Choiril Chodri:
[mengirim tautan “Geliat Industri Kopi Indonesia” yang dimuat www.reviensmedia.com]
Anggi:
Tulisannya bagus, Ril. Data dari kemenperin valid. Kemendag juga punya data soal impor itu. Coba bikin tulisan soal swasembada pangan atau gula, Ril. Lagi hits… Karena target Jokowi tinggal 2 tahun lagi. Jokowi nargetin 2018 swasembada gula, padahal jumlah gula impor rafinasi untuk tahun ini saja sampai satu juta ton. Kebutuhan per kapita 3 ton/tahun. Monggo dikulik kalau tertarik.
Choiril Chodri:
hehehe… itu tulisan dari anak UIN.
Anggi:
Iye, si Syahrul.
Ray Sangga Kusuma:
Waw… Jadi petani tebu ah [Naluri bisnis orang ini memang jawara].
Choiril Chodri:
Ayo Moy buat tulisannya…
Anggi:
@Ray Sangga Kusuma menjanjikan sih pak. Tapi kalau cuaca buruk kayak tahun ini malah melorot, karena rendemen tahun ini cuma 4-6. Ongkos tebang jadinya juga lebih mahal. Belum lagi dibanding jagung sama padi, tebu cuma bisa panen satu kali setahun.
Ray Sangga Kusuma:
Gapapa @Anggi TEKAD gw kuat banget setelah baca tulisan lo di atas. Gw pasti jadi petani tebu
*Petani HayDay
Eni Wibowo:
Oke gw buka Hayday lagi kalo gitu. Kira-kara ngebon yang menjanjikan apaan moy?
Anggi:
Ngebon yang bisa diolah jadi liquid! [Obrolan beralih menjadi banyolan liquid vaping]
Dan akhirnya, saya tertarik menulis terkait isu swasembada gula berdasarkan sejumlah pemberitaan media massa. Dua tahun pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, sejak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI Ke-6 pada 20 Oktober 2014, Jokowi – JK telah merancang program Nawa Cita yang juga telah digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Salah satu poin yang ada dalam Nawa Cita Jokowi-JK adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Mari kembali mengingat akan kemandirian ekonomi yang dicetuskan pada Nawa Cita serta mengkritisi pernyataan Jokowi pada kunjungan kerja ke pabrik gula Gempolkrep di Mojokerto, Jawa Timur, pada Mei, 2015. Saat itu, beberapa media massa ramai memberitakan dan mengutip pernyataan Jokowi bahwa Indonesia akan swasembada gula pada 2018.
Itu artinya saat ini pemerintah sedang dikejar deadline untuk swasembada gula. Bagi saya, pernyataan Presiden begitu menggelitik pikiran. Yakin, 2018? Caranya? Pendekatan ke petani tebunya, bagaimana? Soal gula impor yang sekarang masih banyak, bagaimana? Soal rembesan gula rafinasi, bagaimana? Soal pabrik gula BUMN yang ditutup dan beku operasi, bagaimana? Begitu banyak kata “bagaimana” dalam pikiran saya untuk bisa melihat swasembada gula 2018.
Gula adalah bahan pokok terbesar setelah beras. Seperti halnya nasi, setiap harinya kita mengonsumsi gula. Kebutuhan gula dibagi menjadi dua: (1) rumah tangga dan (2) industri. Data Kementerian Perindustrian mencatat bahwa kebutuhan GKP (gula kristal putih) untuk konsumsi rumah tangga adalah sebesar 2,8 juta ton per kapita sementara untuk industri 2,9 juta ton berupa gula Kristal rafinasi, sedangkan produksi nasional hanya sebesar 2,5 juta ton.
Isu swasembada gula kembali hangat dan juga perlu dikritisi karena wacana swasembada gula yang dibungkus dengan program revitalisasi industri gula hingga saat ini belum terealisasi. Mimpi besar pemerintahan Gus Dur yang berlanjut pada pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono saat ini kembali digadang-gadang oleh Presiden Jokowi yang menargetkan Indonesia swasembada gula pada 2018.
Saya tidak pesimis Indonesia mampu swasembada pangan, termasuk gula. Justru saya sangat optmis akan hal itu karena lumbung padi dan tebu nasional begitu besar. Permasalahannya adalah alih fungsi lahan dan tanaman. Jawa Barat yang dikenal sebagai lumbung padi Nasional kini harus kehilangan hektaran sawah karena pembangunan bandara Majalengka. Satu hektar pertanian sawah aktif mampu menghasilkan delapan ton padi, itu artinya dalam setahun lahan tersebut mampu menghasilkan 19 ton padi. Begitu pun dengan tebu, dari 63 pabrik gula yang ada, mayoritas sudah berumur seabad karena masih beroperasi dengan mesin peninggalan Belanda sehingga memengaruhi rendemen (kadar kandungan gula dalam tebu yang dinyatakan dengan persen, jika rendemen mencapai 10% maka 100kg tebu yang digiling menghasilkan 10 kg gula). Semakin kecil rendemen tebu maka kualitas tebu pun semakin bekurang. Hal ini menjadi salah satu penyebab para petani tebu mengalihfungsikan lahannya dengan menanam tanaman pangan lain, seperti jagung dan umbi-umbian yang mampu dipanen tiga kali dalam setahun dibandingkan dengan tebu yang hanya satu kali panen dalam setahun, sehingga petani memperoleh keuntungan yang lebih besar. Belum lagi giat roda pembangunan di pinggir perkotaan yang dimonopoli sekelompok perusahaan pengembang dan properti yang juga membuat lahan tebu berkurang.
