Hari itu aku pulang ke kampungku di Sukabumi, tepatnya di Kecamatan Parungkuda. Saat aku sampai, rumah terlihat penuh oleh saudara-saudaraku yang sedang berkumpul. Awalnya, aku kira ada sesuatu yang terjadi. Tetapi ternyata mereka berkumpul untuk mengerjakan pekerjaan tangan yang sebenarnya selama ini sudah sering aku lihat. Mereka sedang menyulam bunga. Pekerjaan ini adalah kerja sampingan dari pabrik-pabrik yang ada di sekitar kediamanku.
Daerah Parungkuda adalah sebuah kecamatan yang terletak sekitar 20 km dari Kota Sukabumi. Daerah ini merupakan kawasan industri. Di sini banyak pabrik-pabrik berdiri yang sebagian besar adalah perusahaan milik Korea. Pabrik-pabrik ini kebanyakan memproduksi pakaian jadi. Di dekat rumahku ada sekitar lima pabrik garmen yang berderet satu sama lain di satu jalan.
Ibu dan keluargaku mendapatkan kerja sampingan ini dari salah satu saudaraku yang bekerja di PT Kenlee, yang merupakan salah satu pabrik garmen yang terletak tidak jauh dari rumah. Keluargaku sering sekali mendapatkan kerja sampingan dari PT Kenlee ini. Kerja sampingan dari PT Kenlee selalu berhubungan dengan sulam-menyulam, seperti yang sedang dikerjakan di rumahku, yaitu menyulam bunga sebagai ornamen atau hiasan pada baju. PT Kenlee juga merupakan salah satu pabrik Korea. Selain di rumahku, kadang-kadang mereka mengerjakan sulam-menyulam ini di rumah Uwak (kakak dari ibuku) yang rumahnya berseberangan dengan rumahku.
Bahan-bahan untuk keperluan menyulam bunga datang melalui saudaraku yang bekerja di PT Kenlee, kemudian didistribusikan ke rumah-rumah yang berminat untuk mengerjakannya. Bahan-bahan yang diberikan ke rumah berupa kain kecil-kecil yang telah dibentuk sesuai pola bunga dan daun. Selain kain, ada juga jarum, benang, dan kawat kecil yang telah disediakan oleh PT Kenlee. Dimulai dari kain-kain kecil itu, digabungkan satu persatu, hingga menjadi bunga yang berdaun. Tidak hanya para ibu-ibu yang menyulam, bahkan adikku yang berusia 12 tahun juga ikut membantu memasang-masangkan kawat ke dalam kain yang telah dijahit, yang nantinya akan menjadi daun.
Siang itu di saat aku sedang asyik memperhatikan ibu-ibu itu menyulam bunga, tidak ikut membantu menyulam, tiba-tiba ada seorang ibu berkerudung datang mengantarkan undangan pernikahan. Ternyata undangan itu ditujukan untukku, dari teman SMP-ku yang akan menikah. Aku langsung membuka undangan itu untuk sekedar melihat tanggal pernikahannya. Setelah itu aku langsung meletakkan undangan di meja, karena aku tahu pasti akan ada pertanyaan padaku tentang pernikahan.
“Iraha rek kawin, Geung? Si N (inisial nama temanku) ge geus boga budak dua, si Ei ge ning geus boga budak, si….” (Kapan nikah, Geung? N saja sudah punya anak dua, Ei juga sudah punya anak,…).
Benar saja, pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari salah satu kakak perempuan ibuku, disertai dengan menyebutkan satu-persatu teman seumuranku yang telah menikah dan mempunyai anak. Aku pura-pura tidak mendengar dan mengambil kembali undangan hanya sekedar membolak-baliknya, menutupi kesalah-tingkahan.
Di kampungku para warga masih memiliki tradisi menikah muda. Sering terjadi pernikahan dini, yang antara lain karena kecelakaan (hamil di luar nikah), ataupun dipaksa menikah oleh orang tua. Apalagi para orang tua yang mempunyai anak perempuan. Mereka memiliki berbagai alasan, seperti; takut anak perempuannya terjerumus seks bebas yang bisa mempermalukan keluarga karena hamil di luar nikah. Ataupun hanya untuk mengurangi beban tanggung jawab orang tua, sehingga anak itu akan menjadi tanggung jawab suaminya nanti. Tak jarang ibuku pun memintaku untuk cepat menikah, karena alasan pertama, yaitu takut aku terjerumus pergaulan bebas, karena aku tinggal di Jakarta. Tapi tidak ada sedikitpun niatku untuk menikah muda. Aku masih mempunyai harapan-harapan besar untuk menjadi seorang teteh (kakak perempuan) yang mempunyai dua orang adik perempuan yang harus dibiayai. Umurku pun masih 20 tahun, masih banyak masa depan yang menungguku. Aku tidak ingin nantinya ketika aku sudah bersuami, aku hanya mengandalkan suamiku saja untuk hidup.
