Jurnal Kecamatan: Menteng Kota: Jakarta Pusat Provinsi: DKI Jakarta

Pahlawan Budaya?

Bangku Taman turut menghibur pengunjung di TIM
Avatar
Written by Lulus Gita Samudra
Pada 10 November 1945 silam, bumi Indonesia khususnya Surabaya banjir darah. 16.000 pejuang gugur di medan perang sebagai pahlawan. Menurut sejarah, inilah pertempuran terberat rakyat Indonesia melawan penjajah setelah proklamasi. Sehingga, setiap tanggal 10 November diperingati Hari Pahlawan.

Gambar peristiwa 10 November, tentara Britania India menembak pasukan runduk Indonesia (doc; wikipedia)

Sekarang, dalam tanggal yang sama di tahun 2011, aku sedang menghirup udara kemerdekaan di Jakarta. Semua ini berkat perjuangan para pahlawan kemerdekaan, khususnya arek-arek Surabaya diantaranya Bung Tomo.

Semangat kepahlawanan juga masih bisa kulihat hari ini, seperti yang tertulis di Republika.co.id. Ratusan sopir dan pengguna jalan di Jalur Pantura Kota Rembang, Jawa Tengah, mengheningkan cipta sejenak di kawasan Tugu Lilin untuk memperingati Hari Pahlawan. Acara ini dipimpin Kaur Bin Ops Satuan Lalu Lintas Polres Rembang Iptu Roy Irawan. Dikabarkan acara berlangsung dengan khidmat meskipun di bawah guyuran gerimis.

Lebih menarik lagi di Surabaya para siswa-siswi SD, SMP, dan SMA Sekolah Kemala Bhayangkari mengadakan pesta kostum pahlawan di sekolahnya. Acara ini memang diadakan pihak sekolah. Menurut kepala sekolah SMA tersebut, para pengajar berharap semangat nasionalisme bisa tertanam di sanubari para siswa-siswi. Berita ini aku baca di okezone.com.

Selain dua peristiwa menarik di atas,aksi demonstrasi di beberapa kota juga menghiasi peringatan hari pahlawan tahun ini. Salah satunya aksi long march di Jakarta. Aksi ini dilakukan oleh 500 veteran perang yang merasa ditelantarkan Negara. Mereka hanya menuntut kesejahteraan untuk para veteran perang.

Aku khawatir, jangan-jangan Hari Pahlawan tidak terlalu bermakna bagiku. Mungkin aku kurang bersyukur atas kemerdekaan yang aku rasakan. Mungkin juga karena aku tidak mengalami perjuangan yang sebenarnya. Karena para penjajah sudah pergi sejak puluhan tahun yang lalu.

Busyro Muqoddas berpidato di depan pengunjung.

Akhirnya, di Hari Pahlawan ini, justru aku menghadiri pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) bersama temanku, Ageung. Acara ini diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Sebetulnya acara ini terdengar menyimpang dari momen hari pahlawan. Tapi aku merasa tertarik menghadirinya, karena ketua KPK yang baru, Busyro Muqoddas akan jadi pembicaranya.

Adibyo membacakan puisi yang diiringi musik dari aktivis Club SPEAK di depan para pengunjung.

Sesampainya disana kami disambut sebuah puisi dari Adibyo yang aktif di Bengkel Theater Rendra. Pembacaan puisi sambil diiringi alunan musik klasik dari Club SPEAK (Suara Pemuda Anti Korupsi) menjadi sangat bersahaja. Kemudian kami juga di hibur oleh band indie asal Yogyakarta, Bangku Taman. Mereka menyanyikan enam buah lagu, salah satunya hits berjudul Ode Buat Kota.

Bangku Taman turut menghibur pengunjung di TIM.

Setelah hiburan-hiburan itu Busyro Muqoddas pun naik ke atas podium yang sudah disediakan untuk menyampaikan pidato berjudul “Paguyuban Koruptor Polusi Budaya”. Dalam pembukaan pidato ia mengungkapkan rasa canggungnya. Menurut Busyro yang selama ini bergelut dalam bidang hukum merasa tidak pantas berpidato kebudayaan. Namun ia memenuhi permintaan ini demi keutuhan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Akhir-akhir ini KPK memang sedang gonjang-ganjing. Sebagian anggota dewan malah berpendapat agar KPK dibubarkan Ia mengatakan, “Para pengumbar syahwat hewaniah menuduh KPK sebagai teroris.”

