“Ruangan ini memiliki luas 2 x 4 m², dengan tinggi kurang lebih sama dengan tinggi tubuhku, yaitu 175 cm. Ruangan belakang atau ruangan depan tidak jauh berbeda. Jika sesampainya dari pasar atau warung sebelah saat membeli air minum kemasan gelas plastik, benda persegi empat itu sering ditaruh di sudut ruangan atau di bawah, bahkan di atas. Beragam ukuran atas sebuah benda yang terabaikan tetapi sering aku mencarinya. Menggunakannya, dan membuangnya percuma ke halaman belakang. Kini terpikirkan begitu saja. Reaksi kecil atas spontanitas obrolan sepintas. Terlalu naif jika menolaknya menjadi benda yang tidak berguna. Karena dia selalu ada, maka aku membutuhkannya. Binar-binar kejelasan tentang benda itu kini ada di obrolan sore hari. Kardus menjadi topik obrolan kecil yang menggelikan saat sinar senja memantulkan kuasa cahayanya ke sungai Ciujung.”
Dableng:
Kardus memberikan dua kenangan di tempat yang berbeda. Pertama, sebelum nenekku pergi jauh meninggalkan semuanya. Meninggalkan benda-benda berharga dan orang-orang tercintanya. Usiaku saat itu masih terlalu kecil untuk memaknai peristiwa itu. Tahun 1980 di Lebak, aku sering sekali pergi menemuinya. Menjinjing benda kotak yang asal terikat oleh tali plastik berwarna hitam hasil belian dari warung tetangga. Tali rapia namanya. Ialah kardus kotak tebal yang aku maksud. Sewaktu hendak bepergian mengunjungi nenekku semasa hidup. Ibuku sering menitipkan benda itu kepadaku. Jarak rumahnya yang jauh berada di sisi kota Rangkasbitung yang sering aku sambangi. Jalan yang lurus menanjak dan menekuk tiba-tiba mengharuskan barang bawaan itu terkemas kuat. Jika teringat kini, orang tuaku seharusnya berpikir ulang menitipkan barang bawaan itu. Sebetulnya cukup berat untuk ukuran anak-anak. Seringkali kardus itu dijadikan wadah atau tempat menampung oleh-oleh untuk nenek dari orang tuaku saat lampau. Kardus keberadaanya memberikan bekas yang tidak lekas hilang dalam kehidupanku sampai saat ini.Menelisik kenyataan saat ini, masyarakat umumnya hingga sekarang masih menggunakan kardus ragam ukuran dengan label beragam pula. Ragam fungsi. Untuk menampung benda-benda berharga, rongsokan, dan dokumen-dokumen yang ingin tersembunyikan misalnya. Menjadi penting sehingga terhindar dari ancaman kerusakan isi. Pengepakan yang efektif menjadi alternatif pilihan atas kegunaan benda itu sendiri. Membungkus atau mengeluarkan barang dari kardus sering aku jumpai di lingkungan sekitar kampungku. Kardus terkadang dibuang percuma lalu dicari keberadaanya jika diperlukan, dan itu sudah pasti terjadi di keluargaku. Aku sendiri masih melakukan hal ini saat akan bepergian atau merapikan tempat tinggal. Kardus pastilah dicari. Menjadi identitas produk, tampaklah menarik dan elegan jika terlihat sepintas dari kejauhan. Tetapi, terkadang jika aku membawa kardus itu ke rumah nenek seringkali posisinya tak berimbang. Tangan dan pundak sering tidak kuat menahan beban yang melebihi kekuatan kardus itu sendiri. Sesampainya di rumah nenek, biasanya aku melempar kardus yang asal terikat itu ke lantai. Bunyinya mengganggu, sampai-sampai nenekku marah. Kejadian itu sering berulang dan akhirnya nenekku sering mendiamkannya. Sejujurnya, jika aku diberi kesempatan bicara saat itu, aku melakukannya karena protes dan mengeluh terhadap beban yang kelewat berat dalam kardus itu. Apa mau dikata, bicara tidak bisa, aksi menjatuhkan kardus sembarangan sering aku lakukan jika sudah sampai ke tempat nenek.
