Bulan kedua ini akan segera berakhir. Tinggal menghitung hari, libur panjang ini akan usai. Aku masih menunggu matahari yang belum nampak hingga kini menjelang siang. Mendung, seketika hujan turun dengan derasnya tanpa aba-aba rintikan air di kulit ini. Rasa dingin terasa begitu mengilukan. Aku melihat orang-orang di sekelilingku mengenakan jaket tebal dan mantel serta payung yang melindungi tubuh mereka. Tanpa itu semua, aku bersandar pada dinding putih sebuah rumah mungil yang bersebelahan dengan Masjid Agung Al-Jihad. Berada di sini kembali dalam nuansa berbeda. Mungkin hanya sebuah kebetulan belaka, hanya untuk sekedar berteduh karena aku sedang melintasi jalan ini. Terdapat sebuah kantor pos yang berwarna jingga, terdengar langkah yang semakin dekat, seperti langkah seseorang yang mengenakan sepatu pantofel. Suara itu semakin dekat seakan menghampiriku. Waktu itu tepat pukul 08.40 WIB, aku masih sangat mengingatnya, masih terlalu pagi untukku bangun pada hari libur kuliah, terlebih pada musim hujan yang belum berakhir. Tapi nyatanya pagi itu aku sudah bermandikan air hujan.
Hmm…. tersenyum dengan sumringah, itulah yang aku lakukan ketika melihat sosok seorang pria tua yang berusia 82 tahun sudah ada di sebelahku. Bahuku ditepuknya dengan sangat pelan. Suaranya yang lembut sesuai dengan parasnya yang sayu itu mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam ruangan rumah itu. Ternyata kakek ini tidak sendiri, ia ditemani oleh beberapa kerabatnya. Di tubuhnya melekat baju warna hijau zaitun lengkap dengan printilan atribut kebesarannya. Biasanya aku hanya bertemu dengan Pak Halim saja, namun kali ini ruangan ini ramai oleh rekan sejawatnya. Corak batik yang sangat indah, seakan aku mengenali dari mana motif batik itu dibuat, setidaknya itu yang aku rasakan ketika melihat salah satu rekannya mengenakan batik bercorak batik Solo.
Hujan semakin deras, aku dapat merasakan dari bunyinya yang terdengar dari genting rumah, sembari melongok ke pintu, hujan memang terlihat semakin deras. Ini bukanlah pertama kalinya aku berkunjung ke rumah ini. Sebelumnya, aku pernah berkunjung ke tempat ini, tepatnya ketika workshop akumassa akan segera dimulai. Sambil mengelap tubuhku yang basah menggunakan tisu aku memandang ke sudut-sudut ruangan itu. Tidak ada suasana yang berubah dari rumah ini. Masih sama seperti beberapa waktu silam aku berada di rumah ini, dan duduk di bangku yang sama aku duduki saat ini sebagai tamu. Terdapat foto-foto mereka pada tiap sudut ruangan dengan mengenakan seragam sipil tercinta mereka yang berwarna hijau tua kebiru-biruan dan pin kecil berbentuk bendera merah putih pada topi mereka. Terlihat gagahnya mereka di foto-foto itu. Senyumku semakin lebar melihatnya. Sangat tampan dan gagah (membayangkan mudanya). Mereka adalah orang-orang hebat yang pernah aku temui.
Tak lama kemudian kakek itu membawakan secangkir teh hangat ke hadapanku. Terasa sangat hangat ketika meneguknya pertama kali, aromanya segar. Manisnya pas sekali dengan teh yang sering ibuku buatkan untukku.
