Beberapa ingatan terlintas di kepalaku terkait dengan kata ‘membaca’ ketika duduk di dalam sebuah angkot berwarna merah nomor 19, yang berjalan selangkah demi selangkah melintasi kemacetan Jalan Margonda, menuju Terminal Depok, pada Hari Selasa sore, 17 Januari 2012. Dalam keadaan setengah sadar menahan kantuk, samar-samar aku mendengar apa yang dulu pernah diucapkan oleh seorang teman, Ugeng. Kira-kira katanya seperti ini: “Membaca itu tidak melulu diartikan sebagai aktivitas melihat huruf, kata dan kalimat, kemudian melafalkannya. ‘Membaca’ juga bisa dimaknai sebagai suatu sikap atau perilaku untuk lebih peduli terhadap apa-apa yang ada dan terjadi di sekitar kita.” Mencari informasi melalui buku bacaan atau tontonan filem, adalah sedikit contoh dari sikap itu: menyimak apa yang pernah dan/atau sedang ada dan terjadi di tempat kita berpijak sekarang ini, kemudian melakukan aksi untuk menanggapinya.
***
Angkot berhenti di dalam lingkungan terminal, tepat di depan deretan warung-warung, seperti warung kopi (warkop), warung tegal (warteg), warung lapo, dan toko-toko lainnya. Di antara deretan warung itu, menyempil sebuah ruangan kecil berpintu kaca, yang sudah aku kenal lebih kurang sejak sebulan lalu. Rumah Baca Panter, namanya, atau setidaknya begitulah yang tertulis di papan nama yang tergantung di salah satu dinding ruangannya. Kedatanganku, bersama dua orang teman, memang bertujuan untuk mengunjungi rumah baca tersebut.
Turun dari angkot, kami ― Lulus, yang dengan cekatan mengangkut satu kardus berisi sumbangan buku-buku dan filem; Ageung, membawa sebuah DVD player, yang akan disumbangkan pula untuk melengkapi koleksi Rumah Baca Panter; dan aku sendiri, menenteng sebuah kamera digital kecil, bukan untuk disumbangkan, melainkan untuk kepentingan dokumentasi ― disambut dengan gerakan semangat salah seorang pemuda dari rumah baca. Dia membantu Lulus membawa kardus itu untuk diletakkan di dalam ruangan sederhana, yang kini sudah disulap menjadi perpustakaan kecil yang lebih rapi, jauh berbeda ketika pertama kali aku mendatangi tempat itu.
Jujur saja, hari itu merupakan yang ketiga kalinya aku mengunjungi Rumah Baca Panter, tidak seperti Lulus dan Ageung yang lebih sering datang ke sana untuk melihat aktivitas keseharian para orang tua, pemuda dan anak-anak usia sekolahan di lingkungan terminal merapikan perpustakaan. Dari beberapa pemuda yang menyambut kami, aku hanya mengenali Bang Andi, seorang laki-laki dengan potongan rambut tipis seperti tentara, yang sepertinya baru saja melek dari tidur siangnya karena dibangunkan oleh si pemuda yang membantu Lulus membawa kardus.
“Gue masuk angin gara-gara semalam ujan-ujanan, bolak-balik ngurus proposal dan surat ke media-media partner dan sponsor,” ujar Bang Andi seraya mempersilakan kami duduk lesehan, memesan tiga gelas kopi di warkop sebelah, kemudian menyulut sebatang rokok. “Untung ada anak-anak yang mau bantu mijitin, sekarang sudah mendingan.”
Menurut ceritanya, beberapa hari belakangan ini para pemuda di terminal, termasuk dirinya dan para relawan dari kalangan mahasiswa dari pelbagai universitas yang ikut aktif menjadi pengurus rumah baca, memang sangat sibuk mengurus persiapan acara peresmian Rumah Baca Panter yang akan dihelatkan pada Bulan Februari 2012 mendatang. Mereka mengundang tokoh-tokoh penting, termasuk Walikota Depok yang nantinya akan meresmikan rumah baca, dan band-band terkenal sebagai sajian hiburan. Ada semacam niatan dari para pengurus Rumah Baca Panter, dan Paguyuban Terminal (disingkat Panter, yang menggagas ide rumah baca itu) untuk membuat acara itu semeriah mungkin, tetapi tetap merakyat, untuk mengabarkan kehadiran sebuah rumah baca di Terminal Depok untuk kepentingan masyarakat terminal dan Kota Depok. Rencananya, acara itu juga dilengkapi dengan sebuah rangkaian talkshow yang akan membicarakan isu tentang anak-anak jalanan, yang sejauh ini masih luput dari perhatian dan perlindungan pemerintah.
