Kubalas senyumnya, dan sambil berusaha keras menarik sebuah nama dari ingatan yang teronggok dan tak tersentuh lebih dari tiga tahun, aku bertanya tanpa rasa canggung, “Baa kaba ang?” (Bagaimana kabarmu?).
Dia jawab pelan, “Elok-elok se…” (Baik-baik saja…).
Suaranya tak jauh berubah. Meskipun rambutnya sekarang lebih panjang, pemuda itu tetap saja Romel yang kukenal waktu masih sekolah mengaji dulu. Pagi hari, kami bersekolah di Sekolah Dasar (SD) yang berbeda, tetapi siangnya pergi mengaji ke sekolah yang sama, yakni Madrasah Diniyah Awaliah (MDA) Ar-Rahim.
Sejak tamat MDA, aku sangat jarang bertemu dengannya. Bahkan, bukan hanya dengannya. Bisa dibilang, aku memang sangat jarang berinteraksi dengan teman-teman sepermainan di sekitaran rumahku di Kota Pekanbaru, Riau, yang beralamat Jalan Pepaya No. 66, Kecamatan Sukajadi. Terutama sekali sejak aku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Waktu aku masih SD, bersama abang-abangku, anak-anak di sekitar rumah sering bermain sepakbola di lapangan upacara milik kantor yang berada tepat di depan rumah kami—dulu, kantor itu bernama Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, lalu berganti fungsi menjadi Kantor Poltabes Pekanbaru, berganti lagi menjadi Kantor Palang Merah Indonesia Riau, dan sekarang menjadi Kantor Badan Narkotika Nasional Provinsi Riau. Kegiatan ekstrakurikuler yang padat menyebabkanku lebih banyak menghabiskan waktu di SMA Negeri 8—beralamat di Jalan Abdul Muis No. 14, Kecamatan Sail—hingga sore hari. Bermain bola ala kadar, tanpa alas kaki, di lantai batu, dengan batas gawang menggunakan sandal jepit, dan pembagian tim-nya berdasarkan hompimpah, berganti pola menjadi pertandingan sepakbola antar kelas atau antar sekolah, menggunakan seragam lengkap, di lapangan bola bergawang besi milik sekolah, dan ditambah kehadiran teman-teman perempuan sekelas yang berteriak-teriak menjadi supporter dadakan.
Intinya, intensitas bercengkrama antara aku dan Romel, dan juga dengan pemuda-pemuda sepantaran di dekat rumah, memang terbilang rendah. Namun, bukan berarti kami tak saling kenal. Sering kami bertemu di jalan dan bertegur sapa sambil berseru, “Hoi! Nio kama ang?” (Hei! Mau kemana kau?), atau sekedar menaikkan alis mata, tanda bahwa satu sama lain masih saling kenal. Aku tahu dia warga asli di sekitar rumah—aku warga RW 3 sementara dia warga RW 1 (sekarang konon berubah jadi RW 4)—begitu pun dia mengenalku. Dan memang, setahuku, begitulah cara interaksi warga di lingkungan tetangga tempatku tinggal itu terbangun: keakraban yang wajar dan tak dilebih-lebihkan, saling tahu satu sama lain sebagai sesama warga; tak bertemu dalam waktu yang lama, tak serta merta sebabkan sikap kikuk atau pangling.
“Waktu itu, terakhir kali bertemu, dia seperti tak kenal…pangling!” kata Romel, menjawab pertanyaanku mengenai kabar beberapa teman yang juga merantau ke Jakarta, sama sepertiku. Orang yang disebutnya pangling itu bernama Riyan, temanku di MDA Ar-rahim juga, anak pemilik jasa percetakan yang sempat jadi langgananku di jaman-jaman aku sibuk membeli perlengkapan sekolah. UD Citra Karya, nama tokonya.
“Oh, ya!?” seruku tak percaya. Sebab, keterangan itu bertentangan dengan keakraban wajar yang selama ini aku pahami sebagai karakter penduduk di sekitar rumah. “Kok bisa sampai gak kenal?” tanyaku dalam hati.
Berangkat dari keganjilan itulah aku dan Romel mulai bercakap-cakap lebih jauh mengenai apa-apa saja yang berubah dan tak berubah dari pola gaya hidup teman-teman sepermainan yang, secara umur, kini telah sah menjadi pemuda lokal, usia produktif, di kawasan Jalan Pepaya, Kelurahan Jadirejo.
