Jurnal Kota: Kediri Kota: Malang Kota: Surabaya Kota/Kabupaten: Jember

Petualangan Film Naga Yang Berjalan Di Atas Air di Jawa Timur

Petualangan Film Naga Yang Berjalan Di Atas Air di Jawa Timur
Avatar
Written by Mufti Al Umam
Bulan ini film dokumenter feature Naga Yang Berjalan di Atas Air menyambangi empat kota di Jawa Timur. Rangkaian roadshow meliputi kota  Surabaya, Kediri, Malang dan Jember. “Tim Naga” diwakili oleh Umam dan Renal, namun Lulus juga ikut mewakili akumassa untuk melakukan diskusi lanjut program Rekam Media di Surabaya dan Jember.

Rute perjalanan Kediri-Malang

Sekitar jam empat sore, kami sudah menukarkan struk pembayaran di loket khusus mejadi tiga lembar tiket Kereta Eksekutif Bima jurusan Jakarta-Surabaya. Ruang tunggu sekitar loket stasiun Gambir terlihat ramai waktu itu. Para penumpang menyibukkan diri sambil menunggu kereta  dengan membaca koran, ngobrol, ber-handphone ria, hingga tertidur dan baru terbangun ketika dengung speaker bersuara datar berbunyi sebagai tanda kereta telah datang. Kemudian riuh suara roda koper menggiring kami ke pintu masuk peron stasiun yang terletak di lantai tiga. Dari atas sana terlihat rimbunnya gedung pencakar langit di Jakarta.

Kami mulai berangkat pada pukul 17.00 WIB. KA kelas eksekutif ini bisa dibilang membuat perjalanan kami terasa nyaman. Kami menikmati pemandangan yang mulai gelap dari dalam kereta sambil ngobrol-ngobrol ringan. Kadang juga membaca tabloid dan majalah yang disediakan  di dalam kereta.

Kemudian di sela-sela waktu kami berjibaku dengan suasana perjalanan, Renal membuka laptop dan mulai berselancar ria di internet. Tentu menggunakan modem yang kami bawa, maklum di dalam kereta kelas eksekutif belum ada fasilitas wifi, yang tersedia hanya stop kontak untuk mengisi ulang baterai. Saat browsing, ritual pertama yang kami lakukan adalah membuka account social media seperti twitter dan facebook baru diikuti informasi-informasi di media online. Di social media kami meng-update status tentang jadwal dan tempat pemutaran. Renal, melalui account twitter-nya menulis, “Selamat jalan Jakarta move to Surabaya >> Pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air |Senin, 22 okt ’12 di @c2o_library“. Setelah itu kami mencari informasi tentang kota-kota tempat akan diputarnya film Naga, seperti Surabaya, Kediri, Malang dan Jember.

Empat jam berlalu, suasana dingin kereta malam mulai terasa. Pramugari melintas di depan kursi kami menjajakan menu santap malam kepada para penumpang. Saya dan Renal tergiur sekaligus memutuskan menuju gerbong restorasi untuk santap malam. Suasana gerbong restorasi terlihat ramai. Empat kursi mini bar terisi penuh oleh tiga  pria paruh baya, dan seorang pria muda bersama anak kecil dalam pangkuannya. Menu makanan di sini menurut saya cenderung membosankan, terlebih harganya yang fantastis dua kali lipat dari harga standar. Berhubung hanya ini satu-satunya fasilitas makanan, terpaksalah kita memesan nasi rawon seharga Rp 27.000 sambil menghela nafas dan terbesit bayangan kereta ekonomi. Oh kereta ekonomi… Aku mengenang perhatian istimewamu ketika malam hari perut ini keroncongan engkau berhenti di stasiun Semarang Poncol, saya bergegas memesan makan di warung sederhana pinggir rel bermenu sayur sop, telor mata sapi dan tahu bacem dan teh hangat sehabis makan. Untuk semua menu itu, hanya mengeluarkan sepuluh ribu rupiah. Wah benar-benar ekonomis di tengah fasilitas miris.

