Jurnal Kecamatan: Ungaran Barat Kota/Kabupaten: Semarang Provinsi: Jawa Tengah

Sepenggal Ingatan pada Ungaran

Avatar
Tulisan ini adalah sebuah catatan lama yang saya tulis pada 21 September 2017, usai berkunjung ke Ungaran. Hari ini, di pertengahan 2019, catatan ini saya perbaharui. Kini, barangkali ia bisa disebut juga sebagai refleksi saya tentang fragmen-fragmen memori selama tinggal di Ungaran di tahun 2008 – 2011, dan kemudian sesekali mengunjunginya selepas 2011 sampai 2017 lalu.

Sekian tahun tinggal di kota ini, saya mengakui telah tak cukup akrab dengannya. Selain rumah dan sekolah, paling-paling hanya perpustakaan daerah dan rumah kawan yang saya kenali. Selebihnya adalah daerah-daerah buta yang perlu pemandu untuk mengunjunginya. Pun bagi saya, tradisi dan kebiasaan di kota kecil ini tak cukup lekat di hati. Paling-paling hanya kebiasaan makan Tahu Baxo dan Sate Pak Kempleng sebagai kuliner khasnya yang paling saya catat, serta kebiasaan mengunjungi ‘awul-awul’ atau toko baju bekas. Mungkin, berlokasi di sisi Kabupaten Semarang membuat daerah kecil ini telah terlibas pula oleh gaya hidup urban yang tak begitu ambil pusing soal tradisi-tradisi setempat yang perlu terus dilangsungkan. Bahkan, jika biasanya di kecamatan-kecamatan kecil dengan skala yang setara dengan Ungaran setiap tanggal tertentu masih banyak festival warga, maka di kota kecil yang “urban segan desa tak mau” ini, yang tahun 2005 mengalami pemekaran menjadi Ungaran Barat dan Ungaran Timur, sangat jarang hadir perayaan-perayaan intim yang diinisiasi warga. Jika bukan pemerintah, maka sekolahlah yang biasanya punya inisiasi. Perayaan 17 Agustus sebagai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pun berlangsung biasa saja, yakni dengan lomba-lomba dan pawai yang diiniasi oleh pemerintah, sekolah atau rapat-rapat RT setempat. Entah karena keterasingan saya atau memang begitulah adanya Ungaran, di sini jarang sekali tampak kolaborasi tua-muda yang membangkitkan gairah.

Pada awal September 2017, saya mengunjungi rumah yang sebelumnya pernah secara rutin saya huni selama tiga tahun di kala SMA dan 4 tahun selanjutnya saya kunjungi berkala. Rumah itu terletak di sebuah kawasan hunian baru yang tak cukup besar. Candi Asri, namanya. Ia terletak di Kecamatan Ungaran Barat, Kelurahan Candi Rejo, tepat bersisian dengan kaki Gunung Ungaran. Kawasan hunian ini barangkali baru ada di sekitar awal tahun 2000-an. Saya ingat betul, ketika kelas 3 SD berlibur kemari di tahun 2001, baru ada sangat sedikit rumah di sekitar sini dan kebanyakan daerahnya masih kebun warga atau sawah. Sisanya adalah rumah-rumah yang masih setengah jadi. Kini, beberapa rumah setengah jadi memang masih ada, namun rumah yang sudah berdiri kokoh penuh pun telah menjamur. Saking banyaknya, sampai-sampai pemandangan Gunung Ungaran yang dulu jelas terlihat, kini kerap tertutup tembok dan atap. Sawah dan kebon tergantikan oleh beton dan semen.

Sebagaimana daerah-daerah di Indonesia, tanggal 17 Agustus menjadi langganan kesempatan pengadaan acara-acara yang bisa mengumpulkan warga. Mulai dari beragam permainan, pertunjukan dan berbagai acara lainnya bisa dilakukan untuk merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tersebut. Di Paduraksa, desa sebelum saya pindah ke Ungaran, perayaan biasanya dimulai dengan pengadaan lomba-lomba mulai dari bapak-bapak yang main sepak bola memakai daster, permainan Gobak Sodor oleh ibu-bu, sepeda lambat oleh anak-anak, panjat pinang, bakiak hingga lomba pidato remaja pun diadakan. Pada puncaknya, sebuah panggung dihadirkan di Balai Desa untuk menampilkan tari-tarian, nyanyian, dan hiburan dari warga untuk warga, serta diadakan pula pasar malam di sekeliling panggung tersebut. Itu adalah momen yang paling kami tunggu-tunggu dalam setahun, selain Idul Fitri dan Idul Adha, tentunya. Namun, selebrasi yang riuh gempita dan menarik keikutsertaan seluruh lapisan warga itu tak saya temukan di Ungaran.

