Darivisual Kecamatan: Senen Kota: Jakarta Pusat Provinsi: DKI Jakarta Proyek: akumassa Ad hoc

Grand Theatre Senen

Avatar
Written by Andrie Sasono
Grand Theater Senen adalah sisa-sisa dari masa keemasan sinema  Indonesia. Pada masa itu juga penonton membludak. Masyarakat berbondong-bondong menonton filem-filem Indonesia. Masyarakat haus akan sinema Indonesia, filem-filem yang memang dibuat oleh dan tentang orang-orang Indonesia itu sendiri.

Grand Theatre Senen_01

Tapi, seiring surutnya perfileman Indonesia, Grand Theater Senen pun mengalami kemerosotan penonton. Alhasil, gedung bioskop ini sekarang menjadi kurang terawat, tampak rapuh dan usang. Ruang pemutaran yang masih beroperasi hanya tinggal dua. Ruang pertama, yang di atas, biasanya diisi filem-filem yang baru walaupun masa tayangnya sebenarnya sudah lewat. Sementara itu, ruang kedua, yang berada di bawah, selalu diisi oleh filem-filem semi erotis. Filem-filem yang diputar biasanya setiap satu atau dua minggu, baru diganti oleh filem yang lain lagi. Keterbatasan dana membuat pemilik bioskop kesulitan untuk terus memperbarui filem-filem yang akan diputar sehingga mereka hanya bisa menyediakan filem-filem yang sudah lewat masa tayangnya karena harganya lebih terjangkau.

Grand Theatre Senen_09

Di Grand Theater Senen, semua tampak sama saja. Semenjak mulai ditinggalkan para penonton, gedung bioskop itu kotor. Hingga sekarang, kalau dilihat-lihat, seperti tidak ada yang pernah membersihkan gedung bioskop itu. Grand Theater terperangkap dalam masa-masa suramnya hingga sekarang, bahkan bisa dibilang mereka memasuki masa “hidup segan mati tak mau”. Masa keemasan mereka sudah lewat dan tinggal memori. Yang kita lihat kini adalah sebuah keterpurukan gedung bioskop. Mereka terpuruk ketika perfileman Indonesia juga mulai terpuruk. Tapi sampai sekarang Grand Theater Senen tetap dalam keadaan terpuruk. Sementara perfileman Indonesia sempat mengalami masa yang katanya masa kebangkitan filem Indonesia, tapi ternyata tidak bertahan lama dan menjadi stagnan. Bisa jadi, kondisi Grand Theater kini merepresentasikan perfileman Indonesia yang sesungguhnya, stag dalam keterpurukan.

Grand Theatre Senen_02

Sekarang Grand Theater sangat sepi. Waktu saya sering riset ke sana, yang saya temui selalu wajah yang itu-itu saja. Kalau saya perhatikan lebih detil, bahkan baju yang mereka kenakan selalu sama. Datang pun di jam yang relatif sama, tidak berbeda jauh. Bioskop memulai pemutaran jam tiga sore, di depan lobi sudah berkumpul para pria. Para pria itu berkumpul dalam lingkaran-lingkaran kecil, paling banyak berisi tiga orang. Mereka kadang hanya berdiri, tapi ada juga yang jongkok. Mereka merokok dan bercengkrama untuk menunggu waktu pemutaran mulai. Mereka tidak pernah membeli tiket ketika baru sampai. Ketika pintu masuk ruangan bioskop dibuka, barulah mereka mengantri di depan lobi tiket.

Grand Theatre Senen_03

Grand Theater tidak saja dikuasai kaum pria. Kaum perempuan juga berada di sana. Gerak-gerik mereka tidak jauh berbeda. Berkumpul, jongkok, merokok, walau kadang mereka memilih untuk berdiri bersender di dinding untuk memperhatikan orang-orang yang lewat. Para perempuan itu semuanya sudah tua umurnya. Tapi mereka masih berdandan yang menor, karena tuntutan pekerjaan mereka menggoda pria lalu “menemani” mereka menonton di dalam teater. Ketika saya pertama kali masuk ke Grand Theater, salah satu dari perempuan itu memanggil saya. Dia mengenakan baju warna pink dan lipstick merah, kedua tangan menggenggam teralis, lalu dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah saya yang berdiri di luar.

