DKI Jakarta

Harapanku Untuk Transportasi Massa

Transportasi massa
Avatar
Written by Lulus Gita Samudra

Seharusnya perkuliahan dimulai sejak pukul delapan, namun menjelang pukul sembilan, si dosen yang dikenal tepat waktu itu baru terlihat batang hidungnya. Ia datang tidak tepat waktu. “Selamat pagi!” seru pak dosen saat masuk kelas sambil tergesa-gesa. “Maaf saya terlambat. Kereta dari Bogor yang saya tumpangi mogok di perjalanan.” Kemudian para mahasiswa sorak-sorai bertanda ejekan. Maklum dosen tersebut bisa dibilang keras untuk urusan waktu, biasanya ia tidak mengizinkan mahasiswa yang datang terlambat untuk ikut perkuliahan. Tapi sayang kali ini ia sedang tertimpa sial.

Kereta ekonomi dari Bogor menuju Stasiun Kota melewati pintu kereta di Jalan Lenteng Agung Raya

Di lain pihak, keterlambatan sang dosen menjadi peruntungan bagi temanku. Ia juga terlambat, tapi muncul lebih dulu sebelum si dosen menampakan batang hidungnya. Nafasnya masih tersenggal-senggal, keringatnya bercucuran. Meskipun hari masih pagi, tampilannya sudah kumal seperti orang tidak mandi. “Gila, macet banget. Mana busnya penuh, terpaksa gue berdiri sepanjang perjalanan.”

Cerita barusan merupakan sepenggal ingatanku saat masih kuliah di IISIP Jakarta dua bulan lalu. Banyak peristiwa yang mungkin akan aku rindukan. Salah satunya diskusi-diskusi liar di salah satu sudut kampus. Sambil menikmati gorengan dan beberapa gelas kopi hitam kita saling beradu wacana. Dengan gaya sok tahu, berbagai macam gagasan dan solusi kita lontarkan, salah satunya tentang kondisi transportasi di perkotaan. Ketika tidak menemukan kesepakatan, tak jarang di antara kami ada yang bergurau, “Kalo makannya masih gorengan, gak mungkin dapet solusi,” kemudian kita semua tertawa. Ah… seru sekali.

Kepadatan volume kendaraan yang melaju di Jalan Lenteng Agung Raya, Jakarta Selatan pada sore hari

Ingatan itu seolah mengajakku mengulas kembali tentang situasi transportasi di tempat tinggalku. Tak ada tujuan apapun, kecuali untuk melatih diri menganalisa sesuatu, dan mengingat kembali saat masa kuliah dulu.

Telah kuketahui, di awal kemerdekaan Indonesia dalam Kabinet Presidensial tahun 1945 – kabinet pertama Republik Indonesia – persoalan transportasi sudah di dikelola dalam Departemen Perhubungan, yang dijabat Abikoesno Tjokrosoejoso. Waktu itu suasana perjuangan melawan Belanda masih dapat dirasakan, terlebih masih ada Agresi Militer Belanda I tahun 1947 dan Agresi Militer Belanda II tahun 1948. Kementrian Perhubungan pada masa awal kemerdekaan dianggap memiliki jasa penting dalam merehabilitasi sistem transportasi darat di Indonesia, untuk mendukukung usaha mengusir penjajah, terlebih dalam hal perkeretaapian.

Namun di umur Departemen Transportasi yang menginjak 67 tahun, sepertinya kondisi transportasi darat di kota-kota, khususnya kereta api dan bus kota berkembang dengan lambat. Padahal kedua alat transportasi ini termasuk pilihan favorit bagi masyarakat. Setahuku, banyak teman-teman yang kukenal dalam bepergian sehari-harinya masih memilih kereta api dan bus kota sebagai pilihan utama.

Temanku Mira pernah menulis di akumassa tentang pengalamannya naik kereta commuter line yang mogok dalam perjalanan. Pada tulisan itu dikisahkan penyebab mogoknya kereta yang ia tumpangi dari Stasiun Lenteng Agung menuju Stasiun Tanah Abang mengalami mati listrik. Akhirnya sejumlah penumpang yang sudah membeli tiket terpaksa turun di tengah jalan karena takut terlambat sampai tujuan.

