarakat memiliki meteran sendiri. Banyak masyarakat yang ‘nyodoq’ (nebeng) ke tetangga sebelahnya. Satu meteran listrik bisa digunakan oleh empat sampai lima kepala keluarga.

Maka, tidak jarang ketika Imran pergi menagih setoran bulanan listrik, ia harus menunggu satu jam. Menunggu sang pemilik meteran listrik menagih kepada tetangga yang ‘nyodoq’. Juga sering terjadi, ketika waktu penyetoran tiba, masyarakat masih belum memiliki uang untuk membayar.

Kelompok-kelompok masyarakat yang menggunakan jasa “listrik bersama” ini sering protes jika setoran bulanan mereka naik. Imran mesti hati-hati memberikan penjelasan kepada mereka. Diajaknya masyarakat untuk menghitung daya yang mereka gunakan setiap bulannya. Misalnya, apakah ada perbedaan penggunaan antara bulan kemarin dan bulan ini? Apa saja alat elektronik yang dimiliki masyarakat yang bisa mendongkrak biaya listrik? Dan berbagai macam komunikasi dibangun agar masyarakat tidak gegabah atas penggunaan daya dan terkejut apabila ada kenaikan biaya listrik.

Waktu itu, pasokan listrik dari PLN Cabang Tanjung ke Gili Air belum ada. Masing-masing unit memiliki Generator Pembangkit Listrik-nya sendiri. Gili Air saat itu memiliki 3 buah generator yang berkapasitas 200 KW (Kilo Watt), Gili Meno juga memiliki 3 buah generator yang berakapasitas sama, dan Gili Trawangan 5 buah dengan rincian 2 buah generator berkapasitas 200 KW, 2 buah generator 300KW, dan 1 buah generator 250 KW. Namanya juga mesin, semakin sering digunakan akan semakin rapuh. Ada saja yang rusak. Temperatur yang terlalu panas sering menyebabkan korsleting, pipa oli yang sering bocor, HVS (pengatur tegangan) yang sering tidak stabil; semua itu membuat mesin sering mengalami gangguan. Belum lagi faktor alam yang juga menyebabkan gangguan pada sistem jaringan listrik, seperti pohon tumbang dan angin kencang. Termasuk juga, yang sering terjadi adalah, karena tingginya zat garam di Gili Meno, banyak tiang-tiang listrik menjadi cepat berkarat, yang akhirnya menyebabkan kerusakan dini. Dan itu tidak hanya berlaku pada tiang listrik, hampir semua alat yang berbahan besi, rawan dan sensitif akan kondisi tersebut.

Berbagai jenis kendala teknis dan nonteknis di atas, mau tidak mau, menyebabkan padamnya arus listrik. Jika arus listrik kemudian sengaja dipadamkan atas dasar persoalan teknis tadi, atau atas dasar faktor alam, maka secara otomatis ada banyak pelanggan yang mengeluh.

“Makanya, paling susah itu jadi petugas PLN. Petugas yang paling sering mendapat sumpah-serapah dan kata-kata kotor adalah petugas PLN. Jadi petugas PLN itu selalu salah. Pas mati lampu aja baru diingat, itu pun yang tidak baik disebut. Pernah, waktu aku cek-cok dengan pelanggan yang punya usaha akomodasi, dia protes kenapa sering terjadi pemadaman. Katanya, banyak tamu (turis) menggerutu kepadanya. Ya…, aku meminta dia untuk menjelaskan bagaimana kondisi listrik di pulau. Aku tanya, bagaimana dia mempromosikan bungalownya. Apakah gangguan seperti pemadaman listrik ini ia cantumkan dalam brosur? Apakah, sebelum tamu masuk ke bungalownya, sudah dijelaskan terlebih dulu bahwa akan sering terjadi pemadaman? Dia diam saja dan tidak bisa jawab. Yang terjadi adalah banyak pengusaha bungalow, homestay, maupun restoran yang tidak menjelaskan kondisi ini kepada tamu. Padahal, jika dijelaskan sebelumnya, tamu pasti mengerti kondisi ini…,” cerita Imran.

