Kenapa hanya karena pemilihan kepala desa, orang tua di rumah sampai terus menelepon berulang-ulang begitu? Aku penasaran! Setelah beberapa kali dapat telepon dari rumah, akhirnya aku temukan jawabannya, “Salah siji calone, Pak Sukino, iseh sedulur karo awake dewe,” (Salah satu calonya, Pak Sukino, masih saudara kita) begitu kata Bapak. “Ohhhh….,” kataku singkat saja tanpa berkomentar.
Setelah melewati satu malam, esok paginya aku sudah mulai melihat deretan sawah, rumah-rumah sederhana, pekarangan yang asri, delman-delman dan becak-becak yang berjajar disetiap pasar yang aku lewati, dan yang pasti tidak ada gedung yang menjulang tinggi di sini. Adikku menjemput di tempat biasa, di lampu merah Bendogantungan. Kedatanganku kali ini terhitung agak kesiangan. Jam sepuluh aku baru sampai rumah, padahal biasanya jam delapan. Bis yang aku naiki harus memutar-mutar dulu seperti obat nyamuk bakar, menurunkan satu demi satu penumpang.
Belum sempat beristirahat lama, aku langsung mandi dan bergegas ke Balai Desa Dengkeng. Desa Dengkeng adalah tanah kelahiranku, desa yang berada di wilayah Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten. Bapak dan nenekku sudah lebih dulu berangkat. Ketika aku belum sempat berangkat, nenekku sudah diantar pulang oleh Bapak. Bapak hanya mengantar pulang dan akan balik ke balai desa lagi. Sebelum ke balai desa, Bapak menghampiriku, “Le, ngko nyoblos sing gambar pari iki, yo, iki Pak Sukino. Oya, undangan pilihane Ibuk tak gowo. Yen undanganmu karo adimu,” (Nak, nyoblos yang gambar padi ini, ya, ini Pak Sukino. Ooo, ya, undangan pemilihannya Ibu aku bawa. Kalau undanganmu ada di adikmu), kata Bapak. “Nggih, Pak,” jawabku.
Ibuku masih mengajar di sekolahan, di SD Karang. Tidak lama Bapak berangkat kembali ke balai desa, Ibu pulang. Akhirnya, aku, adikku, dan ibuku berangkat bersama ke balai desa. Sepanjang perjalanan ke balai desa, ada pemandangan aneh aku temukan di beberapa titik jalan. Banyak ketela bergantungan di mana-mana, spanduk posko salah satu calon kepala desa, dan juga poster-poster pemilihan bergambar padi, ketela, dan jagung, disertai dengan foto para calon kepala desa yang sedang berebut suara, tertempel di tembok-tembok pinggir jalan.
Sesampai di balai desa, senyuman manis terasa sedikit tabu dan mencurigakan untuk saat ini. Meski sudah saling kenal, bahkan masih keluarga sendiri, melempar senyuman tetap harus berhati-hati. Aku merasakan suasana yang sedikit berbeda, suasananya sedikit panas. Aku pun menyesuaikan dengan suasana. Aku bersikap biasa saja meski yang kutemui keluarga atau temanku sendiri.
Dengan membawa surat undangan pemilihan, aku menuju ke meja pendaftaran KADUS (Kepala Dusun) dua. Desaku memang terbagi menjadi dua dusun, karena di tengah-tengah desa terbelah oleh jalan raya. Sebelah barat jalan raya adalah dusun satu, dan sebelah timurnya dusun dua. Pada saat pemilihan itu, di jalan raya yang membelah desaku, dijaga oleh Lik Dhalan dan temannya. Lik Dhalan adalah salah satu hansip yang terkenal di desa.
Setelah mendaftar, kemudian aku ke meja pengambilan kartu pemilihan yang akan dicoblos nantinya. Kartu pemilihan sudah ada di tangan, segera aku masuh ke bilik pencoblosan. Padi, ketela, dan jagung beserta foto-fotonya, langsung menyambut mataku begitu masuk ke bilik pencoblosan. Padi dan ketela adalah calon baru, sedangkan jagung adalah calon inkamben. Selanjutnya, pasti sudah tahu, kan, aku akan mencoblos apa?
Aku keluar dari bilik pencoblosan. Kotak suara sudah menunggu di luar bilik. Langsung saja aku masukkan kartu pemilihan yang sudah aku coblos tadi ke kotak suara. Di pintu keluar, tinta biru menghadang, meminta salah satu jariku untuk dicelupkan. Semua ritual pencoblosan sudah aku lalui. Aku tidak langsung pulang, namun dudu-duduk di kursi bawah tenda untuk melihat-lihat suasana pencoblosan.