Petualangan “Naga” di Empat Kota

Kontak komunikasi dengan teman-teman di masing-masing kota terus kami lakukan, di antaranya bersama Remy dari Komunitas Kinetik di Surabaya, Nakula dari Komunitas Canopy di Kediri, Oming dari Kineklub Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan Qomar dari Komunitas Tikungan di Jember. Pemutaran akan berlangsung secara berurutan di mulai dari Surabaya, Kediri, Malang baru kedmuain Jember.

Pada Senin (22/10) malam, kami meluncur ke C2O Library, yang letaknya hanya berjarak lima menit perjalanan menggunakan sepeda motor dari Markas Kinetik – Kantor Komunitas tempat kami singgah di Surabaya. C2O itu sendiri merupakan sebuah perpustakaan kecil yang sangat nyaman untuk membaca. Penataan ruangnya didesain seolah-olah pengunjung sedang membaca di dalam kamarnya sendiri. Banyak koleksi buku yang penting di sana, tentunya buku-buku yang berisi gambar-gambar tentang sejarah Kota Surabaya-lah yang menarik perhatianku. Tapi untuk malam ini, perpustakaan buku itu akan berubah menjadi tempat pemutaran filem Naga Yang Berjalan Di Atas Air. Pemutaran berlangsung pada pukul 19.00 WIB dengan dibuka oleh salah satu pengurus C20 Library dan dimoderatori Aditya Adinegoro yang akrab disapa Remy. Suasana pemutaran berlangsung khidmat, terlihat penonton menyimak dari awal hingga akhir. Setelah 115 menit, tepuk tangan yang meriah bergema di dinding tembok ruang pemutaran yang tidak terlalu besar.

Suasana pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air di C2O Library, Surabaya

Esok harinya filem Naga Yang Berjalan Di Atas Air langsung meluncur ke Kediri menggunakan bus kota dari Terminal Purabaya, Surabaya.  Di dalam terminal kami memilih bus yang telah direkomendasikan oleh Remy. Dia menyarankan kami menggunakan bus Harapan Jaya, bus patas AC berwana dasar putih berpadu oranye dengan seat 2-2  plus fasilitas yang tidak boleh tertinggal, yaitu toilet. Bus yang namanya identik dengan sebuah band lawas di era akhir 90-an asal Bandung dengan hits berjudul Keripik Singkong ini, cukup nyaman untuk mengantarkan kami menuju kota tujuan meskipun harus menempuh jarak sekitar empat jam.

Sepanjang perjalanan kami disajikan berbagai macam pemandangan menarik dari dalam bis. Apalagi ketika memasuki Jombang, kami diperlihatkan sebuah plang wisata ziarah makam Gusdur di Tebuireng saat bus melewati Universitas Darul Ulum. Selain itu, hal menarik lainnya sebelum melewati kampus itu, aku mendapati bangunan gereja yang begitu khas gaya arsitekturnya—yang aku tahu gaya bangunan itu beraliran Neo Ghotic. Berbicara keberadaan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) tak akan ada habisnya karena denominasi gereja ini sangat membumi dengan pandangan hidup pemeluknya yang kebanyakan petani.

Sesampainya di Kediri kami berhenti di perempatan Semampi,  seperti yang ditunjukkan oleh Nakula – pemandu kami di Kediri yang juga sekretaris Komunitas Canopy—komunitas yang menjadi panitia pemutaran filem Naga Yang Berjalan Di Atas Air di Kediri. Kami dijemput oleh dua motor dan melewati pabrik rokok PT. Gudang Garam, Tbk yang begitu besar dan memanjang di sepanjang jalan. Ada kesan yang tak terlupakan, aroma kretek yang menyeruak di udara sekitar pabrik memberikan impresi yang mendalam tentang cita rasa tembakau yang tak tergantikan. Mungkin hanya bau tanah sehabis hujan yang dapat menyainginya.

Perjalanan dengan sepeda motor ke tempat pemutaran di Emti Galeri tidak begitu jauh dari tempat pertemuan awal kami. Ruang pemutaran di Emti Galeri terletak di Desa Pemenang yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Kediri. Emti Galeri berada di perbatasan dengan Kota Kediri karena untuk mencapai pusat kota begitu dekat. Sambil menunggu tamu yang datang, kami mempersiapkan perangkat pemutaran seperti laptop, proyektor, salon dan microphone, serta layar LCD.

