Jurnal Kecamatan: Ciputat Timur Kota: Tangerang Selatan Provinsi: Banten

Rindu Kami Pada Situ Kuru

Situ dipenuhi Eceng Gondok
Berbicara Tentang Situ Kuru, mau tidak mau kita juga akan membicarakan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang tepat berada di sampingnya. Bagaimana pun kampus yang telah banyak mencetak intelektual muslim Indonesia tersebut telah memberikan dampak yang begitu besar terhadap Situ Kuru. Namun agak sulit mencari keterangan tentang Situ Kuru  karena namanya sendiri seakan tertelan oleh nama besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Secara tidak sengaja saya mendapatkan sekelumit kisah mengenai situ yang kini hanya tersisa seluas satu hektar  dari empat hektar luas aslinya. Apa yang terjadi pada Situ Kuru? Bagaimana keadaan dan aktivitas yang terjadi di sekitarnya, termasuk di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri yang menjadi penyebab utama terjadinya penyempitan area situ tersebut?

Situ Kuru

Situ Kuru

Cerita Kenangan di Pagi Hari
Setengah tujuh pagi saya sudah berada di kampus, jam pertama kuliah masih satu jam lagi maka saya pun memutuskan mencari sarapan ringan di Jalan Pesanggrahan, sebuah jalan yang berada di samping kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemandangan sangat kontras, detik ini saya masih berada di kampus yang begitu megah bangunannya lalu detik-detik berikutnya setelah saya melewati pintu kecil di tembok pembatas kampus saya melihat kerumunan manusia yang berjejalan di satu jalan kecil. Satu sisinya dipenuhi oleh tenda-tenda penjual makanan mulai dari gorengan, soto, es teh, ketoprak, gulai, steak kentang dan lain sebagainya. Di seberangnya berderet kios permanen yang diisi oleh warnet, kedai fotocopy, kos-kosan, rental PS2, mini market, warung tegal (warteg), warung nasi padang, warung kopi, dan warung-warung lainnya. Di waktu siang suasana Jalan Pesanggrahan sangat padat dan panas.

2

3

Pagi ini hanya tukang gorengan dan ketoprak yang  baru datang, satu warnet di ujung jalan sudah buka dan sudah mulai dipenuhi oleh mahasiswa. Karena saya melihat tukang ketoprak baru membuka tendanya maka saya memutuskan untuk membeli gorengan saja untuk sarapan saya pagi itu. Begitu saya sampai di depan gerobak gorengan yang masih sepi pembeli, saya mendengar percakapan antara bapak tua penjual gorengan dengan anaknya yang membantu berjualan menggunakan Bahasa Sunda. Kebetulan saya pun berasal dari tanah Sunda, maka saya memutuskan untuk berkenalan dan memulai percakapan dengan mereka.

“Beli, Neng?” kata bapak tua penjual gorengan sambil menyodorkan kantong kertas dari Koran kepada saya. Sambil tersenyum saya pun mengambilnya dan mulai berkenalan.

Sundana ti mana, Pak?” (Sundanya dari mana, Pak?)

“Ti Sumedang, Neng urang Sunda  oge?” (dari Sumedang, Neng orang Sunda juga?)

“Muhun. Sukabumi.” (Iya. Sukabumi)

“Tos lami jualan di dieu, Pak?” (sudah lama jualan di sini, Pak?)

Dari pertanyaan-pertanyaan ringan tersebut mengalirlah cerita pengalaman hidup si bapak penjual gorengan, yang akhirnya aku ketahui bernama Abah Mukhtar, selama delapan belas tahun berjualan gorengan di samping Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pinggiran Situ Kuru.

sampah menumpuk di Situ Kuru

sampah menumpuk di Situ Kuru.

Saat pertama kali datang di Ciputat dan berjualan di samping kampus, Abah Mukhtar mengaku sangat senang karena suasananya yang sangat sejuk. Pohon-pohon masih rindang dan Situ Kuru pun masih begitu indah dengan air yang bening sampai ikan-ikan yang hidup di dalamnya bisa terlihat dengan jelas. Tidak jarang beliau ditemani oleh anaknya memancing di sana untuk melepaskan kepenatan setelah seharian berdagang. Hasil tangkapannya pun lumayan banyak, Jika kita melihat lebih ke dalam, yang kini menjadi daerah padat penduduk dan disebut Jalan Semanggi, maka kita bisa menemukan anak-anak dan ibu-ibu sedang mandi di pinggir Situ Kuru sambil mencuci baju. Anak-anak dengan riangnya bermain air sampai menggigil kedinginan. Sampai pada pertengahan tahun 1990 Situ Kuru masih bisa dinikmati keindahannya, walaupun mulai terjadi penyempitan di beberapa pinggiran situ yang banyak di bangun rumah oleh dosen-dosen yang mengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan masyarakat.

