Tahun 1905, Eugen Koehler dan putranya Woldemar Koehler pemilik sebuah penerbitan di Jerman, menerbitkan beberapa karya lukis Earnts Haeckel dengan judul Wanderbilder, atau dalam bahasa Inggris “Travel Images”. Haeckel adalah seorang profesor biologi di University of Jena. Ia juga dikenal sebagai pelukis naturalis berkebangsaan Jerman yang juga pengikut setia, pelestari, dan pengembang filsafat Darwinisme di Eropa. Wanderbilder adalah sebuah kumpulan lukisan pemandangan dari tempat-tempat indah yang pernah ia kunjungi di daerah tropis selama melakukan pendataan spesies makhluk hidup. Salah satu dari banyak lukisan itu, terselip sebuah pemandangan kampung di tepian danau dengan latar bukit yang berdempetan. Saya menemukannya secara terpisah di internet. Danau itu adalah Danau Singkarak, tertulis di sisi kiri lukisannya dengan tanda tahun 1901.[1]Lukisannya bisa dilihat di Lukisan Danau Singkarak di Wikipedia. Di sana, tertulis bahwa lukisan Danau Singkarak yang dibuat Haeckel 1901 tersebut merupakan salah satu bagian dari kumpulan lukisan Wanderbilder (1905). Lihat juga lukisan Haeckel lainnya dalam Djoko Luknanto, Indonesia Tempo Doeloe. Kalau ditanya, sejak kapan masyarakat dunia mengenal Singkarak, mungkin itu adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Tapi setidaknya publikasi lukisan Haeckel ini menunjukan bahwa keindahan visual danau Singkarak sudah terkabar hingga Jerman sejak 1905.[2]Robert J. Richards, “The Tragic Sense of Erns Haeckel: His Scientific and Artistic Struggles”, dalam Katalog Pameran Darwin – Art and the Search for Origins (Frankfurt: Shirn Kunsthalle, 2009), diakses pada Mei, 2015. Lihat juga Wilhelm Bolsche, Haeckel: His Life and Work, Terjemahan oleh Joseph McCabe (Philadelphia: George W. Jacobs & Co., 1909), diakses pada Mei, 2015.
Entah kapan gambar lukisan Haeckel sampai ke Indonesia. Lukisan itu kini beredar dengan sangat cepat di Internet saat ini, atau mungkin memang hanya tersebar di internet. Terutama dalam situs-situs yang mengabarkan keindahan Indonesia, termasuk Singkarak. Lukisan Haeckel mengingatkan saya pada lukisan Danau Singkarak di sebuah bak truk. Tapi itu sudah lama sekali, mungkin saat saya masih berusia Sekolah Dasar (SD). Saya tidak ingat persis lukisan mana yang saya lihat, karena ada banyak pelukis yang menggambar Singkarak, atau lukisan ini hanya untuk bak truk itu saja. Saya tidak menemukan lukisan itu di internet. Yang jelas, Haeckel melukiskan pemandangan sebuah perkampungan di tepian danau. Beberapa hari lalu, Sibawahi, seorang teman dari Lombok, juga mengirimkan foto lukisan yang diambilnya dari materi kegiatan kurator muda di Jakarta melalui media sosial. Lukisan itu adalah karya Wakidi dengan label Danau Singkarak 1942. Wakidi mengabadikan Danau Singkarak tepat di wilayah Ombilin.
Dalam gambar itu, terlihat sebuah kampung di Pinggiran danau dengan jembatan rel yang dibuat pada kisaran tahun 1892 oleh pemerintah kolonial. Saya membawa foto lukisan Haeckel dan Wakidi itu pada bapak. Mungkin dia ingat sesuatu, jangan-jangan salah satu dari lukisan ini yang saya jumpai di bak truk itu, atau lukisan yang lain. Tapi bapak ternyata juga tidak ingat. Namun, dia ingat lukisan lainnya. Katanya, dia pernah melihat lukisan Danau Singkarak di salah satu rumah makan Padang di Bogor. “Bagus,” kata bapak, jadi bangga dan terkenang kampung. Lukisan itu hampir sama dengan Wakidi. “Sama-sama ada Jembatan Ombilin,” katanya.