Sambil mempersipakan peralatan, aku memperhatikan sekeliling dalam bangunan galeri. Sepertinya proses pembangunan belum rampung. Lantai masih beralaskan semen, belum terlihat polesan apik seperti pada galeri umumnya. Namun di balik tersendatnya pembangunan galeri yang baru sekali mengadakan pameran lukis itu tercermin semangat kelokalan dalam bidang kebudayaan.

Nakula menceritakan keprihatinannya terhadap aktivitas kebudayaan di Kediri yang sangat minim apalagi kebudayaan yang bersifat kontemporer. Oleh karena itu dia bersama kawan-kawannya mempunyai mimpi kecil tentang aktifitas kebudayaan kontemporer di Kediri. Ya, hal yang sama dikatakan Arief Priyono yang juga Ketua Komunitas Canopy. Dia bekerja sebagai fotografer di kantor Berita ANTARA namun pekerjaannya di LKBN ANTARA dikurangi dan lebih banyak mengirim foto jurnalistiknya ke Daily Mail dan The Telegraph.

Arief menandaskan dengan bekerja menjadi kontributor foto untuk media asing, karena dengan seperti itu dia dapat memanfaatkan waktu yang lowong untuk membangun komunitas dan jejaringnya. Dia bilang hasil honornya mengirim foto ke Daily Mail misalnya, bisa untuk hidup selama enam bulan dan ongkang-ongkang kaki—maksudnya punya waktu lebih dan waktu lebih itu digunakan untuk membangun komunitas. Di samping itu honor yang dia terima juga cukup membiayai kebutuhan hidup sehari-hari termasuk uang belanja untuk istri dan kebutuhan anaknya yang masih berusia sekitar tiga tahun.

Tak terasa, waktu sudah menunjuk pukul 19.30. Acara utama yang dinantikan harus tiba, karena sudah molor 30 menit dari waktu yang telah dijadwalkan. Nakula sebagai moderator mempersilahkan kami memberi sedikit pengantar sebelum filem diputar. Mimik wajah sekitar 20 orang penonton terlihat antusias saat itu. Beberapa menit kemudian layar putih di sampingku berubah menjadi hitam, pandangan penonton beralih dan suasana menjadi khidmat. Para hadirin di sini terdiri dari berbagai kalangan, seperti komunitas film, komunitas fotografi, budayawan, seniman, wartawan dan fotografer profesional yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri. Tak hanya itu, kalangan pesantren pun diwakili oleh beberapa santri dari Pondok Pesantren Lirboyo yang kini mereka kuliah di Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri, yang juga merupakan bagian dari Pondok Pesantren Lirboyo.

Suasana pemutaran di Emti Galeri, Kediri

Setelah acara pemutaran dan diskusi selesai, kami diajak untuk kongkow-kongkow di sebuah warung lesehan di pusat kota, tepatnya di emperan pertokoan yang menjual panganan khas Kediri. Jenis panganannya sama saja dengan daerah lainnya di Jawa Timur, yaitu Pecel Tumpang. Namun pecel di Kediri mempunyai kekhasan sendiri dengan rasa yang lebih asam.

Malam kian pekat dan kami beranjak pulang. Kebetulan kami berdua menginap di rumah Arief Priyono bersama Nakula dan Fatur. Di rumahnya, sebelum kami tidur sempat sedikit ngobrol-ngobrol sambil membaca beberapa majalah, salah satunya majalah National Geographic. Lantas Arief dengan semangat bercerita tentang riset foto esainya yang akan dimuat di majalah National Geographic untuk edisi Natal 2012 nanti, yakni foto esai tentang Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Mojowarno Jombang Jawa Timur. Wah, kami kagum mendengar itu dan berharap bisa dimuat di majalah National Geographic. Kemudian Arief menceritakan dengan semangat tentang proyek itu sambil menyodorkan tiga buah buku resmi tentang Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang ia dapatkan dari gereja tersebut. Dari tiga buah buku itu dibahas hal-ihwal keberadaan GKJW dan perkembangannya. Malam sudah terlalu larut dan satu per satu tak kuasa menahan kantuk hingga pada gilirannya semua terlelap.

