Dulu, mencari tanah dan mencari rumah di NTB sangatlah mudah. Di filem Elesan Deq a Tutuq, Tuan Guru menceritakan bahwa hampir semua orang lokal di Pemenang punya tanah yang luas karena harganya sangat murah—beberapa bahkan dimiliki tanpa ada transaksi jual beli. Sampai-sampai, tanah seakan tidak menjadi barang yang berarti sehingga orang-orang main jual-jual saja. Belakangan, karena potensi pariwisata Lombok yang terus meningkat—terutama Pemenang yang memiliki Pelabuhan Bangsal—tiba-tiba saja terjadi semacam gagap aset di kalangan pemilik tanah. Mereka kemudian memasang harga untuk tanahnya dengan angka yang selangit, melompat benar-benar jauh tanpa logika ukuran pertanahan yang jelas. Itu juga berpengaruh pada bagaimana orang kemudian mematok harga sewa/jual bangunan.
Dan fenomena itu juga menerpa kami pada kenyataannya. Sebuah perbincangan saya dengan seorang pengelola penginapan di Gili Trawangan juga menyimpulkan demikian. Semakin ke sini, orang-orang mulai mengkomersilkan tanah dan bangunan. Untuk keperluan wisata, katanya. Sebagian besar dimiliki oleh orang-orang di luar Lombok. Dampaknya, sedikit demi sedikit ruang bagi warga lokal pun berkurang. Ruang untuk apa pun: tempat tinggal, dagang, atau untuk kegiatan-kegiatan swadaya seperti yang dilakukan oleh Komunitas pasirputih.
Selain itu, pertarungan untuk mendapatkan “ruang”, toh, tidak hanya terjadi antara “yang alternatif” dan “yang mainstream” dalam konteks aktivitas kebudayaan dan bisnis saja, tetapi juga hinggap di keseharian warga itu. Contohnya pengalaman yang kami dapatkan selama proses pencarian rumah: penerimaan dan penolakan warga atas kedatangan penghuni baru di lingkungan mereka tidak berakar pada soal mengenai kekuasaan “si dominan” yang membelenggu ekspresi “kelompok-kelompok alternatif”, tapi pada pertimbangan sejauh apa penghuni baru itu dapat memberikan ketenangan, ketoleransian, dan kebermanfaatan bagi penghuni-penghuni lainnya yang lebih dulu ada di sana.
Inilah yang menguatkan alasan saya, bahwa “ruang alternatif”, dalam keadaan tertentu, tidak relevan lagi dalam dinamika gerakan komunitas kontemporer saat ini di kehidupan masyarakat bangsa kita. Meromantisir keadaan “berdarah-darah” merebut ruang, apakah itu di jalanan, di area-area kelas elite, di kawasan perdagangan, fasilitas publik, dan lain sebagainya, adalah kenaifan semata. Tanah dan ruang-ruang kita bukanlah tanah dan ruang bermuka “horor”, seperti yang dialami orang-orang macam Banksy di seberang lautan sana—karena kehororan yang menjemukan itu, orang semacam Banksy kemudian dengan sadar memberontak. Sebab, tanah di lingkungan masyarakat kita masih ada tradisi “pemakluman” asalkan “saling mengenal”, meskipun terkadang masih ada juga sentimen-sentimen berlatarbelakang adat dan agama yang menolak tindakan-tindakan maksiat. Paling tidak, itu semua bisa disiasati lewat musyawarah—toh, pasirputih bukan hadir untuk bermaksiat.
Dengan kata lain, ruang-ruang kebudayaan dan aktivisme kita—sebagaimana yang pernah dikatakan Ade Darmawan, Direktur ruangrupa, kepada saya suatu hari—pada dasarnya hidup dan berkembang di rumah-rumah, di lingkungan yang bertetanggaan.
Tentu, saya bukan sedang mencibir masalah perjuangan mempertahankan tanah dan rumah, seperti contoh kasus yang terjadi di Rembang atau Lambu—dalam konteks kasus itu, masyarakat mau tak mau harus berontak karena telah terjadi suatu tindakan kekerasan fisik dari aparatus kepada warga yang jelas di depan mata. Sementara, dalam konteks yang lain, kekerabatan sosial yang khas dimiliki masyarakat timur, sangat potensial untuk dikelola demi menghidupkan lagi ruang-ruang itu, yang mana sudah saya tegaskan di awal catatan ini, mereka ada bukan sebagai “ruang alternatif”, tetapi “ruang utama” yang sejak dahulunya telah ada.
Jatiwangi Art Factory, telah melakukannya, menjadikan rumah nenek mereka sebagai ruang utama mereka (dan kemudian, menjadi ruang utama yang sangat berarti bagi warga sekitarnya). Kini, Komunitas pasirputih akan mencoba untuk memulainya.∎