Saya memang kaget, meskipun kekagetan ini seharusnya bukan satu hal yang baru, ketika menyadari bahwa apa yang selama ini kami kerjakan di akumassa itu bukan semata-mata kerja wartawan biasa alias mencari berita. Singkatnya, akumassa bersama sebelas komunitas dampingan di sepuluh kota serta warga-warga asli setempat yang berkontribusi dalam kegiatan ini seolah sedang menjadi salah satu Titan yang terkenal dalam mitologi Yunani, yakni Atlas.
Ya, mungkin itu sedikit hiperbolis. Intinya, pekerjaan yang dilakukan dalam program akumassa itu adalah bagaimana warga dapat ‘memindahkan kota’ ke dalam dokumen-dokumen yang dapat dibaca oleh masyarakat luas: akumassa sedang berusaha membuat peta. “Kalau bisa, kita harus lebih canggih dari google map!” ujar Otty, Koordinator Program akumassa, suatu hari saat memberikan workshop akumassa di Kota Serang.
Kekagetan sekaligus ketakjuban itu datang ketika saya memasuki ruang galeri sederhana di Tebet Timur, Jakarta Selatan. Malam hari, tanggal 7 Juni 2012, saya menyempatkan diri menghadiri acara pembukaan DRIFT: Pameran Seni Mutimedia, yang digagas oleh ruangrupa Jakarta. Bagaimana tidak takjub? Hal sederhana berupa narasi kecil dapat dikemas menjadi sebuah wacana yang sangat luar biasa.
Lihat saja contohnya pada sebuah video berjudul Jejak Harian Keluarga Ina (2012) karya Prilla Tania! Pada video itu, kita akan melihat beberapa tangan sedang membuat serangkaian titik dan garis yang membentuk pola tertentu, dan di sudut kiri kita akan melihat kalimat-kalimat yang menegaskan bahwa titik dan garis itu adalah sebuah jejak dari individu-individu dalam anggota keluarga Ina, seperti ayah berangkat kerja, Ina berangkat sekolah, ibu pergi ke pasar, dan sebagainya. “Jejak-jejak interaksi anggota keluarga dengan ruang kota dalam sehari itu dinarasikan oleh Prilla Tania dalam pemetaan jalur-jalur yang memiliki legenda, dalam warna dan garis.” Demikian kutipan keterangan dalam katalog pameran DRIFT.
Saya teringat dengan kegiatan yang selalu ada dalam rangkaian workshop akumassa di setiap kota yang pernah disinggahi akumassa. Kegiatan yang mengasyikkan dan melibatkan tangan-tangan kreatif dari seluruh peserta workshop itu adalah menggambar peta. Dimulai dari satu titik, yang biasanya adalah lokasi markas komunitas dampingan yang mengikuti workshop, pensil atau pulpen kemudian ditarik untuk menghasilkan garis-garis jalan atau simbol-simbol bangunan yang sedikit demi sedikit memperlihatkan bentuk tata kota tempat berlangsungnya workshop. Jalan raya atau jalan setapak, jalur kereta api, alun-alun kota, sungai, atau bangunan-bangunan seperti warung kaki lima, supermarket, warung makan, dan sebagainya. Semua itu dipindahkan ke dalam kertas berukuran A3 yang disambung-sambung menjadi lembaran berukuran sedemikian luas untuk menampung ingatan-ingatan massa yang tersimpan dalam benak masing-masing peserta wrokshop.
Mereka sedang merekam dan menuliskan cerita massa yang mereka miliki sendiri sebagai warga asli setempat. Hasilnya, google map versi manual ala warga yang tak kalah menarik dengan tampilan di layar komputer yang tersambung dengan kecanggihan teknologi internet. Bahkan mungkin, peta hasil kerjasama peserta di waktu senggang itu memiliki informasi yang lebih lengkap dan lebih detail. Ketika si google hanya mampu memberikan data tentang tempat-tempat yang terkenal, seperti Museum ini dan Gedung itu, atau Kantor ini dan Perpustakaan itu, peta versi warga ini memiliki informasi tentang warung Mbak ini dan Sate Pak De itu, atau Bengkel Tambal Ban si anu dan tempat nongkrong Geng itu, dan sebagainya. Bukan hanya jalan raya dan tempat-tempat elit, peta manual itu juga memuat jalan tikus dan tempat-tempat unik yang tidak tertangkap dan mampu diterjamahkan oleh satelit.