“Gue ada rencana juga mau muter filem dokumenter pendek pas acara itu,” terang Bang Andi. “kira-kira ada nggak, ya, filem yang bagus untuk diputer?”
“Itu aja, ada beberapa filem dan karya video akumassa dalam kardus, untuk rumah baca,” kata Ageung. “kalau mau, itu aja yang diputar nanti pas acara! Kita juga ngasih beberapa koleksi filem dari sutradara-sutradara dunia, untuk ditonton dan buat belajar juga.”
“Oh, ada?! Wah, tengkyu banget, nih, Bro!” seru Bang Andi senang, kemudian bersama-sama kami membuka isi kardus tersebut.
Dalam workshop akumassa Depok yang baru saja usai beberapa hari yang lalu, kami menjadikan Terminal Depok sebagai salah satu bingkaian video. Selama proses riset dan suting lapangan di terminal, Rumah Baca Panter adalah tempat favorit untuk melepas lelah sambil menikmati kopi hangat di sore dan malam hari, seraya juga mengambil beberapa gambar untuk membuat video pula tentang rumah baca itu sendiri. Anak-anak dan pengurus rumah baca turut andil membantu kami dalam memberikan informasi-informasi seputar terminal dan aktivitas warganya. Dari tujuh karya yang berhasil kami rampungkan, dua di antaranya adalah tentang terminal, yaitu berjudul “KPP” dan “Terminal Belajar”.
Oleh sebab itu, kami membalas jasa Rumah Baca Panter dengan menyumbangkan buku-buku dan beberapa filem, selain didorong juga oleh niat untuk saling berbagi pengetahuan dan akses untuk terus belajar. Ini menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanggapi hal-hal positif yang dilakukan oleh masyarakat terminal dalam mengembangkan potensinya. Besar harapan bagi kita, baik dari akumassa sendiri maupun dari pihak Rumah Baca Panter, untuk dapat mewujudkan cita-cita masyarakat yang melek media dan sadar akan pentingnya pengetahuan sebagai modal untuk membangun tatanan kehidupan yang lebih baik.
“Ini videonya?!” seru Bang Andi ketika melihat cover video akumassa Depok. “Wah, langsung puter, ah, gue penasaran pengen liat!”
***
“…omong kosong kalau misalnya ada orang yang mengaku bisa menulis atau berkarya dengan baik tanpa pernah membaca,” suara samar lain terdengar, yang pernah diucapkan oleh Hafiz, seorang aktivis sosial dan budaya, dalam sebuah diskusi tentang bagaimana menghasilkan sebuah karya yang baik. “Membaca itu bisa melalui pengalaman, melalui apa-apa yang pernah dilihat dan didengar, dan banyak yang lainnya. Lalu pengetahuan-pengetahuan dari hasil bacaan itu menjadi dasar untuk mengemas karya yang baik, yang juga didukung oleh faktor intensitas yang tinggi untuk terus mencoba.”
***
Adalah Agus Kurnia, yang biasa dipanggil Abah Agus, yang menjadi ketua Paguyuban Terminal. Seperti yang diceritakan Lulus Gita Samudra dalam sebuah tulisan tentang Terminal Depok dan Rumah Baca Panter, dan dimuat di www.akumassa.org pada Senin, 19 Desember 2011, Abah Agus adalah seorang perantau dari Garut, Jawa Barat, yang pernah mengalami menjadi segala bentuk profesi orang jalanan, dari anak jalanan, kondektur, supir, dan sampai akhirnya menjadi warga Terminal Depok yang sekarang sibuk mengurus paguyuban. Apa yang ia jadikan modal untuk dapat bertahan hingga mampu menghimpun para warga untuk tergabung dalam sebuah paguyuban bernama Panter adalah sebuah pengalaman hidup menjadi seorang aku yang mencair di tengah-tengah massa tak bernama yang tersebar di jalanan-jalanan kota.