***
Sudah lama aku ingin menulis cerita tentang sebuah warung tenda di pinggir Jalan Pepaya, tempat di mana aku berbincang-bincang dengan Romel pada malam ke-25 Bulan Ramadhan 1434 H/2013 M itu. Ketika liburan semester Bulan Januari lalu, aku tak sempat menulisnya. Liburan semester kali ini, tentu aku tak ingin mengabaikan narasi-narasi kecil yang menumpuk di meja-meja warung itu. Satu hal yang menarik perhatianku adalah tampang orang-orang yang kukenal sebagai pemuda Gang Tanjung, sebuah gang kecil tempat MDA dan Masjid Ar-rahim berada, terlihat duduk-duduk di sana hingga larut malam bermain domino. Dan menurutku, keadaan itu contoh dari sesuatu yang telah berubah: pemuda Gang Tanjung yang dulunya nongkrong di sekitaran masjid, sekarang beralih nongkrong di warung tenda itu.
Maka, berkebetulan dengan jadwal mati listrik di rumah sehingga aku terpaksa menghentikan aktivitas ngenet, aku melangkah ke luar rumah, menuju warung tenda itu untuk memesan segelas teh talua (teh telor)—minuman khas orang Minang, berupa seduhan teh manis panas pekat dicampur dengan dua butir kuning telur ayam kampung yang dikocok sampai putih berbusa, dan rasanya seperti capucino panas. Teh talua sering diminum untuk menguatkan stamina tubuh. Bagi para pemuda setempat yang kebagian tugas ronda, teh talua jadi menu favorit.
Ketika pesanan teh talua-ku jadi, aku bertanya kepada Romel mengenai tongkrongan pemuda Gang Tanjung itu.
“Baru-baru ko, ko, pado nongkrong siko,” ujar Romel. “Biasonyo kan dakek masajik, tuh nyo! Dek bahutang…namonyo juo wak bedagang, kan?” (Baru belakangan ini nongkrong di sini. Biasanya di dekat mesjid. Karena hutang…namanya juga berdagang, kan?)
Sebagai mahasiswa yang juga hobi ngutang, aku mengerti sekali alasan-alasan yang menyebabkan orang-orang berpindah tongkrongan warung. Dan mendengar kata Romel itu, aku lantas tertawa.
Warung tenda teh talua ini milik seseorang yang oleh Ayahku sering dipanggil si Jon, tak tahu Jon apa nama lengkapnya. Yang jelas, anaknya, Rozi, yang membantunya berdagang teh talua, adalah temanku juga di waktu MDA dulu. Abangnya, si Jepri—aku biasa memanggilnya Jepri tok–merupakan teman sekelasku di MDA. Kami semua teman sepermainan di lingkungan sekolah mengaji di dekat rumah. Sebenarnya, warung tenda teh talua si Rozi ini sudah lama ada. Ayahku mengatakan bahwa pemuda setempat sering nongkrong di sana. Akan tetapi, pemuda yang seumuranku, atau tiga hingga lima tahun lebih tua dariku, memang baru-baru ini nongkrong di sana.
Tetangga rumahku banyak yang membangun rumah toko (ruko), dan umumnya jadi usaha rumah makan atau jasa percetakan. Riyan adalah salah satu pemilik ruko percetakan di Jalan Pepaya. Dulu, Riyan memang terkenal sebagai anak berprestasi di MDA, tetapi juga orang rumahan. Aku akrab dengannya, tetapi dia tak akrab dengan anak-anak lain di Jalan Pepaya dan Gang Tanjung.
Sama sepertiku, ketika merantau ke Jakarta, Riyan juga jarang pulang ke Pekanbaru dan membaur dengan pemuda-pemuda sepantarannya. Begitulah keterangan yang diutarakan oleh Romel.
“Si Rozi saja yang sering jualan di sini yang bertemu Riyan,” kata Romel. “Aku jarang.”
Jika malam hari, ruko mereka tutup, dan di halaman parkir di depannya orang lain membuka warung tenda nasi goreng atau teh talua. Jadi, hingga lewat tengah malam pun, mudah sekali mencari makanan karena di kanan-kiri rumahku ada banyak warung tenda. Dan warung tenda teh talua si Rozi ini adalah salah satu yang jadi favorit ayahku, sejak ia dan ayahnya membuka usaha tersebut.
