Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Jangan Mau Kalah

Avatar
Written by Fuad Fauji
Angin musim hujan kadang menguntungkan. Menebarkan udara dingin dan sejuk setiap hari. Tetapi tidak untuk orang pemalas. Ia akan disekap hawa dingin dan akan mudah terlelap tidur. Kemarin Kota Rangkasbitung seharian diguyur hujan. Bulan Januari hujan akan turun di tiap harinya di Lebak, menyegarkan pepohonan, dan meluapkan aliran sungai. Pagi itu matahari bersusah payah melelehkan gulungan awan hitam. Aku menyusuri gang kecil dari rumah menuju Saidjah Forum. Jalan gang yang sudah diperbaiki sedemikian rupa menebarkan nostalgia. Dulunya adalah rel kereta api menuju Labuan dan Bayah. Semasa Orde Baru berkuasa jalan kereta sudah tidak berfungsi. Tak lama, jalan baik itu habis berganti dengan jalan tanah basah. Aku harus melompat-lompat kecil mencari pijakan tanah kering. Sebagian potongan rel  terlihat menyembul ke permukaan tanah. Jalur kereta ini sudah tertimbun tanah puluhan tahun lamanya.

Anggota Saidjah Forum berpose bersama Misbach

Sampailah di Jembatan Dua. Aku menyeberangi jalan raya. Niat hati memastikan cerita tetangga bahwa di sana terdapat rumah penyewaan komik. Dulu pada tahun 1950-an seorang Ibu tinggal sendirian menyewakan komik berbahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Melayu. Persis di mulut jembatan, ada tangga ke bawah, terbuat dari semen yang sudah rontok. Ada banyak rumah tua di sana. Tetapi yang mana rumah penyewaan komik itu, aku tidak tahu. Tidak ada yang bisa ditanyai karena rumah-rumah di situ masih sepi. Aku melanjutkan jalan kaki sambil mengira-ngira bahwa mungkin rumah tua yang itu. Ah… tidak, pasti yang sebelahnya. Tidak terasa nafas mulai tersengal karena sudah tidak biasa berjalan kaki dikejar gerimis hujan. Suatu saat nanti aku mungkin bisa mampir dan lebih bercerita. Pada Selasa pagi tanggal 10 Januari 2012, kami kedatangan tamu. Bukan Tamu Agung tetapi sepasang suami istri yang akan bertukar gambaran tentang kegelisahan kerja kreatif. Mereka adalah Misbach Yusa Biran dan Naniek Widjaya. Misbach adalah kawan Usmar Ismail di Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Sedangkan Nanik Widjaya adalah aktor film.

Misbach, tamu yang datang ke Saidjah Forum

Mereka datang menggunakan mobil sedan hitam automatic. Naniek Widjaya membuka kaca jendela mobil, “Wah… kok laki-laki semua?” Kawan Saidjah berusaha membantu Misbach berjalan memasuki ruang Saidjah Forum. Tetapi dia menolaknya dan berkata, “Saya baik-baik saja”, kami pun tersenyum. Terasa pribumi sopan karena memilih jalan sendiri. Aku mulai menyapa; merasa terhormat Bapak sama Ibu mau datang kesini. Kami sudah pasrah, Bapak tidak bisa datang karena musim hujan, energi, dan kesibukan. Beginilah keadaannya, Pak. Kami minta maaf tidak bisa menjamu dengan baik. Paling nanti hanya ada air putih, teh hangat, dan kue-kue kampung saja. Dia langsung menimpal pembicaraanku, “Sudahlah, tidak usah bicara begitu. Saya masih kaget. Kalian juga kaget. Jadi kita tidak usah ada diskusi serius, ya. Lain kali saja kita bicara lagi. Saya terlambat mengenal kalian. Karena saya sebentar lagi meninggal. Bagaimana kalian?”  Aku menjawab polos, “Tentu kami baik-baik saja”. Setelah semua masuk ruangan dan membetulkan duduk masing-masing, pembicaraan dimulai.

