Jurnal Kecamatan: Beji Kota: Depok Provinsi: Jawa Barat

Jalan Kebo dan Ziarah Malam di Kuburan Syekh Al-Maghribi

Gang yang menuju kuburan
Avatar
Written by Manshur Zikri
Universitas Indonesia adalah salah satu universitas negeri yang menjadi incaran para pelajar yang baru menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas. Universitas ini dianggap sebagai universitas negeri yang terbaik dari segi fasilitas, tenaga pengajar, dan kemampuan rata-rata mahasiswanya. Oleh karena itu universitas ini mendapat perhatian yang besar dari pemerintah.

Jalan Kober, Depok

Jalan Kober, yang berada di sisi Jalan Margonda, Depok.

Pada tahun 1987 saat  rezim Soeharto berkuasa, pinggiran Kota Depok yang berbatasan dengan Jakarta Selatan dipilih sebagai tempat yang layak untuk pembangunan dan pengembangan Universitas Indonesia. Beberapa fakultas dan jurusan yang ada di Kampus Salemba dan Kampus Rawamangun dipindahkan ke Kota Depok sementara Jurusan Kedokteran tetap menempati bangunan tua, STOVIA, yang berada di Salemba, Jakarta Pusat. Diresmikannya bangunan baru Universitas Indonesia pada tanggal 5 September 1987 di daerah yang disebut sebagai salah satu kota satelit Ibukota tersebut menyebabkan banyak perubahan pula bagi pembangunan Kota Depok itu sendiri.

Perkembangan yang pesat dan perubahan yang terjadi di Depok menciptakan sebuah sejarah dan cerita tersendiri yang unik, yang muncul dari mulut-mulut masyarakat yang tinggal di kota tersebut. Banyak narasi-narasi kecil yang mulai tenggelam oleh bangunan-bangunan besar dan megah yang mulai berdiri di lingkungan sekitar Kampus Depok. Narasi-narasi kecil ini hanya menjadi bahan perbincangan ringan para tukang ojek dan pedagang-pedagang kaki lima yang mencoba untuk mengenang sejarah kota atau daerah-daerah yang ada di sekitarnya saat senggang. Mereka, yang bahkan sebagian besar bukanlah penduduk asli daerah tersebut, memperbincangkan situasi kota yang dulunya jauh dari keramaian dengan berbagai keluhan atas apa yang telah terjadi di kota tersebut. Di satu sisi, pembangunan terus berlanjut sehingga masyarakat mendapatkan berbagai sarana dan prasarana untuk maju dan berkembang. Namun di sisi lain pembangunan kota yang bisa dikatakan tidak tersistem dengan baik, menimbulkan berbagai masalah baru yang selanjutnya menjadi narasi-narasi baru pula dalam masyarakat.

Di kepala orang-orang perantau, khususnya mahasiswa, termasuk saya, mungkin timbul suatu pertanyaan tentang bagaimana Kota Depok itu awalnya. Bagi saya sendiri, fenomena Kota Depok yang bukan merupakan Ibukota, tetapi lebih sibuk dari daerah Lenteng Agung yang merupakan bagian dari ibukota menjadi tanda tanya yang ingin saya ketahui jawabannya. Salah satu narasi kecil yang menarik perhatian saya adalah Jalan Kober yang berada di sisi Jalan Margonda, Depok, yang sangat sibuk dengan berbagai aktivitas masyarakat setiap harinya.

Plang Jalan Kober

Plang Jalan Kober.

Kata ‘kober’ adalah kata yang sudah biasa di telinga masyarakat Jakarta pada umumnya. Hampir semua daerah yang di dalamnya terdapat lokasi pekuburan menyandang kata tersebut. Seperti misalnya daerah Kemang, Kebon Jeruk, dan Kemayoran, yang mana ada beberapa jalan atau gang yang diberi nama ‘kober’. Dan setelah beberapa bulan tinggal di Depok, saya baru mengetahui dari salah seorang teman bahwa kata ‘kober’ itu sendiri adalah kata lain dari kuburan. Akan tetapi yang kemudian menjadi pertanyaan saya berikutnya adalah, “Di mana kuburannya?” Saya sering menunggu angkutan umum atau berjalan-jalan di daerah yang oleh mahasiswa dikenal sebagai Kober, tetapi saya tidak melihat kuburan yang sering diceritakan oleh teman saya. Apakah Kober hanya sebuah nama belaka tanpa ada cerita di baliknya?

