‘Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang’; Pameran enam perupa Cirebon: Nico Permadi, Agus Suwanda, Beas Abimanyu, Iskandar Abeng, Yudha Sasmito, dan Nur Oji pada 10-17 Januari 2010. Pameran Senirupa yang dilaksanakan kali pertama di Galeri Merdeka, dikurasi oleh Daniel Adenis. Dibuka oleh Nurdin M. Noer dan dimeriahkan oleh kelompok Kroncong “Semoga Ayah Cepat Pulang”.
Ketika membaca pengantar katalog ‘Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang’, kita dituntun ke dalam kerangka pemikiran tentang pameran senirupa sebagai representasi solidaritas sosial masyarakat Cirebon.[1]Katalog Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang. Halaman 1; Perihal tema itu sendiri muncul pada puncak musim kemarau, beberapa bulan terakhir tahun 2009 yang lalu. Ketika di beberapa daerah di Cirebon kekurangan air… Dalam situasi tersebut sangat terasalah rasa sosial serta kesetiakawanan dalam bertetangga… tetangga yang lain menyediakan kamar mandi dan WC nya menjadi “kamar mandi dan wc umum”. Sehingga “Maaf, numpang ke belakang” menjadi ungkapan yang juga mengusung kesetiakawanan. Sedemikian hingga paradigma tersebut menjadi suatu hal yang baru dalam lingkungan seni dan budaya di Cirebon; bahwa seni telah ‘mencair’ dalam masyarakat ditandai dengan kerangka berpikir yang komprehensif.“Pameran Senirupa sebagai sarana memahami situasi di sekitar kita.”
Sedemikian kontemplatif sehingga mengingatkan pada perhelatan JAKARTA BIENNALE XIII 2009 – ARENA yang untuk pertama kalinya memanfaatkan bentuk-bentuk kesenian sebagai sarana pemahaman dan kritik terhadap ruang, kota, secara bebas di ruang-ruang publik.[2]Katalog: JAKARTA BIENNALE XIII 2009 – ARENA, Halaman 04, oleh: Marco Kusumawijaya (Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta).
Dalam pengantar, kita pun dijelaskan tentang ‘konsep kebutuhan’ masyarakat terhadap produk elektronik, otomotif dan fashion daripada karya-karya seni. Mendeskripsikan ‘ketidakmampuan’ pelaku seni (seniman) di Cirebon untuk membaur dan menangkap isu publik. Deskripsi tersebut mulai memudarkan paradigma tentang perhelatan yang komprehensif terhadap isu di dalam masyarakat (Cirebon) dengan membuat standarisasi berdasarkan kuantitas apresiator.[3]Katalog Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang. Halaman 2; Namun untuk senirupa, yang untuk menunjukan eksistensinya diwujudkan dengan menggelar pameran, lebih memprihatinkan lagi. Dari beberapa kali pameran senirupa yang kami selenggarakan, selalu saja sepi pengunjung, minim apresiasi. Kiranya pameran produk elektronik, otomotif, fashion, jauh lebih menarik minat masyarakat. Hal itulah yang mendorong kami menggelar pameran senirupa, agar bias tetap bertahan dalam kondisi seperti ini.
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan kuratorial; Ide ini muncul ketika mereka sedang berkumpul dan tiba-tiba ada salah satu teman yang permisi untuk numpang ke belakang…,[4]Katalog Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang. Halaman 3. menawarkan kepada kita suatu ketidak-menentuan kerangka pemikiran dalam perhelatan ini. Paradigma yang ditawarkan kepada kita di awal ‘Pengantar’,[5]Katalog Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang, ibid. pada taraf kerangka pemikiran, perhelatan ini tidak masif.
Bagaimana ‘Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang’, dapat ‘mencair’ dalam masyarakat?
Akan sangat sulit kita mendapatkan jawaban jelas, terkecuali dalam taraf implementasi terdapat program-program senirupa yang masuk dalam masyarakat luas. Seperti perhelatan tahunan Gardu Unik: JAGAKALI ART FESTIVAL, yang melibatkan masyarakat sebagai pelaku festival melalui pendekatan pendidikan berupa lokakarya-lokakarya (lokakarya senirupa dan musik).
Dalam buku “Dampak Ilmu Pengetahuan Atas Masyarakat” menyatakan; bahwa dalam bidang psikologi massa, teknik ilmiah yang paling mutakhir adalah melalui pendekatan pendidikan.[6]Bertrand Russel, Seri Filsafat Atmajaya: 14 DAMPAK ILMU PENGETAHUAN ATAS MASYARAKAT, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009. Mengacu pada konteks dalam buku tersebut, kita perlu mempertanyakan kredibilitas ‘Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang’ berdasarkan fungsinya sebagai implementasi untuk menanggapi dan mengangkat isu-isu yang terjadi di dalam masyarakat (Cirebon).