Dulu, memang Abah Agus tidak bisa membaca koran, tetapi dia tetap ‘membaca’ masyarakat tempatnya bernaung sejak tahun 1990-an, ketika dia memutuskan pergi dari rumahnya. Karena keuletan sikap ‘membaca’ yang ia miliki itu, dia bersikeras untuk belajar bisa membaca koran, kemudian terdorong untuk mengajak orang lain di lingkungan terminal untuk membaca pula. Mulai digagas dalam rapat Panter 2006, Rumah Baca Panter berhasil direalisasikan di penghujung tahun 2011. “Tidak ada kata terlambat untuk belajar!” kata sebuah pepatah, toh masyarakat akan terus hidup hingga akhir jaman sebagai sumber referensi tak terbatas bagi kita untuk terus belajar ‘membaca’.
“Harapannya, dengan kehadiran Rumah Baca Panter, dapat membantu anak-anak muda di sini supaya lebih produktif dan menghasilkan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi semuanya,” ujar Abah Agus ketika berbincang denganku saat pertama kali bertemu dengannya.
Ya, menurutku Abah memang ‘membaca’. Dengan memahami problema yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitarnya, lantas dia menggagas sebuah ide, dan bersama-sama teman-teman di Panter mereka menghasilkan sebuah ‘karya’ bernama Rumah Baca Panter, yang tentunya akan menjadi baik dan bermanfaat bagi masyarakat, khsusunya bagi warga lokal terminal sendiri.
***
“Apa yang kita lakukan selama ini sebenarnya adalah membaca, dan menulis,” aku juga menjadi ingat kata-kata dari Otty, seorang aktivis yang sudah lama berkecimpung di bidang jurnalisme warga. “Kita membaca, mendengar, melihat, dan mengumpulkan narasi-narasi kecil dan peristiwa-peristiwa yang tersebar di masyarakat, lalu merekam dan mengemasnya dalam berbagai medium, kemudian menyebarluaskannya sebagai satu produk pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat, tanpa ada tujuan-tujuan tertentu selain untuk kepentingan pendidikan.”
***
Ada sekitar 8,3 juta jiwa dari jumlah total penduduk di Indonesia yang mengalami buta aksara, dengan proporsi 64% merupakan perempuan dan sisanya laki-laki (data dari Kompas online). 12% dari total jutaan penduduk Indonesia merupakan angka buta aksara yang ada di Jawa Barat (menurut data dari Benni Setiawan dalam tulisan yang dimuat di http://www.bit.lipi.go.id/ pada 3 Juni 2009). Mengingat jumlah yang besar ini, tentunya permasalahan tentang ‘tidak bisa membaca dan menulis’ menjadi soal yang sangat serius. Namun demikian, anggaran dana yang dikeluarkan Pemerintah untuk menangani masalah ini, seperti usaha untuk membangun taman bacaan masyarakat (TBM), masih tergolong minim. Seperti yang dikabarkan oleh harian Kompas online, pada 8 September 2011, anggaran dana untuk membangun TBM hanya berkisar antara Rp 15 juta – Rp 40 juta. Permasalahan ini kian menjadi rumit dengan ditambah faktor-faktor lain yang menyebabkan warga yang sempat bisa membaca, umumnya, menjadi buta aksara kembali karena kurangnya pembinaan berkelanjutan dari pihak-pihak yang bertanggung jawab, dan terbatasnya sarana dan prasarana yang ada.
Dari beberapa sumber yang aku telusuri, usaha-usaha untuk memberantas buta aksara telah banyak dilakukan oleh berbagai elemen negara dan lembaga-lembaga non-pemerintah, baik di tingkat nasional maupun internasional. Baru-baru ini, US Agency for International Development (USAID), Australian Agency for International Development (AusAID), World Vision, dan Departemen Pendidikan Amerika Serikat, mengadakan semacam program kompetisi senilai USD 20 juta yang bertujuan untuk mendukung inovasi tepat guna dan berkelanjutan yang akan meningkatkan melek huruf anak-anak di negara-negara berkembang. Tidak terkecuali Indonesia, para pelaku bisnis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lembaga pendidikan yang ada di dalamnya juga turut diundang untuk berpartisipasi dalam kompetisi global tersebut.
“Kita tak boleh mengabaikan kapasitas orang untuk tergerak oleh argumen kebaikan,” kata Barbara Ward dalam Hanya Satu Bumi, yang pernah dikutip oleh Goenawan Mohammad dalam sebuah artikel “Catatan Pinggir”-nya pada 20 Juni 1981. Apa pun bentuk usahanya, kalau itu memang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat, kita memang harus mendukungnya.