Esok paginya kami sudah siap-siap untuk berangkat menuju Malang untuk pemutaran film yang sama. Sebelum berangkat, kami diajak oleh teman-teman Komunitas Canopy untuk makan di sebuah warung nasi dekat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri. Setelah makan kami berdua siap-siap mengemas barang dan diantar menuju tempat pemberhentian bus menuju Malang. Tak perlu menunggu lama, bis PO Puspa Indah jurusan Kediri-Malang segera datang dan kami pun menaikinya. Tak lupa salam perpisahan dengan Nakula dan Fatur.

Di dalam Bus PO Puspa Indah Jurusan Kediri-Malang

Perjalanan yang ditempuh dari Kediri ke Malang kurang lebih tiga jam lamanya. Dalam suasana perjalanan yang khidmat kami benar-benar menikmatinya dan sesekali tertidur hingga akhirnya Bis PO Puspa Indah sampai di Kabupaten Malang tepatnya di daerah Ngantang. Bis melaju kencang dengan jalan yang mendaki-menurun dan berbelok-belok. Kami melihat juga keramian pasar dan sebuah waduk dari bukit. Waduk yang kulihat itu adalah objek wisata waduk Selorejo.

Selanjutnya, sampailah aku di Kecamatan Pujon. Tiba-tiba bus berhenti di tengah jalan. Seorang penjual makanan masuk ke dalam bis dan berbicara dalam bahasa Jawa yang sedikit kami pahami. Kurang lebih ia menjelaskan jalanan macet sedang macet yang lumayan panjang, karena ada karnaval bersih-bersih desa.

Tenyata benar, jalanan macet panjang sampai sekitar tiga kilo meter. Laju Kendaraan pun berjalan lambat terkadang berhenti lama. Di tengah-tengah kemacetan, Umam menyempatkan membeli susu pasteurisasi di sebuah depot penyedia susu murni & pasteurisasi di Pujon Malang yang berada persis di pinggir jalan raya. Harga satuannya Rp. 1000 terdiri dari beberapa pilihan rasa, seperti coklat atau strawberry.

Akhirnya bis yang kami tumpangi keluar juga dari jebakan kemacetan. Bis kembali melaju kencang hingga tiba di gerbang selamat datang Kota Wisata Batu. Sesampainya bis di Kota Batu—sebuah kota wisata  pegunungan – aku pun mengirim sms ke Oming, panitia lokal di Malang. Tapi sepertinya kami akan terlambat sampai, karena waktu sudah menunjukkan pukul 1.15  WIB sedangkan menurut jadwal acara akan dimulai pukul 02.00 WIB.

Bis terus melaju, menelusuri jalan-jalan Kota Batu sampai akhirnya tiba di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan turun di depan Masjid AR. Fachruddin kampus UMM. Aku segera kirim sms ke Oming untuk dijemput. Tak lama kemudian Oming datang bersama Eko yang akan mengurus kami selama di Malang. Kami berdua dibawa ke dalam kampus tepatnya ke sebuah aula pemutaran sambil melihat persiapan. Pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air dijadwalkan oleh panitia diputar pukul 15.00 WIB. Sambil menunggu persiapan pemutaran kami diajak oleh Deky—sesepuh Kineklub UMM untuk minum kopi. Deky datang di sela-sela persiapan pemutaran. Perkenalan kami dengan Deky diperantarai Oming dan Eko, karena rumah Deky akan jadi tempat kami menginap satu malam. Sekitar pukul 15.00 WIB acara pemutaran digelar dengan memutar film pembuka yang berjudul Kausa sebuah karya film untuk perhelatan Malang Film Festival 2013 baru kemudian filem Naga Yang Berjalan Di Atas Air.

