Bandung, Jawa Barat Kontribusi

Ke Kebun Pak Ustadz

Minggu pagi itu mataku baru terbuka. Kemarin kami tiba di rumah kakak di Setia Budi Regency di kawasan Lembang Bandung, saat hari menjelang petang. Tak jelas lihat sekitar.

Rumah kakak dua lantai. Dari jendela kamar di lantai atas aku bisa lihat kebun-kebun sayur menghampar. Yang paling banyak selada dan fumak. Dari ketinggian nampak warna hijau muda untuk selada (lettuce), dan hijau tua untuk fumak. Beberapa petani tengah bekerja.

Pemandangan dari jendela lantai dua

Saat jalan-jalan di sekitar perumahan, aku mampir ke salah satu kebun yang ada di sela rumah-rumah besar. Ada beberapa petak tanah dengan ragam tanaman sayur yang berbeda. Ada kemangi, fumak, bit, dan sisa-sisa kebun selederi. Tapi fumak mendominasi. Beralur rapi dan subur. Bit hanya sebagai tanaman sela di antara lajur-lajur fumak. Seorang petani tengah memanen bit. Dua karung bit teronggok di sana.

Pak Ustadz, begitu ia minta dipanggil saat saya tanya namanya, bilang ini bukan tanahnya tapi milik pengembang. Daripada menganggur ia mintakan izin untuk menanaminya. Tapi ia harus rela jika sewaktu-waktu tanah itu diambil pemiliknya. Biarpun tanaman sayurnya belum siap panen.

Sudah dua tahun Pak Ustadz berkebun di sana. Hasil nya pun lumayan. Dalam kurun tiga bulan dengan modal Rp 500.000,- ia bisa mendapatkan Rp 5 juta. Untuk menghemat, ia bikin pembibitan tanaman sendiri, kecuali bit. Untuk yang satu ini ia harus beli bibitnya dari toko benih.

Kebun ini bukan satu-satunya kebun yang dia garap. “Yang ini hanya sampingan saja,” ujarnya. Ia mengaku punya beberapa lokasi garapan lain. Tapi semua milik pengembang. Keluarganya memang punya tanah sendiri tapi di luar kota Bandung. Khusus untuk ditanami padi. Hasil panennya selain dijual juga untuk dikonsumsi sendiri. Mereka tak pernah beli beras. Mertua Pak Ustadz punya tanah di sekitar jalan tol Padalarang yang akan dijual, kabarnya jika laku mereka bakal dapat uang milyaran rupiah.

Setiap hari Pak Ustadz panen bit dan kemangi untuk dibawa ke pasar. Bit yang ia panen hari itu akan dibawa ke Jakarta.  Akan halnya tanaman fumak baru bisa dipanen beberapa minggu lagi. Pak Ustadz menyebut fumak dengan bomak.

Belakangan saat aku search di internet, kata bomak tak dikenal. Tapi ada salah satu situs di Bandung yang menjual fumak dengan menyebutnya sebagai somak. Bukan untuk dibuat sayur, melainkan ditawarkan sebagai pakan kura-kura. Selain itu, tak ada informasi mengenai fumak selain sebagai salah satu bahan masakan.

Sebuah situs milik orang Singapura, berjudul Gardening With Wilson memuat salah satu tanaman yang mirip fumak. Ia menyebutnya Indian Lettuce dari keluarga daisy. Perkembangbiakannya dari biji. Jika bunga sudah kering akan berubah menjadi seperti serabut-serabut kapas berwarna putih yang mudah tertiup angin. Pada pangkal serabut itulah biji menggantung.

Pak Ustadz bilang, fumak tak laku dijual di pasar. Pelanggan mendatanginya untuk langsung dibawa ke rumah makan Cina. Fumak yang siap panen adalah yang berbatang cukup besar sehingga di dalamnya bisa diselipkan lindung. Batang fumak dewasa memang berongga seperti pipa.

Aku tak tahu apakah penjelasan soal cara masak itu benar, karena sepengetahuanku lindung tidak dimasukkan ke dalam batang melainkan dipotong-potong begitu saja. Atau barangkali ada cara masak yang lain, yang aku tak tahu.

Nah, untuk menjaga agar fumak tumbuh lurus dan kokoh, cabang-cabang fumak harus dibuang. Pak Ustadz menunjukkan cara membuang cabang-cabang fumak. Cukup dengan tangan. Genggam dan sentakkan keluar sedikit ia akan terlepas dari batang utamanya. Aku ikut membantu.

Membuang cabang fumak

“Ini bisa dimakan. Untuk ditumis atau dimasukkan begitu saja kalau ibu bikin mi instan,” ujarnya sambil mengulurkan seikat fumak. Dia bilang kadang mengonsumsi cabang fumak.

Selain membantu membuang cabang-cabang fumak, aku juga ikut panen bit. Bit tidak ditanam terlalu dalam. Sebagian umbi bit terlihat menyembul di permukaan tanah. Dengan mudah kita bisa lihat apakah ukuran umbi sudah layak dipanen atau belum. Cara memanennya pun cukup mudah karena tanah juga tidak terlalu padat. Putar bonggol tanaman bit ke kanan sambil ditarik ke atas.

Memanen bit

 

Bit di dalam karung

Cukup lama aku menghabiskan waktu di kebun Pak Ustadz. Siang menjelang, aku pamit. Pak Ustadz beri fumak dan beberapa buah bit untuk dibawa. Perjalanan dari Bandung kembali ke rumah ternyata tak bikin fumak layu. Mereka pun langsung masuk kulkas.

Fumak di Tupperware

Esok harinya aku coba tumis fumak. Pakai minyak wijen dan potongan tahu kuning. Rasanya? Mirip seperti sawi caisim. Lumayan buat sarapan. Sedangkan bit aku kukus saja. Kabarnya itu obat anemia, penambah darah. Tapi rasanya tidak terlalu enak buatku.

Sarapan dengan fumak

*tulisan ini disalin dari Note Facebook Elisabet Tata atas seizin dari penulis.

About the author

Avatar

Elisabet Repelita Kuswijayanti

Elisabet Repelita Kuswijayanti. Biasa dipanggil Tata. Kelahiran Yogyakarta, 6 Februari. Mantan wartawan majalah Eksekutif dan majalah Indikator. Pernah mengikuti pelatihan LEAD (Leadership for Environment dan Development) pada 1995-1997. Menyelesaikan pascasarjana pada Program Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di IPB pada 2007. Sekarang menjadi penulis lepas.

3 Comments

Tinggalkan Balasan ke sibawaihi X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.