Gaungnya nyaris tidak terdengar lagi, body juga penampilannya sudah tidak se-elegan dulu, namun laju hentakannya masih dibilang stabil walau kecepatannya paling tinggi 80 km/jam. Ia masih mampu menempuh jarak 50 KM walaupun agak terseok-seok. Yah…, inilah sebuah motor inventaris kebanggaanku, motor bebek pertama kali dari produk Jepang dengan merek Astrea Star keluaran tahun 80-an yang telah diberi nama kesayangan ‘Si Kukut’.
Bunyi alarm dari handphone pagi itu sangat keras sekali. Sambil agak sempoyongan aku menuju ke arah kamar mandi. Saat itu jam menunjukan pukul 6.30 WIB. “Waduh kesiangan!” gerutuku. Dengan tergesa-gesa muka dicuci dengan kedua telunjuk jari tangan, memoles sudut mata lalu bergegas pergi mengantarkan Ibu Hilma, Bosku. Setelah dia maka giliran putrinya, Ami, untuk aku antarkan ke sekolah. Jarak bukanlah ukuran, kini Si Kukut telah keluar dari kandangnya.Masih membekas dalam ingatanku, tepatnya tiga tahun lalu, ketika pertama kali Ibu Hilma menitipkan motor tua itu.
“Beng, tolong rawat motor tua ini dengan baik ya! Karena motor itu satu-satunya kenangan dari bapak saya, sudah 25 tahun,” pesannya.
“Berat juga ya? Harus merawat motor keramat,” keluhku saat itu. Namun, sekarang sudah hampir berjalan empat tahun menjadi tukang ojek pribadi Ibu Hilma. Aku sangat menikmati bekerja bersama Si Kukut, menurutku Si Kukut adalah motor tua yang sangat ‘bandel’. Bersamanya kami mengecap pahit manis mengarungi jalanan Kota Rangkasbitung yang kini sudah sangat lebar dengan trotoar seuprit (kecil). Selama itu pula banyak tersimpan kenangan seperti; kena tilang, pecah ban, kehabisan bensin, menyerempet becak, putus rantai, menabrak tikus hingga jatuh dari motor.
Bersama Si Kukut aku melihat berbagai kehidupan di jalanan dan pertambahan kendaraan roda dua yang tak terhitung jumlahnya kini. Sering aku melihat petugas Trantib di waktu pagi tak segan-segan mengangkut pedagang kaki lima yang ‘bandel’. Razia dadakan kerap terjadi di sepanjang jalan protokol menuju kabupaten agar terhindar dari kemacetan, khususnya di jam-jam kantor.
Delapan hari yang lalu, saat aku berniat menjemput Ami di SD Multatuli, Rangkasbitung, peristiwa kecil terjadi di siang bolong. Akalku terlalu pendek untuk melihat gejala kemacetan dengan banyaknya jalan pintas dan kecilnya kota ini. Setahuku kemacetan hanya terjadi di Jakarta tetapi tidak untuk di sini. Aku terjebak macet di sepanjang Jalan Multatuli sepanjang 10 Meter. Kemacetan terjadi lebih dikarenakan semakin meningkatnya kendaraan roda dua yang semakin hari semakin banyak saja menguasai jalanan. Di sana sini terlihat kendaraan roda dua tidak bernomor alias TES. Produk-produk Jepang berseliweran mendominasi jalan-jalan protokol Kota Rangkasbitung dengan ragam tampilan. Rangkas sudah modern, dugaku. Si Kukut adalah bagian dari produk Jepang yang terjepit di tengah-tengah produk baru.
Kesemarakan persaingan industri otomotif Jepang terlihat dari iklan-iklan yang terpampang hampir di semua lokasi di Rangkasbitung, semua isinya menawarkan harga murah terhadap masyarakat dengan memberikan kemudahan dalam mengajukan kredit dengan cicilan ringan. Cara ini terbukti berhasil, demi gengsi masyarakat berlomba-lomba membeli motor dengan mencicilnya, untuk tampil sebagai yang terdepan.
Dampak kemajuan teknologi otomotif dewasa ini pada dasarnya banyak mempengaruhi kehidupan di daerahku, khususnya masyarakat kalangan menengah ke bawah. Keinginan untuk bisa menikmati teknologi bukan lagi mimpi, hanya dengan modal awal lima ratus ribu dapatlah memilikinya. Menurut mang Aning seorang penjual Es Susu dan juga pedagang kaki lima yang hidupnya selalu dihantui Trantib masih mampu membelikan anaknya motor automatic. Menurut dia ada juga tetangganya yang rela makan hanya satu kali sehari demi mencukupi target setoran kredit.
“Pokonamah ulah sampe ngahalalkeun segala cara, mentang-mentang nyandak motor ayeuna mah gampang.” (“Pokoknya, jangan sampai menghalalkan segala cara, mentang-mentang sekarang beli motor mudah.”)
Ketergantungan yang besar dari masyarakat terhadap produk impor, sepengetahuanku tidak hanya sebatas di bidang otomotif, di bidang sandang seperti sepatu, pakaian, dan lain-lain, yang di Impor dari negara maju seperti Amerika pun sangat diminati masyarakat kita. Dengan menawarkan harga selangit, produk-produk impor sampai sekarang masih tetap diburu oleh konsumen tanah air. Memiliki produk impor bagi sebagian masyarakat merupakan sebuah kebanggan yang akhirnya menentukan status sosial.
Ketika itu aku di beri tugas mem-fotocopy pekerjaan kantor milik Ibu Hilma, tanpa sengaja mataku tertuju kepada sebuah berita dari televisi yang menayangkan informasi seputar penjualan besar-besaran produk sepatu dari Amerika oleh salah satu mall terkenal di Jakarta. Tampak masyarakat rela mengantri desak-desakan karena takut tidak kebagian produk made in USA tersebut. Dengan patokan harga mulai dari Rp.200.000 sampai jutaan rupiah tidak menjadi beban bagi masyarakat, yang umumnya kalangan menengah ke atas, untuk dapat memiliki produk impor tanpa harus ke luar negeri. Kondisi seperti ini sangat bertolak belakang dengan masyarakat di daerahku yang terpencil. Mereka rela desak-desakan, sikut sana sikut sini hanya untuk mendapatkan sembako murah agar bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di zaman krisis sekarang ini tentunya kejadian itu sangat memprihatinkan. Di lain pihak, karena citra tinggi produk impor, sebagian masyarakat berlomba–lomba untuk mendapatkannya tanpa harus memikirkan sembako. Sedangkan di pihak lainnya untuk bisa bertahan hidup masyarakat berebut untuk mendapatkan sembako.
Lambatnya kemajuan perekonomian di negara kita menurutku disebabkan oleh makin suburnya intervensi asing menguasai perekonomian kita. Sadar ataukah tidak sadar ternyata penjajahan belum sepenuhnya mati.
Kukut… kukut… sungguh malang nasibmu, kamu telah dikucilkan oleh ‘saudaramu’. Di lain pihak aku bangga padamu, walaupun kamu masih bagian dari saudaramu. Dan aku akan lebih bertambah bangga seandainya kamu produk pribumi sejelek apa pun bentukmu.
Kejadian sungguh nyata yang terjadi sekarang ini di Kota Rangkasbitung……maju terus Benk!