Lagi-lagi, saya tidak bisa menafikan bahwa pemeran DRIFT memiliki wacana yang sama dengan apa yang sedang diperjuangkan oleh akumassa tentang kota (atau desa atau kampung) besertaan dengan individu-individu yang mencair dalam massa sebagai anggota masyarakat di dalamnya. Karya interaktif dari Prilla Tania—sebuah karya yang mengundang pengunjung pameran untuk menggambarkan peta versi mereka masing-masing di sebuah dinding, dengan patokan titik lampu merah yang dianggap sebagai pusat Jakarta, yaitu Monumen Nasional (Monas)—sejatinya memiliki attitude yang sama dengan aksi menggambar peta dalam workshop akumassa.
Sedikit berbeda dengan Prilla Tania, Bagasworo Aryaningtyas memiliki cara sendiri untuk ‘memindahkan kota’ ke dalam sajian karya seni multimedia-nya. Seniman ini mengemas sebuah karya seni yang memiliki ide tentang pemetaan jalan-jalan tikus atau jalur-jalur alternatif yang dilaluinya sehari-hari ketika mengendarai motor RX King miliknya. Melalui pemanfaatan medium video yang disinkronkan dengan tampilan layar berupa representasi kartografis daerah Jakarta dan sekitarnya, menurut saya, Chomenk (begitu sapaan akrab dari Bagasworo Aryaningtyas) dengan karyanya yang bernama Skala (2012) sedang mencoba menghadirkan tandingan atas google map yang mungkin lupa untuk menganggap bahwa jalan tikus itu penting untuk konteks-konteks tertentu, terutama bagi kebutuhan warga. Sebagaimana akumassa, karya itu sedang melawan kehebatan wacana mainstream yang selama ini dimanfaatkan oleh para pengguna social media atau fasilitas internet lainnya.
Nah, dari ketiga seniman yang terlibat dalam pameran yang dikuratori oleh Mahardika Yudha itu, karya Ricky Janitra sedikit membuat saya ‘menjungkirbalikkan’ kepala karena bingung. Karya bernama Anti Difraksi (2012) yang dihadirkan Ricky itu, menurut keterangan di katalog pameran, mencoba menghadirkan pemetaan kota melalui bunyi. Berikut kutipan dari keterangan tentang karya itu:
…bunyi, terutama di Jakarta, memiliki karakteristik tersendiri yang mampu menjadi penanda identik yang khas dan memiliki kecenderungan mengintervensi ruang dan publik secara diam-diam. Dalam proyek seni ini, Ricky Janitra memetakan jejak-jejak intervensi bunyi di jalanan…Karya ini bermain pada benturan-benturan kode gambar dan bunyi yang seringkali terjadi di Jakarta yang dikembangkan dari karakteristik itu sendiri.
“Keren juga, ya!” kata saya dalam hati. “Menggambar peta pun ternyata bisa seaneh ini…?!”
Karena saya sendiri masih gagap dengan teknologi yang berkaitan dengan kode-kode komputer dan sejenisnya, saya tidak bisa membayangkan teknologi seperti apa yang bisa menerjemahkan bunyi menjadi sebuah peta. Bagaimana pun, menurut pameran DRIFT yang dilangsungkan dari tanggal 8 hingga 16 Juni 2012, hal itu sudah hadir dalam karya Ricky meskipun saya tidak bisa melihat secara jelas tampilan visual dari gambar petanya selain video tutorial untuk pengunjung pameran tentang bagaimana ‘menggambar peta’—atau lebih tepatnya, bagaimana cara untuk berinteraksi dengan karya tersebut. Video tutorial itu dipajang di dekat karya instalasinya.
Mungkin saya tidak bisa berbicara banyak tentang karya Ricky tersebut. Akan tetapi, sebagai salah satu partisipan akumassa yang sudah mempelajari tentang pentingnya hal-hal yang berkaitan dengan ruang (kota) dan aspek-aspek yang dekat pada warga dan massa, saya menyadari bahwa gagasan Ricky tentang bunyi itu juga keren. Sumber-sumber audio dan visual yang tersebar begitu banyak di lingkungan sekitar kita itu merupakan unsur-unsur penting untuk menggambarkan masyarakat: bagaimanakah ruang tempat kita tinggal sebenarnya, dan bagaimanakah interaksi-interaksi manusia yang ada di dalamnya terbentuk.