Menurut Imran, pebisnis yang sering mengeluh adalah pemilik bungalow, homestay, atau restoran yang kecil-kecil. Sebab, untuk kebutuhan listrik, mereka hanya mengandalkan sumber dari PLN. Hotel-hotel besar biasanya sudah memiliki generator cadangan. Jika terjadi pemadaman, mereka sudah punya, istilahnya, ‘ban serep’.

Aku jadi ingat cerita dari Pak Jamhur, bapaknya Imran. Pak Jamhur pernah bekerja cukup lama di Gili Air. Waktu itu adalah masa-masa kejayaannya. Beliau tidak putus-putus menerima proyek, seperti membangun bungalow baru, perbaikan toilet, membangun restoran, dan lain-lain. Saat bekerja di Gili Air, listrik belum masuk. Ketika petang menjelang, Pak Jamhur sering membantu bos tempatnya bekerja untuk menyalakan petromaks dan lampu minyak. Selain petromaks, masyarakat yang tingkat ekonominya cukup mapan, biasanya membeli generator kecil yang cukup untuk kebutuhan mereka, terutama mereka yang memiliki bungalow atau homestay. Namun, karena generatornya kecil, tidak bisa digunakan maksimal untuk mengangkat daya listrik alat-alat elektronik yang ada. Maka petromaks menjadi solusi juga.

Meskipun saat itu ke Gili Air belum masuk listrik, wisatawan tetap banyak. Listrik baru akan segera masuk ke Gili Air antara tahun 1995-1998. Nah, sejak 1996, masyarakat sudah mulai gembar-gembor. Sebab, sebentar lagi pemerintah, dalam hal ini, PLN, akan mengakomodir kebutuhan listrik di Gili Air. Isu akan masuknya listrik ke Gili Air membuat para pengusaha atau masyarakat yang memiliki generator ingin menjual generator mereka. Mereka nantinya berharap dan mengandalkan pasokan energi listrik dari PLN. Dan benar saja, ada banyak masyarakat yang nyatanya menjual generator mereka. Pak Jamhur waktu itu sempat mencegah bosnya yang juga ingin menjual generator. “Coba dipikir dulu…! Namanya listrik ini, kadang hidup, kadang mati. Jika listrik mati, Bapak bisa menggunakan generator ini. Namanya listrik baru masuk begini, mungkin 1-2 bulan akan terus menyala. Tapi setelah itu, pasti sering macet …,” cerita Pak Jamhur, mengingat percakapnnya dengan Si ‘Bos’.

Tahun 2012, harapan masyarakat Tiga Gili akan pelayanan yang maksimal pun mulai terlihat. PLN kala itu memasang aliran listrik bawah laut dengan menanam kabel-kabel berukuran besar. Kabel dipasang berkelok-kelok seperti ular. Di setiap kelokan, dibangun tanggul untuk menahan arus bawah laut.

Untung saja, Si Bos tidak jadi menjual generatornya. Karena, ternyata, apa yang disampaikan oleh Pak Jamhur benar. Setelah 1, 2, 3 bulan berikutnya, sering sekali terjadi pemadaman. Si Bos bersyukur tidak menjual generatornya. Sementara, beberapa pengusaha yang lain, yang sudah menjual generator mereka, justru menyesal.

Ketika Imran pindah ke Gili Meno pada tahun 2010, ia langsung tinggal di Kantor PLN Unit Gili Meno. Di dekatnya tinggal itu, sebuah gudang berisi tiga buah mesin generator berkapasitas 300 KW, menderu setiap saat. Mesin menderu, mengalirkan tenaga listrik kepada seluruh masyarakat Gili Meno. Dan seperti biasa, ketika mesin mati, mengalirlah berbagai cercaan ke Kantor PLN Unit Gili Meno. Baik itu lewat sms, telepon, atau dari masyarakat yang datang langsung untuk mengomel di kantor tersebut.