Dalam lukisan Wakidi, jembatan rel dan danau diambil dari pebukitan Simawang, sedangkan dalam lukisan yang dilihat bapak, jembatan itu direkam dari sisi danau. Jadi, dari lukisan itu, menurutnya, terlihat Bukit Simawang yang sepertinya menjadi tempat Wakidi mengambil gambar. Tapi, menurut bapak, sepertinya lebih tua lukisan Wakidi. Lukisan yang dilihatnya di rumah makan itu, sudah tampak kedai dan toko di Ombilin itu. Tidak hanya jembatan rel kereta, tapi juga ada jembatan untuk lalu lintas umum, seperti jembatan untuk mobil sekarang. Hanya saja pagarnya waktu itu setengah lingkaran, bukan petak seperti saat ini.
Tapi, tiba-tiba bapak heran, “Emangnya tahun 40-an belum ada jembatan mobil?”
Bapak kelahiran 1956, di Sijunjung, jadi ia tidak tahu persis. Yang ia ingat, waktu jalan-jalan di SD, dia pernah ke Bukittinggi. Jalan itu sudah ada. Pada dokumenter Door de Padangsche Bovenlanden yang diproduksi NIFM Polygoon pada tahun 1940[3]Lihat Fikrul Hanif Sufyan, Door de Padangsche Bovenlanden: Renungan Terhadap Dokumenter Sejarah Minangkabau era 1940. Makalah. Dipresentasikan pada Workshop Public History dan Media Audio Visual, tanggal 28-29 Desember, 2013 di STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh. Diakses dari Talogondan (30 Desember, 2012) pada Mei, 2015. terekam bagian tempat Danau Singkarak yang sudah memiliki jalan darat dan bergandengan dengan rel. Tapi memang filem ini tidak merekam bagian Jembatan Ombilin. Pada tahun 1890, di Ombilin ini juga telah dibangun sebuah jembatan bambu, tetapi tidak tahu pasti apakah jembatan ini dilanjutkan dengan pembangunan jalan atau tidak. Dalam lukisan Wakidi, Singkarak terlihat begitu tentram, cocok sekali untuk promosi wisata. Pendapat yang hampir sama juga saya temukan dalam postingan blog Nasabhary Couto, seorang lulusan seni rupa ITB. Menurutnya, lukisan Danau Singkarak Wakidi memang sangat tentram, tenang, dan damai, namun tetap menyimpan kelemahan:
Ini disebabkan oleh sikap yang belum berhasrat untuk mempelajari alam secara lebih mendalam, ketelitiannya baru dari cara melihat alam dari jauh semata‑mata…Meniru alam dan mengungkapkan keindahannya memang memerlukan pengamatan yang cermat, dan kekurangan seperti ini memang terdapat pada gaya “Hindia Molek”. Dalam seni lukis Wakidi, objek alam kadang‑kadang telah direkayasa di dalam studio, sebab ada objek‑objek benda moderen seperti jalan raya, rumah, tiang telpon dihilangkan dari lukisannya, diganti dengan objek yang menunjang komposisi lukisan secara keseluruhan.[4]Lihat di N-Indeks-Indonesian Art.
Saya khawatir kalau pendapat si penulis mengenai Wakidi, yang sering kali menghilangkan objek ini, benar. Hal ini seakan menunjukan bahwa keindahan Singkarak adalah konstruksi para naturalis saja, biar Singkarak lebih cantik, atau agar lukisan laku. Tapi mungkinkah Wakidi bermaksud lain? Saya tidak punya pikiran tentang itu.
Keindahan Singkarak pada zaman dahulunya memang dikabarkan dengan cara demikian. Peranan pelukis naturalis seperti Heakel, Wakidi, atau pelukis lainnya sangat besar dalam memperkenalkan danau ini secara visual. Keindahan itu bisa disebarkan melalui buku, seperti Haeckel atau seperti melalui bak truk. Apa lagi pada masa sekarang, keindahan ini lebih cepat tersebar melalui internet.
Saya bangga sekali sejak kecil sudah cukup akrab dengan Singkarak. Banyak orang di luar sana yang penasaran dengan keindahan danau yang satu ini. Kepada teman-teman asing, saya sering bilang begini: “Jika kamu datang dari Bukit Barisan, kemudian melihat genangan air yang besar, indah, dikelilingi bukit lainnya, atau kalau kamu sesekali mendaki Gunung Marapi, berdiri di Puncak Marpati, melihat genangan danau besar yang dikelilingi pebukitan, dan indah, benar itu adalah Singakrak. Atau mungkin kamu datang dari arah Solok, dari kota Selatan, langsung bertemu bibir danau, mengikuti jalur lintas utama, kemudian kamu terus melihat danau, dihalangi banyak bangunan kedai, di sebelah kanannya ada banyak pohon kapuk, benar, kamu juga di Singkarak. Atau kamu berhenti, turun ke danau, menemukan airnya berbuih ketika tenang, banyak sampah, itu juga di Singkarak.”