Pada awalnya, saya dan rata-rata mahasiswa baru yang tidak tinggal di daerah Kober, yaitu mahasiswa baru yang tinggal di daerah Kukusan atau di asrama, menganggap bahwa daerah yang disebut sebagai Kober adalah Jalan Sawo yang berada di dekat Stasiun UI. Ternyata setelah saya perhatikan lagi, Jalan Kober itu adalah jalan yang berada di seberangnya. Kalau kita berjalan dari arah Lenteng Agung menuju Depok, Jalan Kober berada di sisi kirinya. Di depan jalan inilah banyak angkutan umum berhenti dengan tidak teratur karena tuntutan penumpang yang sebagian besar mahasiswa, yang ingin turun di sana. Sementara itu, kemacetan sering terjadi di sisi Jalan Margonda yang berada di depan Jalan Sawo karena hasrat supir angkutan umum yang ingin mendapatkan penumpang. Mereka berhenti seenaknya tanpa menghiraukan bunyi klakson dari mobil-mobil atau kendaraan bermotor lainnya. Dan hal ini menjadi salah satu bukti kesibukan daerah Margonda, yang mana banyak institusi pendidikan dan toko-toko usaha berdiri di sana.

jalan Kober, dilihat dari Warung Es Pocong yang terdapat di seberangnya

jalan Kober, dilihat dari Jalan Sawo dan Warung Es Pocong yang terdapat di seberangnya.

Karena rasa penasaran terhadap Jalan Kober, saya dan teman saya, Ageung, mencoba mencari cerita yang lebih lengkap tentang jalan yang berada di sisi Jalan Margonda tersebut. Berbekal satu pertanyaan ‘di mana kuburannya’, pada tanggal 30 Maret 2010, sekitar pukul sembilan pagi,  kami berdua berangkat dari Lenteng Agung dengan angkutan umum 04 jurusan Depok-Pasar Minggu, turun di depan SD N Pondok Cina 1 dan berjalan menuju Toko Buku Gramedia untuk membeli baterai kamera. Dari sana naik angkutan umum lagi menuju arah balik ke Pasar Minggu, turun di depan Jalan Sawo, menyebrang Jalan Margonda ke Kober,  kemudian mulai menelusuri Jalan Kober tersebut untuk mencari narasumber yang mengetahui cerita tentang daerah Kober, Kecamatan Beji, Depok. Dan saat itu saya berharap saya akan menemukan lokasi kuburan yang menjadi alasan utama dinamakannya daerah tersebut dengan nama ‘kober’.

Setelah turun dari angkutan umum tersebut, menelusuri jalan sekitar tiga puluh meter ke dalam, saya dan Ageung merasa kebingungan untuk menentukan siapa yang akan menjadi narasumber. Katanya ada seorang penjual siomay yang sudah puluhan tahun berjualan di jalan tersebut, tidak jauh dari persimpangan Jalan Kober-Margonda, yang kemungkinan besar tahu asal muasal Jalan Kober. Akan tetapi kami tidak menemukan Si Bapak yang dimaksud, melainkan penjual batagor dan tahu gejrot. Dan semua orang pasti tahu bahwa siomay sangat berbeda dengan batagor maupun tahu gejrot sehingga kami berkesimpulan bukan penjual batagor atau tahu gejrot itu yang dimaksud sebagai orang yang sudah puluhan tahun berjualan di sana (lagi pula, orang yang menjual tersebut masih sangat muda, bisa dilihat dari tampangnya).  Akhirnya yang menjadi tempat kunjungan pertama adalah pangkalan ojek yang ada di simpang Jalan Kober. Karena dari apa yang saya dengar, biasanya tukang ojek adalah orang-orang asli yang tinggal di suatu daerah.

Pangkalan ojek di simpang Jalan Kober

Pangkalan ojek di simpang Jalan Kober.

