Lucu juga menyaksikan bagaimana wajah Bangsal empat tahun yang lalu. Semua masih sangat sederhana: beberapa ibu pedagang bakulan yang menawarkan berbagai buah kepada para wisatawan; pedagang-pedagang gelang dan kalung yang berkeliling sambil menawarkan barang; tukang ojek yang sedang bermain kartu domino sambil menunggu penumpang; bangunan-bangunan jasa travel dan tempat parkir yang seadanya; warung-warung beratapkan daun kelapa, yang menghiasi bibir pantai; sebuah dermaga yang belum selesai dikerjakan yang menyisakan tiang-tiang; pasir pantai yang luas, menyisakan banyak ruang untuk bermain. Semua nampak sangat biasa. Biasa dan alami.
Rentang waktu empat tahun, mengubah wajah Bangsal menjadi cukup berbeda. Bergantinya pengambil kebijakan dan semakin bertambahnya mobilitas warga di kawasan Bangsal, memberikan peluang untuk mengubah Bangsal menjadi lebih baik. Selain itu, semakin banyaknya pembangunan hotel dan home stay di kawasan tiga Gili, membuat hiruk pikuk di Bangsal semakin terasa. Terutama di pagi dan sore hari.
Banyak yang berubah dari Bangsal. Tidak ada lagi warung-warung beratapkan daun kelapa, disebabkan pembangunan gedung Syah Bandar. Warung beratapkan daun kelapa, kini diganti deretan lapak berukuran kurang lebih 2 x 3 meter yang dibangun pemerintah. Tempat di mana biasanya kita temukan ibu-ibu pedagang bakulan, sudah diganti sebuah bangunan pos penjaga—yang sampai saat ini tidak ada penjaga. Air laut semakin naik, dan pasir pantai semakin sempit karena erosi. Dermaga yang empat tahun lalu hanya berupa tiang penyangga, kini sudah rampung. Bahkan, baru-baru ini ditambahkan tempat bersandar boat-boat berukuran kecil. Jumlah kendaraan bermotor di tempat-tempat parkir—yang bangunannya sudah tidak biasa—sangat banyak. Hingga, setiap mereka yang memiliki bangunan di kawasan bangsal, berlomba-lomba untuk mendirikan tempat parkir. Jumlah tukang ojek semakin banyak. Jumlah penyedia jasa transportasi mini bus, juga semakin banyak. Persaingan semakin lebih panas. Keadaan ini, kemudian menjadi kegelisahan. Beberapa pihak mengklaim wilayah. Angkutan yang tidak dikenal sering dicegat. Sebab angkutan yang sudah ada kehilangan penumpang. Cidomo-cidomo, sudah bernomor. Yang tidak bernomor dilarang masuk kawasan Bangsal. Bahkan, untuk menjadi seorang buruh, butuh kartu identitas yang jelas.
Namun, tidak semua berubah. Beberapa hal masih sama seperti dulu. Suara penjual tiket masih sama, dengan nada yang sama dan bahasa inggris yang seadanya. Dan bagaimanapun, Bangsal tetaplah hanya sebuah pelabuhan transit. Tidak ada wisatawan mana pun yang akan berdiam lama di tempat ini, kecuali secara kebetulan para wisatawan tidak mendapatkan perahu untuk menyebrang ke tiga Gili. Maka keramaian Bangsal hanya layaknya sebuah tempat singgah. Semua orang memanfaatkan waktu transit sebaik-baiknya, untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Selain itu, sementara ada sarana yang semakin baik, ada juga sarana yang terlihat begitu-begitu saja, bahkan semakin buruk. Terminal Bangsal, contohnya. Tidak ada perubahan selama kurun waktu empat tahun ini. Aspal-aspal terminal sudah berganti krikil-krikil tajam, rumput liar tumbuh di mana-mana. Tidak terawat.
Beruntung sekali, Komunitas pasirputih memiliki dokumen Bangsal. Dari dokumen ini, banyak hal yang bisa kita pelajari. Perubahan-perubahan yang dibawa waktu, memberikan gambaran kehidupan masa lalu. Dalam bayangan saya, bagaimana wajah Bangsal lima tahun yang akan datang? Adakah orang yang mau mendokumentasikan wajah Bangsal saat ini, untuk dipelajari di masa yang akan datang? Jika tidak, maka kami, Komunitas pasirputih akan melakukannya.
______________________________
Tulisan ini dibuat dalam rangka Program berajahaksara pasirputih. Sebuah upaya penyadaran masyarakat terkait bagaimana kerja media, dan memanfaatkan media untuk kepentingan warga. Silahkan kunjungi situs web pasirputih di sini!