Keindahan Singkarak kini sudah mendunia. Kalau kamu belum pernah datang ke Singkarak dan penasaran dengan keindahannya, ada banyak di internet. Lalu, datanglah, dan saksikan langsung, kalau sudah mendekat bisa jadi kamu akan mulai melihat di sekelilingnya, bersiap-siaplah menikmatinya, atau dikecewakan.
Saya ingat pengalaman saya di pedalaman Mentawai, ketika saya hendak mengambil foto seorang Sikerei di rumahnya, seorang pemuda lokal yang waktu itu mendapingi saya, berkata, “Mending foto di luar rumah saja, nanti kelihatan dispenser (pemanas air) dan radionya, terus jam tangannya dibuka juga biar lebih asli.”
Asli dan kebohongan dalam soal seperti ini sulit dibedakan. Misalnya di internet, sedikit sekali yang tertarik mengungkap apa yang terjadi di Singkarak dibanding-tandingkan dengan foto-foto indah mengenai Singkarak. Saya kira itu wajar, toh, keindahan lebih menjual. Tapi saya menurut teman saya, hal ini wajar, karena sejak ramainya ponsel berkamera dan langsung bisa diunggah ke internet atau ke media sosial, publikasi pangalaman yang menarik sudah menjadi candu setiap penggunanya. Semacam ada kecendrungan, bahwa yang perlu diketahui follower-nya cukuplah pengalaman yang indah saja, bahkan ada yang disunting dulu di komputer untuk menyingkirkan objek yang tidak disukai, seperti bendera partai, sampah, dll. Ya, mereka tidak begitu tertarik mempublikasi kenyataan. Mungkun begitu juga dengan Wakidi tadi.
Dari sekian banyak tulisan mengenai Singkarak di internet, saya menemukan pendapat salah seorang guru SMA dari Batusangkar, namanya Marjohan. Ia menulis judul tulisan pada blognya: “Danau Singkarak Tempat Pembuangan Sampah atau Tempat Rekreasi?”
“Danau Singkarak adalah salah satu danau populer di Pulau Sumatra, di Indonesia dan bisa jadi juga populer di dunia. Danau ini populer karena banyak orang mengatakan bahwa Danau Singkarak ini alamnya begitu indah. Namun, begitu ada orang yang mau mampir di tepi danau ini, mengapa tiba- tiba ada yang membatalkan kunjungan mereka ke sana. Penyebabnya adalah karena mata mereka terasa perih menatap sampah yang betul- betul sudah mencemari keindahan danau ini.”[5]Lihat Marjohan, “Danau Singkarak Tempat Pembuangan sampah atau Tempat rekreasi?”, Pengalaman-Ku Suara Hati-Ku (29 Oktober, 2007). Diakses pada Mei, 2015.
Pendapat Marjohan bisa saja benar, bisa saja berlebihan. Tapi kira-kira begitulah kebenaran yang terjadi di Singkarak. Saya juga pernah punya pengalaman yang hampir sama, waktu itu saya membawa beberapa teman dari luar kota ke Singkarak. Saya ingat, dari Padangpanjang kemudian melewati Batipuh, teman tersebut berseru, “Wow!”. Dia sangat kagum dengan keindahan Singkarak. Wajar saja, saya pun masih sering merasakan hal yang sama setiap melewati daerah ini. Dari sini, keindahan semakin lengkap dengan komposisi sawah, pohon-pohon kelapa, pebukitan yang mengelilingi danau, bahkan kalau cuaca bagus tampak juga puncak Gunung Talang.
Kami berhenti di daerah Ombilin, kebetulan tempat itu memang lapang. Tak jauh dari sana, juga terdapat sebuah bak sampah yang melimpah dan dibiarkan begitu saja. “Wow!” demikian guman teman ini, untuk kedua kalinya. Tentu saja dengan ekspresi yang berbeda.
“…Celoteh seperti itu pasti diucapkan oleh banyak orang yang lewat di seputar pinggir danau ini. Mereka bisa jadi orang Sumatra Barat sendiri, atau orang dari luar Sumatra Barat. Wisatawan mancanegara tentu akan mengatakan: ‘West Sumatra is beautiful but…but….full of rubbish’,” demikian sambung Marjohan dalam blognya.
