Lenteng Agung, Jakarta Selatan

Kertas Dinding Si Uda

Avatar
Written by Gesyada Siregar

Suatu malam yang panas, aku, Vina, dan temannya, Nes, pergi mencari makan di sekitaran kantor Forum Lenteng yang baru.  Dengan sekepal berbagai rupiah hasil titipan teman-teman Forum Lenteng lainnya, kami berjalan menyusuri gang-gang kecil yang berliku-liku.  Standar jalan permukiman Jakarta dan sindrom anak baru pindah, semua tikungan tampak sama bagiku.  Akhirnya kami berhenti di salah satu rumah makan Padang, yang kebetulan pintunya tertutup.  Berapa detik kami kecewa, sampai seorang bapak mengintip dari jendela dan tersenyum pada kami. “Masih ada, Pak?” tanya kami. “Masih.. masih…,” serunya.

Pintu Masuk

Rupanya, pasangan suami-istri pemilik rumah makan tersebut menutup rumah makannya lebih awal karena tidak ada orang yang lewat ataupun mampir dalam beberapa jam terakhir.  “Kucing aja tak ada yang lewat,” canda Si Bapak dengan logat Minangkabau yang kental.  Sejenak berbagai kemungkinan penyebab terlintas di kepalaku sambil memandang isi rumah makan: mungkinkah karena tempatnya terlalu bersih, jadi orang sungkan? Mungkinkah karena lokasinya tak strategis? Mengingat beberapa meter dari sana terdapat universitas dan terlalu banyak tempat makan (termasuk masakan Minang juga) di dekat sana. Entahlah. Berhubung sensasi menusuk asam lambung mulai datang, aku segera mengajak teman-teman memesan makanan untuk dibungkus.

Seraya meracik dan membungkus makanan dan minuman yang kami pesan, Si Bapak dan Si Ibu berceloteh riang kepada kami.  Vina dan anak Forum Lenteng lainnya rupanya sudah pernah ke sini.  Vina memuji-muji sedapnya masakan yang mereka makan kemarin kepada Si Bapak, (setengah jam setelah itu aku akan setuju dengannya, setelah menghabiskan sebungkus nasi rendang dengan sambal merah). Rumah makan itu baru mereka dirikan.  Hal itu juga yang membuat mereka amat sangat bersemangat melayani kami.  “Nanti kalo mau pesan, telpon Uda aja!” kata Si Bapak sambil menunjukkan nomor teleponnya di kertas bon makanan “Satu bungkuspun tetap Uda antar!”

DSC_1438

 

Kami pun bercakap-cakap seru dengan si Uda. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan es dan batu beradu, yang ternyata berasal dari dapur, Si Ibu sedang menyiapkan es jeruk dan es teh manis pesanan kami.  Aku kaget melihatnya menggunakan es batu buatan sendiri, karena biasanya rumah-rumah makan pinggir jalan menggunakan es batu bongkahan dari pemasok yang diantar dengan gerobak.  “Mending es buatan sendiri, kalo beli di luar, kita gak tau mereka bikinnya pake apa”.. ujar Si Ibu.  Wah, saat itu juga, keyakinan dan janji untuk terus berlangganan di sana kutanamkan dalam hati.

Suasana yang ramah dan nyaman, setelah kusadari, sebagian besar dibuat atau mungkin didukung oleh wallpaper berupa foto-foto pemandangan Sumatera Barat yang memenuhi semua dinding rumah makan tersebut.  Aku seolah berlibur dari bosannya melihat pemandangan Jakarta yang padat dan tak teratur, digantikan dengan foto-foto yang istilahnya “tidak Jakarta”: alam yang lapang, hijau, dan segar. Terdapat pemandangan seperti Air Terjun Lembah Anai, Rumah Gadang Bagonjong, Jam Gadang, Kelok 9, dan Jembatan Limpapeh.  Sebagai mahasiswa seni rupa, aku terpana melihat foto-foto tersebut, bagaimana foto-foto tersebut sesuai dengan aturan komposisi rule of third (membagi bidang dengan perbandingan 1/3 dan 2/3), pemilihan objek-objek yang menarik seperti Kelok 9, sebuah jalan di Payakumbuh yang meliuk-liuk serta ukuran fotonya yang besar.

DSC_1431

Berbincang dengan si Uda

Selain foto-foto pemandangan, terdapat foto seorang pria tua berpeci dan diletakkan paling atas, diapit dengan dua kaligrafi ukiran bertuliskan “Allah” dan “Muhammad” dalam huruf Arab.  Sejenak aku teringat video akumassa tentang seorang Buya yang fotonya ditemui di berbagai restoran Padang di berbagai kota.   Pria itu adalah Tuanku Buya Saliah, seorang buya tersohor dari Pariaman.

