DKI Jakarta

Yang Kalah Beresin

Yang Kalah Beresin
Avatar
Written by Lulus Gita Samudra

Tinggal di pinggiran kota ada enaknya, masih banyak pohon rimbun seperti di desa, tapi tetap tidak jauh dari pusat keramaian. Contohnya aku yang mengontrak sebuah rumah bersama teman-teman di Jalan Joe, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Daerah ini berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Barat yang diwakili Kota Depok. Meskipun lingkungan itu termasuk padat penduduk, tapi lalu lalang kendaraan tidak terlalu ramai. Jadi, udara pagi di sini masih cukup segar menurutku, dan aku bersyukur. Karena lain lagi dengan cerita teman-temanku yang tinggal di tengah Kota Jakarta. Menurut mereka, jangankan udara segar, pemandangan macet pun langsung mereka saksikan begitu keluar dari rumah.

Kemudian udara yang segar saja tidak cukup untuk hidup sehat. Aku dan teman-teman satu kontrakan menyadari hal itu. Biasanya setiap hari libur, kita kerja bakti untuk membersihkan kamar masing-masing. Tapi tidak semua penghuni yang beraksi. Hanya mereka-mereka yang kalah saja. Kalah dalam permainan sepak bola di video game. Atau kalah taruhan dalam pertandingan sepak bola yang siar langsung di televisi. Ya, kami semua memang pecinta sepak bola. Banyak nasib kita bersama ditentukan dalam pertandingan, baik dalam video game maupun di atas lapangan rumput yang nyata. Setiap hasil kita terima dengan senang, baik yang kalah apalagi yang menang.

Beberapa penghuni kontrakan sedang asyik main video game di salah satu kamar

Seperti malam Kamis minggu lalu, aku dan Koplo, teman satu kontrakanku bertaruh siapa yang akan membersihkan kamar, karena besoknya ada Pemilukada DKI Jakarta, dan Pemerintah Daerah (Pemda) Jakarta menjadikannya sebagai hari libur. Dalam video game, kita mengadu nasib. Aku memilih Manchester United sebagai kesebelasan unggulan untuk melawan Koplo yang menjagokan Manchester City.  Pertandingan berlangsung panas di Stadion Wembley, Inggris. Tak bosan wasit meniup peluit dan menghujani pemain dengan kartu kuning. Kami yang mengendalikan joystick memang tidak mau bermain lembek. Samir Nasri, gelandang serang tim “Manchester Biru”, memang sudah sepantasnya dibuat tumbang. Tentu Nemanja Vidic, defender “Manchester Merah”, siap membuatnya ‘makan tanah’. Sedangkan Koplo begitu khawatir dengan tembakan Wayne Rooney, bomber “Manchester Merah” yang seringkali membuat Joe Hart, kiper “Manchester Biru” harus jatuh bangun.

Pertandingan berakhir dengan bunyi pluit panjang. Setelah dua kali 45 menit, skor berakhir 2-1. “The Red Devil”, sebutan untuk Manchester United jadi juara. Sedangkan “The Citizen”, sebutan untuk Manchester City keluar lapangan dengan tertunduk kepala. Koplo kecewa, karena harus menanggung kekalahan. Artinya hari libur besok, ia harus membersihkan kamar kita. Sedangkan aku bisa bersantai-santai atau melakukan aktifitas bebas lainnya. CPU dimatikan, joystick dirapikan. Aku tertawa puas di hadapan Koplo sambil siap-siap tidur. Sedangkan Koplo menggerutu. Ia menuduh wasit berlaku curang.

Semakin keras tawa bahagiaku melihat gerutu Koplo atas ketidakpercayaannya terhadap wasit yang jelas-jelas tidak mungkin bisa disuap. “Wasitnya kartun, Plo. Gimana cara gue ngelobinya?” ucapku sambil tertawa. “Bodo amat, gue tau lo pake cheat (semacam kode hack untuk merubah sistem komputerisasi),” gerutu Koplo yang masih tidak percaya dirinya harus membersihkan kamar esok hari. “Udahlah, sini tidur, Plo,” aku menggeser tubuh membagi tempat untuk temanku. Koplo segera mengampiri, tidur di sebelahku dan menarik selimut untuk kita berdua. Nyamuk di sini bukan main banyaknya. Sebetulnya selimut saja tidak cukup untuk melindungi diri dari nyamuk. Namun persediaan lotion anti nyamuk sudah habis. Malas menyerang kita yang ingin pergi ke warung untuk membeli lotion anti nyamuk, karena malam terlalu larut. Kita merasa cukup menaruh percaya kepada selimut, tinggal matikan lampu dan larut dalam kantuk.