***
Singkarak memang sangat sering dikunjungi oleh banyak orang. Terutama karena didukung oleh keadaan jalan lintas dari orang-orang yang datang dari arah Selatan menuju Padangpanjang atau Bukittingi. Banyak yang singgah untuk istirahat, berpacaran, memancing, dan ada juga yang sekedar bermenung di sini. Selain itu, Singkarak sebelumnya juga pernah punya agenda rutin ramai wisatawan. Misalnya, sebelum puasa. Masyarakat Solok—dan saya pikir tidak hanya Solok (mungkin juga sebagian besar masyarakat Minangkabau)—punya yang namanya tradisi Balimau. Secara konseptual, balimau sebenarnya adalah ritual pembersihan diri, yang secara teknis sebenarnya dilakukan dengan mandi, dengan melafalkan niat menyucikan diri untuk memasuki bulan yang suci, Bulan Ramadhan. Ini salah satu praktik tradisi yang juga diorong oleh kepentingan agama, yaitu ‘agama orang Minang’[6]Sering muncul pendapat di kalangan budayawan Sumatera Barat, bahwa “Tak Minang kalau tak Islam”. Hal ini berkaitan dengan falsafah masyarakat Minangkabau: “adaik basandikan syarak, syarak basandikan kitabullah” (adat bersendikan syariat, dan syariat bersendikan kitabullah) yang maksudnya adalah setiap perilaku adat tidak boleh bertentangan dengan syariat (aturan agama), dan syariat belandaskan kitab-kitab Allah, yang pada prakteknya adalah kitab agama Islam. Tradisi balimau, juga sering kali mendapat tentangan dari ulama setempat, karena menyatakannya tidak sesuai dengan ajaran agama (syariat).: Islam.
Saya pun dulu sewaktu masih usia sekolah menengah, juga sering melakukan balimau ini. Biasanya, momen libur Ramadhan ini dibarengi dengan libur sekolah, atau kadang diliburkan beberapa hari sebelum Ramadhan. Ada juga di antara orang-orang seusia saya yang melakukan balimau sepulang sekolah. Pada momen seperti ini, tempat-tempat pemandian akan menjadi ramai, seperti kolam renang umum, waterboom, kawasan air terjun, pantai, dan tempat pemandian wisata lainnya di Sumatra Barat, Salah satunya yang paling ramai adalah Danau Singkarak. Mereka datang berombongan, teman-teman sekolah, teman satu komplek, keluarga, maupun pasangansuami-istri atau yang berpacaran. Mulai dari orang tua, muda, dewasa, remaja, anak-anak, dan balita. Ada yang datang naik bus, menyewa mobil, menyewa truk, dan konvoi motor. Pada momen inilah biasanya cerita mengenai Singkarak yang sering kali memakan korban itu terjadi. Ada yang menyebutnya tumbal.[7]Lihat juga berita mengenai isu itu yang juga berkembang melalui media masa, seperti di Haluan “Pengantin Barun Tewas Tenggelam: Tradisi BalimauDiwarnai Duka”, 2012); dan di Kompas.com, “Tradisi Balimau di Danau Singkarak”, 2014.
Bentuk kejadiannya bermacam-macam. Ada yang tenggelam, ada yang kecelakaan, dan lain sebagainya. Meskipun mitos ini berkembang dalam masyarakat Sumatra Barat umumnya, tetapi itu tidak menyurutkan semangat orang-orang untuk datang balimau. Dari yang saya saksikan selama lima tahun terakhir, peminat balimau di Singkarak mulai berkurang, tapi sepertinya bukan karena isu mengenai Singkarak yang butuh tumbal setiap kali tradisi balimau. Menurut saya, alasannya karena orang-orang lebih senang mengunjungi tempat-tempat yang lebih baru, dan yang (mungkin) lebih bersih. Misalnya, Taman Air Minang Fantasi, Nyarai, dan kawasan pantai baru lainnya.
Pada dasarnya, isu mengenai Singkarak yang memakan korban tidak hanya pada tradisi balimau saja. Ada juga yang menyebut bahwa hal itu terjadi setiap tahun. Namun, dalam pandangan saya, hal tersebut terjadi karena kelalaian dan kurangnya kehati-hatian para pengunjung sendiri yang selalu berdesak-desakan. Kematian dalam tradisi balimau, sebenarnya, tidak hanya terjadi di Singkarak, tetapi juga di pantai (Pantai Padang) dan tempat lainnya yang sangat ramai. Kematian tidak hanya terjadi di air atau ketika mandi, tapi juga di jalur lalu lintas kendaraan, yang ramai dan terpusat karena kunjungan balimau.