Buya Saliah

Sang Buya, dulu merupakan tokoh agama Islam di Pariaman dengan banyak pengikut.  Sebagai guru, ia ditempatkan secara spesial, karena budaya di Sumatera Barat amat meninggikan sosok guru. Ia juga satu dari segelintir orang yang pada masanya sudah menunaikan ibadah haji ke Mekah dan Madinah, sehingga dihormati oleh masyarakat sekitarnya. Kharismanya begitu kuat, sampai-sampai keluarga inti dan murid-muridnya selalu memajang fotonya di tempat tinggal mereka.  Kebiasaan ini menurun ke anak cucu mereka, sehingga terciptalah cerita mulut ke mulut tentang figur Buya ini.  Mitos-mitos tentang kesaktiannya pun  muncul.   Si Uda Saiful sendiri bercerita bahwa konon hujan bisa berhenti ketika Sang Buya hendak keluar rumah.  Beliau dapat hadir secara bersamaan di beberapa surau untuk memberikan ceramah.  Doa-doanya cepat dikabulkan oleh Allah SWT sehingga ia sering dititipi doa oleh banyak orang (status “hampir nabi” inilah juga yang mungkin menyebabkan posisi fotonya nyaris selalu dideretkan bersama kaligrafi “Allah”dan “Muhammad”).

Di samping sebagai bentuk penghormatan kepada si Buya, foto ini juga memiliki fungsi tak resmi sebagai tanda bahwa sang pemilik berasal dari Pariaman.  Masakan yang disajikan juga berarti khas kota pantai ini, sebagai contoh, rendang yang Uda Saiful sajikan berwarna kuning oker, tidak berwarna hitam atau coklat tua seperti rendang khas Bukit Tinggi. Foto itu juga bertindak mirip dengan Maneki neko-pajangan berbentuk kucing dari porselen atau keramik di toko-toko milik pedagang Cina-yang dipercaya dapat memberikan keberuntungan bagi si pengusaha.

DSC_1428

Akupun bertanya kepada Si Uda tentang asal muasal foto-foto tersebut. Uda Saiful, bercerita bahwa foto tersebut bukan hasil jepretannya.  Ia meminta sebuah biro desain untuk merancang wallpaper tersebut dan mencetaknya di Taman Mini, Jakarta Timur, sedangkan foto Buya ia bawa dari Pariaman.  Ia menghabiskan kurang lebih Rp 2.500.000 hanya untuk mencetak foto-foto yang berukuran besar tersebut, dan menurutku sangat impas, melihat kualitas spanduk cetakan yang bagus serta foto-foto yang jernih tanpa cela.   Alasan Si Uda memasang dan rela merogoh kocek dalam-dalam untuk itu adalah agar memperindah rumah makannya, membuat para tamu menjadi betah, dan karena ia dari Padang, ia ingin mempromosikan berbagai tujuan wisata yang ada di sana.

Semua pesanan akhirnya siap dibawa dan kami pun memberikan rupiah-rupiah sebagai gantinya.  Si Uda sempat menawarkan kopi asli Pariaman yang dibawanya, tetapi kebetulan sekali kami sedang tidak ingin ngopi.  “Kapan-kapan kami coba” kataku.  Kamipun pamit dan bergegas untuk pulang agar cepat-cepat menyantap nasi bungkus yang menggiurkan tersebut.  Sebelum menapak keluar rumah makan, aku melirik  untuk terakhir kalinya pada sebuah tulisan dekat pintu keluar “TERIMA KASIH ; SEMOGA ANDA PUAS”.

DSC_1440

 

About the author

Avatar

Gesyada Siregar

Gesyada Annisa Namora Siregar lahir di Medan pada tahun 1994. Sedang menempuh pendidikan di jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta. Menjadi co-founder dari Taman Baca Bulian, sebuah taman baca berskala komunitas di Jakarta Selatan dan Ketua Himpunan Mahasiswa Seni Murni FSR IKJ periode 2013-2014.

2 Comments

  • Tulisan yang bagus dari ananda Gesya.
    Smoga menjadi penulis dan seniman yang hebat.
    Berkarya tiada henti untuk kebahagiaan dunia dan akhirat,
    Sukses ya anakku tercinta.
    Papi dan mamimu pasti bangga….
    Cium sayang ibunda.

  • Ya…dekorasi dinding pada rumah makan itu sangat mengagumkan, tapi koq jarang ada pengunjung? apalagi tempat itu bersih dan makanannya juga enak? Saya juga suka masakan padang

Tinggalkan Balasan ke Ita Rosita X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.