Pesta rakyat itu adalah Bangsal Menggawe. ‘Bangsal’ adalah nama sebuah pelabuhan di Kecamatan Pemenang, Lombok Utara. Menggawe diambil dari bahasa Sasak, berarti ‘berpesta’. Pesta rakyat Bangsal Menggawe adalah salah satu kegiatan yang kami lakukan dalam Proyek Seni AKUMASSA Chronicle. Proyek ini digagas oleh Forum Lenteng, dengan kuratornya, Otty Widasari, dan ko-kurator, Arief Yudi. Melibatkan para seniman, aktivis kebudayaan, peneliti, dan penulis, untuk merespon sebuah isu tertentu yang kontekstual dengan lokasi tempat proyek itu dijalankan. Kecamatan Pemenang adalah lokasi pertama bagi pelaksanaan proyek tersebut dari tanggal 19 Januari hingga 28 Februari, 2016.
Ide Bangsal Menggawe muncul di salah satu peristiwa diskusi, pada malam hari yang larut, yang kami lakukan di kantor pasirputih. Adalah sahabat saya, Muhammad Sibawaihi, anggota pasirputih, pemuda lokal di Pemenang, juga penulis aktif di jurnal online www.akumassa.org, yang menelurkan ide tersebut. Pasirputih sendiri merupakan organisasi kebudayaan yang berbasis di Kecamatan Pemenang. Organisasi ini sangat aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan literasi media dan kesenian sejak tahun 2010, pasca perkenalannya dengan Forum Lenteng dalam workshop AKUMASSA. pasirputih adalah komunitas dampingan Forum Lenteng melalui program AKUMASSA untuk merealisasikan cita-cita aktivisme di ranah sosial dan kebudayaan. Loyalitas dan progresivitas pasirputih untuk membangun wilayah lokalnya secara mandiri itulah, yang merupakan faktor pendorong utama bagi AKUMASSA Chronicle untuk memilih Lombok Utara sebagal awal pewujudan gagasannya.
Loyalitas itu terbukti dari antusiasme anggotanya sendiri. Kawan-kawan pasirputih tidak berhenti belajar. Seniman-seniman yang diundang untuk terlibat dalam AKUMASSA Chronicle—mereka adalah Gelar Soemantri (seniman video, Jakarta); Bujangan Urban (seniman grafiti, Jakarta); Sulung Widya Prasastyo (perupa, Yogyakarta); The Broy (komikus, Surabaya/Jakarta); Ismal Muntaha (seniman lintas media, Jatiwangi); Syamsul Fajri a.k.a Jabo (pegiat teater, Mataram); Baiq Ilda Karwayu (penyair, Mataram); Khairunnas Mahadi a.k.a Nash Ja’una (aktor pantomim, Bima); Ahmad Saleh Tabibuddin a.k.a Asta (pegiat teater, Lombok Barat); Muhaimi (pegiat Wayang Sasak, Lombok Barat); dan Imam Hujjatul Islam (pelukis, Lombok Utara)—disambut gembira oleh pasirputih sebagai kawan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman menakjubkan, inspiratif, dan bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan warga lokal di kampung tempat mereka tinggal. Untuk memfasilitasi kegiatan AKUMASSA Chronicle, organisasi ini piawai menghubungkan elemen-elemen masyarakat lokal dengan para kurator dan seniman sehingga gagasan kuratorial tentang kolaborasi seni dapat berjalan dengan lancar.