Barangkali letaknya yang menjadi kota satelit dan kawasan pinggiran dari Kota Semarang yang urban maka Ungaran pun cenderung minim gairah berselebrasi. Semua orang jadi lebih sibuk dengan karir dan urusan sendiri-sendiri ketimbang keluar rumah untuk bersuka-cita melakukan suatu hal beramai-ramai. Tak heran jika kemudian tanggal 17 Agustus biasanya hanya diisi lomba yang itu-itu saja dan selebrasi yang tak terlalu meriah.

Namun, saya curiga bahwa suasana yang beda pada 17 Agustu 2017 lalu, sepertinya, terjadi. Kecurigaan ini bermula pada kedatangan saya awal September tersebut yang disambut dengan gantungan hiasan bintang-bintang dalam ukuran yang lumayan besar yang melintang di atas, di antara rumah warga. Pada malam hari ketika saya melihat-lihat, rupanya bintang-bintang ini bisa menyala dan bahkan menjadi wadah bola lampu disko yang bisa memancarkan warna-warni cahaya. Iseng-iseng, saya kemudian menelusuri area perumahan dan memotret bintang-bintang tersebut. Ada yang digantung di depan rumah warga, ada pula yang ditata berjajar melintasi jalan dan dikait di antara rumah warga yang berseberangan.

Sepulang dari penelusuran tersebut, saya bertanya kepada ketua RT setempat yang kebetulan adalah Pakde-Bude saya sendiri. Bude menceritakan bahwa lampu-lampu ini awalnya adalah ide suaminya. Pak Suroso, demikian suaminya biasa dipanggil, tadinya justru ingin membuat sendiri lampu-lampu lampion tersebut untuk memeriahkan acara tujuhbelasan. Nama perayaan tanggal 17 Agustus tersebut memang biasanya disingkat dengan kata ‘tujuhbelasan’. Melihat ide itu, menurut tuturan Bude Sutantin, tetangga kami yang bernama Pak Ihwan kemudian mengusulkan agar mahasiswa-mahasiswa Ngudi Waluyo yang tinggal di Candi Asri diminta membantu membuatkan lampion-lampion tersebut. Kebetulan, perumahan kami terletak berdekatan dengan kampus keperawatan dan kebidanan Ngudi Waluyo sehingga rumah-rumah pun kadang dihuni oleh mahasiswa-mahasiswa yang kos maupun mengontrak rumah. Tidak sedikit pula mahasiswa yang datang dari luar pulau Jawa, terutama dari Bali.

Pakde kemudian mengamini keterangan tersebut. Menurutnya, ini kali pertama dibuat lampion-lampion untuk merayakan tujuhbelasan. Ia mengusulkan ide itu agar perayaan tujuhbelasan menjadi lebih semarak. Kurang lebih selama seminggu, mahasiswa-mahasiswa dari Bali membuat lampion-lampion tersebut untuk kemudian dibagikan pada warga agar dipasang. Meskipun terjadi sedikit friksi soal dana pembuatan, namun akhirnya sekitar 20 lampion pun selesai dibuat. Di dalam lampion kemudian diisi lampu kuning atau putih yang membuatnya berpendar-pendar di malam hari.

Menurut keterangan Pakde, beberapa warga memasang lampion bintang tersebut, tetapi banyak juga yang memilih untuk menyimpannya di rumah saja. Kalau saya perhatikan, memang yang kebanyakan memasang bintang-bintang tersebut justru adalah rumah-rumah kos, bukan rumah tinggal warga. Sebetulnya, saya sangat menyayangkan lampion-lampion yang disimpan di rumah dan tidak dipasang. Sebab, kalau kian ramai hunian ini dengan lampion bintang yang menyala, tentu suasana malam Ungaran yang dingin dan dipenuhi pepohonan akan jadi sedikit lebih hangat dan semarak. Ya, tapi mau bagaimana, pengusul ide saja tidak memasang lampionnya di depan rumah!

