Mendengar kata Sekaten bagi masyarakat Solo dan sekitarnya, sudah tidak asing lagi. Begitu juga denganku yang pernah tinggal di Solo selama enam tahun. Setiap tahun, pasti aku mendengar kebar-kabar mengenai Sekaten, baik itu melalui surat kabar atau hanya dari omongan-omongan kecil yang melintas di masyarakat.
Namun, kabar-kabar itu layaknya sebuah angin lalu saja bagiku, karena belum pernah sekali pun aku datang ke Sekaten. Tidak tahu jelas apa sebabnya, mungkin karena dulu aku tidak pernah ada waktu untuk datang ke sana atau memang hanya diriku yang tidak pernah peduli dengan sebuah tradisi. Sungguh aku merasa bersalah apabila mengingatnya.
Enam tahun sudah biarlah berlalu, dan cukuplah untuk menjadi sebuah kenangan. Kali ini, aku tidak mau lagi mengulangi hal itu. Kesempatan telah datang, kuliah sedang libur semester, berarti tidak ada lagi alasan untuk tidak datang ke Sekaten. Walaupun sekarang belum masuk pada acara inti Sekaten, bagiku itu tidak masalah, karena pasti di sana ada pasar Sekaten-nya. Hitung-hitung juga untuk menebus kesalahan karena ketidakpedulianku dulu, maka berangkatlah aku dari Klaten ke Solo untuk datang menontonnya.
“Kiri, kiri, kiri,…yo kiri”, terdengar suara para penyedia jasa penitipan sepeda motor dari pinggir-pinggir jalan ketika aku sudah mulai memasuki jalan masuk menuju Alun-alun Utara Keraton Surakarta, mereka bermaksud untuk menawarkan jasa penitipannya. Begitu banyak di sini para penyedia jasa penitipan itu, namun aku tidak langsung menitipkan sepeda motorku di jasa penitipan yang berada paling depan, melainkan aku mencari tempat penitipan yang paling dekat dengan Alun-alun, supaya tidak berjalan kaki terlalu jauh.
Dari dalam kawasan Alun-alun terdengar suara-suara kemeriahan, membuatku tidak sabar lagi untuk masuk. Segera aku menitipkan sepeda motorku, kemudian langsung berjalan menuju Alun-alun. Sebuah tulisan ‘Wilujeng Rawuh, Maleman Sekaten 2010’ (Selamat Datang, Maleman Sekaten 2010) menyambut di pintu masuk. Maleman sekaten adalah acara yang menyerupai Pasar Malam, dilaksanakan selama kurang lebih satu bulan di Alun-alun Utara Keraton Surakarta, dalam rangka memeriahkan acara Sekaten.
Setahun sekali acara ini diadakan, begitu juga dengan Sekaten. Sekaten yang berasal dari kata syahadatain adalah acara untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dimulai pada tanggal 5 sampai 12 Rabiul Awal atau dalam perhitungan Jawa jatuh pada tanggal 5 sampai 12 bulan Mulud. Sekaten di Solo diadakan oleh Keraton Surakarta, pada tahun ini acara inti Sekaten yang berlangsung selama sepekan, dimulai pada Jum’at (19/2) sampai Jum’at (26/2), ditandai dengan dikeluarkannya gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari ke serambi Masjid Agung Solo, dan diakhiri dengan Grebeg Mulud sebagai puncak acara.
Tidak hanya di Solo, Sekaten yang sudah merupakan tradisi yang sampai saat ini masih dilestarikan dan dipertahankan, secara bersamaan diadakan juga di Alun-Alun Utara Yogyakarta oleh pihak Keraton Yogyakarta. Begitu juga dengan acara yang diselenggarakan, di Solo maupun di Yogyakarta tidaklah banyak berbeda.
Aku datang pada sore hari, bersama temanku Mufti Al Umam. Walau masih sore, namun sudah ada beberapa wahana hiburan permainan yang dijalankan, dan beberapa yang lainnya masih dipersiapkan. Wahana permainan mendominasi setengah lebih bagian Alun-alun, dan sebagian yang lain diisi oleh para pedagang. Semua jenis wahana permainan yang biasanya ada di pasar-pasar malam ada di sini, begitu juga pedagang, dari pedagan makanan, mainan, buku, tas, sandal, sepatu, sampai pedagang korek api sekali pun juga ada.
Setelah sejenak berjalan berkeliling Alun-alun, sebuah mainan olahan kerajinan tangan berbentuk Harimau berwarna kuning ditata berjajar rapi memukau penglihatanku, dan disampingnya ada kerajinan tangan dengan bentuk serta warna lainnya. Mainan seperti itu merupakan mainan khas Sekaten, terbuat dari tanah liat yang kemudian diwarnai.
