Jauh sebelum alat transportasi mesin ada, manusia memanfaatkan tenaga hewan guna membantu pekerjaannya. Seperti petani yang menggunakan kerbau atau sapi untuk membajak sawah sebelum mesin traktor, kuda dan keledai digunakan untuk membantu manusia mengangkat barang bawaan mereka, yang kemudian berkembang dengan menambah kereta, akhirnya sekarang sudah ada mobil dan alat angkut lainnya. Di beberapa tempat, masyarakat masih saja menggunakan alat transportasi sederhana tersebut meski alat transportasi mesin sudah membanjir.
Beberapa tahun yang lalu, masih kita jumpai di Kota Pemenang para pengangkut kelapa, ubi, kemiri dan hasil bumi lainnya yang menggunakan tenaga kuda. Umumnya, para pengangkut ini berasal dari Dusun Tebango Bolot dan Dusun Terengan. Mereka memanfaatkan tenaga kuda untuk mengangkut hasil kebun mereka, untuk dijual di Pasar Pemenang. Istilah ini, dalam bahasa Pemenang, sering kami sebut dengan ‘tukang pondong’. Sekarang, tukang pondong sudah tidak ada lagi. Alat pengangkut yang digunakan sekarang adalah sepeda motor. Beberapa orang tukang pondong dari Dusun Tebango Bolot, mengaku berpindah ke sepeda motor karena lebih cepat, dan akses jalan ke Tebango Bolot sekarang sudah ada. Lalu, kemana kuda-kuda itu pergi?
Di Pemenang, ada sebuah alat angkut yang menggunakan tenaga kuda dengan kereta di belakangnya yang kami sebut dengan cidomo. Alat angkut ini sudah ada sejak lama. Ada dua jenis cidomo yang kami kenal, yaitu cidomo dongol yang digunakan khusus untuk mengangkut barang, dan cidomo penumpang. Sesuai namanya, cidomo jenis terakhir hanya digunakan untuk mengangkut orang atau penumpang.
Almarhum Man Hadri, salah seorang tetanggaku dulu, memiliki beberapa cidomo. Kebetulan, aku sekelas dengan anaknya, Fauzi. Setiap sore, Man Hadri mengajak Fauzi membawa kuda-kuda kesayangannya ke kali yang tidak jauh dari rumahku untuk dimandikan. Saat itu, Meski masih sangat kecil, Fauzi sudah sangat cekatan mengendalikan kuda. Sebagai sahabat baik, tentu aku sering diajak oleh Fauzi ikut memandikan kuda ke kali. Tentu tidak aku tolak ajakan itu. Sebab, menaiki kuda bagiku memiliki kesenangan tersendiri yang luar biasa. Suara derap beirama kaki kuda di jalan beraspal menemani kami sampai tiba di Kali. Sesekali, Man Hadri mengajakku untuk ikut nambang (istilah yang digunakan para kusir, untuk pergi narik cidomo). Trayek nambang para kusir cidomo adalah trayek kesenanganku, Jalan Raya Bangsal. Kini, Man Hadri sudah meninggal. Usaha cidomo dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Izi. Fauzi sendiri sekarang menjaga kios yang dibangun kakaknya.
Tidak di semua tempat di Lombok Utara yang bisa kita jumpai adanya cidomo. Hanya di dua tempat saja. Di Kecamatan Pemenang dan di Kecamatan Tanjung. Di Tanjung, cidomo bisa kita jumpai di Pasar Umum Tanjung. Sedangkan di Pemenang, cidomo bisa kita jumpai di beberapa tempat: di Pasar Umum Pemenang, Perempatan Pemenang, Terminal Bangsal dan di Pelabuhan Bangsal, serta di Tiga Gili.
Setiap pagi, akan kita lihat barisan cidomo di depan Pasar Pemenang. Cidomo-cidomo ini nantinya akan mengangkut ibu-ibu dari pasar ke kampung-kampung di sekitar Pemenang. Di Perempatan, para kusir cidomo biasanya menunggu kendaraan-kendaraan umum dari Mataram yang kebetulan menurunkan penumpang di Perempatan Pemenang. Sedangkan di terminal dan Pelabuhan Bangsal, cidomo biasanya mengangkut masyarakat Tiga Gili, pekerja pariwisata di Gili dan juga para wisatawan.