“Aa, ayuk Aa, aku temenin nontonnya…!”

Teralis dan gestur tubuh dari perempuan tua itu seperti memberikan kesan bahwa tempat ini terjebak oleh waktu tapi tidak kehilangan sensualitasnya.

Grand Theatre Senen_05

Hingga saat ini, Grand Theater Senen masih memutar filem menggunakan seluloid. Seluloid adalah induk dari sinema dan saat ini di bioskop tua itu, pita-pita seluloid masih berputar dan memproyeksikan setiap frame-nya ke sebuah layar. Seluloid adalah barang yang sudah termakan oleh jaman. Bisa jadi, suatu saat nanti seluloid akan menghilang dari peredaran. Seperti Grand Theater Senen, yang sedang menunggu waktunya untuk dikubur, menyisakan orang-orang yang hanya bisa mengenang pesonanya.

Grand Theatre Senen_06

Filem Seluloid mempunyai pesonanya tersendiri, punya tekstur tersendiri yang menjadi sangat khas. Sampai sekarang, bila ada yang ingin membuat sebuah filem, mereka selalu menginginkan karyanya bisa menjadi “Film Look”. Sejak adanya kamera digital, seluloid ditinggalkan, dianggap terlalu mahal. Begitu pun dengan bioskop-bioskop sekarang yang memilih untuk memutar DCP, semua filem dimasukkan ke dalam harddisk untuk didistribusikan ke setiap jaringan bioskopnya. Sekarang, semua bioskop menawarkan filem-filem dengan kualitas HD (High Definition), bahkan televisi keluaran terkini pun sudah bisa menayangkan dengan kualitas HD yang sekarang sedang marak. Dengan kualitas HD, semua yang tampak di layar menjadi lebih tajam, semua tampak lebih hidup. Sinema sekarang (terutama Hollywood) yang tayang di bioskop lebih menekankan konsep “make believe” sehingga mereka berusaha memanjakan mata penonton semaksimal mungkin.

Seiring berkembangnya jaman, terutama di sinema arus utama, sudah berlangsung sebuah perubahan pola. Di Indonesia, hampir semua bioskop berada di dalam mall. Dari awal, penempatan bioskop dalam mall sudah menandakan perubahan posisi filem di mata masyarakat umum. Perhatikan saja posisi bioskop yang umumnya berada di lantai paling atas mall! Bila kita telaah lebih jauh, juga bisa dilihat bahwa bagi masyarakat umum sekarang ini, filem tidak lebih dari sekedar kebutuhan hiburan lainnya, menonton menjadi one stop shopping. Tidak jauh beda dengan toko-toko baju bermerk yang berjejer di dalam mall. Pada titik ini, kultur filem dan bioskopnya pun sudah berubah pula.

Grand Theatre Senen_07

Ketika saya masuk ke Grand Theater, saya memperhatikan konstruksi gedungnya yang sudah usang. Gedung itu seperti sudah habis energinya setelah digempur oleh era digital. Grand Theater sangat kental nuansa sensualnya. Karena sekarang Grand Theater telah ditinggalkan para penonton setianya, yang tersisa adalah orang-orang yang datang untuk minta “ditemani” oleh perempuan atau pria yang menyewakan jasanya di gedung bioskop itu. Sensualitas ini akan terus terasa hingga masuk ke dalam ruang pemutaran, karena prosesi ‘menemani’ tadi, acara utamanya, terjadi dalam ruang pemutaran ketika filem sedang diputar.

Grand Theatre Senen_04

Waktu itu, saya masuk ke ruang pemutaran yang berada di bawah, yang memang untuk memutar filem-filem semi erotis. Filem yang diputar memang menjadi terkesan diabaikan meskipun, jika saya perhatikan, masih ada orang-orang yang menonton. Tapi, ketika di ruang pemutaran, semua orang aktif bergerak, pindah dari satu kursi ke kursi yang lain, mondar-mandir ke kamar mandi, semua orang bebas merokok sehingga banyak asap mengepul. Bagi saya ini semua terlihat sangat sinematik, bahkan lebih sinematik dibandingkan filem yang sedang diputar. Kalau Anda mencoba menonton di Grand Theater, cobalah ambil tempat duduk yang posisinya di atas, sehingga anda bisa melihat semua pergerakan itu. Pergerakan yang ‘ramai’ ini seperti menciptakan sebuah sirkulasi, sebuah sirkulasi yang terbentuk karena hasrat erotis yang terhimpun oleh semua orang yang masuk ke dalam ruang pemutaran. Di dalam ruang yang gelap, mereka menjadi leluasa untuk bergerak, dan karena semua orang di situ sepertinya sudah biasa, bagi mereka semua yang terjadi di sekitar mereka adalah hal yang wajar saja.