Saya jadi ingat, di depan rumah kami, terletak sebuah kos-kosan mahasiswa yang isinya adalah para pemuda Bali. Setahun sekali, mereka biasanya membagikan kuliner khas Bali, seperti Sate Lilit dan Lawar, yang bahan dan bumbunya sudah disesuaikan dengan selera setempat. Kami, atau lebih tepatnya saya, selalu melahap habis hidangan tersebut. Nikmat! Muda-mudi dari Bali ini juga biasanya membuat layang-layang besar yang diterbangkan di sawah kosong ketika musim angin tiba. Layang-layang yang mengudara ini memberi bunyi kepak yang khas ketika angin di kawasan ini bertiup. Berada di kaki Gunung Ungaran tak ayal membuat siang hari di Candi Asri terasa panas dan kering dengan deru angin yang kencang. Namun, sore hingga malam hari, udara dengan segera mendingin meski tetap dengan angin kencang. Sehingga layang-layang pun tetap bisa mengudara dengan tali kenur yang dipasak di sawah tanpa perlu adanya operator. Layangan ini biasanya diturunkan menjelang malam agar tidak dicuri orang. Maklum, ukurannya yang besar dan ornamen hiasannya yang cantik memang menarik hati. Ada kalanya saya ingin meminta muda-mudi Bali ini mengajari saya membuat dan main layangan. Tapi sungguh saya terlalu segan dan malu melakukannya, apalagi nanti bisa jadi kasak-kusuk tetangga. Kemudian Bude jadi mengomel karenanya.

Sebetulnya, saya rasa banyak untungnya keberadaan mahasiswa-mahasiswi Bali ini. Setidaknya, ada corak dan warna beda yang dibawa olehnya yang bisa menyemarakkan hunian yang sepi gerak-gerik anak muda ini. Segala yang serba tua dan kaku bisa dimudakan dan dilenturkan asal dikehendaki adanya kolaborasi bersama. Sebagaimana sinergi ide Pakde dan kerja mahasiswa-mahasiswi Bali yang memberi benderang beda pada malam di Candi Asri. Bayangkan saja, di dekat beberapa lampion dipasangi pula lampu khas Disko yang bisa berputar dan memendarkan cahaya biru, hijau, dan merah. Cahaya warna-warni tersebut kemudian jatuh di atas aspal dan memberi nuansa warna yang beda bagi perumahan Candi Asri yang biasanya sepi, dingin, dan temaram. Bendera-bendera pun berselang-seling dipasang di dekat lampion dan di gigir atap rumah warga sebagai bentuk perayaan atas ulang tahun Republik Indonesia. Kala itu, berdiri di bawah lampu disko yang cahayanya menari-nari di aspal sembari memandangi sebuah lorong yang di atasnya digantungi tiga buah lampion bintang, sungguh saya tiba-tiba merasa hangat dan mesra dengan area ini.

Bagi saya, yang asing tapi sebetulnya menginginkan kemesraan dengan lokasi ini, kehadiran lampion bintang-bintang ini sungguh membawa kehangatan. Dan yang menyenangkan, ini sebetulnya adalah hasil kolaborasi, meski masih diselingi sedikit friksi dan gerutu Ibu RT dalam hati.

***

Kunjungan dalam catatan ini menjadi kunjungan terakhir saya ke kota Ungaran. Usai itu, kesibukan kerja di Jakarta membuat saya sulit berkunjung pada kota yang pernah mengisi hari-hari remaja tanggung saya ini. Saya pun tak banyak mendengar kabar tentangnya. Paling-paling hanya sedikit cerita dari Pakde-Bude tentang usaha ternak burung hias dan tambak ikan lele yang tengah mereka kembangkan untuk rencana penghasilan ketika pensiun. Juga tentang kakak sepupu yang kini turut bekerja di Dinas Perhubungan kabupaten Semarang bersama Bude saya—ibunya.

Tetapi sebetulnya, akhir Agustus nanti, saya akan mengunjungi kembali Ungaran setelah sekian lama tak sua. Sebuah kabar pernikahan dan cerita tentang sungsangnya hidup di kota kecil dari lahir sampai menjelang menikah mendorong saya untuk kembali ke sana. Lucu juga, yang asing ingin dekat, tetapi ada pula yang dekat ingin minggat.

***

About the author

Avatar

Anggraeni Widhiasih

Anggraeni Widhiasih (Sleman, 1993), meraih gelar S1 Hubungan Internasional di Universitas Paramadina tahun 2016. Saat ini ia merupakan anggota Forum Lenteng yang bertanggung jawab untuk divisi Riset dan Pengembangan, dan program Diorama. Ia pernah menjadi reporter di 4th ARKIPEL – Jakarta Documentary & Experimental Film Festival. Ia juga anggota peneliti di Koperasi Riset Purusha dan pegiat teater kafha di Universitas Paramadina.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.