Tepat Janji

Ayam berkokok tanda pagi menjelang. Tapi kupercayakan waktu bangun tidurku dari bunyi alarm di telepon genggam yang sudah diatur terlebih dahulu. Pukul delapan, waktu yang tepat, telepon genggam akan memutar lagu dari One Day, band punk lokal asal Pamulang. Aku pilih suara itu untuk membangunkanku tidur, karena suara ayam tidak lagi mampu membuatku gusar saat sedang terlena dalam mimpi.

Lagu belum selesai, tapi mataku sudah terbuka. Koplo masih nyenyak di sampingku. Aku segera bangkit, ambil handuk dan pakaian bersih kemudian menuju kamar mandi. Setelah itu, biasanya penjual pecel sayur akan lewat. Ia sering memanggilku dari luar pintu. Aku memang salah satu pelanggan tetapnya yang biasa menikmati sarapan pagi dari sayur-sayuran yang dijualnya. Bumbu kacangnya yang pedas selalu membuatku tergiur, kala mengingatnya. Harganya yang murah cukup membantuku untuk memberi tenaga hingga siang hari.

Baru saja aku selesai mandi, suara panggilan yang khas langsung terdengar dari luar pintu, “Pecel, Om?”

“Satu, Mak. Kaya biasa,” jawabku dari dalam dan mengambil piring.

Tiba-tiba Koplo keluar dari kamar, sambil membawa piring sendiri. Ia minta dibuatkan seporsi pecel sayur oleh si penjual. Sebelum pesanannya dihidangkan, ia ke kamar mandi terlebih dahulu, cuci muka dan gosok gigi. Aku tersenyum, mungkin suara kokok ayam atau musik punk tidak bisa membangunkannya, tapi suara khas penjual pecel justru menjadi alarmnya. Di saat penghuni kontrakan yang lain masih tidur, kita sarapan berdua di dapur. Hal ini memang aktifitas yang biasa kita lakukan, sarapan pecel sayur berdua di dapur kontrakan.

Tidak banyak yang kita bicarakan saat sarapan, karena biasanya aku langsung sibuk berbenah diri untuk pergi bekerja. Sama halnya dengan hari ini, meskipun hari libur se-Jakarta, aku tetap akan beraktifitas. Karena memang terasa tidak biasa jika pagi hari tidak melakukan apa-apa. Rencananya sudah ditentukan sejak kemarin. Aku akan melihat proses Pemilukada DKI Jakarta di lingkungan sekitar kontrakanku, yaitu TPS 056, Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Fasilitas Pemilukada DKI Jakarta di TPS 056, Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan

Setelah sarapan, aku tidak langsung beranjak ke TPS. Menghisap sebatang rokok dan menikmati teh hangat yang sudah kubuat tidak terlalu membuang waktu. Begitu juga dengan Koplo, setelah mengunyah pecel terakhirnya segera membakar sebatang rokok dan mencicipi teh hangat yang aku buat. “Mau ke mana, Lus? Udah mandi aja lo?” tanya Koplo sambil memegang gelas teh hangat yang kubuat.

“Mau ke TPS, Plo.” Jawabku.

Koplo bertanya balik, “Lah, emang lo dapet undangan Pemilu?”

Enggak, Plo. Mau liat aja. Nah, lo sendiri mau ke mana hari ini?” tanyaku.

“Mau beresin kamar,” jawab Koplo dengan raut wajah yang tak enak.

Aku tersenyum, “yang rapih, Ye.”

Iye, gue rapihin,” jawab Koplo sambil tertawa sinis.

Koplo menepati janjinya. Setelah habis sebatang rokok, ia mengambil sapu ijuk dan beberapa barang lainnya untuk membersihkan kamar. Sedangkan aku segera menuju TPS untuk melihat pesta demokrasi milik warga Jakarta. Aku memang belum bisa memilih tahun ini, meskipun sudah empat tahun tinggal di kontrakan itu. Data kependudukanku masih sebagai warga Depok, Jawa Barat. Memang belum aku urus untuk menjadi warga Jakarta sepenuhnya. Tapi kurasa tidak ada salahnya untuk datang ke TPS, walau sekedar menyaksikan proses dan ikut memeriahkan acara.

