Pagi itu, saya sedang duduk tenang sambil menenteng kamera video di salah satu kursi antrian, di bawah tenda sederhana, di depan sebuah rumah. Saya berada di tengah-tengah peristiwa massa yang riuh rendah oleh suara anak-anak seumuran sekolah dasar (SD) dan ibu-bapak yang asyik bergosip mengenai berita-berita terkini di media massa. Sekali-sekali, ada yang berseru, “Yang ini pasti Jokowi, nih!” atau “Jokowi lagi!” Mereka menebak seraya tertawa ketika melihat ada orang datang sambil mengenakan kemeja kotak-kotak.
RT 007/002, Kelurahan Lenteng Agung, Jagakarsa. Lebih tepatnya, Gang Anyar, di dalam dan di depan pekarangan sebuah rumah, yang memiliki halaman parkir cukup luas untuk memuat lima hingga sepuluh meja panjang. Lokasi itu menjadi Tempat Pemungutan Suara (TPS) nomor 014, untuk wilayah setempat, pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang dilangsungkan serentak pada tanggal 11 Juli 2012, Hari Rabu kemarin. Tenda peneduh bagi para pemilih didirikan di tengah gang sehingga menghalangi motor yang hendak melintas.
Pukul sembilan pagi saya sudah berada di sana. Satu demi satu warga setempat mulai berdatangan membawa secarik kertas lalu memberikannya kepada petugas yang berjaga di sebuah meja bertuliskan kata “PENDAFTARAN”, lalu duduk di deretan kursi yang disediakan.
Halaman parkir rumah itu terlihat seperti panggung pertunjukan. Ada tiga meja di tengah-tengah. Dua di antaranya diletakkan semacam bilik kecil untuk melakukan pencoblosan secara rahasia sementara pada meja yang satu lagi diletakkan kotak pengumpulan suara. Di bagian sisi kanan, jika kita melihat dari posisi saya duduk, adalah meja para petugas yang menerima pendaftaran ulang peserta pemilih dan memanggil nomor antrian untuk memberikan surat suara. Sedangkan yang di sebelah kiri adalah meja-meja yang disediakan untuk para saksi di sesi penghitungan suara.
Saya sempat bertanya kepada salah seorang petugas TPS, “Ini rumah siapa, Pak?”
“Rumah Haji Muhammad Jaini,” jawab si Bapak yang saya tanya.
“Jaini?” saya mengernyit. “Zaini, pake Z?”
“Iya, Zaini, pake Z!”
“Ngitung suara jam berapa, Pak, kira-kira?”
“Ya, sekitar jam satu atau dua lah,” jawabnya. “Jam dua belas, kita istirahat sambil nunggu kalau ada yang masih milih. Mungkin sekitar jam setengah dua ngitung suaranya.”
Saya tidak tahu siapa pemilik rumah itu. Lebih dari itu, saya tidak tahu hampir semua warga yang tinggal di Gang Anyar. Saya bukan warga asli setempat. Meskipun saya beraktivitas setiap hari di daerah Lenteng Agung, dan bahkan menginap hampir setiap hari pula di sebuah kontrakan dekat Gang Anyar itu, saya tidak bisa dikatakan sebagai warga yang memiliki hak pilih atas enam calon pemimpin daerah DKI Jakarta yang sedang dilangsungkan. Meskipun umur saya sudah cukup untuk memiliki hak pilih, saya tidak termasuk dalam daftar 371 warga RT 007/002 yang memiliki hak pilih itu. Dari segi kependudukan, saya bukan warga Jakarta karena Kartu Tanda Penduduk (KTP) saya masih bernomor Kota Pekanbaru.
Kehadiran saya di sana hanya sekedar ingin menyaksikan bagaimana warga sekitar merayakan pesta demokrasi mereka untuk DKI Jakarta.
“Nuraini!” seru si petugas yang memanggil nomor antrian. Seketika dua orang perempuan berdiri. Kebingungan terjadi. Ternyata, nama mereka sama. Keduanya diam sebentar seraya saling menunjuk dengan enggan. Pak petugas TPS tak kalah bingung. Namun semuanya terselesaikan dengan cepat ketika petugas meja pendaftaran melakukan konfirmasi urutan nomor antrian. Perempuan yang memberikan secarik kertar terlebih dahululah yang dimaksud untuk melakukan pencoblosan. Setelah namanya disebut, Nuraini yang kedua mendapat giliran.
