Hantu pocong menjadi fenomena tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Hampir di seluruh wilayah Nusantara tahu betul bagaimana rupa hantu tersebut, meskipun dengan berbagai versi cerita yang berbeda dari masyarakat yang satu dengan masyarakat lain di daerah yang berbeda pula. Bahkan cerita tentang hantu pocong semakin populer ketika diangkat oleh berbagai media dan ceritanya pun juga menjadi inspirasi para sutradara lokal untuk membuat filem-filem horor.
Jujur saja saya merasa tidak terlalu peduli dengan cerita-cerita hantu, seperti cerita hantu pocong, karena sampai sekarang saya belum pernah mengalami (dan saya harap hal itu tidak akan pernah terjadi pada diri saya) apa yang dinamakan dengan istilah melihat ‘penampakan’, kesurupan dan sebagainya. Bahkan pernah di sekolah saya yang dulu, saat saya masih di kota Pekanbaru, terjadi peristiwa yang menggemparkan ketika ada seorang guru yang selama seminggu tak henti-hentinya mengalami kesurupan, namun saya tidak peduli dengan peristiwa tersebut. Malahan dugaan saya yang menganggap bahwa guru itu mungkin saja hanya berpura-pura merupakan suatu kebenaran, dan hal ini menjadi faktor tambahan bagi saya untuk menganggap bahwa hal-hal yang berbau horor bukanlah sesuatu yang menarik dan merupakan suatu fenomena yang dilebih-lebihkan oleh masyarakat.
Namun dalam beberapa hari ini, kata ‘pocong’ menjadi sesuatu yang menarik bagi saya. Hal ini disebabkan oleh sebuah warung yang berlokasi di simpang Jalan Sawo, di bagian sisi kanan Jalan Margonda, Depok, jika kita berjalan dari arah Pasar Minggu menuju Terminal Depok. Lokasi warung ini berada tepat di depan Jalan Kober. Hampir rata-rata semua mahasiswa di Universitas Indonesia, Gunadarma dan pelajar-pelajar lain yang selalu melewati Jalan Sawo tahu tentang warung tersebut. Yang membuat warung itu menjadi mudah untuk dikenal dan diingat adalah namanya, yaitu Warung Es Pocong.
Mungkin bagi sebagian orang yang belum mengetahui tentang Es Pocong, pasti akan mengernyitkan keningnya. “Es Pocong? Pocong jadi es? Atau Es berbentuk hantu pocong?” Pertanyaan-pertanyaan itu yang keluar dari mulut saya ketika baru mengetahui warung tersebut. Saya bahkan pernah berpikir bahwa Es Pocong itu mungkin saja merupakan minuman ice cream yang sengaja dibentuk menyerupai pocong, yaitu berupa adonan cream yang berwarna putih, diberi saus cokelat untuk mengidentifikasi tanah (karena pocong selalu identik dengan tanah yang kotor di seluruh kain kafannya), lalu dilengkapi saus stroberi berwarna merah untuk melengkapi tampilan pocong yang penuh dengan darah. Coba saja Anda bayangkan, apakah anda akan memiliki selera untuk memakan atau meminum sajian yang tampilannya bisa membuat Anda muntah? Akan tetapi pikiran saya sepertinya salah sama sekali. Meskipun nama yang disandang oleh warung itu begitu ‘menyeramkan’, warung itu selalu penuh dengan para pembeli yang datang untuk menikmati sajian yang ada di sana. Dan pastinya, yang menjadi menu favorit pembeli adalah Es Pocong itu sendiri.
Warung Es Pocong selalu penuh dengan para pembeli, baik yang menyantap sajian di warung tersebut atau yang sengaja membeli dalam paket bungkusan untuk di bawa pulang. Rata-rata para pelanggan setia yang selalu menikmati sajian warung Es Pocong adalah para mahasiswa. Para pengamen pun terkadang memanfaatkan keramaian di warung tersebut untuk meraup rezeki. Namun begitu, dalam pengamatan saya, keramaian di depan warung ini menjadi masalah baru. Karena saking ramainya, lokasi Warung Es Pocong dan simpang Jalan Sawo menjadi salah satu titik kemacetan di Jalan Margonda. Terlebih lagi banyaknya angkutan umum yang sering memberhentikan angkutan mereka di situ, menunggu hingga angkutannya penuh dengan penumpang. Lebar sisi jalan yang berada tepat di depan warung tersebut bisa dikatakan sangatlah kurang. Sungguh berbeda dengan sisi jalan yang satunya, yang tepat berada di depan Jalan Kober, yang telah mengalami pelebaran jalan.