Kawan-kawan Saidjah sedang mendengarkan Misbach

Misbach: “Cirebon ketika ingin membuat provinsi sendiri orang-orangnya berkata, ‘Jangan mimpi kepanjangan. Nanti kayak Banten.’ Apa enak dengarnya, jangan  kayak Banten karena jadi daerahnya tertinggal. Rasa malu tidak perlu diucapkan, malu dong. Tetapi orang Banten harus punya kebanggaan sebagai suku bangsa yang hebat. Itu dulu, baheula (masa lalu). Kebanggaan itu sudah berakhir pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Periode Tirtayasa ke atas hebat. Daerah ini menjadi pelabuhan penting di Asia Tenggara dan Dunia. Setelah  ia dihukum dan diadu domba dengan adiknya. Lalu ia meninggal. Setelah itu kesultanan Banten merosot sampai sekarang. Sayang bukunya hilang. Ada buku yang memuat surat raja-raja di Nusantara selama mereka berhubungan dengan pihak Belanda. Biasanya wakil dari Ratu Belanda di Indonesia diberi nama  Gubernur Jenderal Belanda. Nah, saat itu ada pergantian Sultan di beberapa kerajaan. Sultan baru membuat surat pada gubernur. ‘Ýang mulia Gubernur Jenderal, kami… begini…  begini… begini…, supaya diangkat jadi Sultan.’ Sedangkan sultan Banten di suratnya bukan pake kata ‘Yang Mulia’. Tetapi pake kata ‘Ayahanda.’ Tangan Misbach memegangi kedua lutut.

“Sudah jadi penjilat, bukan main, ‘AYAHANDA!’. Gimana caranya, orang Banten ayahnya  Belanda. Ya Allah…!! Kedua jari tangannya dirapatkan sambil di pukul-pukulkan ke batas permukaan meja. “Tidak ada surat darimana-mana yang mengatakan Belanda sebagai ayah, kecuali Banten.” 

Rob: “Mungkin bentuk penghormatan saja, Pak.”

Misbach:  “Itu bukan penghormatan. Tapi saking tolol-tololnya.” [semua tertawa] 

Rob: “Mungkin seperti SBY menyebut Barack Obama menjadi ‘Yang Mulia’.”

Misbach:  “Ahh..itu biasa. Soalnya sampai sekarang duta besar (dubes) masih disebut ‘Yang Mulia’. Ngga bisa ‘My dear’, itu tidak boleh. Kalau berdua, boleh. Tapi kalau resmi, tidak boleh. Masa orang Banten bilangnya ‘Ayahandaaa..!!’ [Ia menggelengkan kepala] “Tirtayasa saja mati-matian tidak mengizinkan Belanda memainkan  monopoli dagang. Karena itu perbuatan licik. Lah... ini sama generasi selanjutnya malah dijilat habis. Ketika perpindahan kekuasaan dari VOC karena mereka terpuruk digerogoti korupsi. Kita dijual ke pemerintah Belanda. Maka seluruh negeri ini disebut Nederland Hindia. India punya Nederland. Dulu negeri ini namanya disebut Hindia karena penduduknya mayoritas Hindu. India betulan disebut British India. India punya Inggris. Semua tertawa. [Misbach melanjutkan pembicaraan.] “Itulah sejarahnya yang membuat kita terpuruk menjadi bangsa yang terjajah. Tidak punya kebanggaan apa-apa. Nah… ketika Belanda berkuasa, seluruh orang Banten menarik diri. Tidak mau bekerjasama dengan orang Belanda. Sampai sekolah pun tidak mau. Nah… itu yang membuat kita semakin tertinggal. Orang lain sekolah terus saat Belanda menjajah. Sedangkan kita tidak mau.” [Suasana hening.]

“Dulu, dua sungai yang mengelilingi Kota Rangkasbitung jadi transportasi warga menggunakan getek [apungan yang terbuat dari batang-batang bambu]. Sungai Ci Beurang dan Ci Ujung. Semua petani yang membawa hasil bumi berhenti di Lebak Pasar. Di situ tempat transaksi pedagang dan pembeli. Nanti para pedagang membawa lagi hasil bumi itu menggunakan getek ke Pontang. Lalu dua sungai ini berubah fungsi karena muncul kereta api ke Bayah, Labuan, Serang dan Berhenti di Rangkasbitung. Nah, ini penyebabnya. Saya curiga daerah ini beku dimulai dari situ. Semua orang yang mau menuju Jakarta akan berhenti di sini. Tetapi ini bukan penyebab utama. Penyebab utamanya adalah mental orang Lebak yang tidak menerima kemajuan. Kalaupun situasi berkembang, semata-mata itu bukan orang Lebaknya. Orang luar yang berkembang. Nah… itu permasalahan di kita, susah untuk dibicarakan. Jadi kesimpulannya bagaimana, Fuad? Apakah karena sikap kita yang menerima apa adanya saja? Lantas tidak mau  ke luar dari situasi ini. Tidak ada keberanian ambil resiko dan tidak punya rasa malu. Ini jaman Modern Timse (merujuk film Charlie Chaplin, 1936), kita suka tertawa saja“seserian bae, naon anu diseng seriukeun? (tertawa saja, apa yang ditertawakan?).” [Suasana hening dan kawan Saidjah sedikit menundukan kepala.] 