Imran menjadi salah seorang yang sangat penting di Gili Meno. Silakan tanya siapa saja orang di Gili Meno, terutama para pengusaha pariwisata, pasti mereka memiliki nomor handphone Imran. Marianna, seorang kawanku dari Polandia, beberapa waktu lalu pernah berlibur ke Gili Meno. Aku meminta bantuan Imran untuk menjemputnya di pelabuhan. Marianna mengaku heran melihat Imran: hampir semua orang di pulau itu mengenal Imran. Hampir setiap menit, ia menerima panggilan telepon. Hampir setiap kali lewat di depan rumah atau restoran atau bungalow, Imran selalu dipanggil. Aku jadi tertawa, ketika sepulang dari Gili Meno, Marianna bercerita tentang Imran. “He is too busy. Everybody calls him. Everybody needs him. I saw him angry on phone. Actually, what is his job…?” seperti itu, kira-kira, cerita Marianna.

Memang demikian. Imran pindah ke Gili Meno dalam kondisi pariwisata Gili Meno sedang naik. Wisatawan semakin banyak. Beberapa hotel besar, kala itu, sudah mulai menyadari kondisi listrik di Gili Meno yang sering mengalami gangguan. Salah satu hotel besar di Gili Meno, dalam brosur promosinya di internet, menerakan informasi tentang kondisi tersebut sehingga, sebelum menginap di sana, para turis sudah memahaminya. Dengan adanya kesadaran semacam itu, Imran tidak pernah lagi menerima keluhan, baik dari pihak hotel maupun dari turis yang menginap di sana. Selain itu, pihak hotel tersebut juga menyiapkan generator cadangan untuk mengantisipasi kemungkinan pemadaman arus listrik.

Namun, tidak semua hotel punya kebijakan dan inisiatif seperti itu. Betapa pesatnya pertumbuhan industri pariwisata di Gili Meno, masih ada saja pengusaha yang belum sadar terhadap hal ini meski mereka sudah bertahun-tahun mengalami permasalahan yang sama. Tampaknya mereka hanya berharap banyak dari PLN, lalu menggerutu jika terjadi gangguan, dan merasa sebal saat datang tagihan bulanan. Masyarakat selalu ingin yang terbaik. Pelayananan yang baik dari PLN, tidak terjadinya gangguan, dan tentu membayar tagihan bulanan dengan biaya yang tidak mahal.

Salah satu penampakan rentangan kabel di gardu listrik yang ada di Gili.

Sebagai pekerja PLN, tentu Imran selalu membela perusahaannya. Meskipun, di satu sisi, Imran juga tidak bisa menyalahkan masyarakat atas kondisi yang demikian. Mesin tua yang digunakan PLN Unit Gili Meno memang perlu diganti. Sebab, dengan jumlah generator yang hanya 3 unit dan berkapasitas 900 KW tersebut, sering kali membuat Imran kewalahan ketika salah satu mesin rusak. Keadaan itu yang menjadi salah satu alasan mengapa ia mesti melakukan pemadaman bergilir.

Imran memberikan penjelasan kepadaku, jika salah satu mesin rusak, berarti tenaga yang bisa kita salurkan hanya 600 KW. Sementara, kebutuhan tenaga listrik yang harus disalurkan adalah 800KW. Maka, mau tidak mau, hanya tersisa 600 KW yang bisa dibagi kepada masyarakat. Sisanya, beberapa tempat harus dipadamkan bergilir. Selama proses pemadaman, pasti akan ada masyarakat yang mendapat jatah listrik menyala lebih lama dari masyarakat yang lain karena berbeda gardu. Di Gili Meno, ada 5 Gardu. Masing-masing gardu memberikan asupan energi yang berbeda. Ada yang 100 KW, ada yang 300 KW, ada juga yang 200 KW. Sering terjadi kecemburuan dalam pembagian ini. Masyarakat belum paham bahwa, meski rumah mereka berdekatan, aliran listrik datang dari gardu yang berbeda.