Revitalisasi industri gula digadang-gadang mampu menghasilkan 3,54 juta ton gula untuk konsumsi langsung di tahun 2016. Kenyataannya, produksi gula nasional dalam lima tahun terakhir hanya berkisar 2,3 juta ton per tahun. Mimpi besar pemerintah ini agaknya juga masih tersandung dengan program revitalisasi industri gula yang masih jalan di tempat. Pemerintah kini memang sedang mengupayakan revitalisasi dan pembangunan 10 pabrik gula, diiringi penambahan lahan tebu di luar pulau Jawa untuk menekan impor menuju swasembada. Tapi masalahnya tidak berhenti di situ saja. Contohnya, dari sumber yang saya dapat, pabrik gula Karangsuwung di Cirebon, Jawa Barat, adalah salah satu dari deretan pabrik gula yang sudah tutup. Pabrik gula Karangsuwung dibangun tahun 1854 oleh NV Maatschappij tot Exploitatie der Suiker Onderneming Karang Soewoeng, sebuah perusahaan Belanda, yang memproduksi gula sejak masa kolonial Belanda, 1896. Kemudian, di tahun 1958, pabrik gula tersebut, bersama pabrik gula milik Belanda lainnya, dinasionalisasi menjadi milik pemerintah Indonesia.Bukan hanya pabrik gula Karangsuwung yang tutup. Di Karanganyar, Jawa Tengah, Pabrik Gula Colomadu yang didirikan tahun 1861 juga tepaksa tutup karena tidak lagi maksimal beroperasi dan kurangnya pasokan tebu yang masuk ke pabrik.
Saat duduk di bangku sekolah menengah, saya sempat mendengar kisah tentang pabrik gula Colomadu dari bapak saya. Saat itu, saya sekeluarga dalam perjalanan menuju kampung kelahiran Bapak di Wonogiri.
“Ndo [Panggilan untuk anak perempuan dalam budaya jawa], lihat itu pabrik gula tua peninggalan Belanda!” kata Bapak, kala itu. Saya masih ingat betul obrolan saya dengan Bapak sepuluh tahun lalu. “Yang buat orang Jerman, masa Mangkunegaraan IV.”
“Colomadu itu bahasa Jawa?” tanya saya, menanggapi.
“Iya, artinya gunung madu. Istilahnya, kalau di kerajaan pada waktu itu dimaknai sebagai harapan supaya pabrik gula itu menjadi butiran gula yang sangat banyak, menjadi harta kekayaan Mangkunegaraan yang melimpah dan besar seperti gunung.”
“Berarti pabriknya punya kerajaan, dong, Mangkunegara…?”
“Ya, iya! Panjang itu, ceritanya.”
“Ya, sejarah pasti pasti panjang, lah, Pak, kalau pendek, kan, namanya cerpen,” kata saya, geli. “Itu berhubungan dengan dihapuskannya kasunanan dan Mangkunegaraan, kan, dan jadi satu sama Surakarta? Kayak cerita Bapak waktu itu soal kerajaan Mangkunegara? Benar, kan? Jadi, semua industri apa pun jadi milik negara.”
“Betul, cocoklah kamu jadi wartawan, tinggal diasah. Nggak mau jadi PNS, aja? Bapak daftarin STAN mau, ya…?” rayu Bapak, kemudian. Percakapan pun berubah ke ujian nasional dan persiapan kuliah.
Jujur saja, saya tidak tahu banyak tentang sejarah kepabrikan gula tanah air, tapi setidaknya Bapak pernah menceritakan salah satu keberadaan pabrik gula di Jawa Tengah yang membantu saya dalam penulisan ini.
Nah, terkait lahan tebu, antara lahan tegalan tebu di pulau Jawa dengan lahan tegalan di bagian wilayah timur Indonesia jelas berbeda, kualitas yang dihasilkan pun belum tentu lebih baik. Sederhananya, pemerintah memilih luar pulau jawa karena lahan di sana jauh lebih murah. Hal tersebut dibenarkan oleh Bambang, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, ketika saya bertemu dengannya pada awal November lalu. Permasalahan lahan dan revitalisasi pabrik gula tidak seperti membangun candi Rara Jonggrang, karena kesejahteraan petani pun masih menjadi tanda tanya besar. Pemerintah harus berhasil meyakinkan petani tebu agar konsisten menggunakan lahannya untuk menanam tebu. Soalnya, karena kondisi pabrik gula BUMN yang sudah tutup membuat petani tebu di sekitarnya harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mengolah tebu, otomatis ongkos angkut menjadi lebih mahal.
Pemerintah juga harus memberikan solusi bagi petani tebu di kala curah hujan yang tinggi pada proses panen, seperti yang terjadi pada tahun ini. Selain memengaruhi rendemen, curah hujan tinggi juga membuat lahan tebu sulit dilalui sehingga memerlukan biaya tambahan untuk ongkos peralatan angkut. Dengan begitu, harga gula nasional pun semakin mahal, sedangkan pemerintah terus menekan harga gula nasional dan terus melakukan impor gula dengan alasan bahwa kebutuhan gula nasional belum dapat memenuhi kebutuhan nasional. Lagi-lagi, petani yang menjadi korban.
Kontrol tertinggi pemerintahan ada pada masyarakat, tentu saja. Menagih janji sang pemimpin adalah keharusan. Mengkritisi sebuah kebijakan juga perlu seruan. Tercapai atau tidaknya Indonesia swasembada pangan, termasuk gula, di 2018, melalui tulisan ini, aku sebagai bagian dari massa, mengingatkan kembali lisan yang dijanjikan, Pak Presiden!***