Misbach: “Siapa yang tahu tubuh Gajah Mada itu besar dan gagah. Mungkin saja kurus! Andaikan saja jaman Sukarno, Gajah Mada tidak ada fotonya,kita tidak pernah tahu sosoknya. Gajah Mada sosoknya tidak selalu besar. Tapi oleh Bung Karno dibuat gede supaya kita semua bangkit. Lalu dibawa ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),‘Inilah bangsa Indonesia.’ Amerika marah karena dia tahu kita ‘miskin’. Pahlawan tidak selalu berbadan besar. Tapi itu untuk mengobati kebanggan(siasat). Nah inilah kebanggaan, salah satunya. Karena orang-orang Banten hanya kuli-kuli pelabuhan. Kuli angkut di kota. Jawara dan tukah teluh (santet). Hanya itu saja. [Semua kawan Saidjah merunduk dan telinga masing-masing mulai memerah.] 

Kuni: “Memang, saat itu Miing (komedian ibu kota, mantan Bagito grup) ketika nyalon Gubernur, dia selalu ngaku berasal dari Banten. Tidak dari sini.”

Misbach: “Makanya dia malu  bilang Rangkasbitung. Padahal daerah ini ada yang menonjol dari dulu. Multatuli. Di dunia nama Multatuli dikenal. Apalagi orang Lebak, pastilah dikenal tuh oleh masyarakat dunia. Tapi untungnya sekarang enggak. Karena apa, itu saya tidak tahu. Nah, itulah rasa kebanggaan. Dan kebanggaan inilah yang harus dibangkitkan. Dari dulu kita memiliki banyak pahlawan. Dari mulai KH.Wasid sebagai pemberontak. Tapi dia berontak cuma seminggu. 

Aboy: “Berontak apaan itu?”

Misbach: “Orang berontak harus bertahun-tahun. Ini berontak, masa’ seminggu langsung habis. Karena tidak pakai strategi dan tidak pakai apa-apa. Bagaimana berontak, tidak ada persatuan dan tidak ada kekuatan. Mereka mengamuk tidak karuan. Orang Jawa, Diponegoro berontak 5 tahun. Tapi akhirnya dibuang juga oleh Belanda. Di Padang ada Imam Bonjol, 15 tahun berontak, tapi dibuang-buang juga tuh. Sedangkan Jepang empat bulan datang kesini. Banzai...! Belanda habis diserbu. Habis! Mereka hanya butuh waktu 4 bulan saja. Nah, kurang apa kita. Lihat pemberontakan yang dilakukan Sisingamangaraja. Ujung-ujungnya, dengan dompaknya ia dibuang juga. Satu pun tidak ada yang menang pahlawan kita. Imam Bonjol dibuang, Diponegoro dibuang, tidak ada yang menang satupun. Tempat pemberontakan di mana saja. Jogjakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Padang. Hanya itu-itu saja. Lihat bagaimana orang Jepang hanya butuh waktu 4 bulan untuk menaklukan Indonesia. Apa mereka butuh waktu banyak! Empat bulan waktu berlalu dan Indonesia ada digenggaman tangan mereka.”[Suasana hening dan Bima mondar-mandir mencari kertas catatan di lorong ruangan.] 

Fuad: “Lalu bagaimana dengan reaksi masyarakat dunia?”

Misbach: “Media-media berita dunia menulis ‘Kenapa Jepang bisa menaklukan Indonesia’. Semua orang Barat merasa aneh. Orang Jepang bilang, ‘Kalian tahu, Belanda itu miskin. Mereka hanya ahli membuat keju saja’. Kecil negerinya. Kalau keliling dimulai dari kota Amsterdam; berangkat jam sepuluh pagi pulang mahgrib. Negerinya sudah habis dikelilingi. Saya lewati taman Bunga Tulip menelusuri kota-kota kecil dan pulang ke tempat semula. Negaranya cuma segitu-gitu saja tuh. Kacau…! negara sekecil itu bisa menguasai negara Indonesia. Bagaimana mungkin negara sekecil itu bisa menguasai Indonesia. Kenapa? Dimulai dari kerajaan Banten dan kerajaan yang ada di Indonesia semuanya ditumpas habis oleh Belanda. [Kulit jidat Kawan Saidjah mulai berkerut serius. Masing-masing bersedekap kembali fokus mendengar pembicaraan.] 