Perkiraan saya salah ketika mendapati kenyataan bahwa para tukang ojek tersebut tidak mengetahui secara pasti tentang daerah Kober. Bahkan mereka mengaku bahwa mereka bukanlah penduduk asli di sana. Kata mereka ada seorang tua, Pak Kosim, yang merupakan orang asli di daerah tersebut namun dia sudah tidak ada. Kemudian salah seorang tukang ojek memanggil seseorang yang dari perawakannya, juga tampak sudah tua. Dia adalah menantu dari Pak Kosim. Akan tetapi sama saja, si menantu Pak Kosim juga tidak mengetahui secara pasti tentang daerah Kober. Tukang ojek dan menantu Pak Kosim (lupa saya tanyakan siapa namanya) hanya mengetahui bahwa memang dahulunya daerah Kober ini adalah kuburan, tetapi tidak seperti kata-kata orang yang mengatakan bahwa daerah kuburan itu memenuhi wilayah hingga daerah Kelapa Dua. Ternyata kuburan yang dimaksud tersebut hanyalah sepetak wilayah yang tidak terlalu besar yang ada jauh di dalam jalan tersebut. Akhirnya Ageung bertanya,

“Kira-kira siapa lagi, ya, Bang, yang bisa ditanya-tanya tentang daerah Kober ini?”

“Wah, susah, Neng! Kebanyakan orang-orang yang tinggal di sini, di Kober ini, orang-orang pendatang dari daerah lain. Penduduk aslinya udah banyak yang meninggal.”

“Kalau boleh saya tahu, rumah Pak RW di mana, ya, Bang?” tanya saya.

“Oh, kalau rumah Pak RW di Gang Kesadaran. Jauh di dalam sana.”

“Gang Kesadaran itu di mana, Bang?”

“Jalan aja lurus terus ke dalam, nanti ketemu Gang Kesadaran. Nah, rumah Pak RW itu di sana, dekat Warung Sunda.”

“Oh, kalau gitu kami ke sana aja, ya, Bang!” kata saya sambil memperhatikan Jalan Kober yang kelihatannya lumayan panjang itu.

“Lebih baik gitu aja, Mas. Jadi informasinya lebih lengkap,” kata salah seorang tukang ojek. “Kalau perlu ke kelurahan aja, jadi lebih pasti.”

“Oh, ya udah, deh! Makasih, ya, Bang!” kata Ageung.

“Ya ya ya, sama-sama, Neng!” jawab para tukang ojek.

Gang Kesadaran

Gang Kesadaran.

Kami pun berjalan menuju Gang Kesadaran yang dimaksud oleh tukang ojek. Ternyata lokasi gang tersebut lumayan jauh. Setelah bertanya beberapa kali kepada penduduk di sekitar, akhirnya kami menemukan gang tersebut. Kami pun berjalan beberapa langkah ke dalam gang, dan lagi-lagi kami kebingungan di mana warung sunda yang dimaksud. Kami berdiri di dekat konter HP, dan atas usulan Ageung, kami pun bertanya kepada pemilik konter tersebut yang pada saat itu (sepertinya) sedang melayani pelanggan yang sedang membeli pulsa atau kartu perdana.

Saya bertanya kepada pelanggan, seorang bapak, umurnya kira-kira empat puluhan.

Misi, Pak, rumah Pak RW di mana, ya?”

“Rumah Pak RW di sana, di atas!” jawabnya seraya menunjuk arah yang baru saja kami lalui, yaitu ke arah Jalan Margonda. Saya yang bertambah bingung malah berseru,

“Lho, bukannya di dekat sini, ya, Pak?”

“Ya, lewat jalan yang ini juga bisa, ke atas!” jawabnya sambil menunjuk jalan keci di depan konter. “Ada apa, ya?”

“Gini, Pak, kita mau bikin liputan tentang daerah Kober untuk koran kampus, jadi butuh informasi tentang daerah Kober ini,” jawab saya berbohong. “Katanya kober ini dulu daerah kuburan, ya, Pak?”

“Oh, iya! Memang ‘kober’ itu kuburan.”

“Tapi kuburannya di mana, ya, Pak?” tanya Ageung. “Katanya dulu kuburannya banyak, sampe ke Kelapa Dua sana?”

“Nggak, ah, nggak sampe ke Kelapa Dua. Memang ada kuburan, tetapi cuman sedikit. Itu kan karena dulunya orang-orang suka menguburkan keluarganya yang sudah meninggal di dekat rumah, jadi, ya, ada banyak kuburan, tapi bukan semua daerah Kober ini kuburan. Salah itu!”