Bahkan, ibuku yang sangat ketat memilih-milih makanan, pernah berujar, “Kalau warung si Rozi, tuh lamak. Ndak samo jo nan di sabalahko. Itu a, tuh!? Pecin jo sado rasonyo!” (Warung si Rozi itu, enak. Tidak sama dengan yang di sebelah itu. Apa itu!? Vetsin-nya saja yang terasa!).
Di tengah tawaku itu, si Rozi datang dan duduk di sebelah Romel. Dia baru saja tiba seusai mengambil dan membawa air seember dengan motor, dari tempat yang aku tak tahu di mana (mungkin saja rumahnya). Tak jauh beda dengan Romel, dia menanyakan kabarku, kabar saudara sulungku yang sudah di Korea, kabar sepupuku yang dulu juga masuk rombongan teman-teman sepermainan di MDA, kabar adikku, bagaimana aktivitas kuliahku, pekerjaanku, dan pertanyaan-pertanyaan standar lainnya yang ditanyakan seseorang jika memulai perbincangan dengan orang yang sudah lama tak dilihatnya.
Rozi tertarik dengan cerita dan pengalamanku di Jakarta. Dia bahkan bertanya dengan antusias, “Berarti lah banyak jumpo artis di situ ndak, Bang?” (Berarti kau sudah banyak bertemu artis di situ ya, Bang?).
“Yo ado beberapo, ado namo tampek nongkrong artis-artis, tuh, ruangrupa namonyo kalau di Jakarta, tuh!” (Ya, ada beberapa. Ada nama tempat nongkrong artis-artis di Jakarta, ruangrupa namanya!)
Aku menjelaskan kepada mereka bahwa di Jakarta, ada banyak organisasi atau komunitas-komunitas tempat berkumpul para seniman, peneliti, akademisi, sastrawan dan budayawan, serta artis-artis.
“Tapi artis nan rancak yo! Kalau nan buruak macam Kangen Band, atau yang di tivi-tivi, tu,h ndak tau den do!” (Tapi artis yang bagus, ya! Kalau yang seperti Kangen Band atau yang di TV itu, aku tidak tahu!) ujarku menjelaskan.
Begitu juga dengan Romel, yang tertarik dengan obrolan perkuliahan. Dia mengatakan bahwa dia juga sedang menempuh bangku kuliah, di Muhammadiyah Pekanbaru, jurusan komunikasi, semester tiga.
“Wah, rancak, tuh ma! A peminatan ka ang nio ambiak, beko?” (Wah, bagus itu! Peminatan apa yang akan kau ambil nanti?) tanyaku.
“Jurnalistik,” jawabnya.
Aku kemudian menceritakan bahwa selain kuliah, di Jakarta aku juga bekerja sebagai penulis di sebuah jurnal online bernama akumassa. Dengan singkat padat aku jelaskan padanya hal-hal apa yang aku jadikan bahan tulisan.
“Iko warung si Rozi ko ni ka den tulis mah rencanonyo!” (Warung si Rozi ini akan kutulis, rencananya!) seruku. Disambut tawa gembira si Rozi, aku berseru lagi, “Tampek nongkrong nak-nak mudo Jalan Pepaya!” (Tempat nongkrong pemuda di Jalan Pepaya!)
Aku kemudian bertanya tentang isu geng motor di Pekanbaru. Tba-tiba saja isu itu terlintas di kepalaku sebab kabar terbaru yang aku simak di media massa nasional tentang Kota Pekanbaru adalah fenomena geng motor yang mulai marak di Kota Bertuah ini.
“Di siko sarang alternatifnyo mah!” (Di sini, kan jalur alternatifnya!) kata Rozi.
“Makasuiknyo?” (Maksudnya?) tanyaku dengan kening berkerut.
“Kalau bacakak, dikaja polisi, larinyo lewat jalan ko, ka balakang pasa, taruih ka Panam!” (Kalau berkelahi, dikejar polisi, larinya lewat jalan ini, ke belakang pasar, terus ke Panam!) jelas si Rozi.