Pada jaman yang demikian canggih ini, tentu saja kegiatan membuat peta tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional yang rumit sebagaimana seorang ahli kartografi jaman dulu membuat peta. Teknologi menjadi kunci utama. Akan tetapi, bukan berarti kita, masyarakat awam, tidak bisa membuat peta, toh?! Hal itu diutarakan Mahardika Yudha dalam tulisan Pengantar Kuratorial DRIFT:
Pemahaman atas peta ini tidak berhenti pada representasi geografis di sebuah gambar yang menunjukkan letak tanah, laut, sungai, gunung dan bentuk fisik lainnya; atau pun representasi suatu daerah yang menyatakan batas atau sifat permukaan daerah tersebut, tetapi juga pemahaman seseorang dalam memetakan karakteristik kota tempatnya tinggal dari berbagai sudut pandang…
Saya menangkap bahwa dengan kata lain, setiap manusia itu pasti membuat peta mereka masing-masing tentang ruang dan gerak aktivitas mereka sehari-hari. Paling tidak, hal itu dilakukan melalui ingatan terhadap tanda-tanda yang mereka lihat dan dengar. Lebih jauh, Mahardika dalam tulisannya itu berkata, “…selain dengan cara terjun langsung di lapangan, masyarakat kini semakin dipermudah dengan kehadiran Internet yang mampu menciptakan ruang simulasi maya untuk melakukan pemetaan…”. Nah, dengan begitu, peta tidak lagi menjadi domain para pakar yang mengerti geografi atau kartografi, tetapi peta menjadi sesuatu yang lebih fungsional karena dia hadir sebagai hal yang dapat dimanfaatkan masyarakat sesuai kebutuhannya.
Untuk memperjelas hal itu, saya sedikit berbelok ke sebuah cerita yang lain. Saya ingat beberapa hari yang lalu, pada pagi hari ketika saya membuka situs jejaring sosial twitter, seorang teman saya menulis twit “Jalan Juanda macet para breh!!!!!!!” lengkap dengan informasi lokasi tempat dia nge-twit yang disediakan oleh situs jejaring sosial tersebut. Kemudian twit itu ditanggapi oleh teman yang lain, “Ciyaaan,, haha.. di sini asik ngadem sambil makan mi rebus. Ujan euy… RT Jalan Juanda macet para breh!!!!!!!” Teman saya yang satu lagi itu tinggal di Kota Bogor.
Dari ilustrasi itu, saya dapat mengatakan bahwa sebenarnya teman-teman saya itu sedang ‘membuat peta’, dan saya yang membaca twit-nya adalah orang yang sedang ‘membaca peta’. Hal itu menjadi lebih efektif ketimbang membuka lembaran peta kota yang menginformasikan tentang arus sirkulasi kendaraan umum di Depok atau info cuaca di Bogor. Aksi membuat peta yang seperti itu, sebagaimana kata Mahardika, “…tak selalu untuk memastikan kebenaran informasi itu, termasuk posisi geografisnya, tetapi lebih pada memastikan sejauh mana kebutuhannya atas informasi bisa terpenuhi.” Mungkin, hal itu lah yang menjadi gagasan utama yang dikonsep dalam pemeran DRIFT tersebut. Sederhana, tapi menurut saya itu luar biasa.
Namun, ada sedikit yang mengganjal di kepala saya waktu itu. Dalam publikasinya, dikatakan bahwa pameran ini merupakan salah satu usaha bagaimana memperlihatkan perkembangan para seniman dalam mendayagunakan teknologi-teknologi canggih dalam mengemas karya seni multimedia, terutama keterkaitannya dengan fenomena social media. Ketika saya hadir di tengah-tengah ruang galeri itu, saya melihat bahwa ketiga seniman masih berkutat pada medium audio-visual saja, dan kurang mengeksplorasi lebih jauh tentang pemanfaatan social media itu sendiri. Menurut saya, social media itu sifatnya bukan audio-visual yang representatif semata, tetapi lebih luas pada persoalan tentang keterhubungan individu yang satu dengan individu yang lain dalam rentang jarak tertentu, dan dapat dikatakan hampir secara langsung terhubung. Mungkin hal itu dapat terwakili oleh karya Chomenk, dengan kehadiran simulasi petanya, tetapi apa yang sebenarnya saya harapkan adalah presentasi yang lebih konkret tentang pemanfaat social media semacam facebook atau twitter sebagai karya seni yang menciptakan peta tentang kota dan masyarakatnya.
Yah, mungkin itu saja dulu sedikit pengalaman saya bertemu dengan wacana peta-pemetaan. Kesimpulannya, semua suara atau bunyi, gambar, tulisan, dan segala macam yang ada pada warga masyarakat adalah elemen-elemen penting untuk membuat peta. Dan peta itu sendiri sudah tersimpan di dalam kepala. Tinggal bagaimana kita mentransformasikannya ke dalam sebuah karya yang dapat menjadi narasi untuk dibaca oleh orang lain. Kira-kira, tulisan saya ini bisa disebut ‘peta’ juga gak, ya?