Suasana Pemutaran di Kampus UMM, Malang

Tak terasa hari sudah berganti malam, kami pun diantar oleh Oming ke kosan Eko untuk menaruh barang-barang bawaan kami. Kemudian diajak makan malam di sebuah warung penjual tahu petis. Setelah makan malam, kami diajak nongkrong di sebuah Public House namanya Houten Hand. Kebetulan pemiliknya sudah akrab dengan Oming dan Eko. Separuh malam kami habiskan di sana dengan membahas banyak hal termasuk diperkenalkan dengan pemiliknya, Dony. Ia begitu ramah dan supel. Menurut Oming, Mas Dony itu punya kemahiran dalam membaca bahasa tubuh dan mimik orang karena dia pendengar yang baik. Kemampuan ini dia dapat dari setiap pengalamannya berinteraksi dengan orang dan mendalami karakter orang yang curhat kepadanya.

Mas Dony juga sangat mempersilahkan jika suatu saat nanti kami datang lagi dan tentunya membawa sebuah agenda, semisal bedah buku (yakinku dalam hati). Sontak, kami terpikir untuk menawarkan kepadanya menggunakan Houten Hand sebagai tempat acara bedah puisi yang akan dibukukan oleh teman-temanku nanti.  Selepas ngobrol ngalor ngidul di Houten Hand kami pun pamit kepada Dony di lantai dasar diiringi sebuah nomor lagu dari Cocorosie yang disetel di tempat itu.

Usai nongkorng di Houten Hand kami diantar pulang ke rumah Deky untuk istirahat. Sesampainya di sana Deky mempersilakan kami dan Eko untuk membuat kopi. Ia juga menyajikan buah mangga yang sudah di potong-potong. Kami pun membaca buku-buku di rumahnya, seperti sebuah buku yang merangkum foto-foto perjuangan kemerdekaan terbitan Indonesian Press Photo Forum tahun 1976 dan sebuah ‘buku babon’ tentang fotografi—Magnum.

Paginya sekitar jam 10-an kami berangkat diantarkan Eko dan Oming ke Terminal menuju Jember, kota terakhir pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air. Kami tak perlu menunggu lama datangnya bis. Tapi bis yang kami naiki penuh dengan penumpang. Sebagian besarnya adalah mahasiswa yang liburan hari raya Idul Adha 1433 H. Waktu tempuh dari Malang menuju Jember diperkirakan sekitar empat jam namun ternyata untuk sampai di sana memakan waktu sekitar lima jam.Selama perjalanan hamparan perkebunan kami lihat di sisi kanan dan kiri. Mulai dari perkebunan tebu, karet, pohon jati dan kopi. Sedangkan untuk perkebunan kakao kami temui tatkala melintasi daerah pedalaman Jember.

Tiba di Jember saat maghrib, tepatnya pukul 17.30. Aku dijemput di perempatan lampu merah setelah menaiki angkot dari terminal Tawang Alun Jember oleh Muhammad Qomaruddin yang akrab disapa Qomar atau Como. Kami langsung dibawa ke markas Komunitas Tikungan yang tidak terlalu jauh dari perempatan tersebut. Ternyata di Jember sudah ada Lulus Gita Samudra yang sampai terlebih dahulu karena untuk urusan monitoring dan evaluasi program Rekam Media akumassa di Jember.

Sesampainya di markas Tikungan kami melepas lelah selama perjalanan. Awalnya lumayan canggung dengan teman-teman Komunitas Tikungan, namun esoknya kami sudah akrab. Pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air akhirnya digelar di sebuah coffee shop yang dihadiri sekitar 25 orang. Selepas diskusi setelah pemutaran kami langsung kembali ke markas Komunitas Tikungan.

Suasana Pemutaran di Jember

Bahasa Filem Naga Yang Berjalan Di Atas Air

Secara keseluruhan pemutaran filem Naga Yang Berjalan Di Atas Air dalam rangka roadshow di empat kota di Jawa Timur bisa dibilang sukses. Tak ada kendala apa pun yang berarti, kecuali hal-hal kecil seperti kedatangan kami yang sedikit terlambat di Kota Malang. Namun menarik untuk mengingat kembali saat-saat sesi diskusi di empat kota tersebut setelah pemutaran. Karena respon penonton, baik yang mengkritik, bertanya, atau memberi apresiasi akan menjadi pegangan yang berharga bagi kami untuk terus belajar.