pasirputih mengenalkan para seniman kepada para tetangga, atau berkomunikasi dengan berbagai elemen pemerintahan desa, kecamatan, dan kabupaten. Sebagaimana desain kuratorial Otty Widasari dan Arief Yudi, bahwa dibutuhkan sharing wawasan antara partisipan proyek dan warga di Pemenang, pasirputih berhasil mendapatkan akses yang dibutuhkan seniman, sekaligus membuka akses bagi beberapa warga untuk mendapatkan pengetahuan baru. Demikianlah jadinya, seniman macam Ilda dan Nash dengan mantapnya dapat hadir di beberapa sekolah untuk berbagi pengetahuan seni dan sastra kepada siswa-siswi. Atau The Broy dan Sulung, karena jaringan yang dimiliki pasirputih, dapat bermain-main dan bersilaturahmi ke kampung Budha, yakni Dusun Tebango dan Tebango Bolot. Atau Ismal, dengan bantuan pasirputih, berhasil berdiskusi secara intens dengan para pemuka adat dan agama se-Pemenang. Jabo, giat membangkitkan semangat dan kepercayaan diri para penari tradisional rudat di Terengan. Bujangan Urban, karena gaulnya pasirputih, menemukan kawan-kawan baru yang sangat bersahabat dan jagoan. Muhaimi, menemukan murid-murid baru yang berbakat di Dusun Karang Baru. Gelar, mengajak bocah-bocah di Bangsal memancing footage di laut. Dan Asta, dengan fasilitasi oleh pasirputih, berhasil mengajak Pak Camat untuk menendang bola pada pembukaan kompetisi sepak bola pantai. Tak lupa, Hujjatul yang merupakan anggota pasirputih, menemukan metode menarik untuk menyensus saudara-saudaranya di Pemenang, yakni dengan metode melukis. Dua kurator pun dapat duduk bersama sambil ngopi, membicarakan masa depan Pemenang, dengan Kepala Dusun, Kepala Desa, Camat, dan Bupati. Mereka berbagi sudut pandang tentang signifikansi praktik-praktik kesenian dalam strategi kebijakan untuk pembangunan. Semua itu dapat terwujud melalui negosiasi pasirputih.
Tak bisa dipungkiri, pasirputih memiliki posisi tawar yang begitu penting dalam percaturan sosiopolitik dan sosiokultural Nusa Tenggara Barat meskipun mereka berasal dari lokasi yang terhitung masih muda usianya sebagai kabupaten di provinsi tersebut.
Kembali ke ide Bangsal Menggawe, di sela-sela kesibukannya memfasilitasi para seniman, anggota-anggota pasirputih tak lupa akan jati diri mereka sebagai pewaris kebudayaan Pemenang. Dari situlah permasalahan Bangsal kembali mengemuka di dalam diskusi: Bangsal kini bukanlah Bangsal yang dulu. Pembangunan di bidang pariwisata yang terasa tidak bijak menyebabkan praktik-praktik lokal, yang menunjukkan Pemenang sebagai masyarakat berbudaya, seakan hilang ditelan oleh tuntutan-tuntutan untuk bersaing di wilayah ekonomi. Potensi pariwisata yang dilihat sebagai salah satu pendapatan terbesar Kabupaten Lombok Utara, dikembangkan secara tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat lokal akan kearifan kultural. Bagaimana masyarakat Pemenang di masa sekarang menanggapi krisis itu?
Bangsal, adalah lokasi penting. Dulu dia adalah lokasi pusat kegiatan warga, layaknya alun-alun kota. Tempat di mana warga berkumpul dan menjadikan Bangsal sebagai hotspot Pemenang. Kemudian, di Bangsal pula berbagai pihak menyadari potensi pariwisata. Namun demikian, sekarang Bangsal hanya berfungsi sebagai pelabuhan aktif yang melayani kebutuhan ekonomi dan pariwisata. Dia tak lebih sebagai ruang singgah menuju Gili. Ketika Lombok Utara menjadi kabupaten baru, di manakah jati diri Bangsal yang seharusnya kaya dan memiliki potensi budaya masyarakat itu? Kalau warga ternyata masih mengrindukan Bangsal, lantas bagaimana membangunkan atau menghidupkan kembali Bangsal yang berbudaya dan milik warga? Siapa yang bisa? Kami percaya, tentulah hanya warga.
Sibawaihi cukup jeli merangkum opini-opini kami semua (baik yang asli Pemenang, terutama anggota-anggota pasirputih, maupun yang berasal dari luar pemenang, yakni saya sendiri, dua orang kurator, dan beberapa seniman) ke dalam sebuah kisah mengenai kenangan tentang aktivitas sederhana: meta keke (mencari kerang).
“Saya dulu sering mandi, berenang, sambil mencari keke di Bangsal!” seru Sibawaihi. “Ya, kita sudah terlalu jauh dengan Bangsal. Jadi, kita harus kembali ke Bangsal. Kita harus ‘mandi’, Zik!”
Mencari jawaban untuk jati diri Bangsal di masa depan, ternyata, memang layak diusahakan dengan cara menjalin ingatan warga tentang keberadaan Bangsal dulu dan sekarang. Melalui jalinan ingatan itulah kemudian akan terlihat apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh warga masyarakat Pemenang. Jangan kaget kalau jawabannya adalah “mandi”.
