Jurnal Kota: Depok Provinsi: Jawa Barat

Tukang Kredit Keliling

Bang Mukhlis, penjual pakaian kredit yang menggunakan sepeda motor
Avatar
Written by Eni Wibowo

“Asssalamu’alaikum… Mama Najwa!”

Terdengar sebuah seruan salam dari luar rumah. Ibu saya yang sedang memasak di dapur langsung berlari ke depan, ternyata itu suara Mbak Heni, pedagang snack keliling langganannya.

Mbak Heni, penjual snack keliling

Mbak Heni, penjual snack keliling.

“Aduh, saya lagi nggak ada uang,” jawab ibuku ketika ditawari beragam snack.

“Apaan sih Mama Najwa ini, sudah ambil saja dulu buat anaknya ngemil. Ini makaroninya ada dua, yang manis pedas dan yang rasa ‘keripik setan’,” Mbak Heni tetap menawarkan dagangannya.

“Ini juga ada sereal buat sarapan Najwa, biasanya beli yang ini…”

Adikku dan temannya sedang menikmati snack yang dijual Mbak Heni

Adikku dan temannya sedang menikmati snack yang dijual Mbak Heni.

Najwa adalah nama adik bungsuku, maka ibuku pun kemudian akrab dipanggil Mama Najwa. Karena penasaran dengan snack yang dijual Mbak Heni, aku pun meninggalkan tugas yang sedang aku kerjakan di dalam rumah, dan menuju ke teras depan.

Apa yang aku lihat benar-benar menggoda ‘iman’. Teras rumahku dipenuhi oleh berbagai macam snack (cemilan). Ada kacang polong goreng, makaroni goreng, keripik singkong, keripik kentang, kacang mede goreng, pilus, kue kuping gajah, pisang sale, sereal cokelat, stik kentang dan aneka macam cemilan lainnya dalam kantong-kantong kemasan ukuran sedang dengan merek KRIUK.

Snack yang dijual Mbak Heni

Snack yang dijual Mbak Heni.

“Teteh mau ngambil nggak?” tanya ibu kepadaku. Aku diam saja karena bingung mau membeli yang mana, begitu banyak cemilan yang ditawarkan.

Akhirnya ibu memutuskan untuk mengambil tiga macam snack yang terdiri dari stik kentang, kacang polong goreng, dan makaroni rasa manis pedas.

Aku terkejut mendengar harga tiga bungkus cemilan yang dibeli hanya seharga dua belas ribu rupiah saja dan bisa dicicil pula pembayarannya. Padahal, setahuku satu kantong cemilan di warung-warung harganya sekitar lima ribu sampai enam ribu rupiah, itu pun isinya kadang sedikit. Di sini Mbak Heni menjual dengan harga yang cukup murah. Untuk ukuran yang lebih kecil Mbak Heni menjual seharga sepuluh ribu per-tiga bungkusnya. Sambil membantu memasukkan cemilan ke dalam kantong plastik besar aku pun sedikit bertanya tentang jualannya tersebut.

“Cemilan-cemilan ini beli di mana, Mbak?” Tanyaku.

“Ini barangnya saya dapat dari Cinere, lumayan lah ongkos bensinnya. Karena teman saya itu belum punya motor untuk mengantar barangnya.” Jawab Mbak Heni.

“Di Cinere ada pabriknya?” tanyaku penasaran.

“Bukan, teman saya juga dapatnya dari Tangerang. Jauh banget! Saya sih ambil barangnya setiap Jum’at, terus hari Minggunya saya keliling kampung nawarin sama tetangga, seperti sekarang ini. Alhamdulillah untungnya lumayan daripada saya nggak ada kerjaan.”

Ibu dan adikku sedang memilih snack

Ibu dan adikku sedang memilih snack.

Mbak Heni mengaku hanya mengambil untung seribu rupiah dari setiap bungkus cemilan yang terjual. Aku rasa kegiatannya ini patut ditiru oleh ibu-ibu rumah tangga lainnya. Daripada membunuh waktu dengan bergosip lebih baik berjualan kecil-kecilan dan menghasilkan uang. Walaupun hanya sedikit tapi setidaknya bisa memberi penghasilan tambahan untuk kehidupan rumah tangga.

Belum selesai Mbak Heni membereskan dagangannya, ibuku sudah dipanggil lagi. Kali ini oleh penjual pakaian kredit keliling.

“Aduh… kok pada datangnya hari ini semua sih?” Gerutu ibu. tapi tetap saja ia menyambut Bang Mukhlis si penjual pakaian kredit. Ibu juga sekaligus jadi orang yang pertama membongkar dagangan si tukang kredit pakaian.