Namun demikian, tanpa bermaksud untuk bersikap terlalu skeptis, aku menjadi bertanya-tanya apakah usaha-usaha dari lembaga di luar masyarakat itu sendiri menjadi satu-satunya cara untuk memberantas buta aksara? Belum lagi ada kepentingan-kepentingan tertentu dari mereka yang bisa saja merugikan masyarakatnya. Bagaimana cara kita bisa memproduksi ilmu pengetahuan dan informasi secara mandiri tanpa perlu bergantung dan berharap lebih kepada lembaga-lembaga besar itu, yang belum tentu mengerti problema sesungguhnya yang ada di masyarakat? Apakah mungkin bagi masyarakat bawah, yang dituding sebagai golongan yang tidak bisa membaca dan menulis itu, melakukan satu usaha sendiri untuk bisa meningkatkan kualitas mereka sebagai pribadi dan sebagai bagian dari massa yang memiliki daya? Aku yakin hal itu bisa dilakukan, karena aku percaya, manusia pada dasarnya memiliki kemampuan ‘membaca’, bagaimana pun bentuk keadaannya, dan mampu berbuat sesuatu untuk menghasilkan hal-hal yang baik bagi diri sendiri dan orang lain.
Apa yang dilakukan oleh Rumah Baca Panter dan Paguyuban Terminal mungkin bisa dijadikan sebagai contoh. Tanpa berlama-lama menengadahkan tangan kepada penguasa, mereka melakukan inisiatif sendiri untuk menciptakan lahan belajar secara mandiri, melalui kerja gotong royong dan kebersamaan warga terminal. Dengan demikian, mereka bisa memproduksi ilmu pengetahuan dan memunculkan akses bagi kebutuhan dan hak-hak mereka.
***
Lantas apa esensinya jika hanya merekam atau menulis, dengan kata lain memproduksi hal-hal yang ada di sekitar kita (masyarakat), untuk dinikmati oleh kita (masyarakat) sendiri pula? Terbentur dengan pertanyaan itu, aku berusaha mencari-cari ingatan lain untuk menjawabnya. Ketika angkot 19 sudah mulai mendekati terminal, aku teringat sebuah kalimat dari Mahardika dalam sebuah tulisannya (dimuat di www.jurnalfootage.net pada 5 Januari 2012). “Masyarakat diberikan kuasa untuk memproduksi pengetahuan atau informasi yang ingin disampaikan dan ditontonnya sendiri. Ini bukanlah semacam onani. Tetapi lebih kepada bagaimana mereka mencoba membaca kebutuhan mereka sendiri.” Warga yang berkegiatan untuk menciptakan akses pendidikan bagi diri mereka sendiri, lalu menghasilkan buah karya (dalam bentuk apa pun) untuk mereka konsumsi sendiri, sejatinya merupakan satu pribadi yang bersedia “merefleksikan diri mereka sendiri dan merenungi apa yang telah mereka lakukan.” Dengan kata lain, ini merupakan satu sikap otokritik dari masyarakat, sebuah sikap yang jarang sekali dimiliki oleh para penguasa-penguasa di bumi pertiwi.
***
“Wah, ada Paul!” seru Bang Andi sambil tertawa senang ketika melihat salah seorang anak jalanan yang aktif belajar di Rumah Baca Panter muncul di layar televisi. Dalam tayangan video yang tidak lebih dari dua puluh menit itu, kami semua terhibur melihat tingkah lucu Paul, yang memiliki nama asli Maulana, saat sedang belajar angka-angka bersama Ririn (anaknya Abah Agus). “Kalau belajar, duduknya yang tegak, fokus…!” kata Abah Agus dalam salah satu adegan di video “Terminal Belajar” kepada Paul.
Paul, anak yang ada dalam video itu juga turut menonton. Ketika kami semua berseru, “Cie, Paul jadi aktor…!”, dia tersenyum-senyum malu sambil menutup wajahnya dengan tangan.
Tak lama setelah video akumassa Depok itu mulai diputar oleh Bang Andi, orang-orang mulai berdatangan meramaikan suasana. Bapak-bapak dan abang-abang, yang biasanya nongkrong di warkop sebelah, berkumpul memadati pintu rumah baca, tertawa dan berseru-seru senang melihat rekaman video tentang ‘rumah’ mereka. Seruan-seruan seperti “Wah si anu…!” atau “Eh, ada si itu…!” tidak berhenti hingga akhir video. Bahkan video itu diputar lagi sampai beberapa kali, dan mereka semua menikmatinya.
