Alhamdulillah… Aku baru saja menyelesaikan Sholat Isya’ di Masjid Ass-Shirathal Mustaqim yang terletak bersampingan dengan Pasar Pemenang. Segera kubergegas mengambil sandal dan bergerak menuju ke rumah karena perutku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Maklumlah, dalam perjalanan dari Gunungsari ke Pemenang siang tadi, aku belum menyantap makanan. Apalagi kulihat tadi sore bibiku datang membawa Pes Ikan yang dia bikin sendiri dari anaknya, hasil memancing.
Memang aku agak canggung untuk berjalan ke masjid dan aku merasa seperti orang asing di tempat sendiri karena lebih sering tinggal di Gunungsari. Dan biasanya aku pergi ke masjid menggunakan sepeda motor Supra-ku. Namun, sekarang motorku masih diperbaiki jadi belum bisa kupakai lagi.
Kali ini jalanan agak ramai karena malam Minggu, di mana biasanya para pemuda menggunakan malam ini untuk berkumpul bersama teman-teman mereka. Banyak kulihat anak-anak muda berkumpul dan seolah-olah dirancang untuk membagi diri mereka menjadi beberapa kelompok. Di depan masjid kulihat orang-orang yang sering berdagang di Bangsal, berbicara tentang hasil dagangan mereka hari ini. Seru sekali kelihatannya. Beberapa orang berdiri dan sebagiannya lagi duduk di sebuah tempat yang bisanya kami sebut dengan istilah bo’bo’an.
Bo’bo’an biasanya dibuat sendiri oleh warga untuk kebutuhan anak muda nongkrong. Biasanya di pinggir jalan, berbentuk seperti tempat duduk bersama yang terbuat dari semen. Aku melanjutkan perjalanan pulang, terbayang kelezatan Pes Ikan yang dibawa bibiku.
Ketika baru saja beberapa meter aku keluar dari masjid, aku mencium bau yang semakin membuat perutku keroncongan. Sebentar kualihkan pandanganku ke sebelah kanan jalan . “Pak Jam, bau baksomu membuat ku semakin lapeerrr,” gerutuku dalam hati dan aku pun mempercepat langkahku. Beberapa orang menyapaku di jalan sambil menanyakan kapan aku kembali dari Teben (istilah yang digunakan masyarakat Pemenang untuk wilayah di selatan Pusuk) dan aku pun menjawab seadanya mengingat kondisi yang tidak memungkinkan.
Sesaat sebelum memasuki gang, seseorang memanggilku. Kali ini aku berhenti dan mencoba mengingat suara yang memanggilku, karena suara ini sangat dekat di telingaku. Sambil melihat-lihat dari arah mana suara itu datang. Di belakangku, kulihat banyak sekali orang, ada yang sedang duduk, berdiri dan berjalan. “Sibaakk, ne lai.!!” (Sibak, ke sini dong!). Ternyata suara itu dari seseorang yang duduk di bo’bo’an, bersama sekitar empat sampai enam orang lainnya. “Piran dik ulek?” (kapan kamu pulang?). Aku masih berdiri dan memikirkan siapa yang sedang memanggilku. Aku tak hiraukan keadaan perutku, karena aku tahu suara ini tidak asing di telingaku seperti suara teman bermainku saat kecil. Namun aku masih tidak bisa pastikan pemilik suara ini, karena mereka duduk di bo’bo’an yang tidak diterangi lampu.
Aku mendatangi mereka, baru kukenali orang-orang yang duduk di tempat itu setelah sebuah sepeda motor lewat menerangi suasana gelap di sekitar tempat itu. Dan kulihat si Hamdun, Johari dan beberapa lagi yang lainnya sedang menikmati kepulan asap rokok di tempat itu.
“Oooo .. diq pada ne,,, kenangku sai jetih, dik pada kumbe ite?” (Ooohh.. ternyata kalian, kirain siapa, kalian sedang apa di sini?).
“Deq arak mula wah kami tokol-tokol. Deq ngarak sik porok,” (nggak ada, biasa duduk-duduk aja, nggak ada kerjaan sih) kata Johari. Aku pun duduk dan menikmati suasana bo’bo’an yang redup dan dibangun di atas sebuah selokan kecil yang kami sebut Jelinjing.
“Apa pegawean dik nengka?” (Apa pekerjaan kamu sekarang?) kataku memulai pembicaraan. “Biasa marak laek, ngangon sampi, mengarit gak a,” (Biasa kayak dulu, memelihara sapi, menyabit, cuma itu saja) tutur Hamdun.