Tahun 2012, harapan masyarakat Tiga Gili akan pelayanan yang maksimal pun mulai terlihat. PLN kala itu memasang aliran listrik bawah laut dengan menanam kabel-kabel berukuran besar. Kabel dipasang berkelok-kelok seperti ular. Di setiap kelokan, dibangun tanggul untuk menahan arus bawah laut. Selain itu, sebenarnya ada dua jalur aliran pasokan listrik ke Tiga Gili. Satu jalur dinamakan jalur 3G, yang mana aliran pasokan listriknya langsung dari Mataram, sedangkan aliran yang satu lagi dinamakan aliran Hibron, yakni pasokan aliran listrik yang bersal dari Kecamatan Tanjung. Aliran 3G didistribusikan dari Mataram ke Gili Trawangan, kemudian Gili Meno dan terakhir di Gili Air. Sedangkan aliran Hibron, sebaliknya: dari Tanjung ke Gili Air, Gili Meno kemudian terakhir di Gili Trawangan. Namun, menurut keterangan Imran, sementara ini, aliran 3G dikhususkan untuk pasokan listrik Gili Trawangan, karena memang kebutuhannya lebih banyak, sedangkan aliran Hibron digunakan untuk kebutuhan di Gili Air dan Gili Trawangan.

Imran mengira, dan juga umumnya masyarakat, bahwa setelah adanya aliran-aliran ini, tidak akan muncul lagi masalah yang dahulunya sering dikeluhkan. Namun, bagaimanapun, setelah satu masalah diselesaikan, muncul lagi masalah yang lain. Masalah yang muncul belakangan ketika terjadi gangguan, adalah kesulitan masyarakat dalam hal memperoleh informasi tentang kenapa terjadi pemadaman listrik, apa yang rusak, dan kapan listrik akan kembali menyala. Dulu, masing-masing unit memiliki kapasitas untuk memadamkan listrik jika terjadi gangguan, yang berarti tiap unit sangat mengetahui kenapa gangguan terjadi. Jadi, dengan gampang para pekerja di kantor unit bisa menjelaskan kepada masyarakat. Sementara sekarang, karena listrik dialirkan langsung dari kantor cabang (di Mataram dan Tanjung), para pekerja sedikit sulit untuk menjelaskan kepada masyarakat. Yah, salah satu cara yang dilakukan oleh Imran adalah memberitahu seadanya. Dan masyarakat, terutama para pengusaha jasa akomodasi, banyak mengeluh karena mereka tidak segera mendapat informasi yang jelas. Tentu, mereka butuh tahu, agar mereka bisa menjelaskan juga kepada tamu mereka terkait hal ini.

Persoalan lainnya adalah, dengan adanya dua aliran listrik yang baru tersebut, terjadi kecemburuan antarpulau. Tidak sedikit masyarakat yang mengeluh jika pulau yang mereka tinggali mengalami pemadaman listrik sementara di pulau sebelah terang-benderang. Masyarakat Gili Meno, khususnya, sering merasa dianaktirikan oleh PLN; mengapa perusahaan lebih mementingkan Trawangan daripada Gili Meno atau Gili Air. Bukankah Gili Meno juga membayar, juga menghasilkan uang banyak, juga daerah wisata, juga, juga dan juga lainnya…

Imran dengan santai memberikan penjelasan yang sedikit sinis, “Daya yang dibutuhkan Gili Trawangan lebih banyak dari Gili Meno. Gili Trawangan memiliki penduduk yang lebih banyak, maka Trawangan diutamakan. PLN juga jualan. Namanya orang jualan, ya, tidak mau rugi. Tidak mungkin mereka memberikan daya yang banyak ke Gili Meno, sementara penggunaannya sedikit. Pasti mereka akan rugi.”

Jawaban Imran kepada masyarakat di atas, yang ia ceritakan kepadaku, membuatku mengungkapkan pertanyaan serius kepadanya, “Berapa uang yang didapat PLN dari Gili Meno?”

“Kalau secara pasti, saya tidak tahu,” jawabnya. “Ada, sih, rumus untuk menghitung itu…”

“Kalau setahu Ente, hotel yang paling banyak membayar, hotel mana?”

“Setahu saya, sih, Mahamaya. Mereka membayar lebih dari Rp40 juta per bulan…”

“Wow, besar juga, tuh!”

“Belum lagi dari hotel yang lain.”

“Kok, bisa mahal begitu?”

“Iya, karena Mahamaya menggunakan Kilometer Bisnis…”

“Kilometer Bisnis? Bedanya dengan kilometer biasa, apa?”