Beberapa saat kemudian, giliran seorang bapak yang mengenakan topi. Dia begitu antusias, bahkan menyalami semua petugas TPS. Ketika selesai melakukan pencoblosan, bak seorang publik figur, dia memamerkan surat suara yang ia coblos sebelum akhirnya memasukkan surat itu ke dalam kotak pengumpulan suara. Dia juga memamerkan jari kelingkingnya yang dicelupkan ke tinta hitam, tanda dia telah mencoblos. Saya mengira-ngira, mungkin ia yakin cagub dan cawagub pilihannya akan menang dalam putaran Pilkada tahun ini.
Beberapa bapak-ibu, yang sedang bergosip di meja antrian, memperbincangkan tentang isu-isu terkini terkait dengan Pilkada DKI Jakarta. Ketika saya mencuri dengar percakapan mereka, saya menangkap bahwa mereka saling berargumen tentang keunggulan masing-masing calon. Mulai dari visi dan misi, dugaan-dugaan tentang permainan politik uang, hingga trivia-trivia lain yang saya tak tahu dari mana mereka mendapat sumber informasi itu. Mereka juga menyinggung soal TPS-TPS lain yang ada di lingkungan Kelurahan Lenteng Agung, Jagakarsa. Mereka menebak-nebak kemungkinan siapa cagub-cawagub yang menang di TPS A atau di TPS B.
Mendengar gosip mereka itu, mendadak saya teringat perbincangan saya dengan seorang dosen, sekitar satu jam sebelum saya berada di sana. “Menurut prediksi lu, Bang, siapa yang bakal menang?” tanya saya.
“Wah, kemarin itu jadi perdebatan yang seru!” ujarnya. “Tapi kalau dilihat-lihat, kalau Pilkada sekarang ini hanya berlangsung satu putaran, kemungkinan besar, Foke yang menang. Tapi kalau misalnya dua putaran, kesempatan Jokowi juga besar.”
Dosen saya itu juga sama dengan saya, KTP miliknya bukan KTP Jakarta. Bisa dikatakan, berlangsungnya proses pemungutan suara itu tidak ada pengaruhnya dengan warga yang tidak berstatus sebagai warga Jakarta secara resmi. Akan tetapi itu tidak sepenuhnya tepat. Hasil akhir dari Pilkada ini tentunya berpengaruh bagi siapa saja yang memijakkan kakinya di Ibukota dan sekitarnya. Bahkan, pada proses pemilihannya saja, secara tidak langsung efek itu sudah terasa. Buktinya, kampus saya, yang berlokasi di Depok, pada hari itu diliburkan sehubungan dengan aktivitas coblos-mencoblos. Bisa dikatakan, sekian persen dari para pegawai kampus dan mahasiswanya adalah warga ber-KTP Jakarta. Jadi wajar hal ini menjadi perbincangan bagi siapa saja, termasuk saya dan si dosen.
***
Tepat seperti yang direncanakan, proses penghitungan suara di TPS nomor 014 itu dilakukan pada pukul dua siang. Lokasi TPS yang beberapa jam sebelumnya sempat sepi, mulai kembali ramai. Keriuhrendahan terjadi lagi karena anak-anak seumuran SD lebih ramai dibandingkan menit-menit pertama saya melebur di antara warga setempat.
“Jumlah surat suara yang terkumpulkan adalah 265!” ujar petugas TPS dengan pengeras suara. Saya melihat para saksi mulai mencatat data tersebut.
“Wah, banyak juga, ya, yang tidak memilih!” ada yang berujar seperti itu.
Cukup lama para petugas sibuk menghitung jumlah surat suara. Beberapa saat kemudian, petugas berseru lagi, “Maaf, tadi ada kesalahan teknis. Ternyata, jumlah suara yang benar adalah 239, sedangkan sisa surat suara yang tidak terpakai 141. Total surat suara dari KPU adalah 380.” Jumlah itu disebutkan oleh para petugas setelah beberapa kali menghitung ulang, yang mana sempat muncul dua kali jumlah yang salah, yakni 265 berubah menjadi 264, dan akhirnya menjadi 239.
Tidak lama setelah pengumuman itu, para petugas mulai menghitung satu-persatu jumlah pemilih masing-masing cagub-cawagub.
“Nomor tiga!” seru petugas penghitung suara ketika membuka surat suara yang pertama.
