Jurnal Kecamatan: Ciputat Kota: Tangerang Selatan Provinsi: Banten

Ketika Mata Dijejali Oleh Papan Reklame

Avatar
Written by Renal Rinoza

Ciputat, sebuah kota kecamatan yang kini masuk menjadi bagian dari Kota Tangerang Selatan, adalah sebuah wilayah yang mempunyai mobilitas sangat tinggi. Aktifitas masyarakatnya selama 24 jam seakan terus berdenyut. Sebagai wilayah permukiman, Ciputat dalam perkembangannya mengalami peningkatan volume penduduk yang semakin bertambah. Belum lagi di Ciputat berdiri sebuah kampus negeri yang bernama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang setiap tahunnya menerima mahasiswa baru dan selama 4 kali dalam setahun mengadakan wisuda sarjana.

Dalam 7 tahun yang lumayan lama kujalani di Ciputat secara langsung dan tidak langsung, sadar atau tidak sadar telah membentuk kepribadianku, rasanya di tempat ini benar-benar dimulai dan berlangsung sebuah pembelajaran hidup, sebuah pencarian makna diri, sebuah perenungan yang tak berkesudahan. Di kota ini pula nuansa kosmopolitanisme kutemukan, karakter kosmopolit layaknya sebuah prasyarat dari sebuah kota moderen.

Papan reklame di dekat kampus UIN Syarif Hidayatullah

Papan reklame di dekat kampus UIN Syarif Hidayatullah

Ciputat yang penuh warna dan beragam kesibukan menjadi ajang pertarungan bagi para pengiklan yang mempunyai ambisi dan mimpi. Di samping itu perkembangannya yang begitu cepat sejak 7 tahun terakhir aku mendiami wilayah ini, tentunya menggoda para investor yang ingin melebarkan sayapnya di kota ini.  Bagaimana tidak, pertumbuhan unit usaha yang bergerak di bidang jasa, perdagangan dan pemukiman selalu menanjak grafiknya dari tahun ke tahu, begitupun dengan kurva permintaan yang tinggi. Artinya, Ciputat khususnya dan Kota Tangerang Selatan pada umumnya berpotensi sekali sebagai lahan baru bagi pertumbuhan ekonomi. Wilayah ini secara tipologis masuk ke dalam kawasan urban fringe (kawasan yang berada di antara kota besar dan kawasan pedesaan).

Kawasan urban fringe sendiri terbagi atas tiga kategori, pertama Predominantly Urban, Semi Urban dan Potential Urban. Apabila merujuk pada kategori tersebut, wilayah Ciputat masuk ke dalam kategori Predominantly Urban, sebuah kawasan yang didominasi kondisi dan kegiatan berciri perkotaan. Karakteristiknya dapat dilihat dengan adanya perumahan berkepadatan tinggi, penggunaan lahan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, serta industri ringan. Akses ke kota inti (DKI Jakarta) yang sangat baik dan jaringan transportasi yang terintegrasi dengan kota inti.

Selama 7 tahun aku mendiami wilayah ini, perubahan yang paling mencolok dan nyata ialah pertumbuhan permukiman-permukiman baru, baik perumahan-perumahan, town house, kontrakan-kontrakan, kos-kosan, ruko-ruko, franchaise, tempat kuliner, supermarket, minimarket,  perbaikan-perbaikan jalan dan tentunya fly over yang melintasi sepanjang daerah pasar Ciputat yang dahulu rawan dengan kemacetan. Ditambah rencana pembangunan jalan tol Cinere-Serpong dan BRT (Bus Rapit Transports) akses langsung yang menghubungan stasiun Rawa Buntu Serpong dengan Bandara Soekarno-Hatta.