Nico Permadi, dengan karya trimatra-nya: 1) Danger (Tak Pernah Bersemi), 2) Air, dan 3) Kusut; merupakan salah satu seniman yang berpotensi mencair dalam ruang-ruang publik, misalnya karya tersebut berada (dipamerkan) di WC umum Bioskop 21 dan tempat ibadah seperti Masjid; bayangkan berapa banyak yang akan berapresiasi. Minimal, apresiasi tersebut berupa lirikan dan/atau pertanyaan: Kenapa ada benda seperti itu di sini?. Dengan begitu akan mudah diterjemahkan bahkan oleh orang yang awam seni sekalipun. Seperti karya ‘Air’ jika kita dapat melihatnya di tempat wudhu Masjid Sang Cipta Rasa, misalnya, akan masif suatu kerangka berpikir bahwa karya tersebut dapat dipandang dari aspek keagamaan. Akan tetap masif, jika karya tersebut berada (dipamerkan) di suatu tempat di Kantor PDAM, misalnya. Begitu pula dengan karya-karya seniman lainnya seperti Agus Suwanda (karya: Tertusuk Merah Jambu, Mencoba Dalam Kemasan, dan Melunak, Menusuk, Meretak), Beas Abimanyu (karya: Girls), Iskandar Abeng (karya: My Privacy, Diantaramu Aku Ada I, dan Diantaramu Aku Ada II), Nur Oji (karya: Mau Pipis, dan Shower) dan Yudha Sasmito (karya: 2nd Dreamland, Arrghh…, dan Mabuk Laut) dapat kita lihat di ruang-ruang publik. Namun demikian fungsi galeri pada umumnya; untuk mencitrakan karya-karya tersebut sangat istimewa dan bercita rasa seni tinggi (bukan untuk publik) jika berada (dipamerkan) di Galeri.
Apakah relevan, kita mempersoalkan tentang minimnya apresiasi terhadap pameran senirupa (di Cirebon)?
Berdasarkan data yang tercatat (12/1), Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang dikunjung oleh 133 orang.[7]Buku Tamu Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang. Pengunjung didominasi oleh pelajar SMA; berpotensi membangun segmentasi pameran senirupa, di Cirebon khususnya.
Pada hari ke-5 ‘Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang’, masih dikunjungi oleh pelajar SMA yang semakin menegaskan tentang antusiasme Pelajar tingkat Menengah Atas dalam mengapresiasi pameran tersebut. Dengan berpotret di dalam galeri, mungkin menjadi semacam pengalaman menarik bagi mereka.
Kehadiran Pelajar SMA tersebut, apakah menegaskan segmentasi dalam Pameran ini?
Pentingkah bagi pelajar-pelajar tersebut untuk datang dalam Pameran Senirupa kali ini?
___
Foto: Iskandar Abeng
Footnote
1. | ⇑ | Katalog Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang. Halaman 1; Perihal tema itu sendiri muncul pada puncak musim kemarau, beberapa bulan terakhir tahun 2009 yang lalu. Ketika di beberapa daerah di Cirebon kekurangan air… Dalam situasi tersebut sangat terasalah rasa sosial serta kesetiakawanan dalam bertetangga… tetangga yang lain menyediakan kamar mandi dan WC nya menjadi “kamar mandi dan wc umum”. Sehingga “Maaf, numpang ke belakang” menjadi ungkapan yang juga mengusung kesetiakawanan. |
2. | ⇑ | Katalog: JAKARTA BIENNALE XIII 2009 – ARENA, Halaman 04, oleh: Marco Kusumawijaya (Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta). |
3. | ⇑ | Katalog Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang. Halaman 2; Namun untuk senirupa, yang untuk menunjukan eksistensinya diwujudkan dengan menggelar pameran, lebih memprihatinkan lagi. Dari beberapa kali pameran senirupa yang kami selenggarakan, selalu saja sepi pengunjung, minim apresiasi. Kiranya pameran produk elektronik, otomotif, fashion, jauh lebih menarik minat masyarakat. Hal itulah yang mendorong kami menggelar pameran senirupa, agar bias tetap bertahan dalam kondisi seperti ini. |
4. | ⇑ | Katalog Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang. Halaman 3. |
5. | ⇑ | Katalog Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang, ibid. |
6. | ⇑ | Bertrand Russel, Seri Filsafat Atmajaya: 14 DAMPAK ILMU PENGETAHUAN ATAS MASYARAKAT, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009. |
7. | ⇑ | Buku Tamu Pameran Senirupa: Maaf, Numpang Ke Belakang. |
Pameran memang dapat diukur dengan jumlah pengunjug yand datang. Tapi, pameran juga dapat diukur dengan bagaimana “membungkus” penyataan dalam pameran (yang diwakili oleh karya-karya di ruang pameran tsb). Pameran seni rupa atau apa saja bukan untuk menampilkan sesuatu yang “aneh” kepada publik…tapi dia harus dapat berelasi dengan persoalan sekitar dan memberikan pencerahan bagi audiens, meski respon itu negatif. Saya senang dengan pameran ini bisa dilakukan. Selamat.
selamat untuk rupawan-rupawan cirebon yang perupa!!!
aku ingin sekali bernyanyi bersama grup keroncong “Semoga Ayah Cepat Pulang”…. kapan yaaa?
tenang ki. lo bakalan…di kuningan, pertemuan akumassa 8-11 pebruari
quote:
“Kehadiran Pelajar SMA tersebut, apakah menegaskan segmentasi dalam Pameran ini?
Pentingkah bagi pelajar-pelajar tersebut untuk datang dalam Pameran Senirupa kali ini?”
saya juga bertanya demikian…
suatu hal (apapun wujudnya) akan imajinatif ketika hadir ditengah-tengah publik tanpa ada tujuan (karena tujuan hanya cocok jika memuat ke-subjektif-an).
–B. Russell
apakah tujuan kawan-kawan? 😀
boleh sih…..tapi masih terlalu biasa pameranya.
Senang bisa mendengar kabar mengenai denyut kesenian di Cirebon tempat nenek moyang saya berasal (karena saya besar di Bandung).Kapan-kapan undang donk kesana yaa…