“Sama saja. Cuma, karena ia menggunakan jasa listrik untuk kebutuhan bisnis, hitungannya beda dengan kilometer rumahan.”

“Perbedaanya, apa …? Apa kekuatannya beda dengan yang rumahan…?”

“Pada dasarnya sama saja. Namanya kilometer, sih, sama saja. Bedanya adalah pada daya…”

“Pokoknya, jangan bingung. Yang penting hitungannya beda antara kilometer rumah tangga dan kilometer untuk bisnis…,” ungkap Gozali yang juga ada di situ, sembari menggosok batu akik.

“Terus, hitungannya bagaimana, tuh, Ran?”

“Sekarang, menghitung bayaran listrik itu sedikit susah. Kalau dulu, semua kilometer menggunakan sistem pascabayar. Jadi, setiap bulan kita datang ke rumah-rumah melihat penggunaan masyarakat. Kalau sekarang, banyak masyarakat yang menggunakan kilometer prabayar, yang pakai pulsa itu. Jadi, susah kalau mau hitung-hitung gitu…”

Kesetrum Cinta Berbuah Bunga

Gili Meno menjadi pulau cinta buat Imran. Di samping bahwa di pulau itu muncul kesadaran Imran untuk mencintai masyarakat dengan memberikan pelayanan yang baik, serta pengetahuan kelistrikan yang juga sering ia bagi kepada masyarakat, di pulau itu pulalah benih-benih cinta tumbuh menjadi pohon yang teduh.

Tidak sia-sia setiap waktu Imran mengayuh sepeda keliling Gili Meno untuk melayani masyarakat. Ternyata, jatuh juga sepeda yang ia kayuh. Jatuh di depan sebuah rumah tempat tinggal si gadis pujaan. Sri Hayati, namanya, biasa dipanggil Aceq. Seorang alumni Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Mataram, yang saat itu bekerja di sebuah hotel di Gili Meno. Ternyata, aliran listrik yang ia sambung setiap hari, menjadi aliran cinta.

Aceq.

Di akhir tahun 2013, Imran dan Aceq melangsungkan akad nikah. Sayang sekali, waktu itu aku tidak bisa menyaksikan upacara sakral pernikahan mereka. Saat itu, aku sedang berada di Paseban, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Dari sanalah doa-doa kukirimkan. Kala itu, aku benar-benar berharap, semoga pernikahan mereka menjadi ikatan suci jalinan kasih, dan agar mereka dijadikan keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah.

Dari tulusnya cinta mereka, Tuhan menganugerahi seorang anak perempuan yang cantik, manis, dan imut. Aisy-Salwa Malika Imran, namanya. Sebuah nama dengan untaian kata yang menjadi doa. Sempat Imran dan Aceq berdebat mengenai bagaimana mereka harus memanggil anak mereka. Apakah Aisy, atau Salwa. Mungkin lebih baik Ika, tidak mungkin dipanggil Imran lagi, kan? Akhirnya, mereka sepakat untuk memanggilnya Lily. Sebuah bunga.

7 Tahun Setelah Menikah

Sudah tujuh tahun Imran dan Aceq membina keluarga. Bunga Lily tumbuh menjadi anak gadis yang cerdas dan ceria. Kecintaan Imran dan Aceq kepada keluarga membuat mereka berusaha lebih giat mencari nafkah. Gaji yang tidak seberapa menjadi tenaga kontrak di PLN Unit Gili Meno membuat Imran selalu berpikir untuk berhenti saja. Aceq yang menempati posisi penting di Hotel dan Restaurant Mahamaya pun merasa tidak nyaman bekerja karena sering meninggalkan Lily.

Lily.

The This-kon, jika didengar sepintas, rada-rada mirip dengan discount yang berarti “potongan harga” atau “korting”.