Bertutur kata tentang kardus. Yang kedua, aku memulai dari belasan tahun lalu sewaktu bekerja di pabrik. Letaknya berada di kota Tangerang, Banten. Saat itu aku sedang giat bekerja di perusahaan swasta milik orang Korea. Spesialis khusus bidang mebel. Remaja seusiaku di kampung sering menyebutnya kerajinan saja. Kelangsungan bekerja di negeri sendiri di mulai pada 1993 sampai dengan 1995. Aku ditempatkan di bagian pengepakan (packing) yang sehari-harinya selalu berhubungan dengan kardus. Tidak seperti halnya pekerjaan lain, posisiku biasanya tinggal mengepak produk yang sudah jadi dimasukan ke kardus. Ukurannya sudah disesuaikan. Kapasitas isinya diukur sesuai kebutuhan perusahaan. Tetapi kali ini berbeda dengan sebelumnya. Yang membedakan bukan perusahaannya, justru yang berbeda perubahan dalam posisi kerja. Tidak tahu masalahnya apa, saat itu aku diharuskan mengepak produk mebel yang telah jadi dengan kardus yang belum terbentuk. Sulit sekali memainkan angka-angka ragam hitungan pada awalnya. Bahan yang ada dihadapanku masih berupa lembaran karton tebal berukuran 2 x 3 m. Menghitung berapa panjang dan lebar produk mebel yang sudah jadi, setiap harinya aku lakukan. Aku dituntut untuk bisa mendesain kardus tersebut secara berulang-ulang. Banyaknya kardus yang terbuat mencapai 50 buah setiap harinya. Ingat kardus, maka aku sering teringat oleh-oleh buat nenek di Lebak dan pabrik di Tangerang.
Kata kardus sering terartikan sebagai pembungkus. Biasanya bekas pembungkus barang-barang elektronik, produk makanan dan mebel. Menurutku, kardus terbuat dari kertas karton tipis yang dilipat-lipat hingga menjadi tebal. Ketebalannya terkadang disesuaikan dengan kebutuhan serta kekuatan untuk menopang isinya. Mungkin kardus itu sendiri lebih dititik beratkan pada perlindungan dan ragam fungsi bukan pada isi.
Helmi:
Aku tidak memiliki pengalaman lampau dengan kardus. Hanya, aku banyak melihat saudaraku menggunakan benda itu sebagai barang bawaan jika pergi jauh. Menurutku, semuanya ditakar berdasarkan kebutuhan karena ragam ukuran dan bentuk ketika terjinjing ataupun terpikul di pundak orang-orang. Besar kecil bukan ukuran pasti, tetapi sebenarnya mau diapakan kardus itu setelah dia sampai di tempat tujuan. Seringlah menjadi pertanyaan sepele di kepalaku. Dari obrolan kecil tentang kardus aku hanya bisa menuturkan satu pengalaman kecil saja dengan saudaraku saat sekolah tingkat atas.Ada pengalaman tentang kardus. Hingga sekarang masih melekat rapi dalam pikiran, dan terkadang aku menjadi geli sendiri kalau mengingat masa itu. Berawal dari kebutuhan salah seorang saudaraku yang tinggal di Tanjung Priok akan laja merah (lengkuas), katanya mau dikirim ke Arab Saudi untuk keperluan pengobatan. Ketika itu, ibu menyuruhku mengantarkan laja merah. Dengan terpaksa saya sanggupi.
“Lumayan, seratus ribu rupiah upah yang didapat”, kata Tisna sepupuku yang kemudian dengan semangat memanen laja merah yang tumbuh liar di belakang rumah sampai dapat dua karung.