Panam adalah sebutan untuk sebuah kawasan di Pekanbaru, tepatnya kawasan Jalan Hr. Subrantas, Kecamatan Tampan. Berdasarkan laporan dari Riau Pos, Mei 2013, peta mayoritas geng motor di Pekanbaru terbagi menjadi dua kubu yang selalu bersiteru. Geng motor kubu Panam adalah wilayah kekuasaan si Klewang, residivis yang memang terkenal karena track record tindak kriminalnya. Klewang membawahi banyak geng motor, antara lain XTC, Laser, Sinchan, Keparat, BMR (Benteng Merah), B2R (Black Baron) dan Atit Abang.
Sedangkan kubu Kota, terdiri dari kelompok geng motor bernama Ghost Night, L2N (Lajang-Lajang Nekat), Astec, dan Opsi. Rozi dan Romel menjelaskan kepadaku bahwa penguasa di kubu Kota bernama Wen (atau begitulah orang-orang memanggilnya). Geng motor Ghost Night dan Astec adalah yang terkuat di Kota, sedangkan geng motor terkuat di Panam adalah XTC (milik Klewang). Tertangkapnya Klewang pada Bulan Mei 2013 lalu, ternyata tidak mengurangi tingkat keberadaan dan keonaran geng motor. Penjelasan dari Rozi dan Romel—aku percaya mereka sangat mengerti hal-hal begitu karena pergaulan mereka cukup luas sebagai akamsi (anak kampung sini) di dekat rumahku—menyebutkan bahwa anggota-anggota geng motor yang belum tertangkap masih sering buat onar.
“Panglima-panglima geng si Klewang masih ado tuh yang ndak tatangkok…” (Panglima-panglima geng si Klewang masih ada, tuh yang belum tertangkap…) kata mereka. Pemimpin geng motor di bawah Klewang terkenal dengan sebutan Panglima.
Rozi kemudian melanjutkan, “Kalo lah malam hari, tuh, ijan lei, Bang! Banyak kejadian, trutamo dakek SMA 8, tuh ha! Kan banyak anak-anak nongkrong depan sekolah, tuh, kan? Abis sadonyo kanai bantai geng-geng motor tuh.” (Kalau sudah malam, jangan deh, Bang! Banyak kejadian, terutama dekat SMA 8 itu! Banyak anak-anak nongkrong di depan sekolah itu, kan? Semuanya habis dihajar geng-geng motor itu).
“Samo tu nyoh!” (Sama juga!) Romel menimpali cerita Rozi. “Kalau di kampus tuh, di kelas jo dosen, caliak jam, lah jam sambilan malam, ‘Yuk, kita pulang, yuk!’ kecek dosennyo!” (Kalau di kampus, di kelas dosen melihat jam, pas jam sembilan malam, ‘Yuk, kita pulang, yuk!’ kata dosennya!)
Menurut mereka berdua, ketika heboh-hebohnya, geng motor di Pekanbaru memang benar-benar mempengaruhi kenyamanan warga. Kerusuhan yang ditimbulkan oleh geng-geng motor itu tidak tanggung-tanggung, mulai dari merampok warnet (warung internet) hingga memperkosa dan pesta sex. Cerita mereka itu sama dengan berita-berita yang kubaca pada artikel-artikel di internet.
Rozi dan Romel juga menceritakan perkembangan aktivitas para pemuda setempat bahwa perkelahian antar daerah pun, seperti anak-anak Gang Tanjung tawuran dengan anak-anak Jalan Panger, sudah jarang terjadi. Dulu, biasanya bulan puasa adalah ajang tawuran di subuh hari. Seusai sholat subuh, pemuda-pemuda setempat di dekat rumahku berjalan-jalan subuh dari Jalan Pepaya, menuju Jalan Sudirman, kemudian berkelahi dengan rombongan pemuda yang datang dari Jalan Panger.
Aku bertanya, “Apa karena geng motor?”
Romel menjelaskan bahwa geng motor itu sebenarnya sudah ada sejak lama, dan tidak berpengaruh banyak ke aktivitas pemuda setempat.
“Pemuda di sini yang bergabung juga ada, bahkan ada juga yang tertangkap!” kata Romel. “Tapi yang mengurangi tawuran itu justru karena warnet, game online.”
“Kalau geng motor, tuh kini labiah banyak balap, urang, Bang!” (Kalau geng motor itu, sekarang lebih banyak balap motor) si Rozi menimpali.
“Apo lai pas marak karajo jadi operator, tuh kan? Musim bana tuh warnet-warnet, pado nongkrong mahabiahan waktu di situ anak-anak siko.” (Apalagi waktu marak pekerjaan jadi operator itu. Musim warnet, pada nongkrong menghabiskan waktu di sana, anak-anak sekitar sini).