Aku baru sadar, ternyata di dalam area pencoblosan tadi, para calon kepala desa beserta istrinya berpakaian rapih mentereng, duduk berjajar di depan kantor balai desa. Sambil duduk, mereka menyaksikan prosesi pencoblosan dari awal, dan pastinya sampai akhir nanti. Tidak ketinggalan, di dinding di atas kepala mereka tertempel gambar padi, ketela, dan jagung. Dalam benakku berkata, “Hemm…..padi, ketela, dan jagung lagi naik daun, nih!”
Belum lama aku duduk, temanku, Mas Yudi, seorang aktivis desa, datang di parkiran motor. Aku langsung melambaikan tangan begitu aku melihatnya. Dia merupakan jurnalis dari Desa Merdeka. Seketika waktu dia datang, hujan yang lumayan deras justru turun sejenak. Setelah hujan reda, aku menghampirinya di parkiran motor. “Gimana kabar, Mas?” tanyaku. “Yo, apiklah,” (Ya, baguslah), jawabnya. Mas Yudi habis berkeliling ke desa-desa yang juga sedang melakukan pemilihan kepala desa. “Piye keadaane deso-deso liyane, Mas?” (Bagaimana keadaan desa-desa lainnya, Mas?) aku menanyakan keadaan desa yang lainnya. “Yo ngunulah, saiki ki kabeh gur ngapusi, ra ono sing bener-bener demokrasi murni, yo politik, kan, ngene iki, demokrasine gur demokrasi transaksional,” (Ya begitulah, sekarang itu semua cuma bohongan, tidak ada yang benar-benar demokrasi murni, ya politik, kan, begini, demokrasinya cuma demokrasi transaksional) jawabnya dengan suara berat, gaya dia berbicara memang begitu.
Setauku pemilihan kepala desa ini serentak se-Kabupaten Klaten. Aku mempertanyakan hal ini ke Mas Yudi, “Kok, isoh serentak ngene, sih, Mas?” (Kok, bisa serentak begini, Mas?). “Yo emang wis wayahe, tapi iki kan lagi tahap pertama nang Klaten. Sesuk bulan Oktober ono meneh,” (Ya emang sudah waktunya, tapi ini kan baru tahap pertama di Klaten. Besok bulan Oktober ada lagi), jawabnya. “Ohhh, dadi rongatus pitung puluh deso iku during kabeh, tho?” (Ohhh, jadi dua ratus tujuh puluh tujuh desa itu belum semua, ya?) aku menimpali. “Durung…lho, rongatus pitung puluh wolhu, tho,” (Belum…lho, dua ratus tujuh puluh delapan), katanya. Ada perbedaan jumlah desa yang melakukan pemilihan dari yang kuketahui dengan yang diketahui Mas Yudhi.
Obrolan pun berlanjut, “Lho, aku mau tuku Tribun Jogja karo SOLOPOS, nang kunu beritane rongatus pitung puluh pitu, oggg,” (Lho aku tadi beli Tribun Jogja dan SOLOPOS, di situ beritanya dua ratus tujuh puluh tujuh, kok) kataku mengatakan sumber dari mana aku mendapatkan angka itu. Sambil menyalakan rokoknya, Mas Yudi menjawab, “Yo, berita iku kan entuke seko informasi sing beredar, tapi dataku nang kene rongatus pitung puluh wolhu!” (Ya berita itu kan dapatnya dari informasi yang beredar, tapi dataku di sini dua ratus tujuh puluh delapan). Sayang sekali Mas Yudhi harus segera beralih melihat desa lain. Maka obrolanku dengannya cukup sampai di sini, dan kami berjanji untuk mengorol-ngobrol lagi lebih lanjut di kesempatan lainnya.
Pada waktu aku turun di lampu merah Bendogantungan tadi, memang aku menyempatkan membeli koran lokal Tribun Jogja dan SOLOPOS. Sepengetahuanku sebelumnya, dengar-dengar hari ini adalah pemilihan kepala desa secara serentak di Klaten. Pasti berita-berita di koran lokal banyak yang memberitakan hal ini. Setelah membeli dan membacanya, aku sedikit kecewa, sedikit sekali pemberitaan tentang pemilihan kepala desa di Klaten. Pada masing-masing koran itu, hanya aku temui satu berita tentang pemilihan Kepala Desa Klaten. Mungkin karena ini adalah koran Jogja dan Solo, jadi porsi halaman untuk Klaten sangat sedikit.