“Dasar otak bisnis”, pikirku. Sebagai sesama anak muda yang sok ikut-ikutan bergaul, tentunya gengsi membawa karung penuh dengan laja merah begitu. Apalagi jika bertemu gadis di kereta. Ooh..!! Entah apa yang akan terjadi, tidak bisa dibayangkan malunya. Tisna dengan kerutan di keningnya berpikir dalam beberapa menit dan memutuskan supaya karung diganti dengan kardus. Ini ide bagus gumam saya. Akhirnya kami mendapatkan dua kardus bekas televisi 12 inci. Yang satu saya temukan di gudang bawah atap rumah. Kardus kedua, Tisna mendapatkannya dari tetangga dengan tebusan uang seharga dua ribu rupiah. Besoknya kami berangkat ke Tanjung Priok, dengan susah payah kami bawa kardus yang berisi laja merah itu, terkadang merasa malu berpapasan dengan orang yang berpakaian rapih menjinjing koper atau tas mewah. Jam 12 siang saya sampai di rumah saudaraku di sana. Dengan tersenyum pamanku menyuruh kami berdua untuk beristirahat, lalu jam dua sore kami pamitan pulang.
Dengan merogoh kantongnya paman berucap, “salam ma ibu ya, ni ongkos pulang sepuluh ribu dibagi dua”.
Tisna bergumam dengan nada kesal, “eeh, weleh-weleh… cuma sepuluh ribu doang, dasar Jawa”. Gumamnya hanya terdengar olehku saja. Belum selesai aku bercerita, teman-teman saidjahforum tertawa. Akupun merasa malu dan lebih memilih tidak melanjutkan lagi cerita pengalamanku satu-satunya tentang kardus.
Fuad:
Tulisan ini hanya memperkenalkan bagaimana aku mempunyai cerita sebuah benda yang sama, tetapi versinya berbeda dengan waktu yang berbeda pula. Perkenalan cerita satu sama lain yang tidak mengejutkan. Setidaknya pertukaran pengalaman dan kenyataan itu menjadi misteri yang bisa dijajaki. Sebut saja, kenapa kardus itu masih digunakan banyak orang? Aku seringkali melihatnya di tempat yang banyak orang ataupun sepi. Berkumpul mengantri waktu akan bepergian ke suatu tempat pasti akan banyak terlihat. Tulisan kardus tersusun sedemikian rupa mengalir begitu adanya. Obrolan sederhana aku dan kawan yang lainnya di saidjahforum sama sekali tidak ada prasangka, melainkan kami hanya bisa menduga bahwa kardus ada banyak gunanya. Terkadang juga kami keliru membuangnya ke halaman belakang sama dengan kebanyakan orang. Tetapi biasanya keesokan harinya sudah tidak ada. Kardus tidak berguna dan hanya akan mempersempit ruangan dan itu tidak terjadi kini karena kami membukanya lebar-lebar dan siap memasukkan apa yang perlu untuk dimasukkan atau dikeluarkan. Apapun ragam ruang yang kami miliki. Memunculkan sebuah pendapat kecil, disuatu hari nanti yang sulit, kardus selalu berguna seperti banyak orang akan menggunakannya.Aku mengikuti obrolan dengan mereka setelah kepulanganku dari Jakarta. Setelah banyak melihat kardus-kardus itu ketika perjalanan pulang. Orang-orang hilir mudik menaiki kereta atau hanya sekedar belanja barang yang terbungkus kardus. Pengertianku tidaklah banyak mengenai benda-benda yang mereka bawa, tetapi aku dan beberapa kawan di saidjahforum berdiskusi dengan senang hati, diselingi gelak tawa sampai terpingkal-pingkal. Lucunya terletak di mana, akupun tidak tahu. Pengalaman waktu lampau menyeret kami pada masa kini. Kami seakan merumuskan pengalaman kecil yang sampai kini masih terus berlangsung. Situasinya kini berbeda. Kardus menurut pendapatku tidaklah akan hilang dalam kehidupan keseharian begitu saja. Percaya bahwa benda itu dibutuhkan terus perannya. Kardus sebagai benda yang menentukan. Kami memiliki kardus berbagai ukuran. Misal: kardus bekas satu unit komputer saat kegiatan akumassa berlangsung beberapa bulan yang lalu. Masih tersusun rapi di atas rak buku saidjahforum. Aku berpikir suatu saat benda itu akan menjadi penting posisinya. Tapi tidak untuk pengalaman yang aku tulis saat ini.
