Pada Rabu, 21 Februari 2018, Komunitas Gubuak Kopi (Solok, Sumatera Barat) bekerja sama dengan Forum Lenteng (Jakarta) akan menggelar kegiatan “Peluncuran dan Bedah Buku – Sore Kelabu di Selatan Singkarak”, karya Albert Rahman Putra, di Galeri Kubik Koffie, Kota Padang, Sumatera Barat, pukul 19.30 WIB. Buku kumpulan tulisan ini diterbitkan oleh Forum Lenteng (Jakarta), menghadirkan 11 (sebelas) tulisan tentang situasi sosial-budaya dan lingkungan di sekitaran Danau Singkarak, Solok, Sumatera Barat, yang diobservasi oleh penulis sejak tahun 2015 hingga 2017.
Kumpulan tulisan ini merupakan output dari Program AKUMASSA Bernas yang digagas oleh Forum Lenteng, sebuah lembaga egaliter non-profit yang fokus di bidang sosial dan budaya, terutama produksi dan distribusi pengetahuan tentang media, sinema, dan kesenian. AKUMASSA Bernas adalah pengembangan dari PROGRAM AKUMASSA, yakni sebuah program yang khusus menaruh perhatian pada isu pendidikan dan pemberdayaan media berbasis komunitas, membingkai persoalan-persoalan sosial-budaya masyarakat melalui perspektif warga, dan aktif menyelenggarakan berbagai lokakarya bersama komunitas-komunitas lokal di berbagai daerah untuk memproduksi pengetahuan lokal yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Sebelumnya, Forum Lenteng dengan PROGRAM AKUMASSA-nya juga telah menerbitkan buku, berjudul Kajian Terhadap Sajian Informasi Media Massa Lokal Melalui Lima Kategori Isu (Good Governance, Hak Asasi Manusia, Perempuan dan/atau Anak, Kriminalitas, dan Lingkungan Hidup) dari Perspektif akumassa (Jakarta: Forum Lenteng, 2013), yang diproduksi lewat proyek penelitian Rekam Media: Pemantauan Media Berbasis Komunitas, bekerja sama dengan 10 orang warga yang didorong menjadi peneliti/pemantau/pengulas isi berita media massa.
Dalam buku kumpulan tulisan berjudul SORE KELABU DI SELATAN SINGKARAK ini, Albert merekam fragmen-fragmen kejadian dan kisah yang bergulir di sekitaran Danau Singkarak. Albert mengamati situasi ini sejak tahun 2010 yang kemudian dibingkai ke dalam 11 tulisan. Isu-isu tersebut antara lain tentang kondisi liungkungan, peseteruan warga, keberadan tambang dan dampaknya pada situasi sosial masyarakat, kebijakan dan respon pejabat pemerintah, serta jalur dagang warisan kolonial melalui penelusuran sejumlah arsip sejak tahun 1818.
Kegiatan peluncuran buku ini juga menghadirkan dialog bersama Direktur PROGRAM AKUMASSA, Otty Widasari (seniman, penulis, kurator) editor buku; Ketua Gubuak Kopi, Albert Rahman Putra (pegiat budaya dan kurator) selaku penulis; serta Esha Tegar Putra (penulis/kritikus sastra) selaku pembahas. Diskusi tentang buku ini akan dimoderatori oleh Andini Nafsika (penyair dan pegiat sastra di Shelter Utara, Padang).
***
Keterangan Buku:
akumassa Bernas #1
Albert Rahman Putra
Sore Kelabu di Selatan Singkarak
© Forum Lenteng
Cetakan pertama, Februari 2018
xiv + 132 hlm; 14,8 x 21 cm
ISBN: 978-602-71309-6-8
Penulis: Albert Rahman Putra
Esai Pengantar: Otty Widasari
Editor: Otty Widasari & Manshur Zikri
Perancang Buku: Andang Kelana
Foto Esai & Sampul: Albert Rahman Putra
Dicetak oleh GAJAH HIDUP
Keterangan Sampul Belakang:
Di tepian barat Danau Singkarak, perkampungan terhubung dangan jalur-jalur kecil antardesa dan ke jalur utama yang merupakan warisan kolonial. Tidak ada kapal-kapal besar yang mampu mengangkut ratusan orang seperti yang pernah diceritakan Raffles, tidak ada pula pelabuhan Saniangbaka yang dulu menjadi jalur perdagangan utama masyarakat Minangkabau, jauh sebelum Eropa masuk tahun 1818. Kini, hanya para nelayan yang setiap hari melintasi perairan danau, di samping kapal wisata yang hilang timbul, atau kapal patroli yang kesulitan bensin. Tepian danau itu kini dihuni oleh banyak rumah dan kedai yang seakan mengapung di bibir danau; diisi oleh sebagian besar warga pebukitan timur danau, dari Simawang hingga Aripan.
Kisah-kisah tentang Danau Singkarak itu kini muncul dari sampah-sampah yang mengapung di perairan, dari ruang-ruang kedai yang tak berizin, dari kapal-kapal yang sesekali melintas, dari nelayan-nelayan yang acuh tak acuh, dari kegelisahan-kegelisahan warga yang sudah terbiasa maklum dan tak jarang waswas, beriringan dengan sejumlah tanya tentang keterlibatan pemilik perusahaan dan para pejabat di dalam penataan ruang dan keasrian danau yang krisis pengelolaan dan keindahan. Mengamatinya secara intim sejak 2010, lima tahun kemudian Albert Rahman Putra mulai merekam fragmen-fragmen kejadian dan kisah-kisah yang bergulir di seputar danau itu, tentang kondisi lingkungannya, kerusakan jalan yang mengitarinya, perseteruan warga di sejumlah desa sekelilingnya, keberadaan perusahaan tambang di dekatnya, respon pejabat lokalnya, juga sejarah tentang jalur dagang warisan kolonial.
Buku ini adalah adalah kumpulan tulisan berupa refleksi seorang warga lokal yang berusaha melakukan otokritik terhadap masyarakatnya sendiri; membayangkan dampak-dampak yang akan datang duapuluh atau tigapuluh tahun lagi dari peristiwa-peristiwa yang nyata terjadi pada masa sekarang di sekitar Danau Singkarak.