Sebagai alat trasnportasi tradisional, cidomo memiliki berbagai macam permasalahan, baik itu yang muncul dari dirinya maupun yang disebabkan oleh faktor yang lain. Misalnya, di Jalan Udayana Mataram, cidomo dilarang melewati jalur tersebut karena dianggap bisa mengotori jalan raya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian para pemiliki cidomo terhadap kotoran kuda mereka. Di Pasar Pemenang, beda lagi. Pagi hari, sering sekali terjadi kemacetan lalu lintas yang disebabkan oleh cidomo-cidomo yang parkir di depan pasar, yang memakan badan jalan. Sering sekali terdengar keluhan dari pengguna jalan akan hal ini. Di Terminal Bangsal dan di Pelabuhan Bangsal, problematika cidomo berbeda lagi, bahkan lebih unik. Sebab ia terkait dengan banyak kepentingan. Apalagi jika kita melihat dari sudut pandang pariwisata. Cidomo, sebagai alat trasnportasi tradisional yang sudah mulai langka, mestinya menjadi salah satu daya tarik bagi wisatwan. Namun apa yang terjadi?
Semenjak kami (Komunitas Pasirputih) berpindah sekretariat ke Terminal Bangsal, kami sudah menyadari ada yang tidak beres di Terminal Bangsal sehingga hampir setiap hari terminal ini kami bicarakan. Belum lagi ditambah informasi-infomrasi dari sahabat dan kawan kami yang kebetulan mencari nafkah dan beraktivitas di Terminal Bangsal. Pernah suatu pagi, kami melihat beberapa kusir cidomo menghentikan sebuah bus besar. Sesaat setelah itu, terdengar percekcokan antara para kusir cidomo dan sopir bus. Seingat saya juga, ketika rekan-rekan berajahaksara sedang melakukan riset, beberapa sopir menduduki pos jaga yang ada di depan terminal. Para kusir cidomo ini mengaku menduduki tempat itu karena tuntutan mereka belum dipenuhi oleh Dinas Perhubungan. Beberapa hari kemudian, setelah kejadian itu, di suatu pagi, para kusir cidomo ini berbondong-bondong mendatangi Sekretariat Komunitas Pasirputih, meminta temanku Jatul untuk membuatkan nomor di badan gerobak cidomo. Mereka datang sambil menyodorkan sedikit uang untuk membeli cat semprot dan perlengkapan lainnya.
Judin Si Kusir Cidomo
Untuk lebih jelasnya masalah ini, saya kemudian mengunjungi seorang tetangga saya. Judin, namanya, seorang bapak dari dua anak. Sudah hampir 20 tahun ia menjadi kusir cidomo dengan trayek Terminal Bangsal-Pelabuhan Bangsal. Ia sudah memulai karir menjadi kusir cidomo sejak umur belasan tahun. Pernah berhenti beberapa tahun dan memutuskan merantau ke Bali. Setelah kembali dari tanah rantau, ia kembali lagi menjadi kusir cidomo, hingga saat ini.
Saat mengunjungi Judin, dia sedang asyik menikmati santap malam bersama keluarga. Saya diminta menunggu sebentar di amben (teras tempat menerima tamu). Saya duduk menunggu sambil memperhatikan cidomo Judin yang diparkir di depan rumahnya. Sebuah penutup dari plastik coklat menutupi tubuh cidomo tersebut. Tanah tempat cidomo itu berdiri masih basah oleh sisa hujan semenjak siang hingga sore tadi. Nampak percikan tanah basah tersebut di badan gerobak cidomo yang bernomor lambung 16 itu. Nomor itu dilingkari warna merah dan nomor itu sendiri berwarna hitam. Aku langsung ingat beberapa saat lalu, ketika semua kusir cidomo datang ke sekretariat untuk dibuatkan nomor lambung.