“Nah, di Jepang suatu ketika. Portugis atau Eropa memulai dagang ke negeri mereka tahun 15 sekian. Mereka terkagum-kagum sama orang Portugis karena memiliki senjata dengan kecepatan membunuh melebihi kemampuan para samurai. Senjata dengan jelajah jauh. Apa yang orang Jepang lakukan? Ada tiga yang mereka lakukan. Kesatu, tiru. Kedua, buat. Ketiga, mengobarkan semangat tradisi kuno samurai. Belanda yang bercokol di sini lebih dari seratus tahun dihabisi mereka. Kita tidak bisa melakukan cara-cara Jepang karena kita berhenti di titik kebanggaan yang katanya, golok beracun, tombak sakti, dan keris bisa terbang. Sakti apaan itu? Sekarang soal itu jangan didengar. Kalau untuk kebohongan boleh lah. Tapi kalau untuk perkembangan, kebohongan soal itu harus ditinggalkan. Mau apalagi? Katanya, golok dan keris itu sakti. Sama Belanda, golok dan keris itu tidak bergerak tuh.” [Suara pesawat terbang melintas dan obrolan terhenti sesaat.] 

“Kita kembali ke kerajaan Banten dan Mataram yang meniru musuhnya menggunakan jawara dan senjata untuk melawan musuh . Tapi semuanya tidak berguna karena habis oleh cannon. Kita tidak usah asyik dengan tradisi menggunakan golok, keris, dan tombak. Biarlah senjata itu milik masa lalu yang dibanggakan.”

Helmi: “Lalu bagaimana dengan Jaman Revolusi Pak?”

Misbach: “Yang begitu-begitu, jaman Revolusi ada. Pada tahun 1941 di stasiun kereta api Rangkasbitung, santri-santri berusaha merampas kereta api Belanda. Semua pergelangan tangannya diikat gelang terbuat dari bambu kuning (Bambu dipercaya membuat tubuh menjadi sakti).  Lalu mereka teriak menyebut Tuhan, ‘Allahuakbarrrr!’ Kereta tetap tidak mau membawa mereka. Dan santri malu menghampiri masinis Belanda yang membawa senjata. Akhirnya mereka mengikut kereta dari gerbong belakang, sampai di Serpong. [Ia mengibaskan kedua tangannya di depan dada.] “Sisanya ditangkap Belanda dan dibunuh di penjara Jakarta. Jadi sebaiknya kita tidak usah meniru sejarah seperti itu lagi. Sekarang kita harus berpikir modern dulu. Soal itu belum selesai. Jangan sok Kontemporer. Kita sudah melompat-lompat seperti orang bodoh. Kita harus berpikir dewasa ini dengan segala daya pikiran yang sangat keras.” 

Fuad: “Di sini persoalan agama sangat kuat.”

Misbach: “Tentu agama di Banten tidak boleh ditinggalkan. Kalau kita tahu agama. Itu akan mengurangi perilaku anarkis. Tujuannya untuk menyeimbangkan persoalan moral dan amoral. Sudah tahu agama. Hiduplah sederhana. Paeh geh moal kamamana (mati tidak akan kemana). Ya begitu saja pemikirannya orang-orang di sini. Semasa kecil, sekolah ke Jakarta dianggap kafir atau bakal kafir. Karena begitu ke Jakarta akan melupakan sembahyang. [Kursi yang diduduki Misbach terguncang-guncang] Semua kembali tertawa.