Pak Halim namanya, ia adalah seorang kakek tua yang mengabdikan dirinya sebagai pejuang ketika masih muda hingga kini ia berusia 82 tahun. Ya… dan rumah ini adalah kantornya bersama dengan kerabat-kerabatnya bekerja. Kantor pejuang veteran. kantor yang terlihat kecil dan seperti toko dari luarnya, namun memiliki arti yang sangat dalam bagiku ketika berada di dalamnya. Dalam ruangan inilah Pak Halim menceritakan asal muasal Kota Ciputat beserta sejarahnya yang abadi kepadaku. Ciputat yang kini menjadi kota urban. Pak Halim tinggal tidak jauh dari kantornya, bisa ditempuh 25 menit dengan berjalan kaki. Pak Halim bekerja di kantornya mulai jam 07.00 WIB sampai dengan 15.00 WIB. Raut wajahnya menunjukan ia tampak terlihat sangat letih, mungkin karena para pejuang veteran sedang banyak kegiatan bulan ini. Seingatku mereka memang sedang banyak kegiatan bersama Pemuda Panca Marga.
Pak Halim memulai pembicaraan denganku. Ia bertanya bagaimana keadaanku dan teman-temanku di Komunitas Djuanda, tepatnya seusai screening akumassa Ciputat berakhir, karena pada moment itulah menjadi pertemuan terakhirku dengannya, sebelum aku berkunjung ke kantor veteran seperti saat ini untuk sekadar silaturahmi meski tidak direncanakan sebelumnya. Kakek ini sungguh membuatku merasa terharu setiap kali melihatnya. Kepeduliannya terhadap orang-orang di sekitarnya bahkan aku yang belum lama dikenalnya sudah sangat dekat. Pak Halim, aku memanggilnya kakek karena sering kali dia menyebut dirinya kakek ketika berbicara denganku, mungkin juga dengan orang lain, adalah seorang kakek dengan pola hidup sehatnya yang pernah aku temui. Tidak merokok, tidak minum kopi, makan sayuran, rapi dan cekatan. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari yang pernah aku lihat sebelumnya namun tetap nampak sehat dan baik-baik saja, setidaknya itulah yang aku lihat. Inilah hal yang paling aku suka, mungkin aku nanti-nantikan, yaitu ketika Pak Halim bercerita tentang perjuangannya ketika ia masih muda dan menjadi pejuang 45. Aku sangat suka mendengarnya bercerita tentang hal itu, karena aku tidak pernah mendapatkan cerita seperti itu dari kakekku yang sama sepertinya, menjadi pejuang veteran. Masa penjajahan kompeni Belanda dan penjajahan Jepang selalu menjadi perbincangan hangat ketika aku bertemu dengannya.
Bertempur melawan penjajah hanya dengan menggunakan bambu runcing dan kawat berduri yang dipasangkan pada arena pertempuran lawan, sedangkan pahlawan Indonesia diserang dengan senjata senapan dan granat. Sungguh tidak seimbang, mana mungkin bambu runcing dan kawat berduri dapat mengalahkan lawan yang bertempur dengan menggunakan senapan, granat, pistol dan senjata api lainnya, tapi itulah kenyataannya. Teringat pada nuansa ketika masih menjadi pelajar di bangku sekolah dasar, saat belajar IPS, cerita itu semakin jelas dalam pemaparan sejarah G 30 S PKI di bangku SMP dan SMA, mungkin juga di bangku kuliah bagi yang mengambil jurusan sejarah. Tapi kali ini aku sedang tidak mendengar cerita itu semua dari guru sejarah maupun dosen. Seperti mendapat dongeng sebelum tertidur lelap dari sosok seorang kakek yang berhati lembut. Aku mendapatkan semua cerita itu langsung dari pelaku sejarah terdepan di kota yang kujejaki, seorang pria tangguh yang sedang menceritakan perjuangannya ketika berjuang melawan penjajah. Ciputat memang bukan tempat pertempuran melawan penjajah, tapi Ciputat adalah tempat hasil pengurasan besar-besaran hasil bumi oleh kompeni demi kelangsungan hidup mereka, namun penduduk Ciputat harus mengalami hidup terpontang-panting dan kelaparan di wilayah mereka sendiri. Bahkan hasil panen mereka pun di rampas begitu saja oleh kompeni. Tragissss….