Membasaq adalah tema yang kami angkat untuk Bangsal Menggawe 2016. Juga diambil dari bahasa Sasak, kata ini bisa diartikan sebagai ‘membasuh’ atau ‘menyucikan diri’. “Mandi” atau “membasahkan diri ke laut” adalah ritual lokal, yang menariknya, dimiliki oleh pemeluk dari masing-masing tiga agama di Pemenang: Muslim, Hindu, dan Budha. Sebuah ritual yang mirip satu sama lain, yang meyakini bahwa air laut di pantai bangsal mujarab menyembuhkan penyakit. Ide ritual ini pun membuahkan premis: sesungguhnya, kebiasaan lama yang masih tersisa sampai sekarang itu adalah gambaran konkret tentang kerukunan antarumat. Inilah jawabannya. Kerukunan antarumat adalah aset utama Kecamatan Pemenang yang sesungguhnya, yang dilakukan (secara sadar atau tidak) setiap hari oleh warganya, tetapi seolah-olah keunggulan nilainya berlalu begitu saja. Pelaksanaan Bangsal Menggawe: Membasaq kemudian dijadikan sebagai tonggak baru yang menegaskan aset itu, baik sebagai janji maupun sebagai otokritik bagi warga masyarakat Pemenang kontemporer.
Benar saja, ketika pasirputih kemudian mensosialisasikan ide ini kepada seluruh warga dan juga pemerintah daerah, efeknya berubah sangat kentara. Aksi memfasilitasi kegiatan kesenian itu berkembang menjadi dua arah: bukan lagi hanya atas dasar kepentingan seniman, melalui pasirputih, untuk warga, tetapi juga dari warga, bersama-sama pasirputih, terhadap seniman. Kolaborasi ini kemudian memicu kolaborasi lain yang lebih strategis: kolaborasi antara warga dan pemerintah. Implementasi nyata dari gagasan mengenai masyarakat berdaya untuk pemberdayaan pemerintah.
Saya pun menyaksikan bentuk kontribusi yang demikian riil berasal dari warga masyarakat demi terwujudnya pesta rakyat itu. Naq Pitu, misalnya, tetangga kami yang baik hati, penjual opaq-opaq, dengan senang hati turut menyumbangkan konsumsi bagi orang-orang yang bergotong-royong memempersiapkan dan mengisi acara Bangsal Menggawe. Komunitas Gerbong Tua, kumpulan beberapa pemuda asli Pemenang, dengan begitu gembira dan semangatnya membuat rengka (semacam tandu yang diisi makanan untuk diarak sebagai ungkapan syukur) agar dapat dibawa saat pawai dan dipersembahkan kepada pemuka-pemuka Pemenang. Puluhan anak-anak dan remaja dari berbagai dusun, turut bergembira bermain bersama para seniman, serta mengisi acara di Bangsal Menggawe: paduan suara anak, demo ilmu bela diri (silat dan karate), pantomim, drumband, dan mars Pemenang. Pak Wahid, mengizinkan fasilitas bisnis TV Kabelnya sebagai saluran bagi karya-karya gambar bergerak milik warga masyarakat yang telah didonasikan ke pasirputih. Beberapa warga perwakilan setiap dusun pun terlibat dalam produksi karya seni video yang diselenggarakan oleh Gelar bersama Trio Amfibi (terdiri dari Hamdani, Onyong dan Oka, tiga orang anggota pasirputih). Pak Zakaria dari Sanggar Seni Panca Pesona, berkolaborasi dengan Syamsul Fajri untuk menggerakkan para pegiat tarian tradisional Rudat. Begitu pula dengan Muhaimi, bersama anak-anak Dusun Karang Baru, menciptakan kreasi baru tarian tradisional Sematian secara lebih kini.