Dalam pidato itu ia menjelaskan bahwa rumah tangga kenegaraan Indonesia itu kumuh. Seperti Lembu Peteng (tidak jelas status bapak dan ibunya). Hal ini disebabkan adanya ideologis pragmatis hedonis di kepala para politikus bangsa yang merujuk pada praktik politik uang. Sehingga bibit, bebet, dan bobot dalam pengkaderan partai politik  didasari dari keahliannya untuk mencuri.

Busyro juga menjelaskan bahwa dalam tiga pilar politik di Indonesia sesungguhnya saling dukung-mendukung dalam mencuri. Mulai dari anggota DPR yang mencla-mencle membuat peraturan, menteri yang menjadi mesin ATM bagi parpol, dan yudikatif yang mandul dalam menegakkan hukum.

Menurutnya Pilkada adalah ladang politik paling rawan korupsi. Karena banyak cukong yang mendanai kampanye para calon pemimpin. Hal ini sebetulnya melemahkan kekuatan para calon, karena mereka dituntut untuk balik modal.

“Untuk apa uang dari cukong itu? Tentu untuk menyogok rakyat agar dipilih,” kata Busyro.

Ia juga menambahkan, “Sesungguhnya para politikus itu secara sengaja telah mengajarkan rakyat untuk korupsi.”

Busyro berpendapat dampak panjang yang paling bahaya dari budaya politik uang adalah sebuah persepsi bahwa korupsi akan menjadi perilaku yang wajar dan sehat.

Kemudian ia bercerita suatu peristiwa ketika ia menginterogasi hakim yang membebaskan Gayus Tambunan. Awalnya koruptor tersebut tidak mengaku. Setelah didesak ia pun mengaku tentang aliran dana itu. Koruptor tersebut mengaku mengantongi uang sebesar lima puluh juta. Alasannya, uang itu akan dipergunakan sebagai biaya tambahan ibadah umroh.

Sambil tertawa Busyro mengatakan, “Sungguh keterlaluan, pejabat tersebut telah mempecundangi Tuhan dengan menyogok Nya.”

Kondisi Negara ini dalam praktik budaya korupsi memang sudah memasuki tahap yang memperihatinkan. Karena Busyro juga menjelaskan, semua lini sudah terlibat dalam praktik korupsi berjamaah. Termasuk polisi dan pengacara yang saling bekerjasama untuk menghapus Berita Acara Perkara (BAP).

“Bahkan para agamawan pun sudah menyembah uang,” tambahnya.

Ia berharap agar masyarakat terus mendukung KPK. Karena KPK tidak bisa berjuang sendirian. Ia juga berharap harus ada kesadaran di pemerintahan bahwa budaya bangsa Indonesia sudah terpolusi oleh praktik paguyuban korupsi.

Sebagai penutup Busyro mengungkapkan, di hari pahlawan ini masyarakat harus berjuang melawan korupsi. Menurutnya pendukung anti korupsi adalah pahlawan kebudayaan dan pendukung korupsi adalah musuh budaya. Ia juga mengatakan perang melawan korupsi adalah jihad paling akbar.

Setelah pidato itu ditutup, aku dan Ageung beranjak pulang. Sepanjang perjalanan kami diskusi ringan tentang isi pidato tersebut, sehingga kami menemukan makna perjuangan di hari pahlawan ini. Pendapatku musuh bangsa Indonesia kali ini adalah praktik korupsi yang sudah membudaya. Sebagai anak muda aku merasa harus semangat melawan musuh budaya, selayaknya arek-arek Suroboyo mengusir penjajah. Sesampainya di rumah aku merasa bersyukur atas udara kemerdekaan yang aku hirup selama ini. Terima kasih wahai pahlawan.

About the author

Avatar

Lulus Gita Samudra

Lulus Gita Samudra telah menyelesaikan studi Strata Satu-nya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Pria kelahiran Jakarta tahun 1989 ini, juga turut aktif di Forum Lenteng sebagai Sekretaris Redaksi akumassa.org. Sebelumnya ia pernah mengikuti workshop akumassa Depok pada tahun 2011. Kini ia sedang membangun sebuah komunitas berbasis massa di Depok, bernama Suburbia.

3 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.