Beda lagi dengan cerita temanku yang lain, namanya Iril. Ia juga pernah cerita di akumassa tentang pengalamannya naik kereta. Dalam perjalanan dari Jakarta ke Purworejo menggunakan Kereta Progo, ia menemukan praktik jual-beli kursi yang dilakukan petugas tiket dalam kereta untuk penumpang yang tidak duduk. Petugas-petugas itu sengaja memanfaatkan kereta yang penuh untuk mendapat penghasilan tambahan. Menurut temanku dari transaksi yang tidak resmi itu, petugas bisa mendapatkan uang sekitar Rp 15.000 hingga Rp 25.000 per orang.

Dari kedua cerita temanku itu dapat aku ketahui, kereta api yang selama ini berguna sebagai alat transportasi massal ternyata masih belum baik dalam hal infrasturkturnya, begitu juga dengan pelayanannya. Cerita-cerita kereta mogok sebenarnya bukan hal unik alias sudah biasa terdengar. Penanganannyapun biasa-biasa saja, tidak banyak yang berubah. Akhirnya aku merasa seolah-olah kita memperlakukan masalah kekurangan ini dengan sikap yang biasa-biasa saja.

Bus Kota

Aku orang yang sangat mengandalkan sepeda motor untuk pergi ke mana-mana, tapi sesekali aku menggunakan bus kota. Pernah aku harus menunggu kurang lebih setengah jam di feeder busway Senayan untuk menumpang TransJakarta ke arah Blok M. Jika diingat rasanya sangat menyebalkan, terlebih aku terus menunggu kedatangan TransJakarta sambil berdiri, karena di feeder itu tidak ada kursi satupun. Pengalaman itu tidak hanya dirasakan olehku, tapi juga puluhan penumpang lainnya yang juga ikut menunggu. Saat Transjakarta yang kutunggu datang, ternyata sudah terisi penuh. Terpaksalah aku menunggu lagi kedatangan Transjakarta yang selanjutnya. Aku mengira penyebab hal itu adalah kurangnya armada TransJakarta yang dioperasikan. Hasilnya penumpang bertumpuk-tumpuk di feeder itu sedangkan bus yang aktif pun sudah penuh penumpang.

Calon penumpang Transjakarta masuk ke dalam bus di feeder busway Ragunan, Jakarta Selatan

Menurutku, bisa jadi hal ini yang menyebabkan warga kota enggan menggunakan angkutan umum dalam kesehariannya. Akhirnya lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian kemana-mana. Hal ini tidak jadi pemecah masalah, justru dengan menumpuknya kendaraan pribadi di jalan raya membuat kemacetan kota semakin parah. Akhirnya harapan tepat waktu sampai tujuan juga tidak akan tercapai.

Sebetulnya aku juga sudah lelah berkendara dengan sepeda motor. Banyak biaya yang harus aku keluarkan dalam perawatannya. Pikirku lebih ekonomis menggunakan kendaraan umum. Lagipula tidak terlalu membuang tenaga, aku tinggal duduk santai sambil membaca buku atau bercengkrama dengan penumpang lain. Sedangkan jika menggunakan sepeda motor, tentu hal-hal itu tidak bisa kulakukan.

Di Hari Raya Perhubungan Nasional ini, besar harapanku adanya kebijakan-kebijakan yang tepat dari pihak yang berwenang dalam memperbaiki fasilitas dan pelayanan transportasi massal. Tujuannya supaya aku bisa meninggalkan kebiasaanku bersepeda motor. Tentu hal ini juga bisa mengubah kebiasaan orang-orang lain yang sepertiku.

Kemudian dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, juga sudah seharusnya transportasi massal bisa berkembang sesuai zaman. Bisa kubayangkan betapa menariknya bepergian menggunakan kereta bawah tanah, atau bus kota yang bisa terbang.

About the author

Avatar

Lulus Gita Samudra

Lulus Gita Samudra telah menyelesaikan studi Strata Satu-nya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Pria kelahiran Jakarta tahun 1989 ini, juga turut aktif di Forum Lenteng sebagai Sekretaris Redaksi akumassa.org. Sebelumnya ia pernah mengikuti workshop akumassa Depok pada tahun 2011. Kini ia sedang membangun sebuah komunitas berbasis massa di Depok, bernama Suburbia.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.