Sudah jadi kebiasaan di lingkungan rumahku bahwa setiap tukang jualan keliling, baik yang cash (tunai) atau kredit, menggelar barang dagangannya di depan rumah Mpok Mayang yang berada persis di depan rumahku, karena teras rumahnya yang luas.

Ibuku dan beberapa ibu lainnya sedang membongkar dan memilih dagangan Bang Mukhlis

Ibuku dan beberapa ibu lainnya sedang membongkar dan memilih dagangan Bang Mukhlis.

“Nih, kemarin pesan celana pendek kan? Saya bawain banyak nih. Pilih dah!” Ujar Bang Mukhlis dengan logat Betawi-nya.

“Ah, ini sih modelnya sama dengan yang kemarin saya beli.”

“Beda Teh, kalau yang ini ada kantongnya di bawah. Tuh…. beda, kan…?!” Bang Mukhlis memperlihatkan dua saku yang ada di setiap sisi celana pendek santai model balon berwarna pink  kepada ibuku dan ibu-ibu lainnya yang mulai mengerubungi baju-baju dagangannya.

“Eh, iya. Tapi warnanya sama persis kayak yang kemarin,” jelas Ibuku.

Kecewa dengan celana pendek yang ditawarkan, Ibu pun kembali membongkar tas yang terbuat dari bahan tenda berwarna biru milik Bang Mukhlis yang juga penuh dengan jualannya.

“Ini apa? Sweater ya?”

“Iya, tapi yang cuma setengah badan itu, Teh.”

Aku tersenyum geli mendengarnya, maksudnya adalah bolero dari bahan wol yang memang biasa disebut sweater oleh orang-orang yang awam istilah fashion.

“Ada warna yang lain nggak?”

“Merah maroon! Sebentar ya,” ujar Bang Mukhlis.

Kemudian ia pun sibuk mencari bolero warna merah maroon di antara barang dagangannya. Sementara itu ibu-ibu yang lainnya juga mulai mengaduk-aduk dagangannya, ada yang mencari celana pendek, tank top, daster, pakaian dalam, kaos, pakaian anak-anak, dan celana jeans.

Selain ibu-ibu rumah tangga ada juga dua laki-laki seumuran ku yang ikut nimbrung mencari celana boxer atau celana pendek. Aku sendiri termasuk jarang melihat laki-laki berbelanja pakaian, apalagi pakaian obralan seperti ini, bersama ibu-ibu pula. Tapi yang aku lihat mereka berdua sama sekali tidak kikuk memilih celana pendek di antara ibu-ibu yang lain. Mereka terlihat begitu akrab dan dengan tidak segan meminta pendapat ibu-ibu tentang celana yang akan mereka pilih. Ucok, itu lah panggilan akrab ibu-ibu kepada dua laki-laki tersebut, mereka berdua adalah penjaga toko sembako di sebelah rumah ku. Entah kenapa mereka bisa dipanggil Ucok padahal sebenarnya mereka berasal dari Medan. Lebih anehnya lagi, mereka juga sangat fasih berbahasa Sunda. Belakangan saya tahu kalau dulunya mereka sudah lama merantau di berbagai daerah yang berbahasa Sunda sehingga mereka sangat fasih berbicara dalam bahasa Sunda.

Para lelaki pun ikut berbelanja dagangan Bang Mukhlis bersama para ibu

Para lelaki pun ikut berbelanja dagangan Bang Mukhlis.

Bang Mukhlis sudah sepuluh tahun berjualan pakaian keliling  kredit seperti ini. Sebelumnya ia mengaku bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap hari ia berangkat dari rumahnya di daerah Pasar Minggu, berkeliling kampung di Cinere dari mulai daerah Limo sampai Parung Bingung untuk berjualan sekaligus untuk menagih cicilan kredit-an pada setiap pembelinya. Awalnya ia ditemani oleh seseorang kerabatnya yang bertugas memanggul tas dagangannya dan berjalan berkeliling kampung. Tapi sudah tiga tahun ini ia berkeliling menggunakan sepeda motor.

Ada banyak pengalaman selama ia menjadi tukang kredit pakaian keliling salah satunya adalah kejadian tahun 2004. Saat itu Bang Mukhlis dan istrinya hendak pulang setelah seharian berkeliling di Parung Bingung. Tiba-tiba ia dia dicegat oleh dua orang yang ternyata berniat mengompas (malak) mereka tapi untungnya ada warga sekitar yang kemudian membantunya terlepas dari para preman tersebut. Sebagai tukang kredit Bang Mukhlis juga sering mendapat pembeli yang agak susah saat ditagih uang cicilannya, menanggapi pembeli seperti ini biasanya Bang Mukhlis akan menolak dengan halus sebelum memberi kredit kepada mereka.