Suatu hari saya menyempatkan diri untuk mampir ke warung tersebut. Saya dan teman saya, Ageung, singgah sejenak di warung tersebut untuk mengisi perut dan mencoba mencicipi menu andalan mereka, yaitu Es Pocong. Memang saat itu, saya masih penasaran dengan rupa Es Pocong yang selalu dibilang orang sangat lezat. Selain itu, sajian lain yang menjadi favorit adalah goreng Tempe Mendoan yang disantap dengan kuah kecap pedas. Dua menu ini menjadi faktor utama yang menyebabkan saya mengajak Ageung untuk makan di Warung Es Pocong itu.
Saat kami duduk di warung tersebut dan melihat kertas menu yang terletak di atas meja, kening saya berkerut. Ternyata bukan hanya nama Es Pocong saja yang menjadi keanehan dan keunikan warung yang saya singgahi itu, tetapi hampir semua menu yang ada di warung tersebut memiliki nama yang ada unsur horornya, seperti Lontong Setan, Nasi Uduk Tuyul, dan minuman Kuntilanak, Vodoo, Black Magic, Es Kolor Ijo dan sebagainya. Bayangan saya akan rupa makanan di warung itu semakin aneh saja melihat deretan nama yang ‘menyeramkan’. “Ini makanan yang akan saya makan?” ujar saya dalam hati. Kemudian saya memperhatikan kesibukan para pegawai warung, melihat-lihat bahan-bahan makanan yang akan mereka sajikan, serta melirik makanan yang sedang dimakan oleh pengunjung lain di meja di depan kami. Saya mengangkat bahu dan sadar bahwa warung ini adalah warung milik manusia, bukan setan.
Setelah beberapa lama, saya memesan Martabak Montok sementara Ageung memesan Tempe Mendoan. Untuk minumannya, kami sama-sama memesan Es Pocong. Martabak Montok yang saya pesan itu adalah martabak seperti umunya, tidak ada yang istimewa. Sedangkan Tempe Mendoan yang dipesan oleh Ageung, bisa saya katakan sebagai menu makanan yang sangat sederhana, hanya sepotong tempe yang dipotong tipis namun lebar dan digoreng dengan tepung. Saya masih ingat kalau ibu saya di Pekanbaru sering membuat tempe itu untuk lauk saat makan siang, namun dalam ukuran yang lebih kecil. Namun kenyataannya, seperti yang saya lihat saat itu, para pembeli banyak yang memesan Tempe Mendoan tersebut. Untuk Es Pocong, ternyata sajiannya berupa bubur sum-sum yang dicampur dengan es, potongan pisang rebus (kalau saya tidak salah), moci, dan berbagai isi yang lain (yang tidak bisa saya ingat karena saya langsung melahap bubur itu dengan cepat tanpa memperhatikan isinya), dan kemudian bubur itu disiram dengan sirup berwarna merah. Jikalau kita makan bubur sum-sum yang disiram dengan cairan gula aren akan terasa manis, Es Pocong lebih terasa manis keasam-asaman.
Saat menyantap makanan, tiba-tiba datang tiga orang pengamen yang memainkan alat musik gitar, biola, dan clarinet. Lagu yang mereka mainkan hanya berupa lagu instrumental berirama jazz ballads yang saya tidak tahu judulnya (dan saya pun lupa untuk menanyakan kepada para pengamen tersebut). Lagu yang mereka mainkan sangat menghibur kami, bahkan saya meminta mereka untuk memainkan lagu yang lain ketika mereka selesai mamainkan lagu yang pertama. Permintaan saya disambut dengan senyum dari ketiga pengamen, kemudian mereka memainkan lagu lain dengan irama yang sama, dan saya juga tidak tahu judulnya, tetapi tetap menghibur hati. Dan saat mereka menyodorkan kantong (meminta duit), Ageung tanpa segan-segan memberikan uang 5.000 Rupiah kepada tiga pengamen tersebut.
Saat itu hari sore menjelang maghrib. Ageung sempat bertanya-tanya kepada salah seorang penjaga warung tentang warung itu sendiri, tetapi pertanyaannya hanya dijawab asal-asalan. Karena tidak ada lagi yang kami lakukan, akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumah kos masing-masing. Akan tetapi rasa penasaran saya terhadap warung Es Pocong tersebut masih mengganjal.
Beberapa hari kemudian, saya dan Ageung mampir lagi ke warung tersebut. Kali ini kami memang bermaksud untuk mencari informasi tentang Warung Es Pocong. Saya ingin mengetahui apa alasan di balik nama ‘es pocong’ tersebut.
Pada kunjungan kami yang ke dua itu, kami memesan Tempe Mendoan. Untuk minumannya, saya memesan Black Magic (susu soda rasa mocha) sementara Ageung memesan Hantu Laut (susu soda rasa buah sirsak). Sambil menikmati tempe goreng itu lalu saya mendekati salah seorang pegawai warung yang sedang menghancurkan bongkahan es untuk minuman. Nama abang yang saya dekati itu adalah Bronky.
