Sejak pagi aku berada di daerah Serpong, Tangerang. Tepat pukul 11.00 WIB aku berangkat kuliah ke Ciputat dari tempat itu. Aku memutuskan untuk lewat jalur Muncul menaiki Mikrolet hijau bertuliskan Kalideres – Muncul dari Gading Serpong, karena dari Muncul menuju Ciputat jaraknya tidak terlalu jauh dibandingkan lewat BSD yang merupakan jalur menuju rumahku. Benar saja dugaanku, sesampainya di Muncul aku masih punya banyak waktu untuk sampai di kampus karena masuk jam 13.00 WIB. Turun dari kijang hijau itu, angkot putih Muncul-Ciputat langsung menghadangku, masih banyak waktu, sekarang baru pukul 11.30 WIB, batinku.
Tiba-tiba saja…
Tettt…. Tett… teeettt… maju… maju…
Greengg… greengg…!
Itulah suara nyaring klakson mobil dan motor dan deruan para sopir angkot dan truk yang ku dengar ketika baru memasuki Jalan Parakan yang merupakan simpang tiga antara Ciputat, Pamulang dan Muncul. Kemacetan yang terjadi menjadi wajar saja pikirku, karena simpang tiga memang menjadi daerah paling macet dibandingkan daerah lain di sekitarnya.
Keringat makin mengucur, rasa panas tak tertahankan. Angkot (angkutan kota) yang ku tumpangi berada dalam kemacetan panjang yang saat itu belum aku ketahui sampai di mana ujungnya. Pikiranku mulai kacau, perasaan pun makin gelisah karena sudah jam 12.30 WIB, setengah jam lagi aku masuk kuliah tapi jalan ini sungguh padat dengan kendaraan, sulit bergerak, hanya beberapa sentimeter mobil-mobil dapat maju.
Teeeetttttt…. teeettt… greeng..greeng…!
Suara berisik dan asap kendaraan membuat pikiranku kacau, seperti ingin mengamuk rasanya karena dikejar waktu.
12.40 WIB, aku masih berada di sekitar Parakan;
13.00 WIB, aku baru sampai di PLN Pamulang,
perjalanan masih jauh dan macet tak teratasi, emosi pun makin menjadi, pikiranku makin kacau, makin tak karuan rasanya, terlebih ketika melihat kerumunan massa berjalan seperti terjadi sesuatu, penasaran sekali aku karena tidak begini keadaannya pada hari-hari biasanya. Panik, aku pun membuka jendela angkot, melongok-longok dari jendela dan tidak tahu ada apa.
“Pak… Pak… maaf Pak, ada apa ya?” Tanyaku pada seorang bapak pengendara motor yang berada di ruas jalan arah balik dan tepat di sebelah angkot yang ku tumpangi.
“Ada teroris neng!” Jawab si bapak lantang.
Hah… Ada bom dong.. pikirku singkat, si sopir angkot pun bertanya pada kerabatnya yang juga sesama sopir angkot. Sepertinya benar ada teroris, tapi siapa? Dimana? Pikiranku semakin menggila bersama bunyi bising mesin kendaraan. Terlambat kuliah, kemacetan tak berujung, teroris pula.
Beberapa detik kemudian…
“Neng, turun sini aja Neng… Jalannya ditutup ada teroris di depan danau, banyak polisi,” ucap sopir kepadaku karena hanya tinggal aku seorang penumpangnya.
“Terus gimana dong Pak, saya mau ke Ciputat. Ini masih jauh banget”
“Ya terpaksa Eneng jalan kaki.”
“Hmmfftt… Astagfirullah”, aku makin lemas saja karena di turunkan di Villa Dago Pamulang, selama berjalan aku terus bertanya-tanya sendiri, ada teroris apa? Perasaan dari tadi pagi nonton Televisi nggak ada berita teroris. Akhirnya aku berjalan kaki hingga TKP (Tempat Kejadian Perkara) teroris.