Judin muncul dari ruang dalam rumah dan langsung menjabat tanganku. Dimintanya istrinya membuat kopi, menemani perbincangan kami dalam suasana malam yang dingin. Kukeluarkan ponsel untuk merekam perbincangan kami, serta sebuah buku dan pulpen. Judin tentu tidak heran. Sebab, ia sudah sangat dekat dengan kegiatan yang dilakukan oleh kawan-kawan Pasirputih. Dulu, Judin sering duduk-duduk di sekretariat kami sembari menunggu penumpang, sembari menanyakan kegiatan-kegiatan Pasirputih. Jadi, ketika aku datang malam itu, dia tidak menanyakan tujuan kedatanganku. Kami langsung saja berbincang.
“Kenjekak kami ngeraosang masa depan Lombok Utara ni…,” (Kami sedang membicarakan masa depan Lombok Utara, nih…), ujar Judin pada istrinya yang datang membawa dua gelas kopi hangat. Ungkapan itu menjawab pertanyaan istrinya yang melihat perbincangan itu sedikit serius.
(Percakapan sudah ditranslate dari Bahasa Sasak ke dalam Bahasa Indoneisa, tanpa mengurangi makna dan maksud dari percakapan).
“Sekarang sudah sedikit teratur, tidak seperti dulu lagi,” Judin memulai percakapan, “Hanya saja, akhirnya kami semua membayar, sejenis pajak, lah, ke Pemerintah sebesar lima ratus ribu rupiah. Uang ini kami bayarkan setiap bulan…,”
“Lima ratus ribu per cidomo?” Tanyaku.
“Tidak! Masing-masing kami membayar sama-sama sedikit. Dalam satu bulan, satu cidomo membayar sekitar tiga puluh ribu rupiah. Bahkan, jika diminta lima ribu rupiah per hari pun kami siap!”
“Memangnya, per hari dapat berapa duit?”
“Ya…, itu tergantung ramai atau tidak. Sesepi-sepinya penumpang, dapatlah… lima puluh ribu rupiah. Kalau lagi musim ramai, dan kalau untung lagi baik, dapatlah di atas dua ratus ribu.”
Judin mempersilahkanku meminum kopi selagi hangat. “Kok, kopi ini rasanya begini?” tanya Judin kepada istrinya. “Itu makanya, mungkin ini kopi kadaluarsa,” jawab istri Judin dari dalam, sambil menonton televisi bersama anaknya. Judin kembali mengacuhkan kopi ketika aku bertanya tentang bagaimana terminal saat ini, setelah secara fisik terminal sudah diperbaiki.
“Ya, intinya, sekarang kami (kusir cidomo) mau diatur oleh mereka (Dinas Perhubungan). Mereka mengatakan, jika kami masih mau di terminal, kami harus mengikuti persyaratan yang mereka ajukan, yaitu memperbaharui cat cidomo, membuat nomor lambung dan membuat baju persatuan. Mereka memberikan saran tentang hal ini, ya…, kami ikuti. Meski pendanaan dari kami semua. Ya, awalnya cukup rapi, tapi belakangan sudah gak pakai baju persatuan lagi. Namanya juga dulu masih baru.”
Jawaban Judin membuat rasa penasaranku semakin besar, terutama tentang pernyataan dari Dishub tentang keberadaan cidomo. Keberadaan cidomo sebagai alat trasnportasi lokal di terminal, setahuku, sudah cukup lama. Lalu, kenapa ada ucapan ‘Jika kalian (para kusir cidomo) masih mau di terminal?’ dari Dishub? Judin memperbaiki duduknya, dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Judin mengakui bahwa para kusir cidomo ini sempat diusir dari Terminal Bangsal, bahkan berita ini menurutnya sempat dimuat di koran.
Waktu itu, sempat ada wacana untuk menjadikan Terminal Bangsal sebagai Pasar Seni. Sontak saja, para kusir cidomo ini tidak setuju. Mereka menghadap ke DPR dan menyampaikan aspirasi terkait permasalahan ini. Ketidaksetujuan ini, sebenarnya dilandasi dari kecurigaan para kusir ini bahwa cidomo akan dihilangkan sebagai angkutan tradisional. Sebab, saat itu, belum ada kejelasan akan mangkal di mana cidomo-cidomo ini jika terminal sudah disulap menjadi Pasar Seni. Itulah mengapa, pihak Dishub menginginkan para kusir cidomo ini seperti itu. Namun, para kusir ini pun mengajukan permintaan agar penjagaan di Pos Terminal diaktifkan kembali, dan semua angkutan yang membawa penumpang harus menurunkan penumpang di dalam terminal. Karena jika semua angkutan boleh masuk ke Bangsal dan menurunkan penumpang di Bangsal, akan mengancam keberadaan cidomo. Alasan kuat yang juga disampaikan oleh para kusir cidomo saat itu adalah, apa gunanya ada terminal jika semua kendaraan langsung masuk ke pelabuhan dan tidak mau menurunkan penumpang di terminal?
