DKI Jakarta

Sore di Taman Spathodea

Taman Spathodea
Avatar
Written by Lulus Gita Samudra

Istilah JJS (jalan-jalan sore) merupakan salah satu kebiasaan yang aku lakukan di bulan Ramadhan. Kebanyakan orang menyebutnya ngabuburit. Selain untuk mencari hidangan buka puasa, hal ini juga aku manfaatkan untuk mencari hal-hal baru dengan melewati jalan yang jarang atau bahkan belum pernah aku lalui. Manfaatnya selain mengetahui rute-rute baru, waktu menunggu adzan magrhrib pun jadi tak terasa.

JJS kali ini aku mencoba menelusuri jalan-jalan kecil di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Hasilnya aku menemukan sebuah taman rekreasi di tengah-tengah padatnya pemukiman. Dengan luas sekitar satu hektar, di dalam nya terdapat area bermain untuk anak-anak, jogging track sepanjang 100 meter dan sebuah danau kecil.

Taman Spathodea yang terletak di Jalan Kebagusan Raya, Jagakarsa, Jakarta Selatan dilengkapi dengan Jogging track dan area bermain

Taman yang dibangun sejak tahun 2011 ini diberi nama Taman Spathodea, karena taman ini khusus ditanami pohon Spathodea. Jumlahnya sudah mencapai 300 pohon. Dinas Pertamanan Propinsi DKI Jakarta memang sengaja membudidayakan pohon Spathodea di taman ini, sebagai resapan air dan penjaga keutuhan struktur tanah. “Pohon Spathodea akarnya kuat untukjaga tanah supaya kagak longsor, Bang,” kata Rizal, salah satu perawat taman di Taman Spathodea.

Pohon spathodhea

Melihat rimbunnya pepohonan dan adanya area bermain, banyak warga yang memanfaatkan keberadaan taman rekreasi seluas lima hektar ini, baik pedagang, anak muda maupun pasangan suami istri dengan buah hatinya. Salah satunya Bimo (16) dan Edi (15) yang kos di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Kedua remaja ini mengaku sedang melepas lelah di Taman Spathodea setelah seharian menawarkan pakaian seperti kaos, daster dan celana pendek ke rumah-rumah warga. Ia juga menawarkan sistem pembelian pakaiannya dengan cara kredit. Menurut Bimo dengan cara seperti itu bisa mengundang minat pelanggan untuk membeli.

Edi dan Bimo, perantauan dari Cilegon, Banten yang mencari nafkah di Jakarta dengan menjual pakaian dari rumah ke rumah

Sambil mendengarkan lagu reggae-nya  Toni Q dari handphone miliknya, Edi mengatakan harga pakaian yang mereka jual berkisar Rp 30.000 hingga Rp 100.000. Tapi meskipun harga pakaian yang mereka jual itu relatif murah, saat ini penjualan sedang sepi. Ia juga menjelaskan setidaknya mereka sedang butuh uang untuk mudik ke kampung halaman di Cilegon, Banten. “Belum bisa pulang nih, Bang,” tambahnya.

Sebetulnya pakaian-pakaian itu mereka dapat dari seorang bos yang juga tinggal di Lenteng Agung. Kedua remaja itu digaji dengan sistem  komisi. Semakin banyak transaksi penjualan yang berhasil mereka lakukan maka semakin banyak pula komisi yang bisa dikantongi. “Rata-rata sih kita dapet sekitar Rp. 400.000 per bulan,” kata Bimo.

Mereka berdua telah menggiati usaha ini sejak dua tahun lalu. Setamatnya dari SMP, Bimo mengajak Edi untuk merantau ke Jakarta. Bimo sengaja tidak melanjutkan pendidikan hingga jenjang SMA karena minimnya biaya dari orang tua dan memang tidak ada keinginan untuk ke arah itu. Hasratnya lebih terdorong untuk mencari uang di Jakarta, begitu juga dengan Edi.