Pertaruhan

Setelah berjalan perlahan, hanya sekitar dua puluh meter dari kontrakan, aku sampai di rumah Rahmat Haji Ali. Orangnya tidak ada, mungkin pergi bekerja. Kabarnya memang masih banyak yang tetap bekerja meskipun Pemda Jakarta menjadikannya hari libur. Tapi rumahnya ramai, karena dijadikan tempat hajatan pesta demokrasi warga Jakarta. Foto para pengantin dalam pesta ini jelas terpajang di luar rumah. Ada dua pasang. Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli alias Foke-Nara, sebagai kandidat nomor pilih satu; dan Joko Widodo- Basuki Tjahja Purnama alias Jokowi-Ahok, sebagai kandidat nomor pilih tiga.

Seorang warga sedang melihat daftar pemilih tetap di TPS 056

Secara keseluruhan bisa kubilang pesta tersebut tidak terlalu meriah. Tamu yang datang tidak banyak. Dari 367 undangan yang tersebar, hanya 271 yang hadir. 269 suara dianggap sah dan dua suara lainnya dianggap rusak. Mereka yang datang hanya sekedar memilih, kemudian langsung pulang. Hanya beberapa orang yang menunggu hingga penghitungan suara. Tapi panitia tetap mencoba meramaikan suasana. Mereka bercanda, mengelu-elukan calon pemimpin yang mereka suka. Sesekali menggunakan, mikrofon, Pak Hardadi, Ketua RT sekaligus Ketua Panitia memanggil-manggil warganya untuk datang ke TPS. Ia panggil nama warga yang belum memenuhi undangan satu per satu.

Hardadi, Ketua RT sekaligus Ketua Panitia TPS 056 memanggil warganya yang belum menggunakan hak pilih

Temanku, Ronal yang mendapat undangan pemilu di TPS itu menjelaskan, di dalam tubuh panitia memang terbagi dua kubu, yang satu pendukung Foke-Nara dan yang satu lagi mendukung Jokowi-Ahok. Dalam rapat-rapat panitia sebelum diadakan Pemilukada, semuanya berlangsung dengan fair. Ia mengetahui di TPS 056 tidak terdapat keberpihakan. Terbentuknya kubu-kubu itu hanya sebagai euforia atas diadakannya Pemilukada DKI Jakarta. Artinya, kurang lebih para panitia memang menerima kehadiran Pemilukada dengan suka cita. Pak RT sendiri yang sekaligus ketua panitia merupakan kubu pendukung Fauzi-Nara, sedangkan lawannya adalah Kubu Pak Bambang, yang juga bertugas menjadi anggota panitia.

Sepanjang proses pemilihan, panitia saling tertawa, bercanda dengan menjago-jagokan pilihannya masing-masing. Meskipun satu sama lain terkadang saling hina, tapi tak sedikit pun merujuk pada rasa keterhinaan. Justru sebaliknya, mereka menerima hinaan itu dengan tertawa.

Ketika matahari sudah setinggi tombak, waktu pemilihan suara dianggap selesai. Warga yang terlambat sudah tidak diizinkan memilih. Karena pada pukul satu siang, proses penghitungan suara akan segera berlangsung. Panitia mempersiapkan semuanya. Kotak suara diletakkan di hadapan para saksi. Saksi-saksi itu utusan tim sukses Foke-Nara dan Jokowi-Ahok. Mereka bertugas untuk memantau penghitungan suara, supaya tidak terjadi kecurangan

Sejenak semua persiapan penghitungan suara genap selesai. Tabel jumlah suara sudah tertempel di dinding, para saksi sudah menandatanganinya. Ketua Panitia segera ambil alih. Ia mengajak semua panitia dan saksi untuk menerima hasil dengan lapang dada. Tidak perlu ada kecurigaan karena semuanya terbuka. Selanjutnya ia mengajak orang-orang yang hadir membaca doa terlebih dahulu, supaya hasilnya direstui Tuhan Yang Maha Esa. “Sambil mengucap Basmallah, saya buka gembok kotak suara,” seru Pak RT. Kemudian para panitia, saksi, dan beberapa tamu mengucap Basmallah dan tepuk tangan.

