“Kue… Kue… Kamarana ieu perjaka-perjaka? Yeh gera kadieu ngaborong kue!” (Kue… kue…! Kemana nih pemuda-pemuda? Ayo ke sini ngeborong kue!). Begitulah bunyi kalimat yang selalu diucapkan Teh Nyai ketika ia lewat di depan Saidjah Forum. Teh Nyai adalah seorang penjual kue keliling apabila lewat di depan markas Saidjah Forum.
Intonasi suaranya yang keras dan lantang disertai sifat humoris yang tinggi merupakan ciri khas seorang Mano alias Manohara, panggilan lain dari Teh Nyai dari kawan-kawan Saidjah Forum. Teh Nyai (42) adalah seorang ibu dengan enam orang anak yang masih menjadi tanggungannya. Dilihat dari gurat wajahnya, wanita paruh baya ini sepertinya tengah memikul beban sangat berat. Namun, ia selalu berusaha ceria, pertanda tidak ada kata menyerah dalam hidup. Semangat kerja kerasnya masih terlihat dari kekuatan otot lehernya menopang Nyiru (wadah yang terbuat dari anyaman bambu) dengan segunung tumpukan kue di atas kepalanya. Sosok seorang ibu yang hanya mengenyam pendidikan SD, mampu menghidupi keluarganya selama 24 tahun berprofesi sebagai pedagang kue keliling. Beratnya beban kehidupan mengantarkannya menjadi penjual kue hingga kini.Suatu hari di depan Saidjah Forum, tepatnya di warung Mak Mimi, seperti sudah menjadi kebiasaanku dan kawan-kawan di kala pagi, kami nongkrong sambil menyeruput kopi buatan Mak Mimi. Tiba-tiba, dari kejauhan samar-samar terlihat Teh Nyai datang menghampiri bersama tumpukan kue di atas kepalanya. Sedangkan tangan kirinya menenteng keranjang tempat sambal. Ia senyum-senyum dengan gincu merah di bibir dan bedaknya yang tebal.
“Hallo Manohara cantik amat sih,” celetuk Agung menyanjung.
“Iya dong! Siapa dulu? Teh Nyai gitu lho!” Ujarnya penuh humor. “
Teh Nyai awet muda ya! Berapa sih umurnya?” Sahutku menghidupkan suasana.
“Janganlah, nanti takut ketahuan ulang tahunnya. Emang keliatan udah tua gitu?”Sahutnya penuh percaya diri.
Semua jadi tertawa termasuk Mak Mimi si pemilik warung.
“Udah jangan merayu aja… Cepetan beli kuenya, Ganteng!” Teh Nyai menambahkan sambil tangannya sibuk membereskan kue titipan Mak Mimi. Sejenak semua terdiam. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh panggilan suara handphone dengan volume nada dering yang sangat keras sekali. Kami semua saling tuduh, sambil mataku sibuk mencari sumber pemilik panggilan. Jujur aku sempat kaget ketika mengetahui pemilik panggilan itu datangnya dari handphone milik Teh Nyai.
“Ternyata jaman sudah canggih,” pikirku dalam hati.
Memperagakan gayanya yang lucu meniru pejabat, Teh Nyai menjawab panggilan entah dari siapa. Samar tapi jelas, terdengar seperti suara pria. Setelah Teh Nyai selesai menerima telepon, aku pun tak bisa menahan untuk bertanya “Telepon dari siapa Teh Mano?” tanyaku.
“Ini ada anak ABG (Anak Baru Gede) alias brondong mau ngajak ketemuan, saya janjiin aja suruh tunggu di depan pintu Jalan Kitarung”. Teh Nyai menjawab sambil wajahnya berseri-seri penuh percaya diri. Mendengar itu, spontan semua tertawa terkekeh-kekeh sampai aku harus pergi ke kamar kecil.
Ingatanku menerawang jauh ketika harus berhubungan dengan kue dan Teh Nyai. Kala itu usiaku baru 14 tahun. Saat aku harus berperan aktif membantu ibuku membuat kue-kue untuk dijual. Tugas rutin keseharianku waktu itu mencari daun Pisang Klutuk (Pisang Batu) yang buahnya biasa dipakai untuk Rujak Beubeuk (tumbuk) kalau dimakan buahnya terasa pahit karena banyak biji di dalamnya. Tetapi, daunnya banyak diburu orang untuk dijual. Daun Pisang Klutuk mempunyai tekstur yang halus dan tidak mudah regas (sobek), karena itu daun ini banyak dipakai orang kampungku sebagai pembungkus dalam pembuatan kue-kue tradisional seperti Kue Papais, Kue Bugis, Kue Pasung, Kue Buras, Kue Babongko (Kue Buras yang di dalamnya dibubuhi kelapa) dan banyak lagi kegunaan daun ini karena memang cocok untuk berbagai macam kue yang menggunakan daun pisang.