Selain itu, B.O.N, komunitas grafiti di Pemenang, turut menyumbangkan karya kreatif mereka, melengkapi dan memperkaya kehadiran karya-karya Bujangan Urban, The Broy dan Sulung di beberapa tembok milik warga yang tinggal di sekitaran Bangsal. Lokasi-lokasi tembok ditemukan atas bantuan para pemuda Bangsal yang mengenal dekat para pemilik tanah dan bangunan. Sementara itu, ibu-ibu di Tebango, turut memberikan sumbangan uang untuk membeli material agar proyek kolaborasi berbasis teks yang digagas Sulung dan Komunitas Kearifan Lokal Tebango dapat berjalan. Beberapa pemuda juga ikut berkolaborasi dengan Asta, mempersiapkan kompetisi sepak bola Bangsal Cup, mulai dari pelaksanaan rapat, penyebaran undangan, sosialisasi acara, hingga ke pelaksanaannya. Kompetisi ini kemudian diputuskan oleh kurator menjadi salah satu acara utama pada Bangsal Menggawe. Komunitas seniman lokal yang sudah lama bergiat di Pemenang, seperti grup qasidah dan pemusik gambus Sasak, juga berkontribusi menampilkan kepiawaian mereka di pesta rakyat tersebut. Beberapa hari sebelum hari H, sosialisasi tentang pesta rakyat melalui komik buatan The Broy pun berjalan secara otomatis: warga, terutama anak-anak, memperbanyak selebaran itu dengan alasan bahwa mereka memang menyukai ide cerita di dalamnya, yakni meta keke itu sendiri. Hal itu bersanding dengan keberhasilan Hujjatul membuat lima ratus lukisan potret; membuat bahagia warga-warga yang dilukis dan antusias menyaksikan diri mereka hadir di dalam karya tersebut saat pesta rakyat Bangsal Menggawe berlangsung. Semua kegiatan kreatif seniman yang berkolaborasi dengan warga itu, direkam oleh Baiq Ilda Karwayu dalam buku antologi puisi, Identitasmu, Pemenang!.
Semua contoh yang saya sebutkan di atas, dilakukan oleh warga masyarakat tanpa pamrih. Ini bukti bahwa warga pun pada akhirnya menyadari rasa kepemilikan mereka terhadap Bangsal Menggawe dan mendukung proyek AKUMASSA Chronicle. Tak hanya itu, peran pemerintah lokalpun juga tak kalah konkret. Kepala Desa Pemenang Barat dan Pemenang Timur, beserta Camat Pemenang, adalah orang-orang yang giat mensosialisaskan ide dan acara Bangsal Menggawe kepada seluruh perangkat desa. Alasan mereka cuma satu: ingin Pemenang bangkit. Sedangkan Sekretaris Daerah Lombok Utara, Pak Suardi, adalah orang yang cukup berjasa dalam membuka peluang negosiasi antara pasirputih dan berbagai dinas sehingga lembaga semacam Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga, Dinas Perhubungan, Syahbandar, dan Polisi Sektor Pemenang, turut berperan dalam perihal izin dan modal sosialisasi. Dalam situasi ini, pemerintah lokal bertindak bukan karena kebutuhan realisasi kebijakan mereka, tetapi dalam rangka merespon apa yang sedang dilakukan oleh warga. Sedangkan para seniman (yang juga tetap berkarya sesuai bidangnya masing-masing) dan pasirputih, bertindak sebagai pemicu jiwa kreatif masyarakat, terutama untuk membuat kemasan yang baik dan sesuai dengan selera kultural lokal di Pemenang.
Karena kolaborasi yang masif ini maka pada tanggal 28 Februari, 2016, ribuan—sekali lagi saya katakan, ribuan—warga Pemenang bersedia ikut serta dalam kegiatan pawai untuk membuka acara Bangsal Menggawe. Kami semua berjalan dari Lapangan Guntur Muda menelusuri gang-gang pemukiman dan Jalan Raya Pemenang, disusul oleh warga-warga lainnya yang memulai perjalanan pawai dari depan rumah mereka sendiri yang terletak di pinggir jalan. Mereka semua menuju satu lokasi: Bangsal. Mereka “kembali” ke Bangsal. Ribuan warga itu memobilisasi diri mereka sendiri. Pada saat rangkaian acara pembuka berakhir, seluruh warga yang hadir di Pelabuhan Bangsal kemudian tumpah ruah ke area pantai di sebelah timur pelabuhan. Kejadian-kejadian yang sebelumnya hanya saya dengar dalam cerita berdasarkan ingatan kawan-kawan pasirputih, saya saksikan langsung: keluarga bertamasya di pantai sambil menikmati plecing kangkung. Anak-anak merentangkan kaki, memunggungi pulau Gili, untuk menemukan keke. Seraya pertandingan final Bangsal Cup berlangsung, pantai sebelah timur itu telah dipenuhi massa, sebagian duduk-duduk dan berlari-larian di pasir, sebagian besar lainnya telah membasahkan diri ke laut.