Aku, Ageung dan Lulus pun merasa begitu senang melihat antusiasme warga terminal, khususnya para anggota Panter, saat melihat wajah-wajah mereka sendiri di dalam kotak televisi. Saat itu, mereka tidak sedang menonton para artis terkenal; mereka sendiri lah artisnya. Mereka tidak sedang membaca informasi yang biasanya disajikan oleh stasiun televisi pada umumnya; mereka menyantap informasi yang berasal dari keseharian mereka sendiri. Mereka sedang ‘membaca’ apa-apa yang terjadi di sekitar mereka.
Begitu bahagia rasanya, aku sebagai salah seorang partisipan akumassa Depok, melihat secara langsung akan manfaat dari program pemberdayaan masyarakat yang telah dan sedang kami lakukan.
“Kalau begitu, ini aja, ya, yang diputer pas acara peresmian nanti?!” kata Bang Andi. Aku, Lulus dan Ageung mengiyakan. Akan tetapi kami bertiga berjanji pada diri sendiri, ‘membaca’ dan ‘menulis’ tentang Kota Depok dan Terminal Depok, tidak akan berhenti di karya video itu saja, melainkan akan terus berlanjut hingga tak ada lagi yang bisa dibaca.
Usai menonton karya video akumassa Depok itu, ketika maghrib menjelang, kami semua mengeluarkan isi buku dari dalam kardus, dan para pengurus Rumah Baca Panter mulai menyusunnya di rak-rak buku sederhana milik mereka.
Begitu luas makna tentang ‘membaca’. Begitu mulia nilai sebuah aktivitas ‘membaca’. Dan begitu besar manfaatnya ketika kita bisa memahami apa itu ‘membaca’ yang sesungguhnya. Ingatan-ingatan tentang kata ‘membaca’ itu beriak-riak di dalam kepalaku yang sudah mulai berat karena kantuk semakin kuat. “Pinggir, Bang!” seru suara Ageung membangunkanku. Sore sekitar pukul lima, kami tiba di Rumah Baca Panter untuk melakukan satu kegiatan sosial yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. “Ini saatnya untuk melakukan apa yang sedari tadi aku pikirkan!” gerutuku dalam hati.
manshur: asyek!
tlsn yg menarik. sy jg prnh dgr ad rmh bc di terminal, mgkn kpn2 akn main k sana. Trm ksh ats tlsnnya. 😀
sebenarnya ada banyak tempat2 perkumpulan anak muda di Depok terkait dgn aktivitas membaca ini, misalnya saja dari UI, yang saya tahu ada dua: Rumah Baca FISIP UI, yang terletak di Kukusan Teknik, Beji… dan Rumah Belajar BEM UI (krg tahu tempatnya dimana), dan satu rumah belajar juga (lupa namanya) yg terletak di Kukusan Teknik juga (tp bukan mahasiswa UI, melainkan pelajar2 di sekitaran Kutek). Harpannya, akumassa Depok bisa mendeteksi keberadaan mereka semua, dan dikabarkan kepada kahalayak akumassa dan masyarakat Depok.
Senang rasanya mendengar keberadaan rumah baca ini..
Terima kasih telah menyajikan tulisan ini bung
“Untuk apa membaca segudang buku tapi hanya membuat perubahan didalam kamar?” 🙂
membaca buatku; seperti diving, semakin dalam jangkauan selamnya, semakin akan menemukan ‘pemandangan’ yang lebih indah.
#asyeeeekkkkk
Maulana yang akrab disapa Paul, mungkin itu salah satu ikon rumah baca panter di terminal depok,dia anak kecil yang riang, murah senyum, dan manja.
Sesekali ketika rintik hujan, di sebuah warkop sebelah rumah baca, sambil menkmati asap rokok yang bercampur hitamnya karbondioksida yang tak lebih dari hitam dari gelapnya segelas kopi hitam, paul bercerita padaku.
Bahwa Ibunya telah meninggal, lantaran sakit. Kemudian kutanya Bapak mu di mana? Dengan mudah Paul menjawab, setelah ibu meninggal bapak menghilang, kabur dari rumah. Aku melanjutkan, kenapa gak tinggal dirumah nenek aja? Masih dengan mudah paul menjawab, sempet, cuma diusir, gak boleh tinggal dirumah nenek
Terus…. belum sempat aku melanjutkan pertanyaan, Paul lari mengejar temannya, kuperhatikan dari jauh, mereka sedang asik bermain lari-larian.