Di sini kebanyakan laki-laki maupun perempuan berhenti pada pendidikan SMP atau SMA, dan memilih bekerja atau menikah. Ya, aku beruntung. Meskipun tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, aku masih bisa belajar di sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang pengembangan studi sosial dan budaya di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Di organisasi ini aku belajar sambil bekerja sebagai asisten Litbang (Penelitian dan Pengembangan). Aku mendapatkan pembelajaran alternatif sementara ini, sebelum bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Aku tidak mungkin begitu saja melepaskan pekerjaan ini hanya untuk menikah di usia muda yang bisa saja menghambat proses belajarku.
Dalam hal pilihan pekerjaan, karena di kampungku terdapat beberapa pabrik, teman-teman banyak yang melanjutkan ke sana, menjadi buruh pabrik. Aku pun dulu pernah menjadi buruh pabrik saat awal-awal lulus SMA. Sebelum menjadi buruh pabrik, aku sempat menjaga toko keluarga. Sebuah toko berukuran 2 x 1.5 M2, yang menjual berbagai aksesoris, seperti: kalung, cincin, gelang, ikat rambut, boneka dan kue-kue kering buatan ibuku. Dengan bermodalkan sebuah laptop dan printer, akhirnya aku pun menambahkan jasa cetak foto digital dan jasa pengetikan di toko itu. Menunggu pembeli datang, membuat aku merasa bosan. Hanya sekitar dua bulan menjadi penjaga toko, aku pun memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. Ibu sempat menolak aku untuk bekerja.
“Arek gawe naon geura?” (Mau kerja apa coba?), aku masih ingat perkataan ibu ketika aku memutuskan untuk bekerja.
“Yaa, di dieu mah arek gawe naon deui?!” (Yaa, di sini mau kerja apa lagi?!), jawabku dulu.
“Pabrik? Sabodo teuing lah!” (Pabrik? Terserahlah), ibu menyerah, akhirnya mengijinkan aku untuk bekerja.
Aku menjadi buruh di sebuah pabrik garmen dekat rumah. Karena aku berijazah akhir SMA, aku dipercayakan menjadi Quality Control (QC) di pabrik itu. Biasanya, bagi yang berijazah SMP, SD atau tidak sama sekali memiliki ijazah pendidikan, mereka bekerja sebagai penjahit atau helper (orang yang membantu penjahit). Tugas dari QC adalah memeriksa pakaian-pakaian yang sudah jadi. Kenapa harus yang lulusan SMA yang bisa menjadi QC? Salah satu petugas penerima pekerja baru yang waktu itu mewawancaraiku berkata, “Paling tidak yang lulusan SMA itu lebih pintar dari pada yang lulusan di bawah SMA. Sehingga bisa lebih teliti untuk memeriksa pakaian,” pendapat yang aneh.
Bekerjalah aku di pabrik itu. Dengan posisi harus berdiri seharian, berhadapan dengan tumpukan-tumpukan baju membuat aku bosan juga. Tiga kali aku pindah bekerja, masih di pabrik dan tetap menjadi QC. Saat mendapat tawaran bekerja sebagai asisten litbang di organisasi ini, aku pun langsung berangkat ke Jakarta.
Parungkuda sendiri merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang cukup rendah tingkat pendidikannya. Tidak sedikit anak-anak remaja putus sekolah. Dulu saat aku masih kelas 1 SMA, aku sering bertemu teman-teman SMP yang kebanyakan dari mereka tidak melanjutkan sekolah dan bekerja di pabrik. Saat aku tanya kenapa mereka tidak melanjutkan sekolah, beberapa teman menjawab, “Sama saja, mau lulusan SD, SMP, SMA atau tidak sekolah sama sekalipun, ujung-ujungnya pabrik-pabrik juga.” Aku hanya tersenyum mendengar jawaban mereka yang ada benarnya juga.