Kak Iyang, salah seorang langganan tetapku apabila aku disuruh ibu membeli daun Pisang Klutuk. Kebun pisang milik Kak Iyang terhampar luas di sekitar kampung Kalimati, satu-satunya tanah warisan turun-temurun dari orang tuanya. Namun sayangnya, Kak Iyang tidak memiliki akta kepemilikan sah atas tanah tersebut. Karena lahan miliknya masih termasuk wilayah kampung Kalimati, yang konon merupakan tanah timbul dari proyek bendungan, waktu zaman penjajahan Belanda jauh sebelum kemerdekaan.
Kalau kita melihat kacamata hukum, tanah yang berada di sekitar kampung Kalimati adalah hak milik pemerintah daerah Lebak. Gembar-gembor penggusuran kampung Kalimati oleh Pemda Lebak muncul pada tahun 2009 dalam rangka proyek perluasan kota Rangkasbitung. Walaupun kenyataannya proyek itu belum terealisasi hingga kini, masih menyisakan ketakutan hebat dari sebagian penduduk kampung Kalimati. Satu per satu penduduk berani menjual rumah dan tanah tak bersertifikat dengan harga relatif sangat murah.
Kembali setelah bapakku pensiun, bertepatan saat aku masuk SMEA, ibuku mengambil alih menjadi tulang punggung keluarga dengan inisiatifnya membuat Kue Pasung dan Kue Babongko. Hampir sebagian besar bahan kue ini menggunakan daun Pisang Klutuk sebagai pembungkusnya. Setiap pagi menjelang matahari terbit, aku membantu ibuku mengangkat kue-kue dagangan untuk dibawa ke terminal kue yang bermarkas di bawah benteng peninggalan Belanda. Sekarang benteng itu masih kokoh bertengger di pinggir Jalan Kitarung Dalam. Berjejer para pedagang kue keliling, kurang lebih terdiri dari 20 orang wanita. Di antaranya Teh Nyai, yang waktu itu masih kelihatan sangat muda. Tidak hanya ibuku, masih ada ibu-ibu lainnya mengantri menitipkan kue-kuenya dengan beragam bentuk dan macamnya.
Bermodalkan wadah yang terbuat dari anyaman bambu yang masih kosong, Teh Nyai mengantri untuk mendapatkan kue untuk ia jual. Semakin banyak kue yang dibawa, semakin banyak pula harapan keuntungan dari jasanya menjajakan kue.
Waktu itu, harga 1 kue Teh Nyai adalah Rp. 25,- dan ia mendapat keuntungan Rp. 5,- dari setiap kue. Sungguh nominal yang sangat kecil jika dibandingkan dengan zaman krisis sekarang ini. Walaupun kini ia sanggup menjual 1 kue Rp 500,- dengan keuntungan Rp.100,- namun menurutnya beban kehidupan sekarang terasa lebih sulit jika dibandingkan dengan zaman Orde Baru dulu.
Dari masa ke masa, terminal kue itu sekarang mungkin tinggal kenangan. Perjalanan kehidupan sedikit demi sedikit telah mengikis habis para pedagang kue keliling. Sebagian ada yang berubah profesi dan sebagian lagi telah meninggal dunia karena tua renta.
Teh Nyai menjadi satu-satunya pedagang kue keliling yang kini masih tersisa. Ia masih menjajakan kue dari rumah ke rumah, berkeliling dari kampung satu ke kampung lainnya, tanpa kenal lelah. Teh Nyai berjuang demi mempertahankan anak-anaknya agar tetap bersekolah.
Jaman paceklik sekarang ini, membawa pengaruh atas pendapatannya yang pas-pasan dari hari ke hari. Namun, kecanggihan teknologi digitalisasi kini, memberikan nuansa baru dalam peningkatan pendapatannya. Dengan handphone ia bisa memperluas pemasaran kue-kuenya, dan juga sangat membantu memudahkannya mendapat informasi dari para pelanggan dalam pemesanan kue.
Aku tidak pernah tahu apakah pembangunan di negeri ini sudah merata atau belum.
“Sudah merata, buktinya pedagang bakso, pedagang kue, dan kalangan bawah lainnya bisa memiliki handphone,” kata salah seorang pejabat di sebuah berita televisi.
Kenyataannya masih ada desa-desa terpencil di negeriku yang belum sepenuhnya menikmati pembangunan ini karena keterbatasan sinyal. Hanya demi memenuhi kebutuhan informasi saja mereka harus merangkak masuk ke pusat kota.
Alangkah beruntungnya Teh Nyai, seseorang yang berasal dari kelas bawah, namun terlahir dan tinggal di kota.
usut punya usut soal pemerataan pembangunan tentu sangat menarik untuk di kaji meski lewat hal-hal yang di anggap kecil. acung jempollah buat penulis bahasa enak selain itu menyegarkan.. tetap semangat..
haturnuhun..
kerrreeen, Jaeniddin a.k.a Dableng.
nyentuh aspek sana sini.
waduh sangat di sayangkan terminal kue yang dulu ada d kuburan deket bentengan belanda tinggal kini kenangan. salam ama manohara aje…. qiqiqiqiqi