“Godaannya main dan menonton. Kata orang tua, ‘Mau gimana kalau kerjanya cuma begitu.’ Memang agama itu bagus. Tentunya tiap daerah harus memiliki ahli agama. Tapi jangan semuanya jadi ahli agama. Yang lain harus ada yang ahli mengurai pikiran, pengetahuan dan teknologi, nah itu. Sekarang bagaimana dengan kalian? Langkah-langkah awalnya kalian seperti mau jadi orang besar. Apa masalahnya yang menghalangi perkembangan di sini? Saya belum mendengar pemikiran jadi tukang ahli ‘servis televisi’ dan ‘tukang bengkel’.  Kebanyakan yang usaha televisi dan bengkel. Orang Jawa, dari mulai bengkel seni lukis, patung, sampai pemilik televisi ada. Sepertinya kalian harus mendatangkan ahli-ahli ke sini. Mintalah mereka untuk unjuk keahlian dan mengajar di sini sebentar. Tentu bidangnya masih banyak pilihan sesuai kebutuhan. Jadi akan ada banyak bidang-bidang lain yang bisa ditemui selain pedagang di Pasar dan Pegawai Pemerintahan. Selalu yang dipirkan negatif-negatifnya saja. Lamun  payu, coba lamun teu payu (mending laku, coba kalau tidak laku). Hanya itu saja yang terpikir. Jadi jangan pikir jeleknya. Suatu hari ada orang Lebak diberi uang satu milyar. Ditabunglah uang itu di Bank. Dia ambil uang itu sedikit saja untuk dibelikan angkot [kendaraan kecil angkutan kota]. Lalu ia jadi supir angkot. Uang satu milyar itu hanya mengangkat statusnya jadi sopir angkot. Uang satu milyar itu ‘Saya mau ambil seratus juta saja. Untuk apa? ‘Untuk beli angkot.’ Maka jadilah ia sopir angkot seumur-umur. Tetapi kalau orang Cina, uang satu milyar dia pakai untuk membuat pabrik. Nah, ini yang mesti diubah. Harus berubah dan ada keberanian untuk ambil resiko. Mental itu jarang dimiliki bangsa kita. Keberanian untuk mengambil resiko pahit.” 

Kuni: “Mental orang Banten dari dulu begitu?” 

Misbach:  “Ya… begitu.”

Aboy: “Buktinya sampai sekarang?” 

Misbach: Hahahaha… Mana coba, kebiasaan-kebiasaan yang berani keluar dari orang Banten. Tidak ada! Kalau ada bengkel besar di sini, pastilah pemiliknya orang Cina. Jelas situasi ini tidak begitu saja bisa berubah. Perilaku dibentuk oleh sejarah yang panjang. Kalau kita mengikuti sejarah seperti itu, akan sulit bisa berubah. 

Kuni: “Disini juga ada Tawon (mobil tawon).” 

Misbach:  “Itu sih pabrik. Kalau  produksi di pabrik semua orang juga bisa. Paling-paling orang Rangkas jadi kulinya. Saya pernah bertemu pelayan penginapan berbintang bagus di Carita (daerah pesisir di Selat Sunda Banten). Mereka bersih dan rapih. Bahasa tuturnya bagus. Saya mendengar dia menggunakan bahasa Sunda. Saya tanya, ‘Kamu orang mana?”Orang Tasik.’ Lalu saya tanya lagi, ‘Orang sini tidak ada yang kerja di sini?’ Dia bingung menjawab. Padahal saya juga bingung saat itu. Kenapa pekerjaan penting selalu dijabat oleh orang asing. Dia akhirnya menjawab ‘Ada, Pak,tuh…’,tangannya menunjuk ke luar. Ternyata orang sini hanya jadi hansip (penjaga kampung yang dibentuk Jepang). Waduh… bagaimana itu bisa diubah.  Itu yang membuat kita tidak berkembang. Coba kita mesti gimana? 

“Banyak orang yang membuat karya terus berpuas diri lalu dimakan oleh kepuasannya. Terus menghilang begitu saja. Itu tidak menarik. Harus ada efeknya. Kalian harus membuka pintu dan jendela. Citra itu dibentuk oleh ke taatan. Biasanya kalau sudah bergaul sering lupa. Boleh lah kalian mau terus belajar membuat film. Ikan dipancing tidak najis. Kalau mau mancing ikan gede-nya… umpannya harus gede. Ikan paus umpannya ikan teri, tidak bisa. Ikan gede pancingnya udang, tidak bisa. Ya… pasti nggak dimakan. Dia nggak doyan. Begitulah, kerja-kerja begini harus terus dikerjakan. Yang kecil-kecil saja dulu. Yang penting ada langkah maju. Jangan muter-muter melulu. Ya… pasti nggak ada yang jadi. Jangan sampai keburu menikah. Kalau sudah menikah lalu punya anak pasti akan susah.” 

Badru: “Assalamualaikum…wah, sudah dimulai, yah? Diskusi tentang apa ini? Saya sudah ketinggalan jauh. Saya dengar kok bicaranya langsung menikah. Siganamah obrolana geus jero yeuh (sepertinya obrolannya sudah dalam). Siapa yang menikah?” [semua tertawa]

 Helmi: “Silakan masuk, Bos.” 

Fuad: “Oyah… kenalkan, Pak. Ini pendatang baru. Dia pekerja video dan foto nikahan dari Pandeglang.

