Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Kereta Yang Dihentikan

Kereta Yang Dihentikan
Avatar
Written by Fuad Fauji
Menelusuri rel, melewati jembatan dua, meneduh di pintu kereta api, sejuk sebentar dinaungi bayangan pohon beringin yang umurnya sudah ratusan tahun. Kulanjutkan perjalanan melewati rumah-rumah mungil di sepanjang rel kereta menuju stasiun kereta. Bentuknya seperti rumah jaman nano (merujuk pada rumah mesin kecil-kecil pada peradaban tertinggi di dalam game Age Of Empire). Penjual bebek dan kambing dikurung suara bising kendaraan dan suara-suara pedagang sedang menjajakan barang dagangannya. Di pintu kereta sebelum stasiun, para pedagang pasar pagi yang menutupi rel kereta sudah tidak ada. Kini yang tersisa hanya sampah dedaunan dan bau amis menyengat dari aspal terbakar sinar matahari.

Penumpang kereta ekonomi.

Dalam stasiun para calon penumpang berpanas-panasan menunggu kereta. Aku menggabungkan diri dengan masa menunggu keterlambatan kereta. Jarum jam di tangan menunjukan pukul sepuluh lewat lima belas. Satu per satu penumpang mencari tempat berteduh di warung-warung kecil pinggir stasiun. Kereta Rangkas Jaya yang seharusnya berangkat jam sepuluh, belum berangkat ke Tanah Abang. Penyebabnya karena dari Parung Panjang semua kereta akan menggunakan satu jalur. Jadi tidak mungkin ada pemandangan kereta berpapasan dengan kereta lainnya. Dari luar jendela para penumpang sudah gelisah menahan panas. Bulan Juli adalah musim kemarau di Lebak. Di sini, di stasiun kereta, seluruh warga kota berduyun menggunakan kereta api menuju pusat-pusat kota di Banten dan pusat ibu kota negara. Hanya daerah Pandeglang lah yang tidak bisa dikunjungi oleh kereta api. Aku berdiri dengan sekumpulan santri di bawah atap pos Poluska (Polisi Urusan Kereta Api). Mereka akan pergi ziarah ke Banten. Menurut mereka ziarah ke Banten sudah menjadi kebiasaan seluruh santri di Banten. Menggunakan kereta menuju serang dengan harga Karcis Rp.4000,- jauh lebih murah dari ongkos bus yang mencapai Rp.15.000,- per orang.

Sebelum pergi dari Saidjah Forum, aku bertemu kawan yang tidak sengaja ikut berteduh dari terik sinar matahari di kantor Saidjah. Sambil menunggu panas yang belum mereda, aku bertanya-tanya soal kereta ke Serang. Maklum ia sangat klotokan soal sejarah lisan kereta api di Lebak berikut perintilan isu-isu kereta di kota-kota lainnya. Begitu aku bertanya maka langsung saja ia memamerkan pengetahuannya. Pikirku, dia sebaiknya membuat komunitas pengagum kereta di Lebak. Entah kenapa, aku lebih percaya meminta informasi soal kereta pada Ilung ketimbang menanyai bagian informasi di Stasiun Rangkasbitung. Segambreng pengetahuannya soal kereta semuanya didasarkan pada pengalaman pribadinya puluhan tahun menggunakan kereta. Ilung membenarkan bahwa pemberhentian kereta yang dilakukan di sembarang tempat menuju Serang dilakukan oleh para petani dan segelintir warga yang tempat tinggalnya cukup jauh dari stasiun. Aku pun berusaha meyakinkan diri bahwa peristiwa itu masih berlangsung. Lantas aku mengawali obrolan, “Tahun 2003 biasanya ada kereta ke Serang Jam lima pagi, sepuluh siang, dan jam tiga sore. Kereta jam tiga sore itu kereta terakhir menuju Serang, Karangantu, Cilegon, dan berakhir di Merak. Orang-orang menyebutnya kereta patas. Tapi kereta itu pasti datang setengah empat sore. Pada tahun 2003 sampai 2007 kereta itu bisa dihentikan oleh penumpang yang mau naik bukan dari stasiun, seperti menghentikan angkot. Setahuku kereta yang bisa dihentikan itu adalah kereta pagi saja. Tapi, apakah sekarang keretanya masih ada?”