Adikku pun yang kini berusia 18 tahun, ketika menunggu pengumuman kelulusan ujiannya di SMA, sekolahnya meminta siswa-siswinya untuk magang terlebih dahulu di sebuah pabrik. Sekolah sendiri yang menyalurkan siswa-siswinya yang sedang menunggu pengumuman hasil kelulusan ke pabrik-pabrik. Ucapan teman-temanku memang ada benarnya. Di sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa sekolah-sekolah pun malah memberi gambaran bahwa pabriklah satu-satunya pekerjaan.
Fenomena pabrik di daerahku saat ini sudah menjadi tempat untuk bertopang hidup dengan segala kemudahan dan peluang kerja yang ditawarkannya. Sehingga menjadi buruh pabrik adalah pekerjaan yang mudah didapat untuk orang-orang yang pendidikannya rendah. Bahkan sekarang, kita tidak harus terikat dengan peraturan di pabrik, yang mengharuskan kita datang setiap pagi dan harus lembur pulang malam. Pabrik mulai merambah ke rumah-rumah, seperti lemparan pekerjaan yang sedang dikerjakan keluargaku di rumah.
Kembali ke ruang belakang rumahku siang itu, dengan diiringi lagu dangdut, mereka menyulam sambil sesekali menyahut melantunkan beberapa bait lagu dangdut.
“Ih, ganti atuh lagunya jangan dangdut!” Celetuk adikku yang tidak menyukai dangdut.
“Heh! Teh Ria aja kalau bukan dari dangdut mana bisa makan! A’ Acep (suami Teh Ria) gaji pabriknya cuma bisa bayar kredit motor doang!” Jawab ibuku. Teh Ria adalah seorang penyanyi dangdut dari panggung ke panggung. Pekerjaan menyanyi dangdut sudah ditekuninya sejak masih duduk di bangku SMP, hingga sekarang sudah berusia sekitar 27 tahun.
Penghasilan dari menyulam bunga ini rata-rata sekitar Rp. 150.000,- per dua minggunya. Setahuku, kerja menyulam bunga ini ada target dan deadline pengerjaannya. Dalam seminggu harus menghasilkan sejumlah barang jadi, tergantung apa yang dikerjakan. Aku lupa dalam seminggu harus berapa potong sulaman yang dihasilkan. Dengan penghasilan yang rata-ratanya hanya Rp. 150.000,- per dua minggunya, jumlah uang yang relatif kecil menurutku, mereka tetap menjalankan aktivitas itu. Menurut ibuku yang hanya sebagai ibu rumah tangga, penghasilan dari menyulam ini lumayan meskipun tidak cukup untuk uang belanja sehari-hari.
“Dari pada diam doang di rumah, yang penting ada kerjaan,” kata ibuku.
Selain menyulam bunga, adapun kerja sampingan lainnya dari pabrik, seperti: menggunting benang-benang pada baju, menyulam payet, dan lainnya.
Sebenarnya, di pabrik-pabrik itu sudah ada yang bertugas sebagai penyulam, penggunting benang-benang pada baju dan lainnya yang merupakan pekerjaan tangan yang tidak melibatkan mesin. Biasanya karena mendapat order-an banyak, dengan pekerja yang tidak memungkinkan mencapai deadline pengerjaan yang telah ditentukan, maka barulah pekerjaan ini didistribusikan ke rumah-rumah.
Untuk kerja sampingan ini, kalau tidak salah kita juga bisa menerima uang terlebih dahulu sebelum menyelesaikan menyulam, istilahnya ‘kasbon’. Tentu saja dengan ketentuan dari pabrik, misalnya, pabrik membatasi maksimal peminjaman uang. Kemudian sistem pengembaliannya sedikit dinaikkan beberapa persen dari jumlah uang yang dipinjamkan.
Pabrik adalah fenomena di daerahku. Aku memiliki kesimpulan bahwa pabrik benar-benar menjadi satu-satunya pilihan lapangan pekerjaan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Lalu, bagaimana bila tidak ada pabrik? Apakah lapangan pekerjaan benar-benar menjadi hilang?
pemerintah harus baca ini!
setuju kata manshurzikri pemerintah harus baca ini dan harus peduli terhadap rakyatnya
sedikit di selipi curhat twuh si kokom.. jahahahah
Hai salam kenal dian, nama saya putri dari bogor dulu pernah tinggal di sana 2 tahun setengah….