“Bang, kalau misalnya warung ini saya jadikan tulisan di blog saya, boleh nggak, Bang?” tanya saya memulai percakapan.
“Ya, boleh-boleh aja, sih!” jawabnya tersenyum.
Mendapat sambutan baik seperti itu, saya pun melancarkan berbagai pertanyaan tentang segala ha yang berkaitan dengan warung tersebut.
“Nama warungnya, kok, ‘Es Pocong’, sih, Bang?”
“Ya, itu supaya jadi menarik aja, biar banyak yang beli.”
“Tapi kenapa ‘es pocong’?”
“Kan, lokasinya dekat Kober,” Si Bronky menjelaskan. “Kober itu kata lain dari kuburan, jadi supaya sesuai aja dengan lokasinya. Karena itu dikasih nama ‘es pocong’!”
“Yang punya warung ini, Abang, ya?”
“Bukan, ada yang punya, saya, mah, cuman pegawai, bantu-bantu aja.”
“Yang punya siapa, Bang?” tanya saya sambil memperhatikan kesibukan di dalam warung, berusaha menerka siapa kira-kira yang memiliki hak milik terhadap warung unik itu. “Ada di sini orangnya, Bang?”
“Nggak, dia lagi nggak ada. Namanya Rahma.”
“Rahmat… siapa namanya, Bang? Nama lengkapnya?”
“Bukan Rahmat, tapi Rahma, Ramadhani,” jawab si Bronky sambil memecah bongkahan es yang ada di dalam ember di depannya.
“Kalau nama Abang siapa, Bang?”
“Kalau saya Bronky,” katanya tersenyum.
Saya mengangguk-anggukkan kepala seraya memperhatikan keadaan warung. Mata saya kemudian terhenti pada spanduk iklan warung Es Pocong tersebut, dan yang menarik perhatian saya adalah alamat yang tertera di spanduk itu, yaitu espocong.blogspot.com. Saya tertawa dalam hati, ternyata warung ini juga mempromosikan usahanya di dunia maya.
“Es Pocong ini cuma satu ini aja, ya, Bang?” tanya saya lagi.
“Ada lagi, Mas! Ini yang aslinya, tapi ada lagi cabangnya di Pondok Labu.
“Warung ini sejak kapan adanya, Bang?”
“Sejak tahun 2006-an, deh, kayaknya!”
“Oh!” saya mengangguk-angguk lagi.
Di sebelah kanan warung ini (menghadap ke Jalan Margonda), banyak kendaraan motor yang diparkir. Saya menerka bahwa motor-motor ini adalah kendaraan milik para pengunjung warung atau para pengunjung rental buku yang berada di sebalah warung tersebut. Wilayah parkir yang kecil ini juga menjadi penyebab macet di daerah itu, apalagi pada saat-saat salah satu motor yang ingin keluar dari arena parkiran.
Setelah mengambil beberapa gambar yang kami perlukan, saya dan Ageung kembali pulang ke rumah kost masing-masing.
Apabila pada awalnya saya penasaran dengan bentuk dan rupa ‘es pocong’ yang menjadi menu utama warung tersebut, sepulang dari warung, yang mengganjal dalam pikiran saya adalah masalah kemacetan di depan warung yang baru saja tinggalkan di belakang. Jalan Margonda memang telah mengalami pelebaran jalan, tetapi baru di satu sisi, di seberang Warung Es Pocong sementara sisi yang berada tepat di depan warung belum ada sama sekali. Lokasi warung sangat dekat dengan perbatasan antara Depok dan Jakarta Selatan sehingga lokasi tersebut (Jalan Margonda) menjadi jalur mobilisasi semua orang. Demi meraih keuntungan besar, otak dari kecerdasan manusia selalu mencari celah untuk menarik perhatian agar dagangan mereka laku. Salah satunya warung tersebut. Kata ‘pocong’ menjadi senjata utama. Hasilnya, warung menjadi sangat laris, tetapi menimbulkan masalah lain berupa kemacetan jalan. Siapa yang patut disalahkan?
waa…waaa…waaahhhh… ( pete’ mode on..hehehe )…lucu bgt namanya es pocong….menunya serem2..iieehhhh…atut…wkwkwkwk
Good writing Zikri…,
Waaauuuh, gw g nyngka es pcng bs jd tlsn lgkp kyk gini! kereeen..! lnjutkn bro!
🙂
tulisan yang bagus!!!
no es pocong yang bisa dihubungi untuk urusan franchise bp?
kreatif lanjutkan……….kalu bisa dapet detailnya boss sejarah dan bahan pokok dari es pocong,