“Pukulannya kurang tajem, tuh!” yang lain menimpali.
Mereka bukan sedang mengomentari sebuah adegan perkelahian dari sebuah filem yang diputar di TV. Saat itu, warga di sekitaran RW 02, Kelurahan Paseban, Senen, Jakarta Pusat, sedang berkumpul di sebuah lapangan yang dikenal dengan nama Lapangan Perintis. Mereka menyaksikan pertandingan bulutangkis antar Persatuan Bulutangkis (PB) dari setiap RW yang ada di Kelurahan Paseban. Saya pun jadi sadar, setiap malam, TV di rumah Mba Ira dan Bang Galis, pemilik rumah tempat salah satu markas tim akumassa Ad Hoc, tidak pernah menyala. Orang-orang rumah pergi ke lapangan untuk menonton bulutangkis.
Celetukan-celetukan yang terkesan meremehkan sering kali muncul ketika pertandingan, seakan-akan memang disengaja dilontarkan oleh warga setempat untuk menguji lawan yang datang bertandang ke kandang RW 02. Lebih-lebih, jika bukan dari PB RW 02 yang berlaga, guyonan yang keluar bahkan berupa ‘anjuran’ untuk tak menonton pertandingan. Itu membuat saya teringat dengan kebiasaan jika menonton laga bulutangkis di TV: kalau bukan Indonesia yang bertanding, biasanya saya memindahkan channel TV ke program acara yang lebih menarik.
Setiap hari, saya melihat ada banyak kegiatan di Lapangan Perintis. Ada aktivitas rutin anak-anak yang mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kantor RW 02, ada kegiatan loka karya ibu-ibu setiap minggu, hingga kompetisi olah raga, seperti bulutangkis. Di sela-selanya, lapangan itu selalu ramai oleh hiruk-pikuk warga. Anak-anak bermain kejar-kejaran di lapangan, ibu-ibu bergosip di depan warung di salah satu sudut lapangan (terkadang sembari menggendong atau menyuapi anaknya), dan muda-mudi pun turut nangkring dari sore hingga larut malam.
Acara kompetisi bulutangkis yang saya sebut di awal itu bernama Turnamen Terbuka (Open Tournament) Bulu Tangkis PB Perintis RW 02 Kelurahan Paseban, Wawan Kurniawan Cup, yang diadakan selama lebih kurang sepuluh hari, ditutup pada tanggal 27 Oktober malam, tahun 2013. PB Perintis—sudah ada di Paseban sejak tahun 1984—mengumpulkan dana dari berbagai sponsor, salah satunya dari relawan Wawan Kurniawan, demi menghidupkan kembali kegiatan olah raga bulutangkis yang sempat vakum sejak tiga belas tahun yang lalu. Dan kompetisi tahun ini, adalah turnamen bulutangkis ganda putra.
Saya dan teman-teman akumassa Ad Hoc menyimak perhelatan kompetisi tersebut sejak tanggal 20 Oktober. Kami mencoba merekam peristiwa massa tersebut untuk menjadi salah satu bingkaian video tentang Paseban. Bagi saya sendiri, alasannya sederhana saja: Lapangan Perintis, setelah kami amati beberapa waktu selama nge-kos di Paseban, adalah salah satu ‘kanal siasat’ bagi warga setempat untuk meningkatkan kebersamaan dan semangat sportifitas melalui beragam kegiatan-kegiatan positif yang diinisiasi oleh mereka sendiri.
Auviar Rizky Wicaksanti, dalam tulisannya “Malam di Paseban” (lihat di akumassa.org, 21 Oktober 2013), mengabarkan bahwa menurut keterangan beberapa warga setempat, acara turnamen itu diadakan dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 2013. Dan Bang Heru, tokoh pemuda sekaligus ketua panitia turnamen tersebut, mengatakan bahwa di tahun-tahun selanjutnya, PB Perintis akan terus aktif menghidupkan kembali kegiatan-kegiatan olah raga serupa.
***
Peristiwa massa kompetisi bulutangkis ala warga, di sebuah lokasi perumahan di tengah-tengah Ibukota itu, ternyata juga menyimpan narasi-narasi kecil. Narasi itu pun pastinya berhubungan dengan keberadaan Lapangan Perintis sebagai titik pusat aktivitas warga masyarakat RW 02 di Paseban.Ageung dan Siba, yang sempat duduk berbincang dengan ibu-ibu di warung Pak Tatang—yang letaknya di salah satu sudut lapangan—mendapat narasi bahwa dahulunya di Paseban ada banyak tanah lapang. Seiring munculnya perumahan warga, lapangan-lapangan itu banyak yang musnah. Di area tempat kami nge-kos, hanya ada dua lapangan yang tersisa, yakni Lapangan Perintis dan lapangan di Gang Mayit.