Kapolres Lombok Utara, yang hadir sebagai penengah waktu itu, mengajak semua pihak untuk sama-sama menimbang baik dan buruknya. Kepala Dishub diminta berpikir seandainya dia adalah kusir cidomo, pun sebaliknya para kusir cidomo diminta untuk berpikir seandainya mereka adalah Kepala Dinas Prhubungan.
Judin mengaku bahwa akhirnya, para kusir cidomo menyepakati apa yang diinginkan oleh Kepala Dishub saat itu. Para kusir cidomo menerima itu sebagai sebuah keputusan yang baik.
“Kami mau diatur. Sebab bagaimanapun, inilah jalan kami mencari nafkah. Ada beberapa rekan kami kemudian tukar-tambah cidomo mereka yang rusak dengan cidomo yang lebih baik, meski harus menambah tiga juta rupiah. Ada juga yang menukar kuda mereka dengan kuda yang lebih baik,” jelas Judin.
Hari berganti minggu, minggu berganti-ganti, tidak juga ada petugas datang di Pos Jaga Terminal. Akhirnya, para kusir cidomo mengambil alih pos tersebut, dan mulailah mereka menjadi penjaga kendaraan yang ingin masuk dan menurunkan muatan di Pelabuhan Bangsal.
“Kami sudah menunjukan itikad baik untuk berubah dan mau diatur. Para kusir cidomo sudah melakukan apa yang diinginkan oleh Dishub. Namun, sampai saat itu, tidak juga ada apa yang jadi keinginan mereka dipenuhi.”
Suatu ketika, Kepala Dishub lewat di depan terminal menggunakan mobil dinas. Maka, semua kusir cidomo menghadang mobil dinas tersebut, mengeluarkan Kepala Dinas dari mobilnya, dan mendudukkan si Kepala Dinas di Pos Jaga. Para kusir cidomo berdiri mengelilingi Sang Kepala Dinas, menagih janji-janji yang ia sampaikan dulu. Akhirnya, dimintalah Pak Sahri (nama salah seorang petugas jaga dari Dishub), untuk bertugas menjaga Pos. Keberadaan Pak Sahri sebagai petugas penjaga pos, melegakan para kusir cidomo saat itu.
Kemudian, setelah beberapa lama, kembali lagi Si Pak Kepala Dinas datang ke Terminal. Dilihatnya Pak Sahri bertugas. Kemudian, ia bertanya kepada Pak Sahri kenapa ia berjaga di Pos. Padahal, menurut Kepala Dinas itu, ia hanya meminta Pak Sahri untuk datang mengontrol saja, dan membiarkan mobil masuk ke Pelabuhan Bangsal. Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh para kusir cidomo. Jika semua kendaraan masuk, buat apa cidomo ada?
“Kembali lagi kami ke Tanjung (lokasi Kantor DPR—red)”, ungkap Judin. Judin melanjutkan, “Padahal, saat itu, banyak sekali saksi yang mendengar bagaimana perjanjian Si Kepala Dinas dengan para kusir cidomo. Si Kepala Dinas ini, ingin memberikan kami uang dari pungutan mobil-mobil yang masuk ke Pelabuhan Bangsal. Ya, kami tidak mau seperti itu. Masak kami tidak kerja tapi dikasih uang? Lama-kelamaan, ya, pasti hilang juga cidomo ini jika seperti itu. Kepala Dinas mengatakan kepada kami, bahwa kami hanya boleh membawa penumpang dari Pelabuhan Bangsal ke Terminal Bangsal. Sementara, tidak akan ada kendaraan yang masuk ke terminal. Lah…! Siapa yang akan kami angkut, sementara semua mobil sudah ada di Pelabuhan? Ini sama saja dengan menghilangkan cidomo dari Terminal Bangsal secara perlahan. Padahal, cidomo sudah ada, sebelum pembentukan Kabupaten Lombok Utara ini. Sekarang, ketika semua sudah bersih, tiba-tiba kami mau dibuang? Gimana, tuh…!?”
