Jurnal Kecamatan: Gubeng Kota: Surabaya Provinsi: Jawa Timur

Rombong Seharga 6.000 Rupiah

Beberapa Rombong terlihat berjejer
Avatar
Written by Pijar Crissandi
Sebuah pandangan ideal dicitrakan oleh media massa tentang kehidupan, tingkah laku dan pembangunan mimpi-mimpi di kota metropolis sangat berdampak besar bagi kalangan masyarakat yang tinggal di kota kecil atau pedesaan. Tetapi di sisi lain, kenyataannya tinggal dan hidup di sebuah kota itu tidak mudah, karena begitu keras dan harus kuat agar kita mampu bertahan hidup. Kota Surabaya cukup memiliki aspek untuk disebut metropolis sehingga disini jugalah terletak sebuah gambaran tentang apa itu surga-surga yang kadang tak terfikir dan bisa dilakukan di sini.

Rombong untuk berjualan gado-gado

Hal itu terbukti ketika aku sedang membeli makanan yang biasa saja yaitu, gado-gado. Penjual gado-gado itu sering sekali melintas di depan rumah temanku. Kali ini aku memang ingin makan gado-gado. Penjual itu lewat dengan cepat, aku memberhentikanya. Kebetulan sekali dia baru berangkat, jadi bahan makanan yang digunakan untuk membuat gado-gadonya masih terlihat banyak. Sambil membuatkan gado-gado, aku sedikit berbincang dengan bapak tiga orang anak tersebut.

Pak Sutikan sedang membuat gado-gado

Aku bertanya tentang perjalannya berjualan makanan khas Kota Bandung ini, “Pak, ini gado-gadonya ada komunitasnya gitu? Kok, Bapak berangkat bareng-bareng sama penjual gado-gado yang lain?”

“Oh, nggak Mas. Ini saya sendiri, cuma memang berangkatnya bareng-bareng soalnya kita, kan, satu terminal nyewa rombong (Rombong sebutan dalam Bahasa Jawa yang berarti gerobak).”

Beberapa Rombong lain terlihat berjejer

Aku kaget ternyata rombong yang digunakan untuk jualan adalah rombong sewaan. Karena sedikit aneh dan sesuatu yang baru buat aku, maka aku semakin ingin bertanya kepada bapak itu.

Namanya Sutikan, dia berjualan Gado-gado sejak tahun 2007. Sebelumnya Pak Sutikan pernah jualan berbagai macam makanan, seperti rujak dan siomay. Gado-gado adalah bisnis makanan yang baru dia jalani. Dia mengaku berganti dagangan karena ingin mencari peruntungan lain, karena Pak Sutikan memang cenderung cepat bosan menjalani suatu pekerjaan.

Pak Sutikan berasal dari Solo, dia berada di Surabaya sejak tahun 2000. Dia di sini sendiri, karena semua keluarganya berada di Solo. Selama di Surabaya, dia tidur di tempat penyewaan rombong itu. Ternyata banyak sekali yang menyewa rombong di tempat penyewaan itu dan tidak hanya rombong gado-gado saja yang disewakan. Tetapi ada beberapa macam jenis rombong yang disewakan untuk jualan, seperti siomay, bakso dan pentol.

Lalu saya bertanya “Loh Pak, apakah rombong yang disewakan tidak tertukar dengan orang yang nyewa rombong lain ?”

Pak Sutikan bilang setiap rombong sudah memiliki identitas dan ciri khas penyewanya, jadi tidak mungkin tertukar. Seperti milik Pak Sutikan ini, rombongnya telah diberi tanda berupa tulisan ‘Gado-Gado’ dengan cat putih. Dia bilang setiap rombong yang dia sewa selalu diberi tulisan dengan cat warna putih. Setiap penyewa memiliki cara sendiri untuk menandai rombong yang disewa. Ada yang diberi stiker, ada juga yang tidak tulisi tapi sang pemilik sudah tau kalau itu rombong sewaannya.

Tanda Tulisan Gado-gado pada rombong Pak Sutikan

Markas juragan rombong itu letaknya tak jauh dari rumah temanku, yaitu daerah Ngagel Jaya, pemiliknya berasal dari Lamongan. Memang banyak teman-teman Pak Sutikan yang berjualan gado-gado dan menyewa dari juragan itu. Rombong yang di sewakan dengan harga Rp. 6.000 per hari ini sangat membantu Pak Sutikan. Dia tidak memiliki modal membangun sebuah rombong untuk jualan, karena sangat mahal. Jika dihitung-hitung, harga membangun sebuah rombong untuk jualan gado-gado bisa mencapai dua sampai lima juta per-rombong. Sungguh harga yang tidak saya duga untuk sebuah kotak kayu beroda.

Jika dilihat dari kejadian yang aku lalui tadi, membuat saya semakin mengerti bahwa kehidupan kota memang keras. Tapi di kota pulalah kita bisa membuat harapan dan kemungkinan itu menjadi nyata. Contohnya, bisnis penyewaan  rombong untuk jualan saja bisa membuat beberapa orang memiliki penghasilan dan bisa menghidupi keluarganya. Padahal sebelumnya aku mengira penjual gado-gado atau makanan yang menggunakan rombong memiliki rombongnya sendiri.

Hal ini menunjukan jika kita mau berbuat dan berpikir sedikit lebih berbeda dalam memaknai arti kota, maka kita akan mampu melihat dan mengambil celah apapun  yang mungkin bisa dilakukan. Penyewaan rombong adalah salah satunya.

About the author

Avatar

Pijar Crissandi

Dilahirkan di Surabaya pada tanggal 9 Mei 1988. Sekarang sedang menyelesaikan studinya di Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jawa Timur. Kemudian ia juga sedang bekerja membuat ilustrasi dan Asisstent Boardcasters di Hard Rock Radio, Surabaya.

9 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.