“Dari dulu pai kini, bantuak-bantuak iko se nyo, Zik… ndak ado nan barubah labiah elok do… Nongkrong, main domino, judi, ndak banyak berubah pemudanyo doh…” (Dari dulu hingga sekarang, begini-begini saja, Zik. Tidak ada yang berubah lebih baik. Nongkrong, main domino, judi, tidak banyak yang berubah pemudanya). Romel mengatakannya kepadaku dengan nada sedikit sedih dan terkesan sedang menyayangkan situasi yang terjadi di lingkungan tempat tinggal kami.
Obrolan dengan Romel dan Rozi menyadarkanku betapa posisi kaum pemuda sungguh rentan. Hingga saat ini, aku sendiri mengakui bahwa daerah tempat tinggalku di Pekanbaru ini tidak mengalami kemajuan yang berarti, selain pembangunan ruko-ruko yang semakin banyak. Para pemudanya umumnya tak punya pekerjaan yang jelas. Kalau pun punya pekerjaan tetap, bukan pekerjaan dalam artian dapat meningkatkan kualitas hidup. Kalau tidak dengan perkelahian, pemudanya menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan, nongkrong di warnet, atau main judi. Hanya terbilang sedikit pemuda yang seperti Romel, yang mau kuliah untuk menambah wawasannya, atau seperti Rozi yang dengan kemampuan seadanya memperbaiki perekonomian keluarga dengan berdagang teh talua dan setiap hari bersabar menghadapi hutang-hutang para pelanggan.
Perbincangan kami kemudian mengarah ke aktivitas-aktivitas yang seharusnya bisa dilakukan anak muda, seperti musik (Romel sangat antusias ketika aku bercerita tentang perkembangan wacana musik di kampusku, Universitas Indonesia), kegiatan-kegiatan mahasiswa di kampus-kampus, lalu pekerjaan-pekerjaan sosial-masyarakat seperti yang dilakukan oleh akumassa. Romel berbagi cerita tentang bagaimana orang-orang di daerah, teman-temannya yang juga pelaku seni, sulit mendapat dukungan dari pemerintah daerah. Dia berpikir bahwa tentu di Ibukota peluang itu lebih tinggi karena akses untuk mendapatkannya lebih banyak.
Hal itu kemudian mendorongku untuk menjelaskan padanya lebih jauh mengenai Forum Lenteng, salah satu organisasi nirlaba di bidang sosial-kebudayaan di Jakarta, tempatku belajar dan bekerja sebagai penulis. Mengulangi penjelasanku mengenai ruangrupa Jakarta tadi, aku menjelaskan padanya tentang bagaimana Forum Lenteng, yang didirikan oleh periset, mahasiswa, dan seniman, membangun jaringannya melalui kerja kolaborasi, produksi karya, mendokumentasi, untuk memperkuat posisi tawar sehingga mampu menarik perhatian pemerintah setempat, bahkan mampu mempengaruhi kebijakan.
“Di Jakarta, Jogja dan Bandung, ada banyak komunitas dan organisasi seperti itu,” kataku. “Tempat berkumpul para seniman, budayawan, akademisi, dan lainnya, dan biasanya mahasiswa-mahasiswa yang tidak aktif di kampus juga turut berkumpul di sana. Belajar, dan kadang juga kerja sambilan. Kami menulis, mengkaji film, belajar bersama, mengadakan festival dan pameran, memperluas jaringan kerja dengan komunitas-komunitas di daerah lain, saling berbagi pengalaman dan pengetahuan.”
Aku lantas menunjukkan padanya alamat website www.akumassa.org, dan Romel membaca beberapa tulisan yang dimuat di dalamnya.
Obrolanku dengan Rozi dan Romel pun berakhir ketika kumandang sahur dari masjid berbunyi. Sekitar pukul setengah empat, aku memutuskan pulang dan sahur di rumah, begitu juga dengan Romel. Sedangkan Rozi, masih harus menjaga tokonya hingga azan subuh nanti.
“Seandainya akses bagi setiap pemuda sama rata, obrolanku malam ini dengan mereka pasti akan jauh berbeda,” kataku dalam hati seraya berjalan menuju rumah.
keren nih kalau dianjutin dengan bernas. gimana caranyaya?