Itulah mengapa, untuk menguatkan posisi mereka di Terminal Bangsal, para kusir cidomo ini akhirnya sepakat untuk membayar pajak bulanan ke Dishub. Ini pun merupakan saran dari pegawai-pegawai Dishub yang ada di terminal.
“Ya, kami tidak berani mengosongkan bayaran bulanan itu. Itu sebagai kekuatan kami. Bahwa tidak ada alasan pihak Dishub untuk mengeluarkan kami dari terminal, sebab kami sudah membayar pajak,” ungkap Judin.
“Yok…, Weh (nama panggilanku di kampung), kok kopi ini rasanya begini? Tenggorokan saya jadi sakit, nih. Waduh! Gak berani lagi kita minum, nih! Di televisi banyak berita orang keracunan …,” Judin meminggirkan gelas-gelas kopi yang sudah mulai dingin, setelah aku setuju untuk tidak meminum kopi itu lagi.
“Kalau gitu saya kasih tahu warung itu dulu, kalau kopi yang dia jual rasanya tidak enak. Kebetulan saya mau membeli sabun,” ujar istri Judin dari dalam sembari keluar mengambil sandal. Baru saja ia keluar, tidak jauh dari gerbang rumahnya, tiba-tiba lampu padam. “Astagfirullaaah … !”
Versus-versus-an
Ditemani lampu minyak dengan cahaya yang redup, pembicaraan kami lanjutkan. Kali ini sepertinya suasana mendukung untuk membicarakan hal-hal yang bersifat tragedi. Apalagi tiba-tiba anak kedua Judin keluar sambil menangis dan duduk di pangkuan Judin. Lengkap sudah. Lampu padam, suasana gelap dan suara tangisan seorang anak. Oke! Pertanyaannya begini: ”Saya pernah dengar isu, bahwa banyak sekali orang yang mengeluh dengan adanya cidomo di Terminal. Apalagi beberapa kali saya dengar banyak wisatwan yang mengeluh karena tarif cidomo yang mahal, padahal jarak dari terminal dan pelabuhan tidak jauh. Dan beberapa kali saya dengar bahwa para kusir cidomo sempat bentrok dengan taksi. Bagaimana, tuh?” saya memulai suasana tegang malam itu.
Judin meminta istrinya untuk menggendong anaknya. Lalu ia menjawab pertanyaan tersebut.
“Bukan cidomo yang bentrok dengan taksi. Justu dengan adanya taksi kami bersyukur. Selama ini, yang banyak memberikan penumpang kepada kami adalah para supir taksi ini. Yang bentrok saat itu adalah para sopir travel. Mereka tidak setuju taksi masuk ke dalam terminal. Mereka menganggap taksi akan mengurangi pendapatan mereka. Nah, sekarang kenapa cidomo-cidmo ini parkir di jalan raya tidak di dalam terminal? Alasannya adalah karena banyak taksi yang menurunkan penumpang mereka di luar. Di dalam terminal sudah tidak ada penumpang…”
Memang sedikit aneh permasalahan ini. Taksi normalnya, membawa penumpang dari bandara ke Senggigi, Lembar atau tempat wisata lainnya, juga ke Bangsal. Jika demikian, sebenarnya para sopir travel ini tidak perlu khawatir. Namun belakangan, para sopir taksi ini mangkal di Terminal Bangsal. Kenapa? Karena ketika mereka masuk ke terminal, mereka dikenakan pungutan oleh penjaga dari Dishub. Belakangan, ketika mereka diusir dari terminal, menurut keterangan Mulkan, salah seorang kawanku yang bekerja menjadi buruh kaca dan aluminium di dekat terminal, para sopir taksi ini menyewa sedikit lahan di dekat tempat mereka bekerja. Mereka tidak mau pergi dari Terminal Bangsal, karena terminal ini adalah ‘ladang’ juga bagi mereka. Apalagi mereka sudah merasa membayar.