Misbach: “Wah hebat. Sudah punya usaha sendiri. [Semua kembali minum air putih. Aboy sibuk mencari kursi tambahan. Ia mengeluarkan salon (pengeras suara) untuk dijadikan kursi]

“Asalkan istri setia mendukung dan suami bisa berkorban. Maka, itulah dinamika rumah tangga. Bagi yang belum punya istri segera kebut perjalanan. Kelak kalian akan menemukan istri yang ideal. Di jaman perjuangan ada perempuan sederhana. Ramah, santun, disiplin, lembut, setia, penyabar, mau belajar, dan terus berusaha mendukung suami. Dia istri pertama Bung Karno, Inggit (Inggit Garnasih). Sukarno bisa bertahan karenanya. Tanpa wanita itu mana bisa dia begitu. Sukarno kerjanya pidato dan keluar masuk penjara. Sampai Sukarno dibuang kemana-mana. Ia tetap setia ikut. Jadi kalau mau punya istri usahakan yang bisa mendukung suami.

Baiklah kita mulai obrolan lagi. Boleh saja kalian memilih fokus membuat film dokumenter. Tapi itu tidak mudah. Karena dokumenter merekam realita untuk melihat di balik realita. Bukan hanya merekam begitu saja. Ambilan gambar harus disusun dan harus bisa ditafsir lebih jauh. Jangan terjebak estetik. Kalau kalian ingin menggambarkan Lebak itu tertinggal, mandeg, dan beku misalnya, inilah realita, bukan omong kosong atau fiksi. Carilah gambar yang tidak orang pusing dan sakit hati. Jangan harap bisa mengubah situasi dengan cepat lewat dokumenter. Jika kalian ingin mengkritik daerah ini dengan dokumenter, janganlah menyinggung orang. Karena mereka tidak akan menerima begitu saja. Kalau masyarakatnya maju seperti Amerika bisa saja terbuka. Kalau di kita soal-soal itu sangat sensitif. Bagaimana caranya kalian merekam objek-objek sedemikian rupa tanpa menyinggung mereka. Bagaimana caranya membicarakan ketertinggalan tanpa harus menunjukan ketertinggalan. Buatlah reaksi penonton sampai ‘Oohh… ya kita sudah tertinggal.’  Saya pikir film dokumenter bukan soal membuat kue yang bagus. Tetapi harus punya nilai. Rumusan awal film dokumenter harus jelas. Dibuat untuk siapa dan apa?”

Suasana diskusi

Fuad: “Maksud Bapak menentukan lebih dulu penonton?”

Misbach: “Bukan penonton. Habis perkara kalau kalian ngomongin mereka. Kalau kita mau ngomong, dengan siapa kita ngomongnya? Sama orang itu bagaimana bentuk ngomongnya. Bukan hanya sekedar informatif dan komunikatif saja. Komunikasi di film dokumenter sangat cepat. Jangan samakan seperti membaca buku yang bisa dibolak-balik lalu bisa paham. Ada sentuhan pikiran dan perasaan. Contoh sederhana begini, B.J. Habibie bicara benar. Tapi kalau benar saja,gimana tuh? Tidak menyentuh. Seperti mereka yang membicarakan realita di film Laskar Pelangi. Daerah Bangka. Datanya tidak begitu akurat. Tetapi karena menyentuh perasaan pada akhirnya mereka bisa terima. Filmnya hanya gitu-gitu aja. Cuma membuat perbandingan. Misalnya, sekolah itu miskin dan jelek. Memangnya kalau jelek dan miskin kenapa? ‘ya… begitu keadaannya karena orang-orang kaya tidak memperhatikan sekolah ini.’  Apa cuma sekolah ini? Apa tidak ada sekolah lain? Jelas penonton tidak akan tanya soal itu. Sudah tahu Muhammadiyah tidak mau diartikan, lalu kenapa kalian coba-coba mengartikan, apa kalian kurang kerjaan?” 

Fuad: “Apakah harus dibuat linear?”