“Begak ajin sampi nengka Ndun?” (Lumayan harga sapi sekarang? ) tanyaku. “Empat sampai lima juta sekek mun bagus kek laguk,” (empat sampai lima juta kalo sapinya bagus) jawabnya sambil memperbaiki duduknya, karena mungkin bo’bo’an ini tidak seempuk kursi busa, he..he..he…
“Dik mok Ri apa kegiatan dik nengka?” (Kamu gimana Ri, kerjaan kamu apa sekarang?) tanyaku kepada Jauhari.
“Dek a Wae, nulung tau lokak nu nepung lek bale.” (Nggak ada Wae, bantu orang tua saja di rumah menggiling beras).
Perbincanganku cukup lama dengan teman-teman, seperti sebuah reuni kecil. Aku menggunakan kesempatan itu untuk menanyakan keadaan teman-teman yang lain. Sebagian sudah ada yang menikah bahkan sudah punya anak. Ada yang menjadi pedagang di Bangsal, guide (pemandu) turis, tukang ojek, bahkan ada yang membuka bengkel. Namun yang paling membebani pikiranku, banyak teman-teman yang tidak melanjutkan sekolah mereka karena terhambat biaya. Sampai-sampai banyak yang menjadi pengangguran yang hanya duduk setiap pagi dan sore di bo’bo’an, mungkin sambil menunggu ‘hujan uang’ dari langit. Di tempatku memang banyak sekali bo’bo’an. Hampir di setiap gang dan pinggiran jalan terdapat bo’bo’an dan biasa digunakan nongkrong untuk sekedar duduk melepas lelah, bertemu teman-teman kerja, bermain gitar, dan banyak sekali aktivitas yang dilakukan di bo’bo’an terutama sebagai tempat berkumpul, selain Berugak.
“Aget dik, dik ne Wae, Mauk dik kuliah. Mun kami ne aro… nggak kute ora wah,” (Kamu sih beruntung, Wae, dapat kuliah. Kalau kami ya.. seperti ini saja sudah), tiba-tiba Hamdun memecah kesunyianku.
“Ndun, dek lapuq a tau jaga jari tau belek, nu pun dek a penting apakah ita jari tau belek atao dek. Yang penting apapun jarin ta sok ta taat bak Allah kanca teger ta bagus kanca masyarakat. Nendek karna dek ta sekola ampok ta ngerasa jari tau dek sukses, minder terus ampok ta ngorayang lek gubuk,” (Ndun, tidak semua orang akan menjadi orang besar, dan itu juga tidak terlalu penting apakah kita jadi orang besar atau tidak. Yang jelas jadi apapun kita yang terpenting adalah kita taat beribadah kepada Allah supaya kita menjadi orang yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Jangan hanya karena kita tidak bersekolah kita merasa tidak menjadi orang sukses, minder lalu kemudian kita membuat keonaran di tengah masyarakat), kataku menimpali, untuk membuatnya tidak kecewa dengan keadaan yang sedang dia hadapi. Teman-teman yang lain pun menyimak apa yang baru saja kukatakan.
Kulihat di handphone-ku, jam sudah menunjukkan pukul 21.17. Sebenarnya aku ingin duduk lebih lama di bo’bo’an ini. Tapi aku juga harus menghargai pernyataan perutku yang sejak tadi mengajak pulang untuk segera diisi. Dan juga beberapa temanku sudah ada yang pamitan mundur secara teratur karna jadwal apel ke rumah para pacar sudah tiba.
Aku pun minta izin untuk mengundurkan diri dari pertemuan reuni kecil-kecilanku tersebut. Dan berharap ada lagi waktu untuk berkumpul, berbicara, berbagi pengalaman bersama teman-temanku. Malam ini, bo’bo’an, sebuah bangunan tempat duduk sederhana menjadi tempatku berbincang mendengarkan keluh-kesah dan pengalaman hidup teman-temanku. Sambil berlalu kukatakan kepada teman-temanku, “Lemak daik ta ngupi sambil menggitar seruak, teger maik kat ta nganggur cak,,, aok?” (Besok malam kita ngopi sambil main gitar juga, biar enak rasanya nganggur di sini, ya?). “Aok wah kete wah dik lemak daik, lemak ta ngupi it,” (Ya sudah, datang dah besok malam ke sini, besok kita ngopi di sini) Jauhari menimpaliku.
kalau di desaku tempat seperti itu namanya cukup “bok” saja..bukan bo’bo’an (yah..ada perbedaan sedikit lah)
kebanyakan adanya di dekat sungai, berfungsi sebagai jembatan sekaligus.
dimana bumi di pijak, sisana langit di junjung.
lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
<>
He he he he he . . . teruslah berkarya . . .