“Nomor satu!” seru si petugas beberapa saat kemudian, setelah sebelumnya menyebut ‘nomor tiga’ beberapa kali.
Faktanya, di TPS nomor 014 itu memang terjadi persaingan antara pasangan Fauzi-Nachrowi dan Jokowi Ahok. Setelah beberapa menit saya bertahan hingga mengetahui hasil akhir, ternyata di TPS tersebut, Jokowi-Ahok mendapatkan suara terbanyak. Ketika surat suara terakhir disebutkan, yang ternyata juga nomor tiga, para warga bertepuk tangan santai tanpa antusias seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Sekelabat saya sempat melihat salah seorang anak kecil mengepalkan tangan seraya berujar pelan, “Yeee, menang!”
Jumlah akhir penghitungan di TPS itu ialah 73 suara untuk Fauzi-Nachrowi, 1 suara untuk Hendardji-Riza, 105 suara untuk Jokowi-Ahok, 37 suara untuk Hidayat-Didik, 15 suara untuk Faisal-Biem, dan terakhir, 6 suara untuk Alex-Nono. Sedangkan 2 surat suara sisanya tidak sah.
Setelah penghitungan selesai, para saksi melakukan crosscheck dengan para petugas TPS, sementara satu per satu para warga mulai meninggalkan lokasi TPS.
***
“Tak ada yang lebih problematis selain warga.” Begitu bunyi kalimat pertama dalam tulisan Moetidjo, salah seorang peneliti Forum Lenteng, pada katalog pemutaran video akumassa Depok. Kalimat itu jelas dan tegas.
Meninjau visi dan misi yang diusung oleh para cagub-cawagub pada Pilkada DKI Jakarta sekarang ini, jelas sekali mencerminkan bagaimana kompleksnya permasalahan yang ada pada warga. Mulai dari persoalan kependudukan, yang sudah sedikit tergambarkan pada cerita saya di atas, hingga ke persoalan basi tentang kemacetan jalanan Ibukota akibat warga yang hampir semuanya memiliki kendaraan pribadi. Belum lagi masalah tentang kota, sebagai tempat tinggal warga, yang penataannya berantakan, kumuh dan miskin.
Ironisnya, justru hal-hal demikian lantas dikomodifikasi menjadi slogan sosialisasi para cagub-cawagub. Dan bahkan, bentuk gaya hidup kaula muda pun tak luput untuk menjadi celah berstrategi para politikus. Sungguh aneh ketika akhirnya kita berkesimpulan: problema warga menjadi solusi kampanye.
Pemilihan kepala daerah pada tanggal 11 Juli 2012 itu mungkin menjadi satu harapan kita akan kehadiran seorang pemimpin yang sadar bahwa warga, DKI Jakarta khususnya, memiliki masalah. Sudah cukuplah kita berkali-kali menghadapi seruan penanganan masalah macet Jakarta yang hanya tinggal janji, seruan sekolah gratis yang hanya tinggal wacana tanpa aksi pasti, seruan tentang Ibukota sebagai kota layak huni yang hanya tinggal mimpi, hingga wacana baru tentang belanja ke pasar gratis yang hanya berupa iming-iming tanpa realisasi.
Akankah sang terpilih itu tampil sebagaimana yang warga harapkan?
Jawaban itu, sepertinya, belum akan terjawab dalam waktu dekat ini. Sebelum sang terpilih menjalankan tugasnya, warga masih harus menunggu hasil resmi penghitungan dari KPU. Selain itu, seperti yang banyak diprediksi oleh warga setempat, juga oleh saya sendiri, bahwa akan diadakan pemutaran kedua. Prediksi itu wajar, mengingat pemberitaan di media massa memperlihatkan hasil hitung cepat (quick count) dari beberapa lembaga survey, seperti Lingkaran Survei Indonesia, Indo Barometer, atau Jaringan Suara Indonesia, Puskaptis, atau Prisma, yang umumnya menunjukkan angka persaingan 30 banding 40 antara Fauzi-Nachrowi dan Jokowi-Ahok. Sedangkan hasil hitungan untuk pasangan lainnya, hanya berkisar antara 2 hingga 11 persen (berita di surat kabar Berita Kota dan Warta Kota).
Namun, hal itu baru akan kita ketahui pada tanggal 20 Juli 2011 ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan hasil perhitungannya secara resmi.
Harapannya, siapa pun pasangan yang menang nanti, adalah hasil suara dari warga yang memilih.