Selain pada tradisi balimau, Singkarak juga sering dikunjungi pada hari lebaran, liburan, dan perayaan tahun baru atau pergantian tahun. Biasanya, pada momen pergantian tahun ini, jalanan bisa macet total di Singkarak. Karena ada banyak mobil dan kendaran yang parkir di sepanjang jalan. Belum lagi mereka yang mengunjungi Kota Bukittingi, yang datang dari berbagai kota. Ya, Bukittinggi memang lebih ramai dari tempat manapun di Sumatra Barat pada perayaan tahun baru. Pengunjung yang datang tidak hanya dari sebagian besar masyrakat Sumatera Barat, tetapi juga dari Riau dan Jambi. Dalam beberapa kesempatan, saya temui ada beberapa pengunjung yang sebenarnya tidak mampir ke Singkarak, tapi ke Bukittingi, terutama mereka yang datang dari arah Selatan (Kota Solok, Sawahlunto, Sijunjung, Muaralabuh, Darmasraya, dan Jambi). Karena jalanan macet di Singkarak, akhirnya mereka berhenti sejenak di sana.
Yang mengherankan adalah perayaan tahun baru dua tahun terakhir ini: Singkarak terbilang sepi, terutama di akhir tahun. Peristiwa ini saya saksikan langsung.[8]Pada tahun 2012 dan pada tahun-tahun sebelumnya, Danau Singkarak terlihat ramai sejak sore hari. (Lihat Albert Rahman Putra, “Rekaman Akhir Tahun”, Gubuak Kopi, 29 Januari, 2012.) Sementara itu, pada tahun 2013, perayaan tahun baru di Singkarak mulai sepi. (Lihat Albert Rahman Putra, “Tahun Baru Oplosan”, Gubuak Kopi, 4 Oktober, 2014.). Hal serupa juga diakui Pak Gaekdan Pak Mali dua orang pedagang di Danau Singakarak, pada perayaan akhir tahun 2013.[9]Lihat Albert Rahman Putra, “Muara Lembang”, Gubuak Kopi, 23 Mei, 2015 Mereka semua heran, padahal malam itu tidak ada hujan. Beberapa hari kemudian, saya sempat berbicara dengan Nova, anak perempuan Pak Mali, yang sudah memiliki seorang anak berusia kurang dari lima tahun. Nova sebenarnya tidak terlalu tua dari saya, dia seperti anak muda lainnya yang juga menikmati malam pergantian tahun dengan suaminya. Menurut Nova, pada malam tahun baru 2014 itu, Singkarak memang sepi. Orang-orang lebih banyak menuju Puncak Pas, yaitu salah satu puncak di perbukitan sekitar Danau Singkarak. Dari puncak tersebut, akan terlihat pemandangan danau yang lebih indah dari pada melihatnya dari dekat.
Begitu juga pada perayaan akhir tahun 2014, Singkarak juga terbilang sepi. Orang-orang yang biasa mengunjungi Singkarak, menurut Nova, tidak hanya beralih ke puncak Pas, tetapi juga puncak Aua Sarumpun dan beberapa pebukitan lainnya. Lokasi ini juga baru dibuka beberapa tahun lalu dan baru ramai pada tahun 2014. Menurut Nova, dari lokasi itu, terlihat jelas pemandangan Singkarak dari ketinggian yang, tentu saja, lebih indah. Dua minggu lalu, saya juga mulai melihat orang menaiki sebuah bukit yang indah di tepian danau. “Puncak Thailand”, demikian orang-orang menyebutnya. Sebenarnya, saya juga sudah lama merencanakan untuk menaiki tempat ini, tapi sekarang sepertinya sudah mulai ramai, saya khawatir tempat ini akan segera ada pemiliknya, alias orang yang merasa punya hak untuk menerima uang dari pemanfaatan tempat ini, atau kadang dengan alasan kebersihan. Tapi kami para wisatawan lebih senang menyebutnya pungli (pungutan liar).