Ilung menjawab, “Kereta pagi sudah tidak ada. Pihak kereta mencabut trayek ke sana karena rugi melulu. Dari sekian banyak penumpang biasanya yang bayar cuma satu gerbong saja. Alasannya bukan hanya itu. Sekarang orang banyak memiliki kendaraan pribadi,” Ilung menambahkan dalam dialek Sunda, ”Masih Bisa, Fuad, kereta anu sore oge. Arek turun dimana, jing*? (Masih bisa, Fuad, yang kereta sore juga bisa. Mau turun di mana, sih?)”

“Di tengah sawah.”

Ilung menjawab dengan sangat meyakinkan, “Bisaaa!!! Coba naik di Lokomotif , mere goceng. Engke ngomong: ‘Pak, arek turun di tengah sawah.’ (Bisaaa!! Coba saja beri lima ribu rupiah, lalu bilang: ‘Pak, mau turun di tengah sawah’.)”

“Patokannya?”

Ilung kembali menjawab,Pokonamah naik di Lok sorangan terus mere duit. Pokona ente naekna di gerbong hiji heula bae, sih. Anu pas di sambungan tea. Cirikeun bae, lamun aya penumpang di gerbong naik ka Lok ti gerbong penumpang. Eta pasti aya anu turun. Anu mere duit hiji anu turun loba’an. (Pokoknya naik di Lok sendiri lalu kasih uang. Coba naik di gerbong ke satu saja dulu. Sambungan gerbong satu dengan Lok. Tandai saja, kalau ada penumpang di gerbong lalu naik ke Lok. Itu pasti ada yang turun. Yang ngasih uang satu orang yang turun banyak).” Dia benar-benar ingin meyakinkanku, “Beneraaaaaannn…! Hoop geeh. Amun eta kitu bae. Emang biasana geh kitu. Perhatikeun bae, geh. Naekeun naon bae geh, bisa kok… orang kareta ka Rangkas, mah, paling direseupan ku masinis anu hayang duit, eweuh Polisi Stasiun (PS). Rek aya, teu ngaruh. Beneraaaaaann…! (Beneraaaan…! Coba saja. Situasinya memang begitu, karena biasanya juga begitu. Perhatikan saja. Menaikkan apa saja ke kereta bisa. Kereta ke Rangkas itu paling disukai sama masinis yang mau uang, karena tidak ada Polisi Stasiun. Kalaupun ada, bagi mereka tidak ada pengaruhnya, sungguh!),” lalu ia mulai merebahkan tubuhnya di atas deretan kursi biru.

Terlalu banyak ngobrol akan memperlambat perjalanan. Apa yang disampaikan Ilung padaku adalah penegasan sesaat bahwa keadaannya memang tidak berubah. Aku berjalan kaki menuju stasiun dan menaiki kereta bersama 15 orang santri di gerbong persis yang dikatakan Ilung. Dua orang petugas pemeriksa karcis penumpang berjalan melewati pijakan tanpa pengaman di sisi lokomotif. Menurutku, hal itu sangat berbahaya: berjalan menyusuri sisi luar lokomotif di atas pijakan tanpa pengaman di saat kereta sedang melaju dalam kecepatan tinggi. Namun dari gestur para petugas tersebut, sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran, karena mereka melangkah dengan lenggang santai di situ. Sudah terbiasa. Lantas mereka masuk melalui pintu sambungan gerbong kereta. Sekarang, aktivitas melayani para petani membuat mereka nyaman dalam memungut ongkos tanpa karcis, menyusuri orang per orang sambil membunyikan alat pembolong karcis. Cekrik.. cekrik… bunyi karcis dibolongi, sahut menyahut. Sesekali berhenti lalu berbincang mengenai ongkos yang kurang. Pemilik tiga karung kain memberikan Rp.20.000. Bunyi berisik pembolong karcis tidak menimbulkan reaksi kesadaran langsung terhadap penumpang yang membawa karung di samping gerbong tanpa jendela. Padahal dia tidak punya karcis. Uang diberi maka ia akan turun sesuka hati. Aku dan para santri melihat itu dengan acuh sambil pura-pura serius menatap pematang sawah yang berlarian dalam bingkai jendela kereta. Di sini, di dalam kereta api jurusan Rangkasbitung-Serang, sebagian penumpang tidak akan pernah mau membeli karcis. Membayar masinis Rp.20.000,- jauh lebih enak karena bisa meminta berhenti di tempat yang dituju.