Akhirnya, pelan-pelan, mereka berstrategi. Awal tahun 2016, di atas tanah warisan keluarga, Imran dan Aceq membangun usaha penginapan. Desain dan konsepnya mereka buat sendiri. “Kami bangun dua kamar dulu. Nanti, kalau sudah ada modal, baru kita tambah lagi…” ungkap Imran. Tidak butuh waktu lama, 25 Agustus 2016, dua kamar The This-Kon—nama usaha penginapan mereka—selesai dikerjakan. 6 September di tahun yang sama, The This-Kon secara resmi didaftarkan di booking.com oleh Aceq.  Meskipun The Ths-Kon sudah resmi beroperasi, Aceq masih tetap bekerja di Mahamaya. Posisi Aceq yang penting sebagai manajer di sana, belum bisa tergantikan. Dalam sehari, dia bisa bolak-balik beberapa kali dari The This-Kon ke Mahamaya.

Ngomong-ngomong soal ‘The This-Kon’, nama penginapan tersebut, agak sedikit aneh, memang. Mari coba kita bedah, the dalam pelajaran Bahasa inggris disebut article, merupakan bagian dari kata sifat (adjective) yang berfungsi menerangkan kata benda (noun). The bisa disandingkan dengan kata benda tunggal atau jamak (singular/plural) yang spesifik. Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, the kurang-lebih berarti “tersebut” atau “yang itu”. Sementara, this jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti ‘ini’, merupakan kata ganti penunjuk (demonstrative pronoun) dengan posisi sebagai pengganti kata benda. Kon adalah Bahasa Sasak Petung Bayan (Lombok Utara) bermakna ‘posisi’ atau ‘tempat’.

Nah, dalam penamaan usaha penginapan mereka, Imran dan Aceq sedang bermain dengan kata-kata. Jadi, kira-kira, ‘The This-Kon’ jika diterjemahkan menjadi “inilah tempatnya”. Mungkin semacam puisi, yang menegaskan di tempat inilah mereka menggantungkan mimpi-mimpi masa depan keluarga mereka.

Juga, menurut keterangan Imran, The This-kon, jika didengar sepintas, rada-rada mirip dengan discount yang berarti “potongan harga” atau “korting”. Imran dan Aceq memang menghajatkan penginapan yang mereka bangun tidak hanya berorientasi pada bisnis untuk menunjang perekonomian keluarga, namun juga berbicara kemanusiaan. Bahwa, bagi siapa saja yang datang ke Gili Meno, membagi pengetahuan kepada warga, maka akan mendapatkan potongan harga.

Pelan-pelan The This-Kon berkembang. Imran dan Aceq mencoba memberikan pelayanan yang baik kepada para wisatawan. Sampai saat ini, rating the The This-Kon di beberapa situs online cukup baik. Seiring berjalannya usaha The This-Kon, Imran diberikan kabar gembira bahwa Aceq sedang mengandung seorang bayi laki-laki.  Mengingat sudah akan memiliki 2 orang anak, Imran dan Aceq memutuskan untuk benar-benar berhenti bekerja di perusahaan orang dan fokus mengembangkan usaha pribadi.

Seminggu sebelum melahirkan, tepatnya 1 November 2016, Aceq memutuskan berhenti bekerja di Mahamaya. Kemudian, pada tanggal 7 November 2016, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Benjamin Ali Imran.

Benjamin.

Aksara Tani Gili Meno

Tahun 2017, Afifah Farida, M. Si datang ke Pasirputih. Afifah adalah inisiator Sayurankita dari Pekanbaru. Sayurankita adalah sebuah platform yang digagas sebagai laboratorium berpikir dan praktik di ranah pertanian secara umum, yang dikombinasikan dengan sudut pandang sosiokultural dan pengelolaan media alternatif. Kedatangan Afifah saat itu adalah untuk menghadiri Festival Bangsal Menggawe, sebuah festival tahunan yang diinisiasi oleh Pasirputih. Selama Afifah berada di Pemenang, kami banyak berdiskusi tentang dunia pertanian. Diskusi-diskusi tersebut berkembang dengan hadirnya kawan-kawan dari Forum Lenteng, Jakarta. Tercetuslah gagasan sebuah proyek kolaborasi antara Pasirputih (organisasi tempat saya bekerja), Sayurankita, dan Forum Lenteng (jaringan Pasirputih di Jakarta), untuk mengembangkan pertanian di Pemenang, dan secara spesifik menunjuk The This-Kon Gili Meno sebagai laboratorium proyek kolaboratif tersebut. Proyek itu kemudian kami sepakati bernama Aksara Tani. Proyek Aksara Tani ini adalah sebuah proyek site specific yang berbasis pengetahuan pertanian, seni, dan literasi media. Proyek ini bekerja sama dengan warga lokal, mengelola lahan/tanah pekarangan rumah, untuk dijadikan sebagai kebun skala rumahan dan kemudian diberdayakan sebagai salah satu sarana ketahanan pangan masyarakat lokal dan ruang untuk menggiatkan gerakan literasi pertanian.