Uang Kebersihan
Peristiwa Pungli, seperti yang saya sebutkan, memang sering terjadi di Singkarak, atau pada tempat wisata umumnya di Sumatra Barat. Modusnya bermacam-macam, seperti uang parkir yang berlebihan. Pak Ali pernah cerita, bahwa dulu di Ombilin, sebelum dibangun dermaga, ada seorang pemuda lokal yang menarik ongkos parkir mobil sampai Rp20.000,- (dua puluh ribu rupiah). Padahal, si pemilik mobil hanya mampir untuk belanja, karena di situ memang pusat kuliner khas Singkarak. Pak Ali dan pedagang lainnya marah pada pemuda tersebut, karena itu bisa membuat pembeli atau pengunjung malas untuk datang lagi. Selain itu, banyak juga pasangan yang pergi berkencan di pinggiran danau, ditanya-tanyai oleh pemuda setempat. Awalnya datang meminta uang parkir, lalu datang lagi yang lain minta uang kebersihan, lalu ada lagi yang menyebutnya uang keamanan. Menurut Pak Ali, itu hanya kilah saja, apa lagi kalau yang memarkir kendaraan adalah pasangan yang membawa mobil. Bisa sampai Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Kalau tidak mau bayar, siap-siap saja dituduh mesum. Kalau sudah dituduh mesum, urusan akan jadi panjang: akan datang pemuda yang lebih ramai lagi.
Namun, praktik ini, menurut Pak Ali, sudah mulai berkurang. Sekitar tahun 2012 atau 2013, pernah ada kejadian beberapa orang pemuda menangkap pasangan yang dituduh mesum di pinggiran danau.
“Kadang, ntah iyo mesum, ntah indak. Kadang urang pai pacaran biaso-biaso se. Tapi wakatu tu, yo tampek nyo kalam, malam, lah langang lo daerah Kacang sampai Ombilin,” (Kadang, tidak tahu apakah mereka beneran mesum atau tidak. Kadang cuma orang pacaran yang biasa-biasa saja. Tapi waktu itu memang tempatnya agak gelap, lagi pula malam, juga sangat sepi mulai dari daerah Kacang hingga Ombilin) kata Pak Ali.
Lima orang pemuda lokal yang menuduh perbuatan mesum tersebut malah memperkosa si perempuan itu. Ada yang mengatakan perempuan ini akhirnya bunuh diri, ada yang mengatakan dibunuh. Menurut Pak Ali, perempuan korban perkosaan dan pembunuhan itu ternyata memiliki saudara laki-laki yang berprofesi sebagai brimob. Maka, sejak saat itu, sering muncul mobil yang parkir di tempat gelap, seolah-olah sedang mesum, tapi sebenarnya mereka adalah kelompok brimob yang sedang mencari pelaku tersebut. Lima orang pemuda lokal tersebut hingga sekarang, belum ditemukan.
Mengenai pungli tadi, biasanya terjadi pada anak-anak sekolahan, terutama yang berpasangan. Pungutan yang paling sering terjadi adalah pungutan kebersihan.
“Inilah risiko kalau tidak nongkrong di salah satu kedai,” demikianlah menurut teman-teman saya. Para pemuda lokal, biasanya, memang akan menghampiri anak-anak sekolah atau pasangan yang tidak parkir di salah satu kedai, apalagi kalau tempat itu sepi. Biasanya, pemuda tersebut akan menunggu dulu. Maksudnya, memberi kesempatan pada pasangan-pasangan itu untuk melakukan hal-hal yang aneh dulu, baru memarahinya, minta uang, minta hp, dan lain-lain. Kalau mereka terlihat tidak melakukan apa-apa, barulah alasa minta uangnya adalah pungutan kebersihan. Memang, sepengetahuan saya, banyak sekali wisatawan yang membuang sampah sembarangan, kadang dibiarkan berserakan di pinggiran danau, kadang malah langsung dibuang ke danau. Tapi semua orang tahu, mereka yang meminta pungutan kebersihan tadi, tidak pernah membersihkannya. Oleh teman saya, itu sudah digolongkan cukup baik, kalau pemudanya ‘ganas’ ditambah pula kalau malam hari, ya mungkin bisa dituduh mesum juga. Beruntung tidak seluruh pemuda yang demikian, sisa banyak yang lebih memilik cuek.