“Jangan hari Jum’at lah, Mpok, nanti saya nggak ada buat bensin. Hari Rabu saja, gimana?” Begitu kalimat yang aku dengar saat Bang Mukhlis menghadapi pembeli yang susah membayar uang cicilan kredit.

Bang Mukhlis, penjual pakaian kredit yang menggunakan sepeda motor

Bang Mukhlis, penjual pakaian kredit yang menggunakan sepeda motor.

Aku yang memang tidak pernah tahu harga cicilan kredit sebelumnya lagi-lagi terkejut saat mendengar berapa cicilan kredit pakaian para ibu-ibu di sekitar rumah ku. Cicilan mereka hanya seribu sampai lima ribu dan itu dicicil setiap hari, bukan per minggu seperti yang biasa aku temui di daerah-daerah lainnya.

“Ibu-ibu di sini emang begitu. Sehari seribu juga dilakoni asal barang yang dia mau bisa didapat. ” Begitu penuturan ibu ketika aku tanya tentang kesediaan ibu-ibu membayar kredit.

Selain Bang Mukhlis ada dua orang penjual pakaian kredit keliling di kampungku, yaitu Mpok Neneng dan Mang Asep yang biasanya berkeliling kampung di sore hari, berbeda dengan Bang Mukhlis dan Mbak Heni yang berkeliling kampung pada pagi hari. Sayangnya aku jarang bertemu dengan Mpok Neneng dan Mang Asep karena biasanya aku baru pulang dari kampus setelah maghrib.

Setelah satu jam mengaduk-aduk pakaian, akhirnya ibuku memutuskan untuk membeli tank top berwarna hitam yang dipadukan dengan bolero berwarna merah maroon. Sedangkan kedua Ucok membeli empat celana pendek dengan motif batik.

“Saya bayar langsung saja.” Kata ibuku sambil merogoh sakunya.

“Katanya nggak punya uang,” sindir aku kepada ibu.

“Habisnya suka. Bodo ah! Daripada penasaran…”  Jawab ibuku diikuti tawa kecil.

“Dasar ibu-ibu…” gumamku dalam hati.

About the author

Avatar

Eni Wibowo

Perempuan kelahiran 1990 ini sedang menyelesaikan studinya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Perempuan asli Sukabumi ini pernah mengikuti workshop akumassa Ciputat. Sekarang ia sedang aktif di Komunitas Mahasiswa Kreatif Audio Visual (KOMKA) UIN syarif Hidayatullah Jakarta dan Komunitas Djuanda.

8 Comments

  • KRIUK! itu mereka pusatnya di Taman Mangu Indah, Pondok Aren, Tangerang, beberapa blok dari rumah gw, hehehe.. Mereka juga ga produksi sendiri makanan2 itu, cuma ngebungkusin doang. Mereka jual 1 bungkus makanan itu 2000 rupiah.

  • Wah…bang Pendi juga suka tuh makan cemilannya kriuk, renyah dan murah. Mba Eni rumahnye dimana, nanti bang Pendi datengin buat nawarin barang2 yang bisa dikredit ame tetangganye…he…he

    Salam hangat & sukses selalu…
    Dari blogger kampung sawah

  • wkwkwkwk tuLisan su le …
    oRg indo mmg demen bngt kredit ya, sma gw jga ska…

    eni, nti kl da tukang kRedit Lensa Nikon blang gw yakz…
    hehehe

  • iya ntar mam gw kasih tw…klo g salah lensa doang mah di warung ucok banyak banget di iket-iketin..tinggal pilih aja…hehehe…

  • Di Parungkuda, Sukabumi juga banyak tukang kredit. Bermacam-macam, ada kredit baju, kredit peralatan masak (seperti wajan, kompor, sampe ke baskom-baskom pun di kreditin), kredit makanan, sampai kredit uang (istilah kerennya bank keliling.
    gue liat yang paling banyak peminatnya adalah bank keliling. gue jadi inget, salah satu sodara gue ada yang hobi mengkredit. semuanya dia kredit. baju, peralatan masak, makanan, yang paling utama uang.
    ketika para tukang kredit datang ke rumahnya untuk menagih, sodara gue malah ngumpet di rumah gue. hahaha… biar gak ditagih… ketika para tukang kredit itu pergi, barulah dia pulang ke rumahnya lagi.

  • jd ingat kgiatan saya shari hari.aku jga tukang kredit lho,…….yg penting halal.pkerjaan susah jika nagih ada yg macet…da resiko

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.