***
Di lain kesempatan, masih ditempat yang sama, sambil bersandar di sampingku, aku bertanya, “Ul, bau bgt lw, ganti baju sana!” (kuperhatikan hampir seminggu lebih baju yang dipakai Paul tetap baju yang sama
Paul pun tertawa, Ancur lw A’,hehehhe. Paul gk ada baju A’.
Emang pada kemana? tanyaku.
Diambilin(dirampas) sama anak-anak gede. jawab Paul sambil tertawa.
Setelah itu keberikan ia sedikit uang, untuk membeli gorengan, karena Paul ribut-ribut lapar. Selang beberapa jam, aku bertanya “Paul duit yang dikasih tadi dibeliin apa? Paul menjawab “Buat beli sabun A'”, hehehe
***
Masih di waktu yang sama, namun kini di dalam rumah baca, aku bertanya pada Andi, “Bang si Paul kasian banger bajunya diambil-ambilin sama anak terminal.
ANdi menjawab, “iya itu dulu waktu dia main di belakang (terminal bagian belakang) suka dipukulin dia. Makanya sekarang dia di sini, dia ngerasa lebih nyaman”
Dalam hatiku, astaga, Paul, kamu masih ceria.
apa yang gue lihat di terminal adalah sisi lain dari warga lokal: keoptimisan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Dan ini menarik, karena kita jadi tahu bahwa masyarakat pada dasarnya memiliki kemampuan untuk berkembang dengan sendirinya. Kita wajib mendukung dan membantu mewujudkan cita-cita itu.
Cukup sudahlah kita disuguhi oleh tetek bengek siaran TV yang hanya menyoroti kemalangan (sikap pesimis) dari kalangan bawah yang sesungguhnya hanya manipulasi kamera dan konstruksi agenda seting yang membohongi. Melulu meragukan masyarakat justru memunculkan persepsi tidak baik terhadap masyarakat itu sendiri. Kita, yang aktif di ranah media, seharunya tidak menyajikan sesuatu yang ilusif, melainkan menyajikan hal apa adanya, seperti contoh paul yang ternyata bisa gembira ceria dan optimis untuk terus belajar membaca. Kita tidak meragukan kemampuan orang-orang seperti paul untuk mengembangkan potensi dan kapasitas diri.
Ada yang unik saat acara menonton pada waktu itu. Menonton dengan TV yang berukuran 14 inch terlihat tak biasa. Karena TV di Rumah Baca ini menimbulkan efek warna pada video yang kami buat. Video itu seakan-akan dibuat tahun 50’an. Video kami yang penuh warna berubah menjadi hitam putih.
tenang aja lenk, org2 yg suka ngajakin nengok aktivitas di rumah baca BEM FISIP @kutek itu gw tag tulisan ini…. kalo ga baca ya rugi di mereka…hahaha…
tapi tulisanlo padat banget lenk, mungkin lebih enak kalo penuturannya lebih ngalir…karena padat dengan data, biar ga cepet tegang aja… 🙂
Menarik, kalau seandainya rumah baca rumah belajar dan rumah-rumah bermanfaat lainnya menjamur dan saling bekerja sama (partnership, mungkin), akan sangat signifikan memberikan akses pendidikan bagi mereka yang membutuhkan (baik baca maupun belajar), karena kalau menunggu yang ‘berwenang’ bergerak, yang besar bukan manfaatnya tapi anggaran-nya saja.
mantaaap… lumayan buat referensi aksi haha
” Warga yang berkegiatan untuk menciptakan akses pendidikan bagi diri mereka sendiri, lalu menghasilkan buah karya (dalam bentuk apa pun) untuk mereka konsumsi sendiri, sejatinya merupakan satu pribadi yang bersedia “merefleksikan diri mereka sendiri dan merenungi apa yang telah mereka lakukan.” Dengan kata lain, ini merupakan satu sikap otokritik dari masyarakat, sebuah sikap yang jarang sekali dimiliki oleh para penguasa-penguasa di bumi pertiwi.
wah kayaknya sy kena banget nih sama yang ini. menarik sekali membaca tulisan ini dan yang pasti sangat terinspirasi..
salut