Tanpa istirahat kami pun melanjutkan perjalanan mengejar rombongan yang membawa 22 anak yang akan dikhitan. Karena berada di belakang, saya kesulitan mencari Alvin. Sebagai komandan, pasti ia berada dibarisan paling depan. Terpaksa sepeda-sepeda kami tuntun diantara asap motor para pangantar yang membawa anak atau keponakanya yang akan dikhitan atau mungkin mereka hanya ikut meramaikan. Sekali-kali penonton tertawa melihat salah satu kontestan jalan kampong selebar kurang lebih satu setengah meter. Jalanan semakin penuh saat penonton bergabung menjadi peserta pawai. Alhasil bertambah panjang pula barisan tersebut. Diantara rumpun-rumpun bambu kami bergerak seperti ular. Setelah agak lama berdesakan, terlihat rombongan kontestan berpakaian ala laskar jihad lengkap dengan cadar. Ada juga rombongan suku dayak, dengan pakaian yang terbuat dari karung goni dan tombak kayu di tangan kanan. Sesekali terdengar suara meriam bambu yang memekakkan telinga. Di depan saya ada gerobak nasi goreng dengan tulisan ”sumanto petir tukang jagal gorengan bocah” saya penasaran apa isi dari penggorengan itu. Si penjual dengan lantang berteriak ”..gorengan bocaaah…” sambil membawa golok kayu besar. Di dalam penggorengan tergolek seorang anak balita sambil senyum-senyum tanpa tahu apa maksud dari kata “sumanto petir “ dan gorengan bocah. Saya pikir ini yang membuat penonton tertawa dalam setiap pawai kampong (kami membuatnya ider-ideran). Wajah para kontestan selalu dicoreng-moreng dengan jelaga, arang atau cat tembok dengan tak beraturan. Selain itu menghiasi kendaraan (kebanyakan becak dan gerobak) dengan dedaunan, kantong bekas semen, kain sepanduk bekas, kertas krep warna-warni, tali plastik dan benda-benda apa saja sehingga mirip rombongan sampah berjalan. Bagi para seniman kampong, ini merupakan ajang untuk menyalurkan kreatifitas mereka.
Yang menarik bagi saya, betapa sangat berpengaruhnya media televisi meracuni orang-orang kampong. Sebagian mereka menganggap laskar jihad adalah teroris dan sebagian lagi menganggap mereka pahlawan. Atraksi ini diwarnai dengan meriam bambu yang meledak mirip peluncur roket gerilyawan Taliban. Mereka juga menghias gerobak dan becak laksana pawai di pesta rakyat Pasadena. Yel-yel “Allahu Akbar” yang diucapkan masyarakat Irak saat mengusung jenazah pejuang yang tewas atau demonstran yang membongkar paksa tempat-tempat pelacuran diteriakan anak-anak sekolah Dasar beserta ider-ideran. Bahkan Sumanto sang jagal pun mereka tiru dengan gorengan bocahnya. Media televisi yang masuk kampung-kampung sudah merubah cara pandang masyarakat yang hanya melihat dan mendengar tanpa harus berpikir rumit. Padahal isi televisi bisa diterjemahkan dan ditafsirkan berbeda-beda dari setiap kepala.
Dalam hati saya pernah mengutuk habis-habisan ketika akan berangkat kerja lalu terjebak diantara ider-ideran rombongan pesta Trusmi, daerah yang terkenal dengan batiknya yang terletak dikawasan Plered. Ada kebiasaan ganti sirap atau atap rumbia dan ngunjung buyut (mengunjungi sesepuh) dengan suasana yang macet luar biasa saat itu. Sementara jam delapan pagi saya harus sudah sampai di tempat kerja. Penonton tumpah ruah disetiap jalan yang saya lalui hingga sulit dibedakan mana yang ider-ideran dan mana yang menonton. Padahal yang ditonton hanyalah kumpulan orang yang dicoreng-moreng dan duduk di atas mobil yang dihiasi sampah-sampahan tadi.