Belum selesai aku berkeliling, di langit tampak awan mendung tebal seakan hujan akan segera turun. Tidak lama kemudian, ternyata benar, hujan pun datang. Aku sempat bingung mau berteduh di mana, untung saja aku segera teringat dengan Masjid Agung yang berada di sebelah Alun-alun, dengan segera aku menuju ke sana.
Memasuki gerbang halaman masjid, aku melihat di sekitarnya banyak pedagang yang menjual Endog Amal (telur asin) dan Kinang. Kinang adalah racikan daun sirih, gambir, tembakau dan kapur, yang nantinya akan dikunyah. Melihat itu, bagiku sudah tidak begitu kaget lagi, karena aku sudah sering mendapat cerita dari orang-orang tua mengenai hal itu. Selain Endog Amal dan Kinang, menurut cerita yang pernah aku dengar, biasanya ada juga penjual Pecut (cambuk) dan Sego Gurih (nasi uduk).
Ada sebuah kepercayaan unik yang mendasari banyaknya pedagang benda-benda itu. Endog Amal, apabila membelinya dimaksudkan agar orang tersebut suka beramal. Kinang, masyarakat percaya apabila me-nginang (mengunyah daun sirih, gambir, tembakau dan kapur) sambil mendengarkan gamelan yang ditabuh dari serambi masjid pada saat Sekaten, maka akan awet muda dan mendapatkan berkah. Pecut, makna di balik membelinya adalah diharapkan bisa menggiring nafsu supaya berjalan ke jalan yang benar, sebagaimana fungsi dari Pecut yang biasa dipakai untuk menggiring ternak agar berjalan sesuai jalannya. Sego Gurih, membeli dan memakannya sebagai tanda mensyukuri nikmat kehidupan dan segala sesuatunya, serta supaya kehidupan akan semakin nikmat seperti nikmatnya rasa makanan itu.
Selama hujan datang, aku berteduh di serambi Masjid Agung. Untung saja hujan tidak turun begitu lama, sehingga aku dapat segera melanjutkan berkeliling. Sebelum keluar dari halaman masjid, aku menyempatkan diri untuk mengobrol sejenak dengan salah satu pedagang yang menjual Endog Amal dan Kinang. Ibu Hartini namanya (55), perempuan yang sudah mulai masuk usia tua, namun walau begitu wajahnya masih tampak merona.
“Bu’, pripun, laris?” (Bu’, bagaimana, laris?), biasa, sebuah sapaan manis penghantar percakapan, aku ucapkan.
“Nggih ngeten niki Mas, lumayanlah” (ya kayak gini Mas, lumayanlah), jawabnya dengan karakter pengucapan bahasa Jawa khas Solo serta senyum manis keluar dari bibirnya.
“Sampun dhangu sadean wonten mriki?” (sudah lama berjualan di sini?), aku bertanya.
“Yen Kulo nembhe tigang tahun, tapi rencang-rencang kulo niki enten sing pun puluhan tahun” (kalau Saya baru tiga tahun, tapi teman-temanku ini ada yang sudah puluhan tahun), jawabnya.
“..yen nginang niku, manfaat nipun nopo Bu’?” (..kalau nginang itu, manfaatnya apa Bu’?), pertanyaan ini aku tanyakan untuk memastikan cerita yang pernah aku dengar.
“..kagem untu supoyo kiat” (untuk gigi supaya kuat), jawabnya singkat.
“Bileh saget marai dhowo umure niku pripun?” (kalau supaya panjang umurnya itu bagaimana?), aku kembali bertanya.
“Nggih enten sing percoyo ngeten niku..” (ya ada yang percaya seperti itu..), jawabnya lagi.
Kemudian dia menambahinya “wah..bileh ten keraton jogja, sing nginang niku bethen wedhok mawon, tiyang lanang nggih nginang” (kalau di Keraton Jogja, yang nginang itu bukan hanya wanita saja, orang laki-laki juga nginang). Aku sempat kaget mendengarnya, karena sepengetahuanku sebelumnya hanya wanita yang me-nginang.
Obrolan yang lumayan panjang, cukup memberi tambahan wawasan untukku. Dari obrolan itu, aku jadi tahu kalau Kinang yang sudah dibungkus daun pisang dengan takaran satu porsi itu dijual dengan harga seribu rupiah. Sebenarnya harga yang relatif mahal, alasannya karena sekarang harga bunga yang diikut sertakan dalam satu porsian Kinang itu sedang naik, jadi mahal, begitu penjelasan dari Ibu Hartini.
Setelah selesai mengobrol, aku melanjutkan berkeliling pada bagian Alun-alun yang belum terjamah olehku. Lapak demi lapak pedagang dan wahana permainan telah aku lewati, nampaknya semua sisi telah terjamah. Aku tidak bermaksud sampai malam di sini, sehingga ketika petang menjelang, aku segera pulang, dan semoga tradisi Sekaten tidak akan pernah lekang oleh modernisasi yang menghadang.