Dapat kami simpulkan, umumnya para penonton banyak yang ingin mengetahui persoalan konsep dan teknifikasi pembuatan filem itu. Secara konsep dalam benak penonton umumnya memberi rasa penasaran pada ide sekenario dan statmen tim produksi terhadap panjang durasi dalam shoot, juga persoalan isi pesan yang ingin disampaikan. Dalam perihal teknis, banyak penonton yang juga member rasa penasaran terhadap, lighting, jumlah anggaran, maupun metode pendekatan terhadap keluarga Kang Sui Liong.

Kemudian salah satu komentar yang cukup kami ingat adalah dari salah satu penonton di Kediri. Komentarnya begini, “Berbicara bahasa visual film dokumenter dan film pada umumnya, kalau kita bicara artistik kita bicara tentang kenyamanan, kalau kita bicara tentang dokumenter kita berbicara tentang alur informasi yang ingin disampaikan lepas dari konsep masing-masing. Menurut sudut pandang saya,  materinya menarik namun membingungkan apa yang ingin diangkat dalam film ini. Apakah keragamannya? kalau menurut saya jika keragamannya yang ingin diangkat kurang berhasil.  Kemudian kalau kita bicara tentang suatu komunitas di kota yang urban, itu juga komparasinya kurang, nggak ada komparasi. Jadi menurut saya, ini di desa tidak ada istimewanya seperti kita lihat desa-desa lain.  Mungkin bisa ditampilkan komparasi secara visual yang menjelaskan bahwa desa ini berada di tengah-tengah kota. Berbicara mengenai alur cerita,  ketika sudah berada di tengah tadi, ketika Koh Liong bicara tentang kehidupan pribadinya, istrinya,  keluarganya, tentang dia mengurus kelenteng karena bisikan sesuatu,  menurut saya alur ini sudah memuncak dan asik. Namun setelah itu rasanya mentah lagi. Terlepas dari teknik ini kita berbicara tentang rasa, kalau kita bicara film apapun yang dibuat secara artistik mempertimbangkan kenyamanan yang ingin kita suguhkan. Kemudian bicara visi dan misi film ini berpengaruh pada proses pembuatannya, karena konsepnya sedikit asing, mungkin film ini tidak untuk kalangan awam?  Saya bercerita dari rasa yang saya dapatkan setelah menonton film ini.”

Semua pertanyaan itu kami jawab secara bergantian. Kurang lebih kami menyajikan perspektif lain tentang bahasa filem dokumenter sesuai pemahaman kami. Sejauh ini kebanyakan orang mengenal bahasa filem dokumenter selalu merujuk pada karya-karya dokumenter televisi. Kemudian kami mencoba mengekperimentasikannya dengan cara yang lain.

Akhirnya, pada hari minggu kami sepakat untuk berplesir ke pantai Tanjung Papuma.  Plesiran ke Tanjung Papuma menutup rangkaian kami selama ke Jawa Timur. Tentunya suasana pantai membuat kami larut dalam suka cita. Kegiatan foto-foto bersama seakan merenovasi otak kami yang bebal. Selama plesiran kami juga dihidangkan ikan bakar dalam porsi besar dan acara makan-makan menjadi pengalaman yang tak terlupakan bersama kawan-kawan dari Komunitas Tikungan seperti Qomar, Nodi, dan Hari.

Tempat wisata Pantai Tanjung Papuma, Jember

Tentunya kerinduan untuk kembali lagi seakan janji prasetya dalam hati dan suatu saat nanti kami akan kembali ke Jember. Pada esoknya hari Senin, 29 Oktober 2012 kami bertiga kembali ke Surabaya untuk kembali ke Jakarta. Tapi namun sebelumnya mampir ke Kinetik untuk menginap di sana. Kami bertiga bertolak dari Surabaya pada Selasa malam menuju Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya menumpangi pesawat komersil dan tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng pada jam setengah sebelas malam. Tabik.

About the author

Avatar

Mufti Al Umam

Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Juli 1990. Ia kuliah di UIN Syarif Hidayatullah konsentrasi Ilmu Jurnalistik. Ia juga giat menjadi fotografer lepas dan aktif di Komunitas Djuanda.

1 Comment

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.