Ya, cuek… Mungkin dari dalam diri, mereka sadar, mereka adalah pendatang. Terutama orang yang mendirikan bangunan di sepanjang jalan lintas utama, sebagian besar mereka datang dari kampung perbukitan sebelah Barat danau. Menyadari keindahan danau sebagai lokasi dagang yang strategis, tetapi kadang kehadirannya malah merusak keindahan itu. Michael D. O’Brien dalam A Father’s Tale mengatakan, “Yet he saw that in all places there was originality, resulting from the human efforts at decoration and ingenious methods of survival.” Bahwa pada setiap tempat terdapat sesuatu yang orisinal, hasil dari perlakuan manusia dalam bertahan hidup.
Di Minangkabau, dahulunya terdapat tiga wilayah otonomi, disebut Luhak Nan Tigo: Luhak Tanah Data, Luhak Agam, dan Luhak Limopuluah Koto. Ketiga luhak itu disebut juga dengan wilayah darek, yang merupakan wilayah asal orang Minangkabau. Lalu, diriwayatkan suatu ketika, penduduk semakin banyak, lahan tempat tinggal ataupun perekonomian semakin sempit. Beberapa masyarakat turun keluar dari daerah darek dan membuka wilayah baru, termasuk Padang dan daerah peisir pantai lainnya, serta sebagian besar wilayah Solok sekarang. Namun, secara adat, mereka masih terikat dengan otonomi tiga luhak tadi. Peristiwa inilah yang disebut sekarang dengan istilah Marantau. Semacam migrasi mencari wilayah mencari nafkah.[10]Tiga wilayah otonomi tersebut pada dasarnya terletak di daerah perbukitan di sekitaran Gunung Marapi. Lalu, sejak zaman Belanda, wilayah darek dikategorikan lebih luas menjadi wilayah-wilayah perbukitan di Minangkabau atau dalam istilah belanda disebut Padang Bovenlanden (Dataran Tinggi Padang).
Keberadaan Singkarak yang berada di tepian jalan lintas utama sekarang (Timur danau), sebelumnya tidak memiliki penduduk. Terlihat dalam film Door de Padangsche Bovenlanden (1940), kereta melewati jalanan kosong tanpa bangunan mengikuti alur rel kereta. Tapi sekarang bangunan sudah sangat ramai, bahkan hampir di sepanjang jalan. Seperti yang dikatakan O’Brien tadi, maka Singkarak hari ini adalah sebuah tempat cerminan dari tindakan penghuninya, dalam mendekorasi dan memeras otak untuk bertahan hidup.
***
Gaya lukisan ‘Hindia Molek’ menawarkan suatu kedekatan dengan alam, tetapi alam yang eksotis. Melihat lukisannya seakan kita berada pada suatu panorama yang indah, seperti lukisan Danau Singkarak karya Wakidi. Kita seolah berada pada sebuah bukit, menyimak perkampungan di tepi danau yang asri. Wakidi lahir di Palembang, pada tahun 1889. Ia sempat belajar melukis pada van Dick seorang pelukis belanda di Kweekschool, Bukittinggi. Ia tamat dari sekolah itu pada tahun 1908, sejak saat itu ia menetap dan mengajar di sana. Selain mengajar, ia terus melukis keindahan Sumatera Barat hingga Ia meninggal di Bukittingi pada tahun 1979.[11]Lihat “Wakdi” di Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas.
Gaya “Hindia Molek”, sudah berkembang setelah generasi Raden Saleh, sekitar tahun 1800-1900. Selain Wakidi tokoh terkemuka Hindia Molek lainnya ialah Abdullah Suriosubroto (Ayah Basuki Abdullah) dan Pirngadie. Gaya lukis ini masih berkembang sampai sekarang. Salah satunya di Bukittingi. Di sana, lukisan-lukisan alam yang indah dapat kita lihat, dijual di galeri-galeri ataupun di tempat-tempat wisata. Rata-rata pembelinya para perantau, dan juga orang yang kagum dengan keelokan alam Sumatera Barat. Seperti pendapat Bapak, Lukisan Danau Singkarak yang ia temukan di Bogor itu, seakan memberikan kerinduan pada kampung halaman, sekaligus pelepas kerinduan itu. Barang kali, perasaan ini juga yang memotivasi Mohammad Hatta (tokoh nasional kelahiran Bukittingi), atau Adam Malik (tokoh nasional yang pernah bersekolah di pesantren Parabek, Bukittingi) atau pembeli lainnya untuk mengkoleksi lukisan Wakidi.