Hardadi, Ketua TPS 056 membuka gembok kotas suara untuk dimulai penghitungan suara

Proses perhitungan suara dimulai. Perwakilan panitia membuka satu-persatu surat suara. Diangkatnya tinggi-tinggi supaya para hadirin melihatnya. Jika surat suara terdapat bolong pada gambar Foke-Nara, panitia teriak, “SATU!!!”. Jika surat suara terdapat bolong pada pasangan Jokowi-Ahok panitia teriak, “TIGA!!!” dan begitu seterusnya. Petugas penulis tabel tak henti-hentinya mencoret garis pada kolom yang tertera sesuai dengan teriakan petugas yang membuka surat suara yang kemudian menjadi grafik berbentuk susunan lidi. Begitu juga dengan para saksi, mereka yang bukan warga asli memasang tampang serius, seakan-akan mengancam para panitia untuk tidak bercanda selama bekerja. Tapi panitia tidak menghiraukan hal itu, mereka tetap bercanda sepanjang proses penghitungan suara meskipun dari tubuh keorganisasiannya itu terbagi dari dua kubu. Jika surat suara menunjukan dukungan terhadap kepada salah satu pasangan, kubu pendukungnya berteriak, “Yang keras, dong, nanti penulis tabel kagak denger,” begitu juga sebaliknya. Seruan itu bernada sensitif, tapi setiap kubu menanggapinya dengan tawa. Hal ini tidak terjadi di wajah para saksi. Dalam hati aku bergumam, ini pesta rakyat, yang tidak bahagia mungkin bukan rakyat. Karena aku sendiri sering tertawa kecil melihat candaan para panitia meskipun aku tidak memiliki hak pilih.

Penghitungan suara berlangsung, disaksikan saksi-saksi dari tim sukses Foke-Nara dan Jokowi-Ahok

Dalam waktu satu jam proses penghitungan suara dianggap selesai. Hasilnya, di TPS 056, Lenteng Agung, Jagakarsa, pasangan Foke-Nara jadi juara. Perbedaannya tipis, Foke-Nara berhasil mengumpulkan 146 suara sedangkan Jokowi-Ahok memperoleh 123 suara. Sekali lagi, para saksi menandatangani surat-surat yang artinya hasil perolehan suara tersebut dianggap sah tanpa kecurangan.

Sepertinya para panitia memang tukang bercanda, aku melihat kejutan usai perhitungan suara. Ternyata yang kalah wajib membereskan peralatan pesta.

“Sesuai perjanjian, yang kalah beresin!” seru  Pak Hardadi sambil bertolak pinggang merasa bangga. Pak Bambang sebagai ketua kubu pendukung Jokowi-Foke dan kawan-kawannya tak segan-segan membereskan kotak suara, meja, kursi, dan peralatan lainnya, “Ayo, kawan-kawan, kita tepatin janji!” jawabnya sambil mengajak panitia pendukung Jokowi-Ahok dengan tertawa.

Bambang (berdiri) dan kawan-kawannya beres-beres peralatan Pemilukada di TPS 056 setelah mengetahui hasil penghitungan suara di TPS tersebut dimenangkan oleh pasangan Foke-Nara

Segeralah para pendukung Jokowi-Ahok benah-benah merapikan sisa Pemilukada di TPS 056, sambil melanjutkan percakapan saling hina dengan rasa bahagia. Aku jadi teringat Koplo yang harus membersihkan kamar setelah kalah tanding sepak bola di video game. Aku menduga, kamar kita pasti sudah bersih dan rapi, siap untuk kita tiduri bersama lagi. Sebagai hadiah, aku akan membeli beberapa gorengan dan minuman dingin untuk temanku itu. Tapi jika kupikir ulang, aneh juga jika dalam Pemilukada, yang kalah yang bertanggung jawab untuk berbenah. Bukankah seharusnya yang menang? Tapi, ya sudahlah, hal ini hanya terjadi di tengah-tengah warga yang selalu punya solusi untuk menjalin kekompakan di antara sesamanya. Padahal sebelumnya cukup banyak wacana konflik SARA yang terlontar melalui berbagai macam media. Aku melihat begitu banyak aura positif yang ada di antara warga TPS 056, Lenteng Agung, Jagakarsa, seperti Pak Bambang yang menepati janjinya.

About the author

Avatar

Lulus Gita Samudra

Lulus Gita Samudra telah menyelesaikan studi Strata Satu-nya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Pria kelahiran Jakarta tahun 1989 ini, juga turut aktif di Forum Lenteng sebagai Sekretaris Redaksi akumassa.org. Sebelumnya ia pernah mengikuti workshop akumassa Depok pada tahun 2011. Kini ia sedang membangun sebuah komunitas berbasis massa di Depok, bernama Suburbia.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.