Saya pernah ngobrol dengan salah seorang petugas keamanan yang ditugaskan langsung dari perusahaan takasi-taksi tersebut di Mataram, di pangkalan taksi tersebut. Namanya Jalaludin dan biasa dipanggil Jala. Jala, secara legal sudah diberikan hak oleh perusahaan taksi. Jala sendiri adalah warga Dusun Karang Pangsor, sebuah dusun yang dekat sekali dengan Terminal Bangsal. Awalnya, dia adalah preman setempat. Ia mengaku bahwa oleh direktur perusahaan taksi di Mataram, ia diperintahkan untuk melakukan pungutan kepada para sopir taksi ini. Ia meminta uang jalan kepada sopir taksi ini, Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per taksi. Tidak terlalu banyak mungkin. Tapi kalau dikali sekian puluh taksi per hari? Dari petugas sekaligus tukang pungut ini, saya sendiri mendengar, bahwa ia tidak segan-segan menghubungi direkturnya melalui telepon, jika ada sopir taksi yang tidak mau membayar kepadanya. Tentu…, tentu Si Jala ini juga hanya menjalankan tugasnya. Tugasnya adalah memastikan teritori taksi di dekat terminal Bangsal aman. Tidak diganggu oleh pihak lain. Bisa masuk terminal tanpa ditarik pungutan dari petugas Dishub. Cukup sebut namanya, Jala, pada Pos Jaga Dishub, maka taksi akan bebas masuk ke Terminal. Dengan gaya yang sedikit preman, Jala tidak segan-segan memarahi sopir taksi yang tidak mau diatur. Beberapa kali, Mulkan si buruh kaca dan aluminum, mendengar Jala bersitegang dengan sopir taksi.
Mulkan, yang saya jumpai saat sedang bekerja, menjelaskan bahwa sebelumnya sering pihak transportasi umum mini bus yang disebut ‘travel’ milik koperasi di Pemenang, melakukan pengejaran terhadap taksi-taksi yang masuk ke Terminal Bangsal. Hal ini membuat taksi-taksi tersebut parkir jauh di luar Terminal Bangsal. Mereka parkir di sebuah galeri souvenir yang berlokasi di jalan menuju kawasan wisata Senggigi, sekitar satu kilometer dari terminal. Akhirnya, pihak taksi meminta Jala untuk mengamankan posisi taksi di Terminal Bangsal. Dari Mulkan juga, saya tahu bahwa pihak taksi menyewa sebuah lahan di dekat ia bekerja, dengan harga sewa lima ratus ribu rupiah per bulan. Ada hal yang baik dari bekerjanya Jala sebagai petugas keamanan pangkalan taksi, yang mana tidak terdengar lagi kekisruhan antara sopir travel dan sopir taksi.
Sekarang, ada dua kelompok angkutan travel. Kelompok travel yang pertama bernama Koperasi Wisnuman. Sedangkan yang berdiri belakangan, dibentuk oleh satu calon anggota DPRD waktu itu. Mobil travel yang masuk sebagai anggota Wisnuman parkir di Pelabuhan Bangsal. Sedangkan yang lainnya, parkir di Terminal Bangsal. Nah! Travel yang parkir di terminal inilah yang sering mengejar para sopir taksi ini. Kalau dari anggota Koperasi Wisnuman, mereka memilih untuk tidak bersitegang dengan taksi. Alasannya adalah tidak mungkin koperasi kecil seperti Wisnuman melawan industri taksi besar seperti Blue Bird. “Bisa-bisa kita yang ada di Bangsal ini disikat habis!” cerita Fikri.
Adalah Fikri, salah seorang warga Dusun Karang Pangsor, yang kutemui untuk ingin tahu lebih jelas tentang travel. Ia beberapa kali diminta ikut bergabung dan menjadi anggota travel. Fikri sebelumnya adalah sopir angkutan umum dengan trayek Pemenang-Tanjung. Namanya sudah dikenal karena memiliki ketegasan dalam berorganisasi. Sekarang, ia memegang parkir di Pelabuhan Bangsal. Menurut keterangan FIkri, ia memutuskan untuk tidak bergabung dengan organisasi travel di Bangsal karena menghindari pertikaian dengan teman sendiri. Ia mengaku bahwa keadaan Bangsal sekarang sedang semrawut, terutama di Terminal Bangsal. Banyak sekali ia mendengar keluhan-keluhan, terutama dari sopir luar yang kebetulan membawa penumpang ke Bangsal.