Pemandangan di sepanjang Jalan Ir. H. Djuanda yang dijejali banyak papan reklame

Pemandangan di sepanjang Jalan Ir. H. Djuanda yang dijejali banyak papan reklame

Namun, perubahan-perubahan tersebut tidaklah memberikan terang solusi bagi kenyamanan warga kota, malah semakin memperumit dan mempersulit kehidupan warga Ciputat yang terbelenggu akibat dari pembangunan kota yang berantakan. Ditambah lagi dalam dua tahun belakangan ini intensitas tindak kejahatan pencurian kendaraan bermotor semakin meningkat dan catatan di kepolisian terutama di Polsek Ciputat memperlihatkan betapa tinggi angka pencurian kendaraan bermotor baik laporan kehilangan maupun berkas-berkas penindakannya. Permasalahan yang tak kalah pentingnya ialah mengenai persoalan mekanisme pembuangan sampah. Sampah-sampah yang berada di Ciputat seakan dibiarkan dan tidak terurus. Persoalan sampah adalah sebuah persoalan nomor wahid yang menjadi momok paling menakutkan di seluruh kota Tangerang Selatan termasuk Ciputat sendiri. Tumpang tindih antar instansi dan lepas tanggungjawab ditambah dengan lambannya penyelesaian kasus sampah menjadi derita Kota Tangerang Selatan yang baru 2 tahun berdiri. Persoalan sampah benar-benar mengemuka dan menjadi isu serius di awal tahun 2010. Laporan liputan media massa nasional selama 2 minggu penuh di sebuah rubriknya selalu mengangkat persoalan sampah beserta polemik yang melatarinya. Persoalan yang juga tak kalah seriusnya adalah peningkatan volume kendaraan bermotor yang menyebabkan kemacetan parah, dan memang masalah macet bagi Ciputat sendiri sulit untuk diselesaikan karena problem kemacetan adalah problem bersama di wilayah Jabodetabek.

Terlepas dari persoalan-persoalan di atas, ada sebuah perhatian yang terkadang kita lewatkan begitu saja tetapi kehadirannya kadangkala mengganggu pandangan warga kota. Berbicara mengenai kota tak terlepas dari berbicara mengenai konsep tata ruang kota dan penataan ruang yang tepat sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Sepertinya ada yang salah dengan tata ruang kota  Tangerang Selatan, sehingga menimbulkan disfungsi lahan. Menurut Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 1999, kawasan Ciputat dan Pamulang diperuntukan sebagai kawasan resapan air yang memperkuat fungsi perkotaan secara integral. Namun, ada sinyalemen mengenai pengalihfungsian lahan seperti kawasan Pondok Cabe. Terutama merelokasi lapangan terbang Pondok Cabe dari kawasan resapan menjadi kawasan bisnis dan niaga yang berdampak negatif bagi warga, karena lokasinya berada di tengah permukiman padat penduduk. Pemkot Tangerang Selatan berencana merelokasi lapangan terbang guna difungsikan sebagai kawasan bisnis dan niaga terpadu dan manfaatnya ialah menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Tangerang Selatan. Padahal rencana tersebut bertentangan dengan RTRW Kota Tangerang Selatan yang mengacu pada RTRW Provinsi dan Nasional ditambah tidak sesuai dengan master plane bandara se-Indonesia.

Ya, ilustrasi yang aku deskripsikan diatas adalah sekelumit dari masih amburadulnya penataan kota Tangerang Selatan yang baru berdiri sejak bulan Oktober 2008. Persoalan secara fundamental terlihat secara jelas dari pengalihan lahan resapan air atau permukiman menjadi kawasan bisnis dan niaga. Tak ayal, komersialisasi penataan ruang berdampak pada wajah kota yang seperti tempelan kolase-kolase yang tidak sedap dipandang dan laksana sampah yang mengganggu mata. Padahal pemerintah Kota Tangerang Selatan sudah mengeluarkan aturan yang melarang keberadaan papan reklame. Hampir di setiap sudut Tangerang Selatan aku temui sebuah papan reklame yang berisikan pemberitahuan tentang penertiban/pembongkaran reklame yang berada di median dan trotoar jalan, di persimpangan/ bundaran, reklame/ billboard yang sudah tidak layak lagi.

Papan pemberitahuan dari pemerintah tentang pembongkaran billboard reklame

Papan pemberitahuan dari pemerintah tentang pembongkaran billboard reklame

Di sebuah papan reklame tersebut Pemerintah Kota memberitahukan kepada pihak terkait dalam hal ini agen reklame agar supaya membongkar reklame/billboard-nya sebelum tanggal 31 Desember 2010. Namun himbauan itu hanya dianggap angin lalu saja. Bahkan parahnya semenjak keluarnya pemberitahuan tersebut, beberapa papan reklame memasang iklan baru lagi, seperti yang kulihat di persimpangan BBS Ciputat. Papan reklame tersebut diisi iklan sebuah perumahan elit di kawasan Pamulang yang mempromosikan sebuah perumahan dengan konsep kota yang lengkap dengan semua fasilitasnya termasuk akses ke supermarket, minimarket, ruko, dan sebagainya.