Pak Halim kembali menceritakan bagaimana ia menanggung beban hidup saat itu, di sisi lain ia berjuang melawan penjajah. Ketika itu dia hampir tertembak senapan panjang dari bidikan kompeni, namun ia berhasil menyelamatkan diri. Peperangan melawan penjajah berlangsung dalam jangka waktu yang tidak singkat, memakan waktu berhari-hari untuk menundukan kompeni yang selalu berucap god verdomme!
Pusat pertempuran yang terjadi antara pejuang Ciputat dan sekitarnya bertempat di jembatan Pasar Jumat. Di jembatan itulah kawat berduri dipasangkan oleh Pak Halim dan pejuang lainnya, beberapa bambu runcing ditancapkan di sekelilingnya. Kompeni datang dengan mesin baja mereka yang mengangkut banyak senjata, sedangkan pejuang 45 sudah bersiap siaga bertempur. Pak Halim, matanya menatapku seperti ingin meyakinkan keadaan perang tempo itu, suaranya tertekan menahan emosi jiwanya yang membawanya pada masa itu, bercerita satu demi satu teman-teman sesama pejuang yang mati terkena peluru. Pak Halim teringat masa-masa itu, di mana ia bertempur melawan kompeni dengan bambu runcing di tangannya. Teringat bagaimana ia menusuk jantung kompeni dengan sebilah bambu runcing, teringat ketika ia mengepalkan tangannya ke atas dan berucap ‘Merdeka!’. Kini aku melihatnya, sosok seorang pejuang yang berucap ‘merdeka’ di hadapan ku. Saat ini ia memperlihatkan semangat juangnya ketika itu. Aku terkesima. Serentak diriku tercengang mendengar pemaparan kakek serta melihat ekspresinya.
Sssrruuuppptt…. aku kembali meneguk tehku yang tinggal setengah cangkir, masih terasa sedikit hangat meski sudah terdiamkan setengah jam lamanya. Hujan pun belum juga reda. Di kantor Komunitas Djuanda pasti masih sepi, jadi tidak ada salahnya aku berlama-lama di kantor pejuang veteran bersama Pak Halim dan kerabatnya, mendengar cerita-cerita lainnya dari mereka. Barangkali mereka sungguh ingin mendongeng untukku. Aku tertegun ketika melihatnya membaca sebuah surat. Entah surat apa yang dibacanya. Tanpa sebuah kacamata ia masih dapat membaca tulisan surat itu dengan jelas. Ternyata Pak Halim memang tidak membutuhkan kacamata untuk membaca. Ia berkata padaku kalau dirinya masih dapat membaca tulisan tanpa harus menggunakan kacamata. Di meja kerjanya terdapat beberapa surat dan buku besar yang digunakan sebagai buku absen mereka. Nama Halim selalu menjadi nama yang ada pada bagian teratas pada angka satu, entah, mungkin karena harus nama komandan yang berada paling awal atau karena Pak Halim selalu menjadi orang terrajin di kantor sehingga selalu datang lebih dulu dari veteran lainnya.
Pada awal Januari lalu Pak Halim beserta seluruh pejuang veteran lainnya baru saja mengikuti upacara perayaan Hari Ulang Tahun Legiun Veteran. Segala cerita ditumpahkannya di hadapanku termasuk rasa lega dan harunya karena adanya perkumpulan Pemuda Panca Marga yang merupakan perkumpulan anak atau cucu dari para pejuang veteran yang melanjutkan perjuangan mereka bila mereka sudah tidak ada nanti. Pemuda Panca Marga tidak hanya ditujukan untuk anak atau cucu para pejuang veteran saja melainkan juga dari kumpulan pemuda yang peduli terhadap nasib bangsa ini, itulah yang dipaparkan oleh Pak Halim padaku. Jumlah pejuang veteran yang berada di kantor cabang Ciputat kini berjumlah 43 orang. Baginya saat ini, ia lebih cenderung melihat pergolakan kaum muda bersifat acuh, yang terbawa pada gaya kekinian meskipun tidak dipungkiri masih banyak pemuda yang peduli terhadap nasib bangsa ini. Aku kembali terharu ketika ia kembali menepuk bahuku dengan pelan sembari berkata, “Apa yang kamu lakukan saat ini bersama dengan teman-teman Komunitas Djuanda adalah wujud pemuda yang peduli terhadap bangsa ini. Teruskan, Nak.”