Pada saat pawai dari Lapangan Guntur Muda menuju Pelabuhan Bangsal, di barisan paling depan, dua-tiga cidomo mengangkut sebuah prasasti berisikan teks “Wasiat Pemenang” (yang digagas oleh Ismal bersama para pemuka adat dan agama). Cidomo-cidomo ini juga menjadi kendaraan bagi Bupati Lombok Utara, Najmul Akhyar dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Amin, untuk berpawai bersama-sama warga. Mengingat momen ketika cidomo-cidomo itu berjalan sebagai kendaraan yang penting, saya lantas berpikir, tepatkah cidomo-cidomo itu digantikan sama sekali oleh roda-roda bermesin…? Bukankah cidomo adalah juga kearifan kultural warga Pemenang.
Sekali lagi saya teringat cerita Sibawaihi. “Dulu, kalau ingin ke Bangsal, saya dan kawan-kawan sering berlari mengejar cidomo, menumpang sampai ke pelabuhan. Gratis!” katanya. “Kok, bisa?” tanya saya. “Ya, sebenarnya orang-orang di sini saudara, Zik!”
Entahlah apakah Sibawaihi hanya berlebih-lebihan. Bisa saja aktivitas menaiki cidomo secara cuma-cuma itu karena faktor teman saja. Tapi yang jelas, ingatan itu terepresentasi sebagai penutup dalam teks “Wasiat Pemenang” yang dibacakan oleh Bupati: “Membangun Pemenang Dengan Semangat Kebersamaan, Kemandirian, Tanpa Kesenjangan, Berlandaskan Kearifan Budaya dan Keberagaman Dalam Bingkai Mempolong Merenten.” Kata polong (populer di Lombok Utara bagian barat) dan renten (populer di Lombok Utara bagian timur) adalah ‘bersaudara’ dalam bahasa Indonesia. Kebersamaan dan rasa persaudaraan itu terlihat sekali lagi pada momen ketika Bupati, diiringi oleh tokoh-tokoh masyarakat di Pemenang, berjalan beramai-ramai bersama warga yang sangat antusias, menuju ujung dermaga Bangsal untuk melwati monumen pintu yang dirancang oleh Ismal, menyerahkan “Wasiat Pemenang” kepada para tokoh-tokoh masyarakat (mewakili seluruh warga Pemenang) untuk disimpan di Bukit Tebango Bolot, sebagai pesan bagi generasi masa depan.
Fenomena yang jarang terjadi ini ditegaskan oleh Kongso Sukoco (budayawan dan mantan Ketua Dewan Kesenian Nusa Tenggara Barat) sebagai peristiwa budaya paling keren yang pernah berlau alami di NTB. Oleh Dr. Lalu Muchsin Muchtar, salah satu tokoh intelektual dan pemuka agama di Pemenang, peristiwa ini dianggap sebagai sejarah baru yang dapat menginspirasi dan menghubungkan masyarakat Pemenang masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Rasa kepemilikan terhadap Bangsal ternyata tak berhenti hanya pada saat pesta rakyat Bangsal Menggawe. Sehari setelah pesta itu berakhir, pasirputih dibantu oleh cukup banyak warga, membersihkan area Syahbandar dan pantai Bangsal dari sampah-sampah. Mereka membersihkan sampah-sampah itu seolah-olah sedang membersihkan kotoran-kotoran batiniah dan jasmaniah mereka sendiri demi menciptakan kehidupan Bangsal yang asri, kehidupan mereka sendiri.
Bangsal kini telah hidup dan bergerak. Pemangku-pemangku kebijakan telah dicubit untuk melek budaya. Warga menemukan kembali tempat permandiannya. Semoga saja dengan kepemilikan atas Bangsal Menggawe itu, Bangsal tidak akan sendirian lagi ditinggal oleh orang-orangnya. Kita layak menanti era ketika Segara Gunung (‘masyarakat laut dan gunung’) menjadi wajah masa depan Bangsal dan Kecamatan Pemenang.