Dulu, ada seseorang yang dikenal sebagai Pak Amin, salah seorang perintis yang mematenkan sebuah tanah lapang menjadi lapangan bulutangkis. Lapangan itu kemudian diberi nama Lapangan Perintis, dan di sisinya berdiri Kantor RW 02, yang sekaligs menjadi balai warga dan hingga sekarang jadi pusat kegiatan masyarakat setempat. Pak Amin dikenal sebagai penggerak yang sering berinisiatif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan warga, salah satunya olah raga bulutangkis. Dia melakukannya hanya atas dasar kesenangannya dengan jenis olah raga tersebut. Dia yakin dan berharap, jika ada lapangan bulutangkis, anak-anak muda di daerahnya pasti bersemangat untuk berolahraga setiap hari.
“Kalau dulu, bulutangkisnya seru,” begitulah kira-kira ujaran Pak Tatang ketika berbincang dengan Ageung dan SIba. “Dulu warga di sini banyak yang senang dengan bulutangkis, banyak yang main, dan bagus-bagus.”
Pak Tatang juga menceritakan bahwa bahkan dulu pernah ada seorang warga yang meninggal gara-gara terserang asma dan kelelahan seusai bermain bulutangkis. Namun menurutnya, itu justru menjadi sebuah kebanggaan, di mana semangat berolahraga hidup di setiap diri warga Paseban.
“Beda dengan sekarang, yang muda-mudanya sedikit yang pegang raket,” lanjut Pak Tatang.
Pak Tatang sendiri mengaku bahwa dia juga menyenangi bulutangkis. Ketika muda, dia sering ikut bermain bersama-sama warga. Sekarang, kalau ada lomba bulutangkis di Lapangan Perintis, Pak Tatang hanya jadi penonton sembari melayani pembeli yang datang ke warungnya. Dan bangku-bangku di depan warung Pak Tatang adalah lokasi yang paling ramai disinggahi warga setiap malam ketika menonton Turnamen Terbuka Wawan Kurniawan Cup tersebut.
***
Kemarin adalah laga final, yakni laga antara Dali/Erwin dari PB Pas melawan Iwan/Parto dari PB 03-05. Sepenglihatan saya, yang berlaga di final ini adalah bapak-bapak, padahal di hari-hari sebelumnya saya melihat ada banyak pemain yang muda-muda.Dali CS dan Parto CS tidak berasal dari PB Perintis, atau dari RW 02. Akan tetapi, warga yang menyaksikan final terasa lebih ramai dibanding laga-laga lainnya di turnamen itu. Masing-masing sudut lapangan dipenuhi warga dari empat gang. Dengan istilah yang saya buat sendiri, keempat gang itu adalah ‘gang kanan pos RW’, ‘gang kiri Pos RW’, ‘gang warung Pak Tatang’, dan ‘gang dekat warung Bu Biah’.
Saya berdiri menyaksikan pertandingan di sudut ‘gang warung Pak Tatang’. Sependengaran saya, warga yang duduk di sudut ini mendukung tim Pak Dali sebagai pemenang. Sedangkan di sudut yang berhadapan diagonal dari tempat saya berdiri, yakni ‘gang kanan pos RW’, berkumpul warga yang mendukung tim Pak Parto.
“Ayo, Pak Dali! Pasti bisa!” kata salah seorang bapak yang berdiri di sebelah saya. Sedari awal pertandingan, dia begitu semangat. “Pertandingan masih seru… masih seru!”
“Gak perlu ganti tipi, masih seru…!” timpal yang lain.
Saat itu, skor tim Pak Dali ketinggalan jauh. Kalau saya tidak salah ingat, momen paling seru adalah ketika tim Pak Dali mengejar ketertinggalan sembilan angka, 22-13.
“Ayo merah putih!” teriak seseorang dari sudut lapangan. Teriakannya ditujukan ke tim Pak Parto. Rekan satu timnya, Pak Iwan, mengenakan baju warna biru sementara Pak Parto mengenakan baju merah putih. Sedangkan tim Pak Dali CS, kedua-duanya mengenakan baju warna biru.
Kira-kira setengah jam kemudian, tim Pak Dali berhasil mengejar ketertinggalan skor menjadi 25-27. Sembari menonton, saya terus merekam pertandingan dengan kamera digital yang saya bawa. Di dalam frame, saya melihat wajah-wajah warga yang menyimak pertandingan dengan seksama. Gerakan kepala dan lirikan mata mereka secara serentak melihat ke kanan-kiri-atas-bawah mengikuti gerak cock yang menjadi penentu peraihan skor. Ketika cock jatuh masuk ke benteng pertahanan Pak Parto, hakim garis yang duduk mencolok di tengah kerumunan warga menjulurkan tangan ke depan.
“Poin!” seru wasit.
Skor bertambah untuk Pak Dali. Di dalam frame, saya melihat kekhidmatan dan gerakan serentak mata-mata warga yang fokus itu pecah dengan tawa, senyum, dan tepuk tangan girang.