Selama satu jam kurang perjalanan ke Serang. Kereta yang aku naiki selalu berhenti di di tiap-tiap stasiun pemberhentian: Stasiun Jambu, Catang, Cikeusal, dan Walantaka. Kereta berjalan melebihi kecepatan biasanya. Aku berpikir mungkin tidak akan pernah menemui lagi pemandangan sepuluh tahun silam, dan memaknai cerita Ilung hanya sebagai omong kosong belaka. Aku jadi kehilangan kesabaran, berjalan menempuh bahaya, melewati pijakan sisi luar lokomotif menuju ruang kemudi. Sempat cekcok oleh keberatan si masinis, karena aku mengeluarkan kamera saku. Dan aku segera mengeluarkan alasan ampuh bahwasanya aku sedang mengerjakan tugas kuliah.

Jendela kecil di kanan-kiri ruang lokomotif cuma bisa menyajikan pemandangan jauh sawah-sawah berselimut barisan semak-semak. Pohon-pohon kecapi mulai berbuah. Para petani sudah selesai menggarapnya di atas sawah mereka setelah panen padi terakhir, sambil menunggu musim tanam berikutnya. Mereka pasti berharap agar tahun itu sawah-sawahnya terhindar dari serbuan serdadu hama dan kemarau panjang. Mereka tidak menginginkan punya sawah tanpa padi. Perempuan-perempuan berlutut di pematang sawah, membersihkan rerumputan liar. Jalan kereta terasa damai.

Jam tiga sore aku memutuskan menaiki kembali kereta dari Serang ke Lebak. Jumlah orang yang duduk sebagai penumpang melampaui persediaan tempat duduk dan itu sudah biasa. Hati kecilku mengatakan bahwa Perusahaan Kereta Api Indonesia selalu membiarkan malapetaka. Pada tahun 2004 aku masih bisa mencari tempat duduk kosong. Mungkin saat itu hanya tiga puluh orang dalam satu gerbong. Kini sudah ada dua ratusan orang. Sedangkan penduduk yang menaiki kereta pada tahun 2011 mungkin sudah ribuan orang. Aku berusaha merangsek ke gerbong depan melewati para pedagang dan penumpang. Di gerbong depan yang tak berjendela aku bergabung dengan ibu-ibu para penjual kue yang duduk tanpa kursi.

Persis seperti beberapa tahun yang lalu, aku berada dalam situasi yang sama. Duduk di lantai gerbong yang sama, bersama para ibu-ibu pedagang. Tidak ada yang aneh, apalagi lucu dari situasi ini. Tapi syaraf lucuku terusik. Kereta berhenti di jalur yang membelah hamparan sawah. aku tidak memikirkan satu alasan pun kenapa kereta ini berhenti di situ.

Tiba-tiba aku terpingkal-pingkal sambil memegangi perut, tanpa bisa ditahan. Pedagang kue mengamuk karena dagangannya terkena cipratan lumpur dari petani yang barusan melompat naik dari pematang sawah. Seisi gerbong riuh menertawakan emak pedagang kue yang tiba-tiba latah mendengar keributan. Aku tahu, bukan kelatahan Si Emak yang membuatku tertawa, melainkan sekumpulan petani yang menghentikan kereta di pematang sawah bersama penjual daun pisang yang akan menjual dagangannya ke Kebayoran Lama. Cipratan lumpur dari baju petani ke baju ibu pedagang adalah sebuah kejutan peristiwa biasa, namun mengembalikan kepercayaanku, bahwa Ilung memang tahu benar akan peristiwa-peristiwa kereta. Harapanku akan sebuah pemandangan, terwujud. Dan itu lucu!