Ketika saya menjadi salah satu peserta ider-ideran sunatan pesta kampong, ada rasa kesal sekaligus tertawa dalam hati ketika melirik orang-orang yang tidak bisa lewat karena terhadang macet. Mungkin mereka juga mengumpat karena macet dan panas, sementara yang dilihat hanya wajah coreng-moreng, hiasan daun dan sampah-sampah yang sama dengan pernah saya alami. Mungkin ini salah satu efek dari tontonan, bukan semua tontonan dari televisi buruk, ada juga sisi edukasi dari sebuah tontonan. Masyarakat bisa tahu Mbah Marijan, orang kampung di puncak gunung yang namanya begitu meroket setelah Gunung Merapi meletus. Fotonya menempel di bus-bus kota dengan slogan roso-roso.
Kemudian Ponari si putra petir yang berpenghasilan jutaan rupiah karena menemukan batu ajaib setelah ia disambar petir. Ia dinobatkan sebagai dukun cilik karena batu itu diyakini bisa mengobati orang sakit sampai-sampai saya menemukan di satu situs yang menjual produk Ponari Sweat mirip minuman Pocari Sweat. Dalam kasus Ponari, televisi mengambil peran penting karena ribuan orang berdesak-desakan memadati kampung yang dulu sepi menjadi ramai seperti pasar malam. Akibat menonton televisi, masyarakat penasaran hingga datang walau rela antri berhari-hari hanya untuk dicelup batu dari tangan sang dukun cilik, sementara Ponari sendiri cuek sambil digendong oleh kerabatnya. Tangan kirinya bekerja sementar tangan kanan memainkan Handphone yang baru dibelinya. Ponari mencoba menyembuhkan dunia.
Menyedihkan sekali saat teknologi masuk ke kampung-kampung, kita masih belum siap menerima dan memahami setiap informasi. Mungkin seperti suku Masaimara di Afrika yang dengan bangganya memakai jam tangan Rolex tanpa tahu fungsinya. Lalu masyarakat dusun yang membeli lemari es hanya untuk digunakan sebagai lemari pakaian karena listrik belum masuk. Mau tidak mau kemajuan teknologi sekali lagi punya andil besar bagi cara pandang masyarakat kita terutama yang ada di perkampungan. Belum lagi penggunaan telepon genggam yang merambah dari pelajar SD sampai ke suku Badui di pedalaman. Sudah siapkah kita dengan yang apa kita tonton dan mendengar dari sebuah kotak yang bernama televisi? ketika teknologi menyuguhkan informasi dari belahan dunia lain sementara kita tidak memahami apa segi negatif dari sesuatu yang kita lihat. Tanpa menggurui, jangan sampai kita cengar-cengir gagap teknologi seperti anak balita di dalam penggorengan Sumanto.
Footnote
1. | ⇑ | Sejak terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Pembentukan dan Penataan Kecamatan, Kecamatan Cirebon Selatan berubah nama menjadi Kecamatan Talun. Empat desa yang berada di bagian barat Kecamatan Talun berubah status administratifnya menjadi kelurahan dan menjadi bagian wilayah Kecamatan Sumber. Salah satu desa itu adalah Desa Sendang, yang kini menjadi Kelurahan Sendang. |
Merebaknya siaran WCW 2 tahun lalu menyebabkan banyk anak-anak kecil saling ikut banting-bantingan dan bahkan sampai ada yang meninggal.dn orang rela berjubel antri demi air yg dicelupi batu yg tidak jelas dn banyak menyebabakn korban,yg pada awalnya mereka antri untuk sembuh,dn ironisnya mereka percaya yg menyembuhkan adalah batu ponari yg bisa menyebabkan kemusrikan, dn orang -orang senang dibodohi oleh sinetron yg membuat malas serta membunuh komunikasi sesama keluarga, bahkan iringan anak-anak yg tadarusan selepas magribpun jadi sepi karena sibuk dngn mata dajjal(televisi) yg orang tuanya pun kadang ikut-ikutan menonton sampe lupa ke mesjid atau bersosialasi dgn tetangga,bahkan kriminal smakin banyak karena seringnya diekspos, tapi mereka senang dgn pembodohan publik itu..dn bahkan sinetron yg disiarkan di prime time jd idola dn trend ibu-ibu rumah tangga.. sementara mereka blm siap memilah dn memilih siaran kotak brwarna itu.kejadian dicirebon hanyalah seklumit imbas dari televisi.. salam
ider ideran pesta trusmi juga perlu di tulis tuh..selain ada gorengan bayi ada juga gorengan roket
senang banget akhirnya ada tulisan lagi dari akumassa cirebon,sukses terus ya…