“Ayo, Pak Dali! Mumpung bola pertama, manfaatkan sebaik-baiknya! Pasti bisa!”
Terasa cukup lama dan melelahkan juga hingga akhirnya tim Pak Dali mampu menyeimbangkan skor menjadi 27 sama. Ketika para penonton bersorak, “Minum dulu! Minum dulu! Kalem… jangan buru-buru. Kasih minum dulu, Sit!”, si wasit pun berseru, “Time up!” mempersilahkan para pemain untuk jeda sejenak menenggak air minum.
Jika kembali mengingat apa yang saya tonton sejak tanggal 20 Oktober, secara pribadi saya juga mendukung Pak Dali. Saya berharap dia menang dalam laga final itu. Namun, tim Pak Parto kembali unggul, secara berurutan menambah dua angka, 29-27. Harapan saya muncul kembali ketika kendali cock berpindah sekali lagi ke tim Pak Dali. Saya masih mendengar seruan yang menyemangati Pak Dali, bahwa timnya pasti bisa menang.
Dua kali suguhan service, keduanya gagal; pindah bola ke tim Pak Parto. Suara-suara warga di pinggir lapangan bergemuruh, serasa berasa di stadion sungguhan. Para pendukung Pak Parto semakin bersemangat.
Baru beberapa detik saya berujar di dalam hati, “Yah, kalah deh!”, bola tipuan dari Pak Parto bergerak pelan, menipu tim Pak Dali yang sudah kelelahan diserang smash beruntun, cock jatuh ke wilayah tim Pak Dali. Pak Parto kemudian mengangkat tangan girang, para pendukung di sudut ‘gang kanan pos RW’ berhamburan ke tengah lapangan. Laga final di Wawan Kurniawan Cup pun akhirnya dimenangkan oleh tim Pak Parto.
***
Yang saya pahami, Sumpah Pemuda adalah sebuah ikrar para pemuda yang memimpikan persatuan dan kebersamaan. Dengan persatuan dan keberasamaan lah peradaban warga masyarakat madani dapat terbangun. Sumpah Pemuda menjadi salah satu peristiwa yang menandai perlawanan terhadap penjajahan dan kolonisasi Barat di bumi pertiwi.Mungkin itu pula lah yang melatarbelakangi semangat para pemuda di RW 02, Kelurahan Paseban. Meskipun tidak terlibat banyak, atau tidak menjadi ‘garda depan’ dalam turnamen, penyelenggaraan kegiatan itu ada karena inisiatif yang muda-muda juga.
Dan apakah penyelenggaraan turnamen itu adalah sebuah gerakan persatuan yang melawan penjajahan? Sempat terucap dari mulut salah seorang tim akumassa Ad Hoc bahwa sangat disayangkan kegiatan warga itu, secara tidak langsung, menjadi ajang kampanye caleg dan iklan pemilik modal (provider seluler).
Terserahlah! Mengabaikan faktor-faktor itu, saya sendiri menganggap dan menafsir Turnamen Terbuka PB Perintis RW 02, Kelurahan Paseban, sebagai salah satu siasat melawan “penjajahan”. Pengalaman selama merekam peristiwa massa itu menyadarkan saya tentang fenomena “warga masyarakat tontonan-penonton”; kita hidup di lingkungan dinamika kolonisasi oleh media. TV, salah satunya, yang begitu mempengaruhi pola hidup masyarakat. Kegiatan turnamen bulutangkis setiap malam itu justru memberikan efek positif. Warga dengan suka rela keluar rumah barang sejenak, tak menyentuh TV di waktu prime time (pukul delapan hingga sebelas malam), melepas kungkungan sajian-sajian opera sabun yang sudah tak ada kualitasnya sama sekali.
Meskipun ujaran, celetukan dan guyonan yang keluar dari mulut-mulut warga berangkat dari attitude yang dibentuk oleh pengalaman-pengalaman mereka menonton media TV, seperti menonton SEA Games, Asian Games, All England, Thomas & Uber Cup, tontonan turnamen bulutangkis selama sepuluh hari di Paseban itu justru hadir secara beda: sportifitas hadir secara riil di tengah-tengah gosip ibu-ibu, grasak-grusuk bocah-bocah, seduan kopi dari warung, asap rokok bapak-bapak, bahkan suara gorengan dari si pedagang nasgor tek-tek.
Sadar tidak sadar, warga berkumpul melawan kolonisasi yang mengungkung mereka setiap hari. Ini menjadi narasi baru, tentu saja, dan karena itu lah akumassa bertanggung jawab untuk bersiasat merekamnya menjadi sejarah.
___________
Artikel ini merupakan bagian dari kegiatan akumassa Ad Hoc, sebuah proyek yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng, dalam rangka berpartisipasi pada Jakarta Biennale 2013–SIASAT.