Misbach: “Tidak usah dibuat linear juga. Tapi runut pengertiannya. Jangan ambil tiba-tiba orang mandi lalu pindah ke sini. Mereka pasti bingung. Ini apa maksudnya [semua tertawa]. Memang anak muda selalu mengalami kegelisahan. Termasuk saya yang sudah tua ini. Banyak ingin berbuat aneh. H.B. Jasin orang yang banyak memunculkan ‘orang aneh’ (tokoh sastra). Sampai ada istilah kalau karya sastra tidak dimuat dan dikritik Jassin maka belum sah jadi sastrawan. Saya menolak itu. Saya benci kritik Jassin. Tapi toh pada akhirnya kami saling memahami satu sama lain. Anak muda harus menerobos dan selalu mencoba berbuat ke arah yang lebih baik. Jika kalian ingin melakukan sesuatu yang baik, ikuti itu. Jadilah pemberontak sadar yang berani dan bertanggung jawab. Dulu pada saat sastra Sah Bandar, Romantik, yang memakai pakaian Belanda. Wah pokoknya gagah [suara rekaman tidak jelas]. Karya sastra Layar Berkembang (karya Sutan Takdir Alisjahbana).  Yamin menulis ‘Gelombang Memecah Pantai.’ Muncullah anak muda, Chairil Anwar. Dia bicara dan menulis ‘kacau balau’. Waduh apalagi ini? Tiba-tiba sekelas Jassin menerima dia. Yang lain menolak Chairil. Apa ini: ‘Aku’ koma, garis baru koma, ‘Aku’ garis baru,’ ngapain dia bikin garis baru? ‘Kalau memang saya mau membuat garis baru, memangnya kenapa?’ Jadi peristiwa itu sudah membuat pembaharuan sastra. Saat itu Sutan Takdir , Yamin, dan yang lain menolak: ‘Ini apa, tulisannya merusak bahasa’. Mana ada tulisan ‘Kumau’. Yang ada ‘Aku mau’.’ Chairil jawab: ‘Kumau tidak ada, saya bikin ada!. ‘ [semua tertawa]

Begitulah anak muda. Sampai sekarang begitu terus. ‘Kumau’ tetap ada. Sudah mati kapan-kapan kan. Mulailah saat itu pemberontakan dilakukan Chairil, Arsul Sani, dan Rivai Apin. (tiga menguak takdir dan surat kepercayaan gelanggang)” 

Kuni: “Kalau mbeling-mbeling itu (karya sastra mbeling), yang dibuat Remy Sylado.”

Misbach: “Halah..itu sama saja. mbelingmbeling apaan. Itu, sih, belum apa-apa dibanding pemberontakan Chairil yang menyentuh politik dan segala macam. Chairil bicara pada Bung Hatta dan Sukarno, ‘Aku bosan mendengar suaramu.’ Jaman itu dia sudah berani ngomong begitu, soal ‘Kerawang Bekasi‘ itu luar biasa sentuhannya. Saya tidak tahu karya itu masih berharga atau tidak untuk kita.”[Obrolan terhenti karena Teh Nyai berteriak menjajakan kue] 

“Ini anak melakukan itu, saat perang berguna nggakk, sih? Berguna! Tapi orang sudah melupakannya, itu masa lalu. Tidak. Ini karya dibuat dengan darah dan nyawa. Sudah berpuluh-puluh tahun berlalu. Apakah generasi sekarang ingat itu? ‘Mayat saat itu berserakan digigit Anjing’. Tahun-tahun itu sajak dibuat Chairil, walaupun jaraknya agak plagiat. Asal mulanya adalah The Young Dead Soldiers Do Not Speak. Rupanya ditiru oleh Chairil. Tetapi tidak semuanya. Isinya begitu kuat sehingga tidak mudah dilupakan. Tidak apalah niru-niru sedikit.” 

Rob: “Tapi tidak semua, kan?” 

Kuni: “Peniru hebat” 

Misbach: “Kalau saya ambil, tetap harus bilang. Apa susahnya, sih.” [Misbach mengetuk meja dengan kedua jari dirapatkan ke sisi permukaan meja] 

“Sekali lagi kalian jangan mendengarkan saya. Kalau kalian dengar, ini seperti ceramah. Saya tidak mau kalian punya pandangan begitu. Kalian sudah memiliki kerja-kerja beginian. Sudah banyak waktu yang kalian lewati. Saya datang dan bicara ke sini untuk mengguncang otak dan keyakinan kerja kalian. Jadi semuanya tidak bisa diraih begitu saja. Kalau orang penjajah kemari lagi kita akan kembali memegang tombak yang tak berguna. Mereka sudah mahir membuat pesawat. Lalu bagaimana dengan kita? Masa lalu kita diuntungkan kedatangan bangsa pedagang Islam yang sedikitnya memberikan perkembangan [sejarah islam di Banten]. Walaupun ujungnya hanya membuat kita jadi punya watak pemberontak. Sudahlah, itu periode masa kacau. Cukup saya saja yang mengalami. Lalu setelah itu kita mau bagaimana? Sedikit demi sedikit kita harus menempa kembali kemampuan masing-masing.” 