Di sisi lain, lukisan Hindia Molek, terutama lukisan lampau, bagi saya juga menjadi catatan sejarah tentang peristiwa yang berkaitan dengan objek alam itu sendiri. Dari sana, kita seharusnya bisa melihat bagaimana pola perkembangan atau perubahan di suatu tempat. Atau, seperti yang juga dikatakan O’Bein, bagaimana masyarakat memeras otaknya untuk bertahan hidup, yang mungkin tercermin dalam keorisinilan tempat. Namun sayangnya, ‘Hindia Molek’, baik itu lukisan maupun fotografi, sering kali lebih menonjolkan keindahan saja. Mereka seakan mengenyampingkan realitas yang sesungguhnya sehingga kenyataan itu masih tetap buram.∎
Footnote
1. | ⇑ | Lukisannya bisa dilihat di Lukisan Danau Singkarak di Wikipedia. Di sana, tertulis bahwa lukisan Danau Singkarak yang dibuat Haeckel 1901 tersebut merupakan salah satu bagian dari kumpulan lukisan Wanderbilder (1905). Lihat juga lukisan Haeckel lainnya dalam Djoko Luknanto, Indonesia Tempo Doeloe. |
2. | ⇑ | Robert J. Richards, “The Tragic Sense of Erns Haeckel: His Scientific and Artistic Struggles”, dalam Katalog Pameran Darwin – Art and the Search for Origins (Frankfurt: Shirn Kunsthalle, 2009), diakses pada Mei, 2015. Lihat juga Wilhelm Bolsche, Haeckel: His Life and Work, Terjemahan oleh Joseph McCabe (Philadelphia: George W. Jacobs & Co., 1909), diakses pada Mei, 2015. |
3. | ⇑ | Lihat Fikrul Hanif Sufyan, Door de Padangsche Bovenlanden: Renungan Terhadap Dokumenter Sejarah Minangkabau era 1940. Makalah. Dipresentasikan pada Workshop Public History dan Media Audio Visual, tanggal 28-29 Desember, 2013 di STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh. Diakses dari Talogondan (30 Desember, 2012) pada Mei, 2015. |
4. | ⇑ | Lihat di N-Indeks-Indonesian Art. |
5. | ⇑ | Lihat Marjohan, “Danau Singkarak Tempat Pembuangan sampah atau Tempat rekreasi?”, Pengalaman-Ku Suara Hati-Ku (29 Oktober, 2007). Diakses pada Mei, 2015. |
6. | ⇑ | Sering muncul pendapat di kalangan budayawan Sumatera Barat, bahwa “Tak Minang kalau tak Islam”. Hal ini berkaitan dengan falsafah masyarakat Minangkabau: “adaik basandikan syarak, syarak basandikan kitabullah” (adat bersendikan syariat, dan syariat bersendikan kitabullah) yang maksudnya adalah setiap perilaku adat tidak boleh bertentangan dengan syariat (aturan agama), dan syariat belandaskan kitab-kitab Allah, yang pada prakteknya adalah kitab agama Islam. Tradisi balimau, juga sering kali mendapat tentangan dari ulama setempat, karena menyatakannya tidak sesuai dengan ajaran agama (syariat). |
7. | ⇑ | Lihat juga berita mengenai isu itu yang juga berkembang melalui media masa, seperti di Haluan “Pengantin Barun Tewas Tenggelam: Tradisi BalimauDiwarnai Duka”, 2012); dan di Kompas.com, “Tradisi Balimau di Danau Singkarak”, 2014. |
8. | ⇑ | Pada tahun 2012 dan pada tahun-tahun sebelumnya, Danau Singkarak terlihat ramai sejak sore hari. (Lihat Albert Rahman Putra, “Rekaman Akhir Tahun”, Gubuak Kopi, 29 Januari, 2012.) Sementara itu, pada tahun 2013, perayaan tahun baru di Singkarak mulai sepi. (Lihat Albert Rahman Putra, “Tahun Baru Oplosan”, Gubuak Kopi, 4 Oktober, 2014. |
9. | ⇑ | Lihat Albert Rahman Putra, “Muara Lembang”, Gubuak Kopi, 23 Mei, 2015 |
10. | ⇑ | Tiga wilayah otonomi tersebut pada dasarnya terletak di daerah perbukitan di sekitaran Gunung Marapi. Lalu, sejak zaman Belanda, wilayah darek dikategorikan lebih luas menjadi wilayah-wilayah perbukitan di Minangkabau atau dalam istilah belanda disebut Padang Bovenlanden (Dataran Tinggi Padang). |
11. | ⇑ | Lihat “Wakdi” di Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. |