Berbeda lagi dengan Angga yang sedang menikmati sore bersama kedua temannya, Ando dan Lola. Mereka bertiga merupakan siswa-siswi automitif di SMK Rahayo Mulyo, Jakarta Timur. Di masa liburan Ramadhan ini mereka manfaatkannya dengan jalan-jalan mencari hal baru di Jakarta Selatan. “Sebenernya kita pengen liat  Setu Babakan. Pas lewat sini keliatan rame, ya udah di mari aja deh,” kata Angga dengan logat Betawinya.

Angga, Ando, dan Lola, tiga remaja yang mengenyam pendidikan di SMK Rahayo Mulyo, Jakarta Timur

Menurutnya, sekolah itu penting untuk menggapai cita-cita. Ia percaya masa depan yang ia inginkan dapat diraih dengan mengenyam pendidikan, salah satunya dengan sekolah di SMK. “Gue pengen jadi teknisi mesin di balapan F1, Bang,” ujar Angga sambil tertawa.

Di tengah Ando dan Lola sedang asyik bermain smartphone milik mereka, Angga melanjutkan ceritanya. Bulan puasa tahun ini, ia tidak akan memanfaatkannya dengan bermain petasan. Ia lebih suka menghabiskan uang untuk memodifikasi sepeda motor miliknya. Meski begitu ia mengaku motornya bukan untuk balapan liar, “Bukan bakal ngetrek, Bang. Demen aja gue kalo punya motor keren.”

Sama halnya dengan Sumarni (37), penjual gorengan dan minuman dingin di Taman Spathodea. Istri kedua dari duda bernama Wusdi (42) ini merantau ke Jakarta dari Sumber Lawang, Sragen, Jawa Tengah. Perempuan ini dianugrahi tiga anak bawaan dari suaminya dan dua anak kandung yang masih duduk di kelas 3 SD dan TK. Ia mengadu nasib di Jakarta untuk membiayai sekolah kedua anak kandungnya yang mondok (pesantren) di Sragen.

Sumarni dari Sragen, Jawa Tengah, merantau ke Jakarta untuk mencari biaya pesantren kedua anak kandungnya dengan menjual minuman dan gorengan

Perempuan ini berpendapat pendidikan Agama untuk anaknya itu penting supaya mereka pintar dan berahklak mulia. Ia percaya dengan akhlak mulia yang akan dimiliki anaknya dapat membantu rezeki mereka untuk kehidupan yang lebih baik. “Allah bakal nolong kehidupan orang-orang yang yang baik, Mas,” jelas Sumarni.

Sumarni mengatakan lebaran tahun ini akan membawa kue-kue dari Jakarta sebagai oleh-oleh untuk anak-anaknya. Ia akan pulang menggunakan bus dari Pulogadung, Jakarta Timur menuju Sragen dengan harga tiket Rp 100.000. “Maunya sih naik kereta, cuma tiketnya lebih mahal kalo belinya sekarang.”

Matahari mulai tenggelam, masjid pun sudah memutar kaset berupa rekaman ayat Alquran. Keberadaan Taman Spathodea memang menguntungkan, salah satunya untuk membantu membunuh waktuku sambil menunggu bedug adzan, begitu juga bagi yang lain dan para pedagang. JJS esok hari akan kulalui dengan rute yang berbeda. Semoga saja menemukan hal yang lebih indah dibanding sore di Taman Spathodea.

About the author

Avatar

Lulus Gita Samudra

Lulus Gita Samudra telah menyelesaikan studi Strata Satu-nya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Pria kelahiran Jakarta tahun 1989 ini, juga turut aktif di Forum Lenteng sebagai Sekretaris Redaksi akumassa.org. Sebelumnya ia pernah mengikuti workshop akumassa Depok pada tahun 2011. Kini ia sedang membangun sebuah komunitas berbasis massa di Depok, bernama Suburbia.

3 Comments

  • keren gan website ente , oia ane tinggal di kebagusan, di mari ada juga satu taman yang kaya gitu, oia gan ane punya saran , ente liput juga tempat menarik g ada di cirebon, ada banyak sih, tapi coba ajah salah satunya kaya waduk darma kalo gak palutungan, menarik tuh gan

  • wah pas sekali saya lagi mau buat karya ilmiah berhubungan dengan taman, boleh kah tulisan anda saya jadikan sebagai bahan referensi? tentu saja dengan mencantumkan sumbernya 🙂

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.