Abah Mukhtar juga menceritakan keakraban mahasiswa dengan Situ Kuru, biasanya mereka berkumpul di pinggiran sambil berdiskusi atau berpacaran. Mahasiswa pencinta alam lebih asyik lagi, mereka membuat rakit sederhana dan mendayungnya ke tengah situ lalu bersantai dan berdiskusi di sana. “Sungguh saya sangat mendambakan suasana seperti itu namun kini itu tidak mungkin terjadi, karena paska reformasi pada tahun 1998 semuanya berubah dengan sangat  drastis,” tutur Abah Mukhtar.

Sejak saat itu bangunan-bangunan ilegal mulai bermunculan di pinggiran situ, kebanyakan adalah kos-kosan untuk para mahasiswa yang semakin membludak setiap tahunnya. Ada juga warung-warung makan seperti warteg, nasi padang dan warung lesehan, sekretariat organisasi gerakan mahasiswa, warnet, rental PS2, warung kopi dan sebagainya begitu cepat memenuhi ruang Jalan Pesanggrahan yang tak lain adalah pinggiran Situ Kuru sendiri. Siapa yang mendirikan bangunan-bangunan ilegal yang menyebabkan pinggiran Situ Kuru menjadi berkurang tersebut? Jawabannya sungguh sangat mengejutkan, pemilik bangunan-banguna tersebut adalah para akademisi yang bekerja sebagai dosen di Kampus UIN Syarif Hidayatullah. Dosen-dosen tersebut rupanya mencari penghasilan tambahan dengan cara membangun dan menyewakan rumah-rumah dan kamar-kamar kontrakan kepada mahasiswa serta para pengusaha kecil.

Situ dipenuhi Eceng Gondok

Situ dipenuhi Eceng Gondok.

Situ Kuru yang pada awalnya memang digunakan warga Ciputat sebagai daerah resapan air kini dipenuhi oleh tanaman Eceng Gondok dan Kangkung Liar. Sampah dari dapur warung-warung makanan dan kos-kosan mahasiswa pun turut menghiasi Situ Kuru saat ini. Kondisinya kini amat memprihatinkan. Dari mulai disfungsi lahan, pendangkalan Situ Kuru, kesemrawutan daerah sekitar Situ Kuru, Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin menyempit, bangunan-bangunan ilegal di sepanjang Situ Kuru, dan kepedulian warga sekitar yang masih minim terhadap sampah, ditambah dengan volume air yang tinggi di waktu hujan turun yang berpotensi menyebabkan banjir dan penyebaran penyakit akibat lingkungan yang kurang bersih dan sehat. Sangat menyedihkan menurut saya, mengingat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri tercatat dua Lembaga Kemahasiswaan yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan pecinta alam, tapi lingkungan sekitar kampus yang paling dekat pun seakan tidak tersentuh oleh tangan-tangan para mahasiswa yang memproklamirkan diri sebagai ‘pecinta alam dan lingkungan hidup’. Saya bukan bermaksud menyalahkan mereka tetapi secara awam saya melihatnya sangat ironis sekali dengan kondisi yang ada di Situ Kuru sendiri.

14

Kita sama-sama mengetahui bahwa peruntukan lahan Situ Kuru sebagai daerah resapan air dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) mestinya menjadi kesadaran dari berbagai pihak yang berkepentingan di daerah ini, tanpa terkecuali pihak kampus, Pemkot Tangerang Selatan dan masyarakat sekitar. Semua itu tak akan terwujud tanpa kemauan baik  dari semua pihak agar kelestariannya mendatangkan kebaikan bersama. Tidak seperti saat ini di mana kondisinya amat memprihatinkan sekali.

Abah Mukhtar kadang merindukan suasana Situ Kuru dahulu kala yang airnya masih sangat jernih dan menjadi tempat memancing ikan setelah lelah berjualan gorengan di  pagi hari. Kini Situ Kuru seakan tertelan oleh jaman dan terlupakan oleh masyarakat. Hanya Eceng Gondok, Kangkung Liar dan tumpukan sampah yang tersisa. Akankah kerinduan Abah Mukhtar akan Situ Kuru terobati?