Fuad: “Minum dulu, Pak. Bapak sudah banyak bicara tentang gambaran sejarah dan kota ini. Tidak adil jika Bapak terus cerita sedangkan kami tidak. Saya pikir kawan-kawan di sini harus cerita juga soal di sini selama Bapak tidak ada. Mungkin seperti pertukaran catatan. Bapak melihat dari luar dan kami di sini sebagai pelaku atau orang-orang yang terlibat langsung di kehidupan ‘kota beku’ menurut pandangan Bapak.”

Suasana kembali hening dan semua yang ada di ruang itu menghela nafas dalam seperti habis melakukan perjalanan jauh.

Kembali tenang. Tetapi ketenangan ini seperti rapuh belaka. Semuanya kembali menuangkan air mineral dari botol plastik ke dalam gelas. Kue cucur, papais, lontong, dan agar-agar di atas meja berwarna hitam menjadi saksi obrolan. Gerombolan burung gereja di balik jendela kaca belakang kepalaku berhamburan terbang. Di luar ruangan  tempat kami bicara mulai gelap. Gulungan awan hitam kembali muncul menyelimuti kota yang terbawa angin laut dari selatan. Pelan-pelan butiran hujan berjatuhan mengeluarkan suara pletak... pletek… pletuk… Lembaran kertas catatan obrolan di atas meja seperti menjadi gulungan surat karena hawa dingin. Aku khawatir tulisannya sukar dibaca karena cepat menulis obrolan.  Aku takut tulisan itu seperti catatan  orang kalut. Ini pekerjaan sukar, mentranskrip obrolan lewat catatan dan satu potong rekaman suara tidak jelas. Di akhir obrolan,  Misbach seperti melantur dan tidak bisa berkata pasti soal pertemuan kembali dengan kami. Angin musim hujan menyentak-nyentak lengan kemeja pendeknya yang berwarna hijau bergaris. Lama-kelamaan gerak lengannya terasa mulai berat. Tetapi aku menduga angin hujanlah yang berat.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

10 Comments

  • Inspiratif dan menantang kaum muda…
    “Sudah banyak waktu yang kalian lewati. Saya datang dan bicara ke sini untuk menggoncang otak dan keyakinan kerja kalian. Jadi semuaya tidak bisa diraih begitu saja”. -Misbach Yusa Biran-
    “Harus berubah, dan ada keberanian untuk ambil resiko.Mental itu jarang dimiliki bangsa kita. Keberanian untuk mengambil resiko pahit”.
    -Misbach Yusa Biran-
    “Jadilah pemebrontak sadar yang berani dan bertanggungjawab”.
    -Misbach Yusa Biran-

  • kalau seandainya jurnal footage internal masih dproduksi gw request ini jadi kata mutiara terbitannya “dokumenter merekam realita untuk melihat di balik realita”Misbach Yusa Biran.

  • jangan buru2 kawin tuh, kalo keburu punya anak ntar tambah repot..hehehe

    Senang setelah baca tulisan ini, Terimakasih fuad.
    Jadi pengen nonton “Modern Times” (film Charlie Chaplin, 1936)

  • Kalau tidak salah pak Misbach Jusa Biran sekarang merupakan satu2nya penghubung kita dengan sejarah filem Indonesia dan sejarah2 lainnya. Alangkah baiknya jika wawancara dengan beliau tentang sejarah Indonesia bisa diadakan, diselamatkan dan dilestarikan.

  • Pak Gaston, benar. Semoga catatan selanjutnya bisa ditersusun. Kapan bisa masuk ke perpustakaan lagi ibu Ajeng?

  • “Sekali lagi kalian jangan mendengarkan saya. Kalau kalian dengar, ini seperti ceramah. Saya tidak mau kalian punya pandangan begitu. Kalian sudah memiliki kerja-kerja beginian. Sudah banyak waktu yang kalian lewati. Saya datang dan bicara ke sini untuk menggoncang otak dan keyakinan kerja kalian.”

    bagus juga dia bisa bilang gini…sayangnya anak2 muda kadang terlalu larut sama wejangan2 sesepuh. paling ga dari kutipan ini bisa dibilang generasi muda emang ditunggu untuk “membangkang” dan memperbaiki keadaan.

Tinggalkan Balasan ke ajang ajeng X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.