Koran Tribun Jogja memberitakan pemilihan kepala desa di Klaten dengan judul “Saya Berharap Bisa Terpilih”, sub judulnya adalah “277 Desa di Klaten Gelar Pilkades Hari Ini”. Lead beritanya menjelaskan bahwa “…warga Klaten di 277 desa melakukan pemilihan kepala desa (pilkades) tahap pertama pada kamis (11/04). Setidaknya ada sekitar 699 bakal calon kepala desa (cakades) yang akan bersaing…”
Sedangkan di koran Solopos, pemberitaan tentang pemilihan kepala desa di Klaten diberi judul yang sedikit bombastis. Judulnya “Klaten dan Wonogiri Pilih Kades. Jelang Pencoblosan Diwarnai Kekerasan.” Lead-nya menjelaskan “…sebanyak 277 desa di Klaten dan 91 desa di Wonogiri menggelar pemilihan kepala desa (pilkades) serentak, Kamis (11/04) ini. Aksi kekerasan kembali mewarnai persiapan pilkades di Klaten…”
Siang itu rasanya ngantuk sekali, kepala pening, karena aku tadi belum sempat istirahat sesampaianya di rumah. Perhitungan suara akan dilakukan pukul dua, sedangkan sekarang masih setengah satu. Karena sudah tidak tahan untuk menahan kantuk ini, aku memutuskan untuk pulang. Sampai di rumah rasanya kasur sangat empuk sekali. Aku tertidur pulas. Sekitar pukul empat sore aku terbangun. Segera aku bergegas ke balai desa untuk menyaksikan penghitungan suara. Namun dari kejauhan sudah tidak terdengar suara lagi yang meneriakkan padi, ketela, atau jagung yang sedang berebut suara. Aku gelisah.
Setelah mengeluarkan motor, tiba-tiba adikku, Agung, datang dengan sepeda kesayangannya. “Kok wis muleh, Gung?” (Kok sudah pulang, Gung?) tanya ku. “Lha wis rampung, ogg, Mas,” (Sudah selesai, kok, Mas) jawab adikku Agung. Hatiku semakin gelisah, karena mungkin benar aku ketinggalan penghitungan suara. Karena tidak percaya, aku tetap berangkat ke balai desa, dan ternyata para panitia sudah mulai mengemasi kursi, meja, dan sound system. Benar sekali, aku ketinggalan penghitungan suara.
Informasi yang aku dapatkan dari saudaraku, Lik Hako, hasil penghitungan suaranya adalah dari 1261 daftar pemilih tetap, padi 279 suara, ketela 434 suara, dan jagung 373 suara. Kertas pemilihan yang rusak berjumlah 34, sedangkan yang tidak menggunakan hak pilihnya 141. Ternyata pemenangnya adalah ketela. Sedangkan padi, yang aku bela-belain sampai harus pulang dari Jakarta, justru mendapatkan suara paling rendah.
Cerita belum berakhir. Setelah pemilihan selesai, justru cerita kasak-kusuk semakin kencang. Mendengar cerita dari Ibu dan Bapakku, serta tetangga belakang rumah, ketela mendapat suara paling banyak karena uangnya memang paling besar daripada padi dan jagung. Bagi yang memilih ketela mendapatkan uang tiga ratus ribu. Sedangkan padi dan jagung hanya memberikan seratus ribu bagi yang memilihnya.
Dari obrolanku dengan tetangga belakang rumah, permainan uang seperti itu katanya sudah biasa. Pada pemilihan kepala desa yang dulu-dulu juga begitu. Tetapi yang dulu uangnya tidak sebesar yang sekarang. Berarti untuk pemilihan kepala desa yang mendatang, permainan uangnya akan semakin besar. Pemilihan mendatang lagi, semakin besar lagi. Dan apalagi di pemilihan mendatang-mendatangnya?
the rich buys vote (as always)
Wah, ketela menggantikan padi…. sepertinya cukup menarik….!
I absolutely love your blog and find nearly all of your post’s to be exactly I’m looking for.
can you offer guest writers to write content for
you? I wouldn’t mind creating a post or elaborating on many of the subjects you write in relation to here.
Again, awesome weblog!