“Kenapa sopir-sopir itu tidak mau parkir di Terminal? Alasannya adalah pungutan yang dikenakan kepada mereka terlalu besar. Satu mobil, nanti dimintai dua puluh lima ribu rupiah, hingga tiga puluh ribu rupiah. Sementara pada tiket masuk terminal, nilai yang tertera hanya dua ribu lima ratus rupiah. Pada tiap mobil, kadang diberikan dua tiket masuk, radahal seharusnya satu. Banyak sekali sopir yang saya dengar mengeluh: ‘Kalau di Pelabuhan Bangsal, sudah tidak masalah. Tapi di depan Terminal Bangsal, yang kami tidak suka sistemnya,’ kata sopir-sopir itu kepada saya,” kisah Fikri.
Fikri menceritakan pengalamannya sebagai tukang parkir yang bersitegang dengan beberapa oknum polisi yang tidak mau membayar parkir. Kebetulan, mereka memarkir kendaraan di Pelabuhan Bangsal untuk bertugas ke Gili Trawangan. Meski akhirnya, petugas tersebut membayar karena si Komandan memerintahkan anak buahnya untuk membayar.
Cerita Fikri ini, sama dengan cerita Judin, Sang Kusir. Suatu ketika mereka mengejar sebuah bus yang belakangan diketahui adalah dari rombongan dari salah satu instansi pemerintahan. Judin tidak tahu persis itu instansi apa. “Padahal, kami sudah sangat senang, ada tiga bus,” terang Judin. Ia mengira bus tersebut akan menurunkan penumpang di dalam terminal, dan akan menjadi tambahan rezeki untuk hari itu. Tapi saat itu, tiba-tiba saja si sopir bus turun dan memindahkan portal yang membentang di depan Pos Jaga Terminal Bangsal. Kemudian langsung masuk ke Pelabuhan tanpa permisi, seolah-olah Pelabuhan Bangsal itu milik mereka sendiri.
“Kami jadi kesal. Masak masuk seperti itu. Mentang-mentang mereka pegawai pemerintah,” kata Judin bercerita.
Fikri pun akhirnya mengeluhkan hal yang sama. Sering ia menjumpai oknum pemerintahan yang tidak mau membayar uang masuk dan uang parkir.
Musuh Di Balik Selimut
Kita kembali ke perbincangan dengan Judin malam itu pada saat listrik padam, perbincangan serius kami tentang ‘masa depan Lombok Utara’ itu. Dari sekian banyak permasalahan di Terminal dan Pelabuhan Bangsal, cidomo selalu menjadi sorotan banyak pihak. “Apa-apa, kami yang selalu disalahkan. Jika ada berita buruk tentang Bangsal, selalu cidomo yang dikambinghitamkan,” keluh Udin.
“Kenapa bisa begitu?” tanyaku kepada Udin.
