Darivisual Kecamatan: Jagakarsa Kota: Jakarta Selatan Provinsi: DKI Jakarta

Sadar Instagram

Avatar
Written by Manshur Zikri

Tulisan ini adalah esai yang dibuat oleh Manshur Zikri pada tanggal 19 Januari 2014 dalam rangka merespon fenomena Instagram yang kala itu digandrungi juga oleh beberapa anggota Forum Lenteng. Sudah pernah dimuat di situs pribadi penulis. Dimuat kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.

Beberapa hari ini, ada yang menarik sehubungan kisah Gembel-gembel Lenteng di Forum Lenteng. Gembel Lenteng—sebutan yang saya harap akan jadi populer—kalau saya tidak salah, pertama kali dicetuskan oleh Otty Widasari di instagramdengan hashtag, #gembellenteng.

Beberapa foto instagram milik Otty. (Sumber: akun instagram Otty).

Belakangan, Gembel-gembel Lenteng kerap menjadi objek yang direpresentasikan melalui media sosial, terutama Instagram yang cukup menarik perhatian Otty dan Ugeng. Bagi mereka, dan pastinya juga bagi orang lain yang juga menyenangi media sosial tersebut, Instagram adalah ruang atau galeri untuk mendistribusikan karya secara mandiri. Kegiatan ini seolah menjadi proyek berkarya mereka sehari-hari, baik untuk membicarakan unsur-unsur artistik atau estetika sebuah karya (dari segi ilmu pengetahuan mengenai seni visual) maupun untuk memperdebatkan media Instagram dan teknologi mobile phone itu sendiri sebagai medium berkarya (dari segi ilmu pengetahuan mengenai seni media [baru]).

Beberapa karya instagram milik Ugeng. (Sumber: akun instagram Ugeng).

Yang menjadi bahan pelajaran dari kegiatan ‘iseng’-cum-seriusmereka ini adalah kesadaran mereka dalam mendayagunakan media sosial, bukan semata-mata untuk menyalurkan ekspresi dan membentuk identitas diri, tetapi lebih kepada kampanye literasi media. Instagram, bagi mereka, justru menjadi media pendisiplin diri untuk mengasah kemampuan mata dan tangan: kemampuan mata dalam menangkap (sekaligus mengurasi) fragmen-fragmen realitas, dan kemampuan tangan (craftsmanship) dalam mengemas ‘realitas baru’ dari fragmen-fragmen itu.

Saya mengetahui niat mereka karena, memang, dalam beberapa diskusi langsung dengan Otty dan Ugeng, mereka mengemukakan ide-ide mereka (meskipun belum tentu seluruh idenya, tetapi sebagian dari keseluruhan ide itu dapat saya pahami).

Sumber: akun instagram Otty.

Otty, misalnya, dalam beberapa kegiatan atau proyek yang saya ikuti—Otty biasanya menjadi koordinator dan mentor dari kegiatan itu—sering mengatakan bahwa media sosial dan teknologi mobile phone memiliki peluang untuk dipergunakan oleh warga dalam memproduksi dan mendistribusikan informasi/pengetahuan. Melalui dua medium itu, kita bisa membuat esai atau gagasan yang mengandung nilai-nilai pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Ide Otty menekankan akses. Saya setuju dengan pendapatnya bahwa mobile phone telah menjadi benda (teknologi) yang tidak lepas dari kehidupan kebanyakan orang. Mulai dari anak-anak usia sekolah dasar hingga orang tua, terutama di kota-kota besar, keberadaan mobile phone sudah tidak asing bagi kita semua. Ditambah lagi kecanggihan akses dunia maya (internet) dan kelengkapan teknologi audiovisual (kamera/video) yang dimiliki smartphone, menjadikannya semakin visioner, karena telah mengawinkan teknologi produksi dan distribusi dalam satu paket (lebih canggih dari kamera video biasa). Akses menjadi semakin besar.

Selain itu, Otty juga menjadikan Instagram sebagai medium diskusi mengenai narasi sehari-hari dan sejarah. Dapat dilihat bahwa karya-karya yang diterbitkan Otty melalui akun Instagram miliknya, khususnya beberapa hari ini, umumnya memuat karya lukis atau gambar yang pernah ia buat di catatan harian. Gambar-gambar itu berupa potret orang atau peristiwa-peristiwa yang ia pernah alami. Tentu saja, narasi itu sesungguhnya sudah menjadi sejarah. Saya percaya diri mengatakannya sebagai sejarah karena ada ‘medium dokumentasi’ yang mengabadikan ‘kenangan’-nya, yaitu buku catatan harian Otty, dan nilai ke-sejarah-an itu diwacanakan kembali oleh Otty melalui pendayagunaan ‘medium baru’. Melalui Instagram, narasi itu disebarluaskan ke orang-orang terdekatnya, dan seketika menjadi ruang diskusi mengenai memori-memori masa lalu. Atau, Otty juga sering menggambar di tempat—sering juga mengambil foto dari objek langsung, bukan karya gambar atau lukisan—lalu mem-post-nya ke Instagram saat itu juga. Orang yang memiliki kedekatan dengan sesuatu yang digambar atau difoto oleh Otty, ketika melihat karya Otty di Instagram, akan memiliki kesempatan untuk melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengalamannya.