Grand Theatre Senen_08

Akan tapi menjadi menarik ketika orang asing seperti saya masuk ke sana. Pengalaman visual yang saya lihat dan rasakan memberikan kesan tersendiri yang bagi saya: sebuah pengalaman sinematik, dan yang terpenting, Grand Theater mengingatkan saya bahwa tempat atau gedung bioskop adalah bagian dari sinema itu sendiri. Gedung bioskop bukan sekedar etalase bagi filem-filem yang akan diputar, dia adalah tubuh dari sinema dan filem adalah jantungnya.

Perasaan-perasaan sensual yang terasa karena orang-orang yang berada di sana juga menguatkan perasaan sinematik itu. Dalam tradisi sinema, wajib hukumnya menonton dalam keadaan lampu dimatikan, serta dalam gedung bioskop yang memang disiapkan untuk orang banyak bisa masuk. Mau tidak mau, memaksa kita untuk duduk bersampingan dengan orang asing dalam waktu yang cukup lama. Ini semua menguatkan bahwa pada dasarnya menikmati suguhan sinema memang tak lepas dari yang namanya keintiman. Kita dipaksa untuk duduk berdekatan dengan orang lain. kadang kita bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh orang di samping kita, dan bisa saja terjadi kontak fisik walaupun sedikit. Dalam gedung bioskop, keintiman-keintiman itu masih dalam tahap yang remeh. Akan tetapi di Grand Theater, keintiman ini hadir sampai ke titik yang paling vulgar. Kevulgaran ini yang justru membuat Grand Theater begitu menarik dan menjadi unsur penting yang mendukung suguhan sinematik yang dihadirkan oleh Bioskop Grand Theater.

Grand Theatre Senen_10

Ketika menonton filem, yang dicari adalah sebuah pengalaman visual, pengalaman visual yang diharapkan bisa membekas dan menggugah kita untuk mendalami lebih dalam lagi untuk menyelami maknanya. Terlepas dari keadaanya yang sekarang, Bioskop Grand Theater telah mengingatkan saya lagi mengapa saya ingin pergi ke gedung bioskop, bahwa saya ingin lebih dari sekedar membeli tiket, menonton, lalu pulang. Jika hanya begitu, menonton adalah pengalaman yang terjadi sambil lalu. Yang saya inginkan adalah selalu mendapat pengalaman-pengalaman baru, pengalaman yang akan membekas di kepala dan akan mempengaruhi hidup saya untuk seterusnya. *

___
Tulisan ini sudah dimuat di dalam
Buku Akumassa Ad Hoc, berjudul “Seni di Batas Senen” (Forum Lenteng, 2013). Jurnal tersebut merupakan salah satu karya hasil kolaborasi para penulis dari beberapa komunitas yang terlibat dalam proyej akumassa ad hoc yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng, dalam rangka berpartisipasi dalam Jakarta Biennale 2013 – SIASAT.

About the author

Avatar

Andrie Sasono

Andrie Sasono adalah seorang mahasiswa Institiut Kesenian Jakarta, Program Studi Penulisan Skenario, Fakultas Film dan Televisi. Aktif di Forum Lenteng sebagai salah satu penulis dan pengkaji bidang perfileman. Dia juga terlibat dalam Program akumassa Forum Lenteng, salah satunya dalam proyek Akumassa Ad Hoc, pada Bulan Oktober - November 2013.

3 Comments

  • Selamat siang, ada beberapa hal yg saya ingin tanyakan tentang bioskop senen. Jika anda berkenan, tolong balas pesan saya melalui email yang telah saya kirim. Saya membutuhkan ini untuk tugas akhir semester saya. Terima kasih.

  • Informasinya sangat berguna utk pembuatan tugas akhir yg saya buat. Mohon jika berkenan dpt membalas email saya utk menanyakan informasi lbh lanjut mengenai bioskop di senen ini. Terima kssih.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.