Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Kopi Hanya Sebuah Nama Kampung di Lebak

Avatar
Written by Fuad Fauji

Pengalaman Personal

Memiliki ayah yang sering bepergian ke luar daerah telah menjadi hal biasa bagiku dan aku berusaha untuk tidak mempedulikan hal itu. Pergi dengan waktu yang cukup lama, bulanan bahkan tahunan sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga. Kebiasaan untuk pergi, bukan karena alasan sepele tetapi bagi mereka itu hal satu-satunya yang bisa diperbuat untuk memperpanjang kelangsungan hidup yang akan datang untuk keluarga. Daerah mana yang mereka tuju? Daerah yang konon tersohor memiliki kesuburan alam yang baik. Lampung, ya, daerah yang dituju mereka itu terletak di seberang lautan, dihalangi oleh gunung anak Krakatau.

lebak-web2

Diskusi pada kegiatan lokakarya akumassa di Lebak, Banten.

Kepergian mereka ke Lampung meneruskan jejak almarhum kakek, cerita kakek yang masih teringat sampai usiaku dewasa. “Pergilah ke sana untuk mengurus lahan di sana, lahan yang subur dan makmur. Jika besar nanti kamu bisa meneruskan sekolah di Universitas Negeri Lampung (UNILA),” tuturnya di sela-sela bincang keluarga yang berkumpul pada Hari Raya dan hari panen usai. Keluarga kami memiliki sebidang tanah di sana, tanah yang penuh dengan pohon kopi dan buah-buahan. Ketika kecil aku pernah berkunjung ke sana, jalannya berliku penuh pohon-pohon besar sepanjang  jalan setapak. Selintas terpikir sekarang, mungkin daerah itu cocok disebut daerah malaria yang ganas karena daerahnya sangat lembab.

lebak2-web1

Tidak sedikit pemuda dari kampungku terjangkit suatu penyakit yang disebut Muriang Lampung. Setiap tahunnya ayah sering membawa kopi dari Lampung ke Lebak, dan sudah menjadi kebiasaan bagiku dan semua warga Lebak menyebut hasil kopi di sana dengan sebutan ‘KOPI LAMPUNG’. Kopi yang sudah tidak asing di telinga kami, kopi yang diminum warga Lebak. Lebak sendiri sebenarnya sampai sekarang sepengetahuanku tidak memiliki perkebunan kopi, tetapi hanya memiliki sebuah nama untuk sebutan kampung saja. Kampung Kebon Kopi misalnya, yakni di sebelah timur sesudah Kebon Kelapa dekat pasar sebelah timur Kampung Jeruk tempat komunitas Saidjah Forum berada kini dan satu lagi terletak di jalan raya menuju Bogor sebelum masuk daerah Sajira. Kebun tidak ada, yang ada tinggallah sebuah nama, banyak orang hanya membawa kopi dari sana.

Kopi yang dibawa ke Lebak sudah diolah terbungkus plastik, banyak sekali terdapat dalam tas mereka, maklum banyak tetangga yang biasa berdatangan sekedar ngopi bersama menemani obrolan di halaman rumah tentang kabar terakhir situasi di sana, aku tahu itu karena hampir separuh kampungku di Cisimeut memiliki kebun di sana. Waktu kecil setiap mereka pulang ke rumah, biasanya yang aku kejar setelah kepulangan ayah adalah tas “Koja” mereka. Tas yang berisikan mainan plastik buatan Cina dan buah-buahan semisal buah Kranji, bentuknya bulat hitam mirip biji mainan congklak plastik, rasa manis asam. Sekarang ayahku hanya petani biasa, ia tidak lagi pergi ke Lampung hanya beberapa saudara yang bertahan di sana. Pemuda di kampungku memilih untuk mencari emas di daerah Cipanas, Cikotok, jadi tukang Ojek, dan menjadi TKI di Arab. Hanya sedikit pemuda yang masih meneruskan jejak ayahnya. Dan aku sekarang hanya bisa membeli kopi kebanggaan ayah di Pasar Rangkasbitung.

Keberadaan kopi kini hanya beberapa batang pohon saja, itupun hanya dimiliki oleh segelintir individu yang tertanam di belakang rumah atau di kebun mereka. Lebak yang terkenal dengan perkebunan pada masa keemasannya sekarang berubah menjadi daerah beton hasil galian C, galian yang di luar rencana masa mereka.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

2 Comments

  • sebetulnya di dalam proyek aku masa apa sih yang bisa kita harapkan?dan sebetulnya mau di kemanakan juga hasil – hasil karya video aku massa yang sedang kita bikin ini.saya kebetulan salah satu partisipan aku masa ini yang berada di kota cirebon…tepatnya dari sanggar gardu unik.

  • Abeng, pertanyaan kamu cukup mengejutkan. Karena kamu partisipan dalam project ini. Aku tidak mengerti apakah kamu mengikuti program workshop dengan sungguh2 atau hanya hadir sebagai observer. Project aku massa ini bukanlah sesuatu yang bisa diharapkan jadi dalam jangka pendek. Ini adalah project pendidikan dan pemberdayaan kawan-kawan untuk dapat membaca situasi tempat kawan-kawan tinggal dan hidup (Cirebon) dan menjadikannya dalam bentuk suatu “kegiatan” (bukan produk seperti video dll). Kalaupun dalam project aku massa sekarang ada produksi video, itu hanya salah satu bagiannya. Yang paling penting bagaimana menggunakan tools yang dielaborasi selama program ini berjalan digunakan pada masa datang. Kalau ditanya mau dibawa kemana hasilnya. Jawabannya hasilnya adalah untuk anda sendir. Bukan buat siapa-siapa. KIta bukan mau membuat seseorang menjadi seniman. Tapi lebih kepada belajar bersama dan memberdayakan diri untuk bicara tentang masyarakat kita sendiri. Sama seperti yang dilakukan kawan-kawan di Gardu Unik. Salam Hafiz

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.