“Sampaikan salamku pada pamanmu, aku menitipkan ini padamu terkait ketidak sanggupanku pergi ke sana. Dan katakan pada mereka bahwa di sini aku sedang sakit.” Kesemuanya tampak khayalan belaka meskipun tidak demikian halnya karena aku masih mengingatnya dengan jelas perkataan itu. Ucapan itu sangatlah sakit bagiku karena peristiwa itu yang paling mengharu biru di usia kecil. Tidak tahu persisnya tahun berapa, tetapi aku sadar dan bisa mengingatnya dengan jelas. Kemungkinannya aku baru menamatkan sekolah dasar di Lebak. Kepergianku menuju rumah saudara jauh di perbatasan Bogor dan Lebak. Cipanas namanya. Daerah yang banyak memiliki perbukitan batu dan aliran sungai deras tetapi jernih (Ciberang). Di hulu sungai seingatku terdapat galian emas liar. Gunung Julang, banyak orang menyebut dan mendatanginya. Tempat di mana peristiwa kematian massal terjadi karena longsor hebat puluhan tahun yang lalu. Niatan sesaat untuk membantah sebuah titah muncul saat itu. Tetapi semuanya seakan tidak berguna. Bukan aku terlalu dungu jika kata bantahan itu keluar dari mulutku. Untuk sosok orang yang aku kagumi aku jelas tidak berani.
Daerah yang akan dituju dari tempat kediamanku adalah daerah yang sama sekali belum aku kenal saat itu. Menurut ayahku, banyak saudaramu di sana yang rata-rata berpeci putih. Kardus yang pertama aku lihat saat itu bertuliskan Sarimi. Satu-satunya yang aku ingat ada logo “X” bertuliskan Jangan di banting. Bukan masalah detail kardus, tetapi saat itu kardus sudah berisi benda-benda dari kebun halaman belakang, jengkol dan ubi. Ukuran kardus kurang lebih 15 x 10 cm. Kardus rapat terikat dengan tali plastik dari berbagai arah tengah dan sisi diletakan persis di dekat pijakan tuas rem sang pengendara. Tidak tahu persis nama si pengendara mobil itu. Yang aku ingat, dia adalah si pengangkut batu pecahan kecil untuk penghalus jalan beraspal. Bak besi tertera ejaan JAPARKO terlihat jelas dari cermin spion. Di pertengahan jalan aku harus berpindah tumpangan. Dari pasar Gajrug aku harus menaiki angkot berwarna biru menuju arah timur. Saat berpindah kendaraan perasaan aneh muncul. Kardus terasa tidak nyaman saat dijinjing. Ternyata kardus menciut terkena tumpahan air minum si sopir truk. Baru saja mau berhenti sesaat dan melihat ke kardus. Barang bawaan sudah jatuh berantakan di jalan aspal. Aku hanya bisa menaruh kardus sesaat dan mencari kardus baru di pertokoan yang berjarak beberapa kaki saja. Kini aku hanya bisa mengambil foto saja sebagai data atas pengalaman tentang kardus. H. Nawawi nama pemilik toko itu. Dia berbaik hati memberi kardus baru tanpa harus membayarnya kala itu. Dia memberiku kardus baru secara cuma-cuma. Jadi kalau bicara kardus maka aku teringat dengan jebolnya barang bawaan dalam kardus.
Lebak, 20 Mei 2009
Saidjah Forum
wah seru ya ceritanya…gw jd inget,awal bulan lalu gw lg mau belanja ke tn.abang,di sepanjang jalan menuju kesana di daerah situ(gw lupa nama jalannya,yg pasti lampu merah thamrin itu kita belok kiri)banyak penjual kardus-kardus yg terdiri dari berbagai macam ukuran.Disitu sebagian besar pembelinya menggunakan kendaraan roda 4.Sayangnya gw ga sempet turun untuk bertanya berapa harga kardus2 itu,mungkin suatu saat nanti gw akan kesana lagi untuk suevey lebih jauh tentang penjual2 kardus itu.
Pencarian pabrik kardus di lebak masih kami telisik. Itu menjadi tanya jawab “LUCU-LUCUAN” setiap kami berkumpul. Ada yang tau pabrik kardus di banten?