Salah satu penampakan plang yang menginformasikan “tanah dijual”. Penjualan lahan ke investor asing merupakan fenomena yang mengancam kearifan lokal di Tiga Gili.

Beriringan dengan pengelolaan lahan/tanah itu, Aksara Tani juga memproduksi informasi dan pengetahuan dalam bentuk karya teks dan visual, serta menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kreatif lainnya yang dikemas dengan wawasan seni dan budaya.[1]Lihat keterangan tentang proyek ini di situs web Sayurankita.

Aksara Tani tidak hanya memikat wisatawan yang kebetulan menginap di sana, para pemuda dan masyarakat lokal Gili Meno pun seperti mendapatkan tawaran lain dari bagaimana mengelola pariwisata berbasis potensi lokal.

Paling tidak, ada dua hal yang melandasi alasan mengapa proyek ini dijalankan di Gili Meno. Pertama, gagasan ini muncul dari kegelisahan Imran tentang dunia pariwisata yang semakin hari semakin membesar dan menghilangkan nilai-nilai lokal di Gili Meno. Meski juga berada di jalur pariwisata, Imran dan Aceq lantas tidak latah ikut-ikutan tren industri pariwisata pada umumnya. Justru, Imran dan Aceq ingin menghadirkan wacana lain dari bagaimana mengembangkan pariwisata tanpa menghilangkan nilai-nilai lokal yang ada, salah satunya adalah melalui pertanian.

Kedua, berdasarkan cerita-cerita yang dihimpun oleh organisasi Pasirputih selama ini, sebelum maraknya dunia pariwisata, Tiga Gili merupakan lahan pertanian yang dimanfaatkan tidak hanya oleh warga Gili tapi juga warga Pemenang Barat dan Timur. Dahulu, masyarakat Tiga Gili hidup dari hasil melaut dan hasil ladang.

Maka, memilih Gili Meno dan The This-Kon menjadi lokasi laboratorium Aksara Tani adalah usaha untuk membangun semacam wacana tandingan terhadap maraknya industri pariwisata yang sering sekali tidak bisa bernegosiasi dengan nilai-nilai lokal.

Sejak September 2017, proyek Aksara Tani berjalan. Afifah tinggal di Gili Meno selama hampir 4 bulan. Bersama Imran dan Aceq, Afifah menelusuri budaya pertanian di Gili Meno. Mengidentifikasi air, tanah, tumbuhan, rawa dan berbagai aspek kehidupan masyarakat Gili Meno. Proyek ini kemudian menghasilkan lahan atau laboratorium pertanian di halaman The This-Kon. Imran dan Aceq secara serius menggarap laboratorium tersebut. Alhasil, Aksara Tani tidak hanya memikat wisatawan yang kebetulan menginap di sana, para pemuda dan masyarakat lokal Gili Meno pun seperti mendapatkan tawaran lain dari bagaimana mengelola pariwisata berbasis potensi lokal.

Selain menggarap lahan, Afifah, Imran, dan Aceq juga membuat peristiwa-peristiwa yang memantik kesadaran warga lain untuk kembali melihat apa yang mereka miliki. Peristiwa-peristiwa tersebut, antara lain, mengadakan acara memasak bersama kader-kader dusun dengan mengundang atau mengajak kolaborasi beberapa chef yang cukup terkenal di Gili Meno. Kemudian, mereka juga mengadakan kegiatan-kegiatan edukatif dengan menyasar anak-anak sekolah; mengajak para siswa-siswi untuk mengidentifikasi tumbuhan-tumbuhan lokal di pulau itu. Mereka juga menginisiasi diskusi-diskusi kecil yang dipusatkan di The This-Kon.

