Hari itu tidak seperti hari-hari yang lalu ketika hujan tiada mau berhenti. Matahari memperlihatkan kuasanya dari balik awan. Raga dibanjiri oleh keringat yang mengucur dari atas kepala hingga ujung kaki. Hampir semua penumpang yang memenuhi sebuah angkutan kota (angkot) bernomor 112 jurusan Kp. Rambutan – Depok, yang aku naiki, tak bersemangat karena keringat pun menghinggapi mereka. Hanya ada dua orang pengamen yang terlihat bersemangat. Mereka berpakaian rapi, yang satu membawa ukulele dan lainnya membawa gendang. Dengan energi semangat, mereka menyanyikan lagu Ema dari penyanyi asal Sunda, Doel Sumbang.
“Mimiti harga diri nepika kahormatan dimurah mareh ngabelaan ekstasi. Mimiti harga diri nepika kehormatan ludes teu nyesa ditukeur ku ekstasi.” (Awalnya, harga diri sampai kehormatan diobral demi ekstasi. Awalnya, harga diri sampai kehormatan habis tak bersisa ditukar dengan ekstasi).
Seperti itu lah liriknya. Sepenggal lagu yang mengingatkanku pada kecelakaan maut di Tugu Tani, Gambir. Pengemudi mobil Daihatsu Xenia, Afriyani Susanti yang pada waktu dalam keadaan mabuk obat-obatan terlarang menabrak 12 orang pejalan kaki di sekitar halte Tugu Tani, 9 orang meninggal dan 3 orang lainnya luka-luka.
Sampai di PAL Depok, mereka turun. Aku dan beberapa penumpang lainnya juga ikut turun. Sepanjang jalan ke arah Kp. Rambutan, berjajar kios-kios agen bus luar kota. Di seberang kios-kios itu, tepatnya di samping Rumah Sakit Tugu, terdapat bangunan besar yang masih berada dalam proses pembangunan, namun bagian depannya hampir selesai. Aku sering kali melewati jalan ini untuk menjemput keponakanku yang sekolah di Cibubur. Setelah aku pikir-pikir, pembangunan gedung sebesar itu cukuplah cepat. Hanya dengan waktu beberapa hari aku tidak melewati jalan ini, bagian depannya sudah hampir jadi.
“Mau kemana Neng, Solo?” Seorang bapak paruh baya menawarkan jasa agen bus.
“Oh nggak, Pak. Saya bingung nih, kok gedung itu cepet banget dibangunnya?”
Si bapak yang akhirnya aku ketahui bernama Pak Lamidi pun menjelaskan tentang pembangunan tersebut. Belum ada setahun, kira-kira baru berjalan selama 6 bulanan proses pembangunan. Rencananya, bangunan itu akan dijadikan sebuah Mall Matahari, tetapi ada supermarketnya, yaitu Hypermart. Bulan Maret ini, bangunan itu sudah harus jalan. Kemungkinan besar pada Bulan Januari ini, pekerja mall sudah mulai masuk untuk merapikan dalamnya.
Bapak-bapak lainnya berdatangan menghampiri, ada Pak Ambon Manise (begitulah orang-orang memanggilnya), Pak Thomas dan Pak Bejo. Mereka ikut nimbrung dalam pembicaraan kami. Dari obrolan yang mengalir, aku dapat menyimpulkan satu kisah singkat dari gedung itu. Dulu, gedung itu merupakan sebuah gudang milik sebuah pabrik cokelat, bernama Van Houten. Kemudian dibeli oleh pihak Matahari untuk dijadikan gudang juga. Namun, dibongkar dan dijadikan mall yang saat ini masih dalam proses pembangunan.
“Gak takut tambah macet, Pak?” tanyaku spontan.
“Ya macet sih udah biasa, gara-gara angkot dan motor aja tuh!” Jawab Pak Manise.
“Lah bukannya bus-bus yang ngetem, ya yang bikin macet?” Tanyaku lagi.
“Kalau bus itu cuma sebentar, datang ngangkut penumpang saja, habis itu langsung jalan lagi. Motor sama angkot tuh yang bikin macet.” Pak Manise mempertahankan argumennya. “Nih gini, sekarang apalagi angkot itu penambahan armada mulu. Gimana gak macet. Tambah banyak aja tuh angkot. 129 aja itu kan baru.”