Instagram, bagi Otty, bisa jadi, meneruskan dua fungsi: (1) fungsi kuratorial terhadap arsip, dan (2) fungsi aktual dalam menanggapi peristiwa.

Karya instagram Otty tentang Bodas.

Sesungguhnya, apa yang dilakukan oleh Otty adalah hal yang sederhana, tak ada bedanya dengan orang lain yang juga menggunakan Instagram. Akan tetapi, poin dari cerita saya ini adalah tentang kesadaran dari tindakan-tindakan yang dilakukan dalam menyikapi kehadiran Instagram (dan media sosial lainnya) itu. Bagi saya, apa yang dilakukan oleh Otty adalah sesuatu yang bernilai karena idenya tentang kesadaran terhadap media. Tanpa pemberitahuan melalui diskusi dengan saya pun, dengan mudah saya (dan mungkin juga Anda) melihat kecenderungan itu pada Instagram Otty. Sebab, dari hari ke hari, Instagram Otty memiliki pola yang dapat dibaca.

Contohnya, karya-karyanya mengenai Bodas, anaknya. Foto-foto atau gambar-gambar tentang Bodas, bagi saya, adalah sebuah catatan (data) perkembangan yang didokumentasikan oleh Otty terkait dengan pertumbuh-kembangan daya kemampuan sosial Bodas dengan lingkungannya. Mulai dari kegiatan sehari-hari Bodas di Forum Lenteng, pergi sekolah naik sepeda, kecerdikan Bodas yang menggonta-ganti jadwal kegiatan Forum Lenteng diam-diam untuk menyiasati Otty, hingga ke percakapan-percakapan Bodas dengan ayah dan ibunya. Dokumentasi ini, menurut saya, dapat berguna bagi siapa saja yang menggeluti bidang tentang perkembangan anak.

Psycho Sequential (UTM, 2013). (Sumber: akun instagram Ugeng).

Sementara itu, Ugeng mengemukakan ide yang tak kalah menarik. Berdasarkan pemahaman saya ketika berdiskusi dengannya mengenai keasikannya dengan Instagram, Ugeng sedang mempersoalkan gagasan tentang viralitas medium: sejauh mana Instagram itu mampu menyita perhatian publik maya dan publik nyata. Metode yang digunakan Ugeng untuk meneliti itu sederhana saja: dia bermain-main dengan bentuk objek yang dia post ke Instagram. Sembari itu, Ugeng seringkali mewacanakan pengetahuan tentang sejarah seni media, seni visual, senirupa, film dan video, dalam karya-karya Instagram-nya.

Kita bisa lihat contoh pada seri Psycho Sequential yang di-postoleh Ugeng, atau gambar-gambar potret Gembel-gembel Lenteng dalam b/w series. Tak jarang, Ugeng juga mengetengahkan persoalan cahaya dalam foto-foto Instagram-nya. Rasionalitas empiris Ugeng terhadap alat smartphone (dengan teknologi kameranya) menunjukkan kepada kita tentang pertimbangan-pertimbangan mengenai “perspektif” dan “posisi” kamera. Bahkan, bayangan yang terpantul pada gambar yang difoto juga menjadi pembahasannya. Kesadaran medium Ugeng justru terlihat dari sudut-sudut pengambilan gambar tersebut. Misalnya saja, dengan menyadari adanya bayangan itulah kita pun akan tersadar bahwa semua ini tentang medium, bukan gagah-gagahan atau keren-kerenan gambar. Ugeng meng-Instagram-kan itu semua secara sadar, bukan kebetulan.

Sumber: akun instagram Ugeng.

Selain itu, seperti yang saya utaraka di awal, Instagram menjadi media pendisiplin diri. Dalam menyambut kehadiran Instagram, produktivitas Otty dan Ugeng dalam menghasilkan karya lukis atau gambar menjadi meningkat. Ide tentang ‘menggambar setiap hari’ pun kembali digalakkan. Kesadaran medium semakin menguat, dan menjadi pembahasan yang terus mengalami ‘konflik’ pemikiran, baik dari segi artistik, estetika, maupun sosial. Dan yang paling menarik dari apa yang dilakukan oleh Otty dan Ugeng itu, Gembel-gembel Lenteng juga ikut belajar mengulik Instagram sebagai medium berkarya. Tak terkecuali saya, yang mencoba menyumbangkan pandangan mengenai kegiatan menarik itu—yang baru-baru ini menjadi musim di Lenteng Agung—melalui tulisan. ***

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.