Tempelan kolase-kolase inilah yang aku sebut sebagai imej-imej yang menjejali pandangan mata kita setiap harinya dan kita pun dipaksakan untuk mengakrabi tampilan-tampilan visual tersebut. Papan-papan reklame (billboard) inilah yang bertebaran di seluruh kota di Indonesia tak terkecuali di Kota Tangerang Selatan. Penataan ruang dengan hadirnya papan reklame suka atau tidak suka telah memberikan dampak psikologis bagi masyarakat. Semakin lengkaplah gempuran-gempuran citra visual dalam merayu konsumen untuk membeli produk-produk yang belum tentu sesuai kebutuhan. Parahnya lagi kehadiran papan reklame sangat merusak pemanfaatan ruang. Papan-papan reklame yang kita jumpai di dinding dan depan pusat perbelanjaan, dan pertokoan seringkali tidak sesuai dengan desain bangunan. Parahnya lagi papan-papan reklame yang menancap di tengah-tengah pembatas jalan betebaran di jalan-jalan utama di kota Tangerang Selatan.

Papan reklame himbauan pemerintah Tangerang Selatan

Papan reklame himbauan pemerintah Tangerang Selatan

Di sepanjang Jalan Ir. H. Djuanda Ciputat papan-papan reklame berjejaran, begitupun di sepanjan Jalan Dewi Sartika—akses utama menuju Pamulang-Parung-Serpong. Demikan halnya jalan Serpong Raya arah Gading Serpong dan hampir merata di seluruh wilayah Kota Tangerang Selatan.  Papan-papan reklame seakan mengafirmasi ketidakteraturan dalam penataan ruang di Tangerang Selatan. Untuk kasus Tangerang Selatan, aku sendiri yang tinggal di daerah ini merasa ada kesemrawutan dan disfungsionalisasi penataan ruang dan bertentangan dengan konsepsi RTRW yang sudah didesain. Bahkan, belum lama ini sebuah papan reklame roboh menimpa warung kecil di bawahnya. Penempatan papan reklame semestinya memperhatikan kegunaan, apakah fungsional atau tidak, apakah sudah sesuai dengan pengaturan zonasi, perizinan, fungsi keruangan, lebar jalan, jarak pandang, tinggi bangunan, efektifitas, dan sebagainya.

Penataan ruang Tangerang Selatan harus ditempatkan kembali pada peraturan-perundang-undangan dan RTRW agar tidak disalahgunakan peruntukannya dan sesuai dengan orientasi pembangunan yang mengacu pada  sustainable development— sebuah kebijakan pembangunan yang berlandaskan 3 pilar pembangunan yakni pembangunan ekonomi berkelanjutan, pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan yang satu sama lainnya saling terkait dan berhubungan. Dengan penataan yang berperspektif berkelanjutan diharapkan dapat menyelematkan Kota Tangerang Selatan—mumpung  belum terlambat untuk mengelola kota  yang masih berusia muda ini secara lebih baik dan terencana sehingga nantinya akan mengurangi ‘gempuran’ imej- imej visual dari papan reklame yang tak bisa dihindari mata karena keberadaannya di setiap sudut kota.

Foto oleh: Marifka Wahyu Hidayat

About the author

Avatar

Renal Rinoza

Renal Rinoza lahir di Jakarta, 8 Maret 1984. Tahun 2004 kuliah di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lulus tahun 2010 dan di tahun 2007 sempat kuliah Filsafat Barat pada Program E.C Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Aktif di Komunitas Djuanda, sebuah kelompok studi sosial dan budaya berbasis media yang mengembangkan potensi media komunikasi seperti teks, video, fotografi dan material media komunikasi lainnya. Menulis kajian sinema, video dan kebudayaan visual di jurnalfootage.net. Bersama akumassa.org, menulis aneka tulisan feature berbasis jurnalisme warga dan bergiat sebagai Peneliti/Pemantau Program Pemantauan Media Akumassa di daerah Kota Tangerang Selatan.

2 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.