Dari Pak Manise, baru aku ketahui bahwa angkot jurusan Ps. Minggu – Mekar Sari merupakan jurusan terbaru dari pada angkot-angkot yang lainnya. Dan Pak Manise juga menjelaskan kalau angkot 129 itu harusnya sampai Mekar Sari bukannya sampai Pal Depok. Para supir 129 malas kalau sampai Mekar Sari, jadi mereka mutar balik kemudian ngetem di Pasar Pal Depok.
“Harusnya Pasar Pal Depok ini daerah kekuasaannya D11 angkot jurusan Depok (terminal) – Pal Depok. D11 nya aja pada gak mau demo. Harusnya mereka bisa demo tuh.”
Satu armada lagi yang tidak sesuai dengan jalurnya, yaitu nomor 112, angkutan kota jurusan Depok – Kp. Rambutan. Menurut Pak Manise, harusnya angkutan kota 112 itu memiliki jalur menuju Depok dengan melewati Jl. H. Juanda, atau yang lebih dikenal dengan Jl. Baru. Akan tetapi angkutan kota 112 malah melewati jalan Kelapa Dua. Dan lagi, dia mengatakan, “Harusnya supir angkot D11 demo.”
Oh, ya, orang-orang agen bus ini menginginkan adanya terminal besar di Pal Depok seperti Terminal Depok yang ada di Jl. Margonda. Mereka pun ingin kawasan Pal Depok ini seperti kawasan Margonda yang di mana-mana berdiri mall.
“Nanti digusur pada marah lagi?” Tanyaku spontan lagi.
“Ya, gusur saja! Yang penting nanti dikasih lahan pengganti saja.” Pak Lamidi kini yang menjawab.
“Lagian belakang kios ini kan kali, mana bisa digusur, hahaha.” Pak Bejo menambahkan.
“Lagian Ade ini mau kemana?” Akhirnya Pak Thomas ikut berbicara.
Aku akhirnya menceritakan bahwa tujuanku hari itu adalah ke Pal Depok, yang kebetulan mengantarkan keponakan pergi sekolah di dekat Puskesmas Tugu. Sambil menunggu ponakan selesai, aku datang ke Pal Depok itu karena penasaran tentang pembangunan gedung mall itu.
“Oh, Puskesmas yang baru dibangun itu? Itu sempat di demo warga karena mengambil lahan makam. Tapi sekarang sudah selesai permasalahannya. Pihak Puskesmas memberi jaminan untuk warga sekitar situ untuk berobat gratis di Puskesmas,” kata Pak Lamidi.
Ketika perbincangan dengan warga sekitar sana berakhir, aku merogoh tasku untuk mencari telepon genggam. Jam di telepon genggamku sudah menunjukkan pukul empat sore. Sudah waktunya untuk menjemput keponakanku yang sudah selesai belajar di sekolah. Aku pun memutuskan untuk berpamitan dan meminta izin untuk datang lagi di kemudian hari.
mungkin dari sd kita harus dibekali ilmu dasar tentang planologi biar kotanya gak banyak gusur dan bangun, tapi itu masih mungkin 🙂
mall yang satu ini sungguh ajaib. ini tidak terlalu jauh dari rumah saya. kami pindah ke rumah ini 27 desember lalu. seorang teman, Paul, membantu angkut2 barang sebulan yang lalu itu. lalu, tadi malam paul ikut ke rumah kami dan kita melewati mall ini. paul benar2 terperanjat karena dia tidak melihat mall ini sebulan yang lalu. tiba2 dia sudah ada di situ. paul adalah orang yang lahir dan besar di jakarta, tapi tetap masih selalu terkaget2 dengan kehadiran sebuah gedung massif bernama mall yang selalu hadir tba-tiba. kami warga jakarta dibesarkan dengan cara selalu dikagetin oleh kota. makanya, kami warga jakarta semuanya gila.
emang ajaib tuh mall, saya baru seminggu ga lewat situ, kemaren udah rapi aja bagian depannya -,-
halah sopir bisnya tuh yang ngaco. klo pagi ga ada bis, jalanan ga begitu macet. coba siang/sore pas tuh bis mangkal… padat langsung jalanan -,-
(memang yah kami pengguna jalan itu suka saling menyalahkan hahahaha)
memang terlalu pemberian ijin mall matahari, ga jauh dari situ ada pasar tradisional..
apa pasar yang sudah lama mau digusur…
ergggh