Aksara Tani Gili Meno, sebagai sebuah proyek kolaboratif kami, semakin masif hingga akhirnya diadakannya sebuah presentasi publik yang dilaksanakan pada tanggal 13-14 Januari 2018. Usai presentasi itu, Afifah kembali ke Pekanbaru, sementara kerja-kerja di Laboratorium Aksara Tani tetap dilanjutkan oleh Imran dan Aceq. Mereka terus berkebun: menyemai benih, menyirami, merawat, memanen, dan sesekali waktu menghidangkan hasil kebun mereka kepada tamu yang sedang menginap di sana. Secara ekonomis tentu hal tersebut mengurangi biaya dapur yang terbilang cukup tinggi di Gili Meno.

Gempa Lombok, 5 Agustus 2018

Gempa Lombok yang terjadi pada 5 Agustus 2018 membuat Lombok lumpuh dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk pariwisata. Keluarga Imran pada 6 Agustus meninggalkan Meno, dan tinggal di tenda pengungsian bersama keluarga besar mereka, di Pemenang.

Dalam situasi yang masih belum kondusif, Imran yang saat itu masih bekerja sebagai tenaga kontrak PLN Unit Gili Meno, terus didesak untuk bekerja, memperbaiki jaringan listrik yang rusak akibat gempa. Namun, secara psikis, Imran belum bisa meninggalkan keluarganya. Imran yang memang memiliki niat untuk berhenti bekerja sebagai tenaga kontrak dan ingin fokus memgembangkan usaha keluarga, beberapa hari setelah gempa menandatangani surat pemutusan kontrak.

Berbulan-bulan keluarga Imran tinggal di pengungsian yang berlokasi di belakang Polsek Pemenang. Setelah cukup kondusif, meski masih trauma terhdap gempa yang meluluhlantahkan Lombok itu, Imran dan keluarga kembali ke Gili Meno.

Saat kembali ke Gili Meno, kondisi pariwisata masih belum menjanjikan. Dalam seminggu, hanya satu-dua tamu yang menginap di The This-kon. Namun, menurut penuturan Imran, dia dan Aceq tetap melayani tamu dengan baik. Bahkan, setahuku, ada satu tamu yang tinggal sampai berbulan-bulan. Oleh Imran—meski ia menceritakannya dengan niat sedang membuat lelucon—tamu tersebut diangkat sebagai anak angkat oleh Imran. Apalagi, si tamu ini kemudian ingin berbagi dengan masyarakat.

Dalam kondisi pariwisata yang belum menjanjikan, sementara Imran sudah tidak menerima serupiah pun gaji bulanan seperti sebelumnya, Imran menaruh kepercayaan penuh terhadap pertanian. Imran dan Aceq yakin, dari usaha penginapan dan bertani di halaman penginapan milik mereka tersebut, mereka bisa menghidupi keluarga. Namun, lebih jauh dari orientasi ekonomi, sebenarnya, cita-cita bertani Imran dan Aceq sangatlah sederhana: ingin berdaya dan mandiri, dan menularkan keinginan untuk berdaya mandiri itu ke orang-orang terdekat mereka.

Dari hasil obrolanku dengan Imran dan dari hasil pengamatanku secara langsung, setiap pagi dan sore hari, Imran dan Aceq mengajak kedua malaikatnya, Lily dan Benji untuk ikut bertani. Meski kadang keduanya sering ‘nggerecokin’, Imran dan Aceq tetap santai. Bagi mereka dengan cara inilah mereka memberikan pendidikan kepada kedua malaikat kecil mereka. ***

Footnote   [ + ]

1. Lihat keterangan tentang proyek ini di situs web Sayurankita.

About the author

Avatar

Muhammad Sibawaihi

Dilahirkan di Desa Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 20 Mei 1988. Lulusan IKIP Mataram jurusan Bahasa Inggris. Ia adalah Direktur Program di Yayasan Pasirputih. Sehari-harinya ia juga aktif sebagai penulis dan kurator.

1 Comment

Tinggalkan Balasan ke angang X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.