Benar saja banyak sekali awak media dan kepolisian yang berada di tempat ini, Selasa (09/03). Aku begitu terkejut ketika mengetahui yang menjadi TKP adalah Ruko Multiplus Puri Pamulang yang berada di Jalan Raya Siliwangi Nomor 6 blok A1, Pamulang Barat, Tangerang Selatan. Sebelumnya aku pernah beberapa kali masuk ke tempat ini untuk ber-internet ria sepulang sekolah, karena jarak sekolah ku dahulu, SMAN 6 Tangsel, berdekatan dengan tempat ini.
Kalau aku melanjutkan perjalanan menuju kampus, percuma saja, karena tidak bisa mengikuti perkuliahan. Memanfaatkan keadaan menjadi pilihan terbaik sepertinya. Tanpa pikir panjang aku masuk dalam kerumunan massa yang sungguh padat, seperti tidak ada celah untuk menuju pintu ruko TKP.
“Minggir! Minggir! Mundur! Mundur Pak, Bu, Mbak, Dik!” Teriakan beberapa polisi yang berada di dalam police line (garis polisi). Dalam keadaan seperti itu aku bersyukur badan kecilku dapat menyelip-nyelip dalam padatnya massa. Tiba-tiba saja tanganku ditarik oleh salah seorang polisi berbadan besar, dia bilang aku tidak boleh masuk melewati police line, yang boleh masuk hanya polisi, tim penyidik, dan wartawan saja. Tanpa sebuah kata apapun yang terucap kutunjukan kartu pers akumassa. Polisi itu pun langsung tersenyum dan bilang “Silahkan Mbak, selamat meliput”.
Berada di depan pintu masuk Ruko Multiplus yang berwarna biru, aku pun berhasil memperoleh informasi tentang kronologi kejadian. Pukul 11.30 WIB terdengar dentuman senjata dari lantai 2 Multiplus, penggerebekan sudah terjadi pada pukul 11.00 WIB. Dari salah seorang saksi yang aku ajak ngobrol, Ibu Samsir, saat itu ia baru saja menjemput putrinya pulang sekolah dan terdengar beberapa kali tembakan dalam Ruko Multiplus, kejadian itu berlangsung hingga pukul 12.40 WIB. Ketika terdengar tembakan, tempat itu langsung ramai didatangi oleh warga, begitu pula para awak media. Pukul 14.05 WIB aku melihat 2 buah CPU (Central Processor Unit) yang berada di Warnet Multiplus diamankan oleh polisi. Terdapat pula sebuah sepeda motor Honda Supra Fit warna hitam-biru bernomor polisi B 6174 CZ yang diduga milik tersangka.
Ruko Multiplus berada di tengah-tengah diantara 9 ruko yang ada, terdiri dari Ruko Nasional Listrik, salon kecantikan, grahaHallo Telkomsel, Multiplus, Rumah Makan Amoris dan toko bangunan. Rumah Makan Amoris yang berada di sebelah TKP menjadi tempat yang sangat ramai oleh masyarakat sekitar, sekaligus menjadi tempat perburuan informasi oleh para wartawan dari berbagai kalangan media. Para karyawan restoran pun menjadi target perburuan informasi, namun sayangnya tidak banyak informasi yang diberikan oleh para karyawan dengan alasan kurang tahu banyak tentang TKP beserta pemilik dan pengelolanya, karena Rumah Makan Amoris belum lama buka begitu pula dengan salon yang berada di sebelahnya. Seluruh wartawan dari berbagai media sibuk sekali lalu lalang di wilayah TKP untuk memperoleh informasi lengkap, bahkan mereka selalu bertanya pada para polisi pengamanan, namun para polisi sungkan untuk bicara, mereka selalu berkata pada para wartawan untuk tidak mewawancarai mereka karena takut terjadi salah penyampaian informasi.
Aku duduk saja pada meja paling depan dengan Televisi yang menayangkan penggerebekan itu. Seorang pria berkemeja putih bersama temannya yang duduk tepat di hadapanku memperhatikan aku yang sedang serius menonton tayangan teroris.
Saat itulah cerita ku dimulai pada 14.15 WIB, ketika sebuah pertanyaan menjadi perbincangan,
“Wartawan dari mana, Mbak?”, Tanya pria berkemeja putih yang duduk di sebelahku.