“Di Bangsal ini, yang ada itu hanya ‘teman makan teman’! Padahal, kami tidak pernah memaksa turis untuk harus menggunakan cidomo. Dan selama ini, yang saya dengar, wisatawan baik lokal maupun internasional, merasa senang naik cidomo, tidak jarang mereka berterima kasih. Berapa, sih, ongkos? Dua puluh lima ribu rupiah. Ya, namanya kami berusaha, pasti kami juga mau untung. Karena senangnya, turis asing maupun lokal tidak keberatan untuk membayar tiga puluh sampai lima puluh ribu. Namun, ada saja teman-teman para makelar turis ini yang tidak suka. Kadang mereka ‘mengacau’ turis-turis ini. Sudah mereka bayar lima puluh ribu, misalnya, teman-teman yang tidak senang kepada cidomo mengatakan kepada para penumpang kami, kenapa mereka membayar dengan ongkos yang mahal. Akhirnya, para turis ini merasa seperti ditipu. Pernah saya mendapat tumpangan dari Pelabuhan Bangsal ke terminal. Waktu itu, di Pelabuhan Bangsal sudah sepakat dengan bayaran empat ratus ribu rupiah. Ketika sampai di depan Terminal, salah seorang makelar datang. Saat si penumpang membayar dengan ongkos yang sudah disepakati, si makelar menarik uang itu, dan di depan penumpang itu dia memarahi saya, dan mengatakan mengapa saya minta ongkos yang mahal. Kemudian, si penumpang merasa bingung dan merasa saya sudah menipu dia. Coba, bayangkan perasaan saya saat itu! Nah, seperti itu, dia, teman-teman ini! Seorang teman saya lagi, pernah membawa tiga orang turis asing dengan barang bawaan yang sangat banyak. Teman saya ini meminta ongkos seratus ribu kepada turis ini, dan mereka menyepakati. Setelah sampai di Bunga-Bunga Café, yang ada di depan terminal Bangsal, turis ini menurunkan barang, membayar ongkos sambil mengucapkan terima kasih. Namun, beberapa saat kemudian, si turis ini keluar dari Bunga-Bunga Café, dan langsung mendatangi teman saya ini seraya marah. Turis ini merasa ditipu oleh teman saya. Turis tersebut mengaku diberitahu oleh karyawan kafe bahwa ia telah membayar dengan ongkos yang sangat mahal. Namun, teman saya bersikeras karena tadi dia sudah sepakat dengan bayaran seperti itu. Nah, begini sudah yang terjadi di Bangsal! Teman makan teman sendiri. Kecuali jika dari sebelumnya kita sudah sepakat dengan para makelar ini mau memberi mereka jatah, baru mereka mau diam. Padahal, kami juga tahu, bahwa mereka menetapkan ongkos yang juga sangat tinggi kepada para wisatawan, tapi kami diam-diam saja.”
Udin melanjutkan, “Makanya, di Bangsal ini, yang ada, bagi-bagian. Tidak ada tambah-tambahan. Kalau masalah bagi-bagian, semua cepat mendekat. Kalau kita yang salah, langsung diawasi sama teman-teman ini. Misalnya, kita bawa tamu dari Terminal Bangsal ke Pelabuhan Bangsal, kan, kami selalu menurunkan penumpang langsung di depan loket tiket. Nah! Kalau kebetulan ketemu dengan kelompok makelar-makelar ini, terus kita tidak menurunkan penumpang di depan mereka, pasti mereka mengancam kita. Terus, jika suatu saat terjadi keluhan dari tamu, pasti mereka mencari para kusir cidomo ini, dan mulai menyalahkan kami.”
Maka, setelah pertumbuhan pesat industri motor, terminal dan pelabuhan Bangsal dipenuhi oleh kekisruhan perebutan lahan operasi mobil-mobil transportasi umum akibat pesatnya industri wisata, saya kembali pada pertanyaan semula: lalu kemana kuda-kuda itu pergi? Mungkin mereka tidak pergi, melainkan sudah berubah menjadi kambing berwarna hitam, kambing hitam, yang selalu dipersalahkan karena sifat tradisionalnya?
Hingga persoalan ini kami bincangkan sampai larut malam, listrik masih saja padam. Seperti hampir tiap malam-malam sebelumnya. Mungkin desa kami sedang mendapat gilirannya membantu pasokan listrik di tiga Gili, demi kepentingan pariwisata.
________________________
Referensi:
Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia, diakses dari http://www.aisi.or.id/ pada Maret, 2015
Eko Cahyo Kurniawan. Analisis Persepsi Konsumen Sepeda Motor Terhadap Pemilihan Skuter Matik di Wilayah Bali. Tesis. Magister Management Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. 2009. Diakses pada Maret, 2015, dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/128328-T%2026601-Analisis%20persepsi-Analisis.pdf
ya begitulah, kplin-planan pemerintah seringkali membuat yang bersangkutan tidak paham, atau bahkan secara perlahan akan menyingkirkan angkutan tradisional tersebut, perlu perhatian lebih dari pemerintah yang lain terkait hal ini.