Tidak sedikit orang seperti Pak Halim, namun kepeduliannya yang sangat besar memberikan kepercayaan yang besar bagi masyarakat sehingga ia terpilih menjadi Komandan Veteran. Pada awalnya ia sama sekali tidak menyangka jika dirinya akan dipilih sebagai Komandan Veteran Ciputat, sedangkan menurutnya masih ada orang-orang yang lebih pantas darinya. Namun ia memegang kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan sikap bijaksana. Ketika peperangan melawan penjajah berakhir, Pak Halim kembali menjadi dirinya yang semula, menjadi seorang rakyat jelata yang bekerja sebagai petani dan pedagang dan menjadi tulang punggung bagi keluarganya.
Pak Halim dan pejuang lainnya telah berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, dan saat ini adalah waktu untuk kita mempertahankan kemerdekaan, setidaknya itulah yang diucapkan Pak Halim kepadaku saat itu. Menjaga keutuhan adalah bagian tersulit ketika telah berhasil mendapatkan keutuhan tersebut. Sejarah adalah sebagian dari massa dan saat ini kita berada di dalamnya. Sehebat apapun manusia, secerdas apapun dirinya, dan sekaya apapun materi yang dimiliki tidak akan luput dari sejarah yang membawa kita pada masa kini. Pak Halim mengantarkan kita pada suatu massa yang tidak kita rasakan namun kita dapat merasakannya melalui cerita-ceritanya.
Menarik…
Tulisan ini sebagai salah satu bentuk kepedulian kepada para pejuang. Tentu juga, memotivasi kita generasi penerus bangsa ini untuk mengisi kemerdekaan dengan baik dan mengambil ibrah dari perjuangan-perjuangan para pahlawan tersebut.
Bangsa ini telah melupakan makna perjuangan dan kemerdekaan. mengisi kemerdekaan bukan sebuah tugas, tapi kewajiban. bangsa ini masih berada dalam penjajahan…… tidak denagn senjata tapi dengan Fikiran….. kita terhadang tembok kekhawatiran apa kita mampu tau tidak sehingga banyak yang kemudian mengabdikan diri kepada penjajah Kapitais….. Merdeka.. teriakkan dengan lantang!!!!
“Apa yang kamu lakukan saat ini bersama dengan teman-teman Komunitas Djuanda adalah wujud pemuda yang peduli terhadap bangsa ini. Teruskan, Nak.”
terimakasih Pak Halim, Terima kasih Anggi…
terharu….
mantap… hidup mandol balet.. lanjutkan…
D.A.P.N i love u laaah!
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para jasa pahlawannya…,semoga para pemuda sadar akan arti menghargai jasa para pejuang terdahulu
menitis airmata ini baca artikel tentang para pejuang 45,mereka rela melepas nyawa hanya utk sebuah kalimat”MERDEKA”,mengorbankan segalanya.tp apa yg dilakukan pemerintah saat ini hanya membuat para pejuang 45 sedih dan merana.
saya sangat memberikan apresiatif kepada anak muda yang memberikan waktu dan pengabdian bagi bangsa dan negara melalui sejarah perjuangan bangsa…tetap mengabdi dalam bentuk apapun Tuhan selalu memberkati