“akumassa, Pak” jawabku singkat, pikirku mereka juga wartawan dan aku yakin benar.
“akumassa majalah apa Mbak?”
“Media online Pak, www.akumassa.org”
“Ooohhh… kantornya dimana Mbak?”
“Pusatnya di Lenteng Agung, depan IISIP Jakarta, kalau Bapak?”
“Saya orang Polres”.
Hmm… salah besar, ternyata mereka orang kepolisian bukan wartawan, aku sedikit malu tapi tetap cuek saja. Perkenalan pun dimulai. Bapak berkemeja putih itu adalah Pak Toto, Wakil Ketua Satuan Intelijen Polres Jakarta Selatan dan temannya adalah Eka, Kepala Unit Satuan Intelijen Polres Jakarta.
“Sudah dapat berita apa saja Mbak?”, kali ini giliran Mas Eka yang bertanya.
“Saya masih mencari informasi nama korban, pemilik toko, dan nama-nama teroris lain yang diamankan, Mas,” jawabku.
“Kasus teroris ini diduga kuat berkaitan dengan teroris di Aceh,” ucap Pak Wakasek Intelijen. Sambil terus memperhatikan berita di TV aku terus bertanya-tanya apakah korban sungguh bernama Dulmatin, seorang perakit bom yang kelihaiannya melebihi Dr. Azahari dan Noordin M. Top, karena itulah informasi yang ku dapat dari para polisi.
Terdapat tiga orang teroris di dalam warnet, dua orang pria dan seorang wanita. Seorang meninggal, yang diduga kemungkinan besar memang Dulmatin, setidaknya itu juga yang disampaikan seluruh media di TV. Penasaran dengan keadaan di luar aku kembali ke TKP bersama dua orang Polres yang baru ku kenal itu.
Pukul 14.30 WIB hujan turun cukup deras, membuat kerumunan massa menepi ke koridor pertokoan. Terdapat berita mencengangkan bahwa terjadi penggerebekan kedua di Gang Asem, Setia Budi, Pamulang Barat. Dua orang tewas, yaitu seorang pria dan seorang wanita bercadar hitam yang tewas setelah menerima tiga tembakan di dadanya ketika mengendarai sepeda motor Thunder warna biru. Aku mendengar kabar dari beberapa polisi setempat bahwa seseorang yang bercadar itu adalah pria bukan wanita. Kejadian ini menjadi penggerebekan teroris ketiga kalinya di Tangsel, setelah penggerebekan Syaifudin Jaelani dan Zuhri di Ciputat, dan kini dua penggerebekan di Pamulang.
Pukul 15.27 WIB Kapolsek Pamulang datang ke Multiplus.
Pukul 15.36 WIB Kapolri menuju Gang Asem, Setia Budi untuk melihat langsung kejadian di sana.
Pukul 15.57 WIB Puslabfor datang ke Multiplus untuk pemeriksaan TKP
Pukul 16.39 WIB mobil unit identifikasi polisi datang ke Multiplus yang merupakan TKP pertama.
Aku mencatat seluruh waktu yang menjadi pusat penting pemberitaan. Namun tidak bisa berada lebih lama lagi di tempat perkara karena harus ke kampus, mengerjakan tugas yang belum terselesaikan. Sedikit atau lebih, hari ini aku telah mencatat sebuah sejarah besar yang akan menjadi ingatan massa dan menyimpannya dalam sebuah bagian tersendiri. Menyadari penuh akan aksi dan reaksi atas apa yang dilakukan meski tidak besar dan hebat.
Keterangan: Foto diambil satu hari setelah peristiwa penggerebekan berlangsung.
Wah, berita yang sunggu menarik. Dan peristiwa ini pasti menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi penulis.
MANTAB!
hebat anggi
jurnalis akumassa yang tanggap. dan kamu beruntung banget ya, ada di lokasi kejadian pada saat yang tepat sampai dapat informasi lumayan.
good work
Jurnalis Sejati. Selamat.
anggie emang top…informasinya berjalan lancar kayak jalan tolll..seperti mendengar anggi bercerita aja…lancaarrrr….hehehe