Hasil tani yang dibawa ke kota Jakarta demi uang tunai, lebih penting daripada dampak tak langsung pada kejengkelan emak-emak yang mulai mengalah pindah posisi duduk ke tengah gerbong. Sebuah sistem dihancurkan.

Lambaian baju kaos berwarna merah marun di atas kepala seorang laki-laki terlihat dari kejauhan, sebagai penanda kereta wajib berhenti. Dan benar dugaanku. Kereta kembali berhenti dengan tenang di tengah sawah sebelum Stasiun Walantaka. Para tengkulak daun pisang, tengkulak jahe, sibuk menaikan gulungan daun ke gerbong-gerbong penumpang.  Tukang-tukang ojek mengenakan pakaian perlente jaket kulit hitam dengan rokok di mulut sigap melompat, menarik karung-karung jahe kliennya yang siap jual, lalu turun lagi. Baju yang sudah tidak wangi para tengkulak yang bertelanjang dada melintas di depan mukaku. Kaos merah marun yang tadi digunakan untuk menghentikan kereta, diselipkan di kantung celana. Berjuntai menyapu mukaku dan penumpang lain. Meninggalkan bau kecut, mereka memasuki lokomotif.  Tentu untuk bertransaksi dengan masinis, seperti yang dikatakan Ilung. Yang bayar cuma satu orang,  yang naik berkarung-karung. Kereta kembali jalan. Tidak lama kereta berhenti kembali di sebuah pintu perlintasan. Kerumunan ibu-ibu dari daerah Cikeusal berhamburan memasuki pintu-pintu gerbong. Dan kereta kembali berjalan pelan menuju Stasiun Catang.

Di tepi selokan sawah yang airnya mengalir berwarna coklat, ibu-ibu mencuci kain dan membersihkan alat tani. Pembicaraannya terdengar samar bercampur dengan suara mesin kereta. Mereka membersihkan lumpur yang menempel di kain. Kereta melaju dengan kecepatan sedang, membuatku seolah mendengar percakapan mereka dan membayangkan sebuah diskusi tentang hasil panen.

Empat pintu gerbong depan penuh muatan karung-karung yang berisi padi dan kacang tanah hasil bumi setempat. Di puncak tumpukan karung ada tulisan yang menyatakan ‘1 X 30 = Bersih’. Aku yakin angka-angka itu identik dengan kesepakatan jual beli. Angka ‘1’ merujuk pada satuan berat. Angka ’30’ merujuk pada nilai rupiah dalam satuan ribu. Sedangkan ‘bersih’, merujuk pada kesepakatan harga yang tak bisa ditawar lagi, juga kondisi barang yang siap jual. Ini adalah asumsiku. Di warung Si Engkoh penjual tembakau yang sering kudatangi di Pasar Rangkasbitung bersama kakekku di tahun 80-an lampau, kode-kode ini sering kutemui. Aku teringat sebuah kode ‘1 X 40’ yang tertulis di karung-karung tembakau. Kode itu menjabarkan tawar menawar kakek dengan Si Engkoh, bahwa harga 40 ribu rupiah untuk sekilo tembakau yang sudah disusun dan diikat rapi siap jual sejak dari tangan petani. Kode itu menjelaskan kondisi ‘bersih’ di mana Si Engkoh tidak perlu lagi mengeluarkan biaya produksi untuk menyusun, mengikat dan memotong batu-batu tembakau. Semua sudah dilakukan di tempat pengepulan, tinggal diterima dan kemudian menjualnya kepada kakekku yang pemadat sejati, salah satunya.

Sesekali aku berusaha mengajak ngobrol tengkulak. Tetapi para pemilik karung itu rupanya sedang letih. Ia hanya menjawab bahwa: ‘Barang ini akan di bawa ke Jakarta’.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.