Eni Wibowo

***

Pekerja Situ Kuru

Bang Bewok namanya. Sehabis Idul Fitri 1430 H Situ Kuru nampak lebih bersih karena ia membersihkannya dengan imbalan sebesar 5 juta rupiah dengan sistem kerja borongan. Sebelumnya, sekitar empat bulan lalu, situ ini terlihat sangat kotor dan dipenuhi sampah.

Situ Kuru sempat dijadikan tempat berpacaran anak muda terutama mahasiswa setelah di tata rapi oleh Bang Bewok sehingga tampak bersih dan nyaman. Namun sekarang sedikit kembali seperti keadaan sebelumnya, kotor dan banyak sampah menumpuk. Saya pun mencoba memulai obrolan dengan Bang Bewok yang wajahnya terlihat seram tetapi saya mengagumi kepribadiannya yang jujur, enak diajak ngobrol dan pekerja keras. Beliau sangat dikenal dan dipercaya oleh orang-orang sekitar Situ Kuru. “Di sekitar wilayah situ Kuru ini mah kalau nyebut nama Bang Bewok orang juga udah pada kenal”, katanya.” Sampai-sampai kalau saya sedang nyari barang bekas terus melewati dapur orang daerah sini, saya disuruh masuk dan kalau mau makan disuruh ngambil sendiri”, tambahnya.

8

“Nama Kuru diambil dari nama pemilik situ. Aliran kali ini berasal dari Jalan Legoso, dan bermuara di Kali Pesanggrahan”, tuturnya. Lalu saya menanyakan bagaimana keadaan situ ini pada zaman dahulu. Beliau mengatakan bahwa air Situ Kuru dahulu sangatlah bersih, bening dan banyak ikan, sampai-sampai kerbau saja tidak boleh dimasukkan ke dalam situ karena takut airnya kotor. “Kalau sekarang mah boro-boro ada ikan, yang ada cuma sampah”, ucapnya.

“Tanah yang sekarang dijadikan Perpustakaan Utama UIN Jakarta ini tadinya adalah tanah orang tua saya. Lalu dibeli oleh Pemerintah. Makanya mungkin sebagai balas jasa, saya diterima bekerja menjadi Satpam di sini, padahal pendidikan saya rendah”, tuturnya. Bang Bewok memang sudah 30 tahun bekerja menjadi satpam UIN Jakarta, dan kini memiliki pekerjaan tambahan membersihkan Situ Kuru..

Selain Bang Bewok, saya juga bertanya tentang kebenaran tanah ilegal diatas Situ Kuru kepada salah seorang warga, karena saya khawatir isu tersebut hanya karangan saja.

9

“Pak, saya dengar isu tanah daerah ini adalah tanah ilegal ya?” Tanya saya kepada salah seorang warga.

“wah itu bukan isu lagi, Dek’, tapi kenyataan. Beberapa waktu lalu juga ini tadinya mau digusur sama Pemerintah, tapi nggak jadi karena apa gitu saya juga kurang tahu”, jelasnya.

Pada hari yang lain saya juga mendapat informasi baru tentang tanah ilegal dari Ketua RT setempat. “Benar tanah itu adalah tanah ilegal, yang punya juga bukan satu orang saja, karena dulu sejarahnya tanah itu digarap dan dibeli dengan harga yang relatif murah. Bahkan kebanyakan yang punya adalah Dosen UIN sendiri. Lalu dijadikan lahan bisnis dengan cara membuat rumah kos-kosan,” ungkap Pak RT tersebut.

Helmi Nur Alami

About the author

Avatar

Helmi Nur Alami

Menyelesaikan studi strata satunya di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia juga salah satu pendiri Komunitas Djuanda.

About the author

Avatar

Eni Wibowo

Perempuan kelahiran 1990 ini sedang menyelesaikan studinya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Perempuan asli Sukabumi ini pernah mengikuti workshop akumassa Ciputat. Sekarang ia sedang aktif di Komunitas Mahasiswa Kreatif Audio Visual (KOMKA) UIN syarif Hidayatullah Jakarta dan Komunitas Djuanda.

3 Comments

  • inilah kesadaran yang kurang bagi banyak warga bangsa ini,sibuk dengan yang jauh dari mata,sementara lingkungan sendiri tidak diurus,bagaimana mereka menghasilkan intelektual yang tdk peduli dengan lingkungan,sukses abah mukhtar dan bang bewok………perlu diperhatikan

  • bang bewok bukan dpt penghasilan 5 juta per bulan, tp waktu itu, borongan kerjanya…ketika itu situ kuru udah lama tidak di bersihkan,,itu jg dibiayai oleh orang UIN..

Tinggalkan Balasan ke helmi X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.