“Kuburan Cina, ya, Pak?” tanya saya.

“Bukan, kalau kuburan Cina tuh di belakang Margo City!” sahut abang penjaga Konter.

“Iya, kan, ya?”

“Udah nggak ada lagi sekarang,” jawab si bapak.

“Kira-kira di mana, ya, kita bisa ketemu dengan orang asli daerah sini yang bisa cerita tentang Kober, Pak?” tanya Ageung.

“Dia orang asli sini, Neng!” jawab abang penjaga konter lagi sambil tertawa. Ternyata si bapak yang kami tanya adalah orang yang dari lahir tinggal di Kober.

Dengan harapan bahwa dua orang yang kami tanyai itu bisa memberikan informasi tentang daerah Kober, kami pun memutuskan untuk mengobrol lebih lama dengan mereka. Dari perbincangan yang mengalir dengan sangat akrab, kami ketahui bahwa Si Bapak tersebut bernama Ujang sementara abang yang menjaga konter adalah Tiar, yang ternyata adalah keponakan Pak Ujang.

Pak Ujang (berkaos merah), Bang Tiar (berkaos hijau) dan aku

Pak Ujang (berkaos merah), Bang Tiar (berkaos hijau) dan aku.

“Jadi dulu memang benar ada kuburan di daerah ini,” kata Pak Ujang melanjutkan ceritanya. “Dan sampai sekarang pun masih ada, tuh, di belakang sana, lewat gang itu aja lurus terus ke dalam, nanti ketemu kuburannya. Kalau menurut cerita nenek saya dulu, awalnya kuburan itu punya orang luar, bukan orang Cina, tapi orang-orang Barat. Nah, setelah berapa lama, barulah orang-orang penduduk asli sini juga menguburkan keluarga mereka yang meninggal di sini. Kan biasa, tuh, orang nguburin keluarganya yang meninggal di samping rumah atau di tempat yang dekat dengan rumah. Nah, katanya, awalnya kuburan itu mulai banyak, ya, itu, gara-gara ada banyak mayat yang dibawa oleh arus kali Ciliwung. Jadi waktu itu banyak ditemukan tulang-tulang manusia yang hanyut ke daerah sini. Sama orang-orang sini diambil, kemudian dikuburkan. Kalau sekarang, sih, kuburan yang lama itu (yang tua) sudah nggak ada lagi, sudah hilang, yang ada cuman kuburan orang-orang yang sekarang tinggal di daerah sini.”

“Oh, gitu ya, Pak?” kata Ageung mengangguk-anggukkan kepala.

“Nah kalau cerita Jalan Kerbau itu yang mana, Pak?” tanya saya. Saya ingat bahwa para tukang ojek yang kami temui tadi ada menyinggung tentang Jalan Kerbau.

“Oh, kalau itu nama jalan ini waktu dulu,” jawab Pak Ujang.

“Bukan Jalan Kerbau, sih, sebenarnya,” sahut Bang Tiar. “Tapi jalan yang dilalui banyak kerbau.”

“Iya,” kata Pak Ujang lagi. “Dulu, di UI itu merupakan lahan lumpur (persawahan). Jadi orang banyak yang memelihara kerbau dan kambing, sering lewat jalan ini. Sebelum ada Jalan Margonda, Jalan Sawo itu terus sampai Jalan Kober ini. Karena banyak orang bawa-bawa kerbau, dibilang lah Jalan Kebo.”

“Orang dulu sering menggembalakan kerbau atau kambing di sini,” Bang Tiar menambahkan.

“Bapak tau tentang SD Pondok Cina, nggak?” tanya Ageung. “Itu duluan mana dari pada Margo City dan Detos?”

Margo City dan Detos adalah dua mal besar di Depok yang ramai dikunjungi oleh masyarakat. Dua mal tersebut berdiri saling berhadapan, dipisahkan oleh Jalan Margonda. Di dekat mal tersebut, terdapat kompleks SD yang disinggung oleh Ageung.

“Oooh, kalau itu, ya, jelas duluan dibangun SD. Saya dari kecil di sini, sekolah itu udah ada. Saya kan sekolah di sana dulunya.”

“Bapak mulai sekolah di sana tahun berapa?”

“Tahun… kalau saya tidak salah tahun delapan puluh… delapan empat kalau tidak salah,” jawab Pak Ujang. “Saya masih ingat, tuh, saya dulu juara lari maraton. Saya jago lari dulu, apalagi kalau lari sendiri, saya juaranya. Tapi kalau lari maraton, kan, harus ada grup nya. Jadi repot juga, ada teman yang udah nggak sanggup lari, jadi saya bela-belain gendong sampai finis (finish-red) Kami menang waktu itu. Tapi nggak dapat hadiah apa-apa. Tapi bangga juga bisa menang. Bayangin aja, dulu itu tanahnya bukan keras kayak gini, tapi lumpur semua. Jadi kalau lari itu langkah kita berat.”

“Dia emang jagonya lari, nih!” kata Bang Tiar sambil tertawa. Kami pun ikut tertawa melihat Pak Ujang yang bersemangat menceritakan kisahnya waktu kecil dulu.

“Ya, memang, jalannya berlumpur. Kan ada banyak kerbau.”

“Jadi dulu wilayah Kober ini nggak seramai dulu, ya, Pak?” tanya Ageung lagi.

“Ya, enggak. Kober ini, Margonda itu, mulai ramainya gara-gara makin banyak orang-orang luar yang bukan penduduk asli sini. Kan ada banyak mahasiswa, jadi ya rata-rata yang tinggal di sini mahasiswa yang nge-kos. Saya aja sebenarnya bukan orang asli sini, saya asli Bogor. Tapi dari kecil di sini.”

“Dia orang Sunda, Pak!” kata saya sambil menunjuk Ageung. “Orang Sukabumi.”

“Tapi saya nggak bisa Bahasa Sunda,” kata Pak Ujang tertawa. “Saya juga bingung mau bilang ke orang saya ini orang apa. Pulang ke Bogor, nggak bisa Bahasa Sunda, ngaku orang Jakarta gara-gara tinggal di Depok, padahal aslinya orang Bogor. Jadi, ya… bingung!” Pak Ujang masih tertawa.

Obrolan terus berlanjut, jauh menyimpang dari pembahasan tentang daerah Kober. Saya yang sudah merasa cukup mendapat informasi melirik Ageung, yang sepertinya juga mengerti bahwa kami harus pergi mencari narasumber lain. Kami memutuskan untuk pergi menuju kuburan yang dikatakan Pak Ujang tadi, baru setelah itu pergi ke rumah Pak RW. Setelah berpamitan dengan Pak Ujang dan Bang Tiar, kami pun berjalan melewati gang yang ditunjukkan oleh Bang Tiar.

Gang yang menuju kuburan

Gang yang menuju kuburan.

Gang yang dimaksud tidaklah terlalu besar, melainkan jalan kecil yang terbentuk karena dinding-dinding atau pagar rumah (yang kemungkinan rumah kos-kosan). Kami berjalan pelan-pelan memperhatikan di mana letak kuburan. Ternyata gang itu memang gang yang menuju kuburan, dan letak kuburan itu berada di ujung gang. Di dekat kuburan itu, lebih tepatnya di teras rumah dekat ujung gang, ada beberapa orang yang sedang asyik mengobrol, semuanya laki-laki. Saya sempat terperanjat ketika melihat salah seorang dari mereka bertato di lengan kanannya, dan saya berpikir, jangan-jangan mereka jagoan-jagoan di daerah sini (atau yang menjaga kuburan). Akan tetapi demi keinginan untuk melihat kuburan itu, saya pun memberanikan diri untuk bertanya dulu kepada abang-abang yang sedang asyik ngobrol itu.

Gang yang menuju kuburan

Gang yang menuju kuburan.

Ketika sudah berada di dekat mereka, mereka melihat kami dengan tanda tanya, dan saya pun akhirnya bertanya, “Misi, Bang, kalau boleh tahu di ujung sana kuburan, ya, Bang?”

“Iya, kuburan. Kenapa, ya?” tanya salah seorang dari mereka.

Saya dan Ageung saling melirik. Dan akhirnya mau tidak mau kami harus berbohong lagi demi mendapatkan informasi yang kami inginkan. “Jadi gini, kita dari kampus mau bikin liputan tentang daerah Kober untuk artikel di Koran kampus. Jadi ingin tahu tentang Kober ini, terutama tentang kuburan itu sendiri. Katanya sih kuburannya ada banyak, sampai daerah Kelapa Dua itu.”

“Oh, itu!?” kata Abang yang memiliki tato di lengannya. “Kalau gitu duduk sini dulu, santai aja, kita ngobrol-ngobrol dulu.”

“Duduk sini, Neng!” kata yang lain memberikan ruang kepada Ageung. Saya sendiri lebih memilih duduk di dekat Abang yang memiliki tato tersebut.

Abang itu memperkenalkan dirinya dengan nama Bang Posil. Ternyata dia orang yang ramah. Dan informasi yang kami dapatkan hampir seluruhnya tentang kuburan itu.

“Saya, meskipun bukan orang sini, tapi, ya cukup lama juga tinggal di sini,” katanya.

“Memang Kober itu tempat yang ada kuburannya. Tuh, kuburannya! Tapi memang cuman sedikit, bukan sampe ke Kelapa Dua. Kalian dari mana?”

“Kami dari UI, Bang!” jawab saya.

“Wah, dia juga sering nongkrong di UI!” kata Bang Posil menunjuk seorang temannya, sambil tertawa.

“Jadi kalian mau tahu tentang apa?” tanya Bang Posil.

“Ya, itu, tentang asal-muasal kenapa daerah ini dibilang Kober, terus kami juga ingin tahu di mana lokasi kuburannya,” jawab saya sambil melirik kuburan yang sudah ada di depan mata kami. “Awalnya, sih, saya kira yang namanya Kober itu yang dekat stasiun, jalan yang di sebelah Warung Es Pocong itu, dan rata-rata teman saya yang mahasiswa yang dari luar Jakarta juga mikir kayak gitu.”

“Bukan, bukan. Kalau yang itu Jalan Sawo. Yang namanya Kober, ya, ini, jalan yang di depan sana.”

“Itu karena ada kuburan itu, ya, makanya dibilang Kober, Bang?” tanya Ageung.

“Yah, yang namanya Kober itu mah, memang kuburan, Neng!” kata abang yang duduk di sebelah kiri Ageung sambil tertawa, namanya Dimas.

“Bisa dibilang kayak gitu,” kata Bang Posil. “Sebenarnya ada banyak Kober itu. Coba saja ke Jakarta, ke Kemayoran, ada juga gang yang namanya kober, dan memang ada kuburan juga di sana. Kober itu kan bahasa kita, istilah kita. Dari jaman penjajahan juga nama kober sudah ada, artinya kuburan. Kuburan yang di sini bukan yang itu aja, Neng. Di bagian atas sana ada juga. Tapi yang tua-tua di sini, kalau kuburan yang di atas sana kuburan orang-orang yang sekarang.”

(Dari kiri ke kanan) Bang Posil, Ageung, Bang Hadi dan Bang Dimas

(Dari kiri ke kanan) Bang Posil, Ageung, Bang Hadi dan Bang Dimas.

“Di mana kuburan yang satunya lagi, Bang?” tanya saya.

“Tuh, di atas sana!” kata Bang Posil menunjukkan arahnya, walaupun saya tidak tahu ke mana arah tunjukkannya. “Kalau yang ini kuburan orang-orang bule dulu.”

Tuh, Si Menir bule juga, keturunan Sunda bule!” kata Bang Dimas tertawa.

“Saya juga orang Sunda,” kata Ageung.

“Sunda-nya di mana, Neng?”

“Sukabumi.”

“Wah, sama dong sama Si Menir, dia juga orang Sukabumi. Nih kayaknya Si Eneng juga keturunan bule, kelihatan dari tampangnya.”

“Emang iya, sih!” jawab Ageung. Kami pun tertawa.

“Jadi…ya, gitu. Kuburan itu udah ada dari dulu. Orang-orang kita yang dulu bilangnya kober,” kata Bang Posil.

“Jangan-jangan kober itu bahasa Belanda, Bang!” sahut Abang yang namanya Hadi (Menir).

“Ah, lu tau aja, mentang-mentang keturunan bule!” kata Bang Dimas. Kami semua tertawa lagi.

“Memang benar,” kata Bang Posil menganggukkan kepala. “Orang-orang Belanda jaman dulu juga bilangnya kober. Jadi mungkin juga itu Bahasa Belanda, kan orang-orang kita suka ikut-ikutan, jadi menyerap kata-kata dari orang-orang bule itu.”

Sesaat kemudian keluar seorang Bapak lagi dari rumah yang di sebelah, mungkin karena mendengar pembicaraan kami. “Ada apa, Sil?” tanyanya.

“Ini, mereka dari UI mau tahu tentang kuburan itu, buat Koran kampus.”

“Oh, dari mana, nih?” tanya bapak itu, yang namanya adalah Pak Agus, bapaknya Bang Dimas.

“Dari Kriminologi, Pak!” jawab Ageung.

“Oh!” Pak Agus menganggukkan kepala. “Kober mah, emang kuburan, udah ada dari dulu.”

“Atau lu coba tanya aja sama si… siapa tuh namanya yang jaga kuburan?” kata Bang Hadi. “Dia tuh pawang kuburan sini!” katanya tertawa.

“Dia mah, orang baru!” kata Bang Posil.

Pak Agus

Pak Agus.

“Kalau Jalan Kerbau itu yang mana, Bang?” tanya saya. “Katanya dulu Jalan Sawo dan Jalan Kober itu satu, ya? Namanya Jalan Kebo?”

“Oh, itu mah orang-orang sini aja yang kasih nama kayak gitu. Dulu belum ada namanya, karena ada banyak kerbau, jadi dibilang Jalan Kebo.”

“Katanya dulu daerah ini sepi, ya, Bang? Nggak serame sekarang?”

“Ya kalau dulu mah, emang sepi. Sekarang aja banyak orang-orangnya. Semua orang pada pindah ke sini. Kan rata-rata mahasiswa tuh, apalagi yang kuliah di UI, banyak yang nge-kos di sini,” kata Bang Posil.

“Kalau dulu awalnya yang nge-kos di sini kebanyakan orang Batak, tapi kalau sekarang lebih banyak orang Sumatera, orang Padang terutama,” kata Bang Hadi.

“Saya orang Sumatera, Bang!” jawab saya tersenyum. “Saya dari Riau.”

“Oh, kota Pekan… Pekanbaru?”

“Ya, Pekanbaru!” kata saya menganggukkan kepala.

“Nggak serem, Bang, tinggal dekat kuburan?”

“Ya kalau udah biasa mah, udah nggak serem lagi, Neng!” jawab Bang Posil. “Tapi, ya, sering juga lihat-lihat, pocong tuh yang sering. Di bawah sana dekat pohon ceri. Dulu sering orang-orang sini ngaku pernah lihat.”

“Tapi kalau sekarang, sih, orang-orang sini udah biasa. Malam hari saja banyak anak-anak kecil yang jalan melintasi kuburan itu,” Kata Pak Agus.

“Dulu banyak orang ziarah malam hari di sini, ke kuburan Syekh itu!” kata Bang Hadi.

“Syekh? Syekh siapa namanya, Bang?” tanya saya. “Ada kuburan Syekh juga di sini, Bang?”

“Syekh Al-Maghribi, maghrib!” kata Bang Dimas bersemangat.

“Ada, tuh, kuburannya deket sana, yang kuburannya bagus, yang warna oranye. Lokasi kuburannya yang ini, nih!”

“Tapi yang ziarah itu dulu, sekarang udah ga ada lagi,” jelas Pak Agus. “Rata-rata, sih, mahasiswa. Kita-kita aja yang orang sini nggak pernah ke kuburan itu.”

“Minta-minta ilham untuk ujian gitu, ya, Pak?” tanya Ageung.

“Ya, nggak tentu, sih. Tapi selalu aja ada mahasiswa yang ke sini buat ziarah, dulu!” kata Bang Posil

Kuburan yang terdapat di dalam Jalan Kober

Kuburan yang terdapat di dalam Jalan Kober.

Pembicaraan pun beralih ke tema hantu dan sejenisnya. Saya pun menyibukkan diri untuk melihat-lihat kuburan yang ada di ujung gang. Ageung dan abang-abang yang lainnya masih asyik ngobrol tentang tema hantu. Saya sendiri tidak menyimak pembicaraan mereka, padahal menurut saya cerita hantu tersebut bisa menjadi bahan cerita lain yang unik, yang ada di masyarakat. Saat saya kembali lagi ke tempat duduk, ternyata tema pembicaraan sudah berubah ke masalah tempat maksiat. Katanya di dekat kuburan itu, akhir-akhir ini sering ada suara yang ramai. Ternyata ada tempat kos-kosan yang di dalamnya muda-mudi sering melakukan tindakan di luar norma. Dan yang lebih mengejutkan lagi, katanya ada polisi yang juga ikut tinggal di sana, dan juga ikut berperilaku yang sama. Saya menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar cerita itu.

Setelah merasa cukup dengan informasi yang kami butuhkan, akhirnya kami berpamitan dengan Bang Posil, Pak Agus, Bang Hadi, dan Bang Dimas. Saya merasa puas mendengar cerita dari masyarakat yang tinggal di daerah Kober itu sendiri. Bahkan kami sudah melihat kuburan itu sendiri, dan memang hanya sepetak kecil saja kuburannya. Kuburan yang lama dan tua sudah mulai hilang, digantikan oleh kuburan-kuburan baru kaum pendatang yang menetap di daerah itu.

Kuburan yang terdapat di dalam Jalan Kober

Kuburan yang terdapat di dalam Jalan Kober.

Setelah keluar dari gang yang menuju kuburan itu, saya dan Ageung memutuskan tidak perlu ke rumah Pak RW (lagi pula dari informasi yang kami dengar dari Bang Posil bahwa Pak RW itu adalah orang baru juga, jadi kemungkinan besar dia tidak tahu banyak tentang cerita daerah ini). Dan kesimpulan saya adalah ada banyak orang baru di daerah Kober, orang-orang aslinya sudah tinggal sedikit, bahkan hampir tidak ada.

Karena hari sudah menunjukkan pukul dua belas siang, kami memutuskan untuk makan siang di Warung Es Pocong di sebelah Jalan Sawo. Sebelum itu Ageung menyempatkan diri untuk membeli tahu gejrot di dekat pangkalan ojek. Setelah selesai makan di warung es pocong tersebut, Ageung pulang ke rumahnya di Lenteng Agung sementara saya pergi ke kampus untuk menghadiri rapat kegiatan Kriminologi.

Karena pengaruh sindrom kota impian, Kota Depok terus melakukan pembangunan dengan cepat, bahkan melebihi pembangunan di daerah Lenteng Agung yang merupakan bagian dari Ibukota. Karena pembangunan ini, kaum pendatang banyak hijrah ke daerah ini, salah satunya daerah Kober yang saya datangi tersebut sehingga menyebabkan elemen-elemen asli dari daerah tersebut mulai tersisihkan. Sejarah asal-muasal Kober pun mulai menjadi abu-abu karena terus berpindah dari mulut ke mulut. Namun bagi saya, hal itu menjadi semakin menarik dan unik, karena setidaknya cerita tentang kuburan dan Jalan Kebo tetap menjadi cerita kecil yang ada di tengah-tengah masyarakat Depok umumnya, dan masyarakat Kober khususnya.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

8 Comments

  • mantap.mantap!!
    bagus.bagus!!
    terus menulis yang banyak, berbobot, dan berguna u/ siapa aja..ok.ok 🙂

    mami papi juga dh baca, ktnya bagus,
    trus u/ informasi, di padang juga ada yg kek gini, Jl. Tunggua Hitam, apakah artinya?? check it out 😛
    ok, Goodluck :):)

  • Banyak sejarah tentang daerah kita sendiri tidak tahu…banyak cerita tentang peristiwa-peristiwa yang beredar di masyarakat “hilang” ditelan bumi karena kita tidak peduli. Selamat Zikri, kamu sudah mencatat salah satu kepingan Depok yang sering tidak dipedulikan oleh kita.

  • Oh ada makam kramat toh disitu ?
    Dr Jl raya margonda (ke dlm kober) brp meter ya??
    Bisa naik motor ? Thanx, keep writing dude..

  • Depok oh depok,,entah bangga atau justru miris dengan kemajuan pembangunan di depok,,,,tahun 90an bila jalan kaki dari kukusan ke pondok cina melintas di UI karna memang angkutan yg belum ada saat itu,,masih banyak orang asli yg berpapasan bertegur sapa,,berbanding jauh